MAKALAH REMAJA KELOMPOK 2
BAB
1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Remaja dikenal
sebagai masa transisi dimana individu meninggalkan masa kanak-kanan menuju
kedewasaan yang ditandai dengan pertumbuhan fisik yang pesat. Pertumbuhan fisik
pada remaja membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku,
kesehatan, serta kepribadian remaja. Masa remaja juga penuh dengan berbagai
perasaan yang tidak menentu, dimana bercambuk harapan dan tantangan, kesenangan
dan kesengsaraan, yang semuanya harus dilalui agar mampu berfikir secara lebih
dewasa dan rasional, serta mampu dalam menyelesaikan masalah. Remaja mampu
mengambil keputusan sendiri dan memikirkan efeknya dimasa yang akan datang.
Remaja sudah
mulai berspekulasi tentang sesuatu dimana mereka sudah mulai membayangkan
sesuatu yang diiinginkan dimasa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada
remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih
logis.
Dengan makalah
ini pembaca dapat mengembangkan kreativitasnya dalam melihat
kemungkinan-kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah yang terjadi, serta
meningkatkan kreativitasnya dalam meningkatkan kualitas hidup khususnya bagi
remaja. Oleh sebab itu, makalah ini dibuat untuk membahas tentang perkembangan
kognitif bagi remaja.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
saja karakteristik dalam pemikiran remaja ?
2. Bagaimana
perkembangan kognitif menurut Kohlberg ?
3. Bagaimana
teori perkembangan bahasa ?
4. Bagaimana
isu pendidikan dan pekerjaan pada remaja ?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui karakteristik dalam pemikiran remaja.
2. Untuk
mengetahui perkembangan kognitif menurut Kohlberg.
3. Untuk
mengetahui teori perkembangan bahasa.
4. Untuk
mengetahui isu pendidikan dan pekerjaan pada remaja
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Karakteristik
Pemikiran Remaja
Kita telah melihat bagaimana anak berkembang dari
makhluk egosentris dengan rentang ketertarikan tidak lebih dari putting susu
ibunya kepada sosok person yang mampu memecahkan masalah abstrak dan
membayangkan masyarakat yang ideal. Walaupun demikian, dalam beberapa hal
pemikiran beberapa remaja masih terlihat kurang matang. Mereka mungkin kasar
kepada orang dewasa, memiliki kesulitan untuk menyusun pikiran mereka tentang
apa yang hendak dipakainya tiap hari, dan mereka sering kali bertindak seolah
dunia mengelilingi mereka.
Merujuk kepada psikolog (Papalia, 2011, David Elkind
1984, 1998), perilaku seperti itu bersumber dari usaha remaja yang belum
berpengalaman untuk masuk ke dalam pemikiran formal. Cara berfikir baru
ini, yang secara fundamental mengubah
cara mereka melihat diri sendiri dan dunia mereka, tidak akrab dengan diri
mereka sendiri seperti tubuh mereka yang
berubah bentuk, mereka terkadang merasa janggal dalam menggunakannya. Ketika
mencoba kekuatan baru mereka, mereka terkadang tersandung seperti seorang bayi
yang belajar berjalan.
Menurut
Elkind, pemikiran belum matang ini memanifestasikan dirinya sendiri ke dalam,
paling tidak, enam karakteristik :
1. Idealism dan kekritisan, ketika
para remaja memimpikan dunia yang ideal, mereka menyadari betapa jauhnya mereka
dengan dunia nyata, dimana mereka memegang tanggung jawab dewasa, … mereka
menjadi sangat sadar akan kemunafikan (hypocrisy),
dan dengan penalaran verbal mereka yang semakin tajam, mereka menyukai
majalah dan entertainer yang
menyerang figur publik dengan kata-kata satire dan parody. Mereka yakin bahwa
mereka lebih mengetahui bagaimana menjalankan dunia ketimbang orang dewasa dan
mereka sering kali mengkritik orang tua mereka.
2. Argumentativitas, para
remaja senantiasa mencari kesempatan untuk mencoba atau menunjukkan kemampuan
penalaran formal baru mereka. Mereka menjadi argumentative ketika mereka
menyusun fakta dan logika untuk mencari alasan, misalnya, begadang.
3. Ragu-ragu
. para remaja dapat menyimpan berbagai alternative dalam pikiran mereka pada
waktu yang sama, tetapi karena kurangnya pengalaman, mereka kekurangan strategi
efektif untuk memilih. Karena itu, mereka mungkin memilih masalah dalam
menyatukan akan dipakai.
4. Menunjukkan hypocrisy. Remaja
sering kali tidak menyadari perbedaan antara mengekspresikan sesuatu yang ideal
dan membuat pengorbanan yang dibutuhkan untuk mewujudkannya. Dalam sebuah contoh
yang diberikan (Papalia, 2011, elkind 1998), para remaja yang peduli dengan
kesejahteraan hewan berdemonstrasi di depan took pakaian bulu, tetapi mereka
menunggu musim panas untuk melakukannya-agar terhindar dari berdiri diluar
dengan mantel dan udara yang membeku. Bagi pengamat orang dewasa, tindakan ini
seperti bersifat hipokrit; akan
tetapi para anak muda yang bersungguh-sungguh ini sebenarnya tidak dapat
membedakan hubungan antara perilaku mereka dan kondisi ideal yang mereka
suarakan.
5. Kesadaran diri.
Para remaja sekarang dapat berfikir tentang pemikiran mereka sendiri dan orang
lain. Akan tetapi, dalam keasyikan mereka akan kondisi mental mereka, para
remaja sering kali berasumsi bahwa yang dipikirkan orang lain sama dengan yang
mereka pikirkan, yaitu: diri mereka sendiri. Seorang gadis remaja bisa
dipermalukan apabila “mengenakan pakaian yang salah” untuk menghadiri pesta,
dank arena ia berfikir demikian maka orang lain tampak mencurigakan baginya.
Elkind merujuk kondisi kesadaran ini sebagai imaginary audience, “pengamat”
yang terkonseptualisasikan yang berkaitan dengan pemikiran dan perilaku mereka.
Menurut Elkind, imaginary audience amat
kuat di masa remaja dini tetapi kemudian menurun dalam kehidupan orang dewasa.
Kondisi tersebut dapat muncul ketika, misalnya, seseorang menjatuhkan garpu
dilantai keramik restoran yang penuh dengan orang dan berimajinasi semua orang
yang melihat kearahnya.
6. Kekhususan dan ketangguhan.
Elikind menggunakan istilah personal fable untuk menunjukkan keyakinan para
remaja bahwa ia spesial, bahwa pengalaman mereka unik, dan mereka tidak tunduk
pada peraturan yang mengatur dunia (“Orang lain ketagihan ketika mereka
menggunakan obat terlarang, tetapi saya tidak” atau “Tidak ada seorang pun yang
mengalami jatuh cinta sedalam ini kecuali saya”). Menurut elkind, bentuk
egosentrisme khusus ini mendasari perilaku self-desrtuctive
dan berisiko. Seperti imaginary
audience, personal fable terus berlanjut hingga masa dewasa. Tanpa
keyakinan seperti itu, orang-orang akan menjadi pertapa, membentengi diri
mereka sendiri secara konstan dari bahaya sesungguhnya dalam kehidupan
kontemporer.
Konsep imaginary
audience dan personal fable sudah
diterima secara luas, akan tetapi validitas keduanya sebagai ciri pembeda masa
remaja hanya memiliki sedikit dukungan riset independen. Dalam sebuah studi
tentang personal fable, dibandingkan
dengan mhasiswa dan orang dewasa, remaja lebih cenderung melihat diri mereka
rapuh terhadap risiko-risiko tertentu, seperti alkohol dan masalah obat-obatan
lain, bukan kurang cenderung kepada berbagai hal tersebut sebagaimana yang diprediksikan
oleh teori personal fable (Papalia, 2011, Qurdel, Fischoff, & Davis, 1993).
Alih-alih sebagai karakteristik universal perkembangan kognitif remaja, personal fable dan imaginary audience mungkin terkait dengan pengalaman sosial
tertentu. Dan, karena kedua konsep ini berasal dari klinik observasi milik
Elkind, keduanya mungkin lebih merupakan karakteristik dari anak muda yang
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri (Papalia, 2011, Vartanian &
Powlishta, 1996).
B.
Perkembangan
Kognitif Kohlberg
Kognitif
diartikan sebagai potensi intelektual yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu
pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (application),
analisa (analysis), sintesa (synthesis), evaluasi (evaluation). Kognitif
berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembsngkan kemampuan
rasional (akal), teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya
untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain.
Oleh sebab itu, kognitif beda dengan teori behavioristik, yang lebih menekankan
pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dnegan cara kemampuan merespons
terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.
Menurut teori
Piaget (Santrock, 2011), remaja termotivasi untuk memahai dunianya karena hal
ini merupakan suatu bentuk adaptasi biologis. Remaja secara aktif
mengkontruksikan dunia kognitifnyasendiri, dengan demikian informasi-informasi
dari lingkungan tidak hanya sekedar ditungakan dalam pikiran mereka. Remaja
mengorganisasikan pengalaman-pengalamannya, memisahkan gagasan-gagasan penting
dari gaggasan-gagasan yang kurang penting., dan menggabungkan gagasan-gagasan
itu satu sama lain. Remaja juga mengadaptasikan pemikiran mereka yang
melibatkan gagasan-gagasan baru karena informasi tambahan ini dapat meningkatkan
pemahaman mereka.
Berikut beberapa cara remaja mengonstruksikan
dunianya :
a.
Skema (schema) merupakan sebuah konsep
atau kerangka kerja mental yang diperlukan untuk mengorganisasikan dan
menginterpretasikan informasi. Piaget berminat pada bagaimana anak-anak dan
remaja menggunakan skema skema untuk mengorganisasikan pengalamannya sekarang.
b.
Asimilasi (assimilation) yaitu memasukkan informasi-informasi baru ke dalam
pengaturan yang sudah ada. Dalam asimilasi asimilasi yang sudah ada tidak
mengalami perubahan.
c.
Akomodasi (accommodation) yaitu menyesuaikan sebuah skema yang sudah ada
terhadap masuknya informasi baru. Dalam akomodasi terjadi perubahan yang sudah
ada.
d.
Ekuilibrium (equilibrium) yaitu mengubah pemikiran dari satu kondisike kondisi
lain. Perubahan ini berlangsung ketika mereka mengalami konflik kognitif atau
mengalami ketidakseimbangan (disequilibrium)
ketika remaja itu berusaha untuk memahami dunianya. Menurut Piaget secara
bergantian individu berada dalam kondisi kognitif equilibrium dan disequilibrium.
Tahap-tahap
perkembangan kognitif menurut Piaget :
a.
Tahap Sensorimotor (0-2 tahun)
b.
Tahap praoperasional (2-7 tahun)
c.
Tahap operasional konkret (7-11 tahun)
d.
Tahap operasional formal (11 – 15 tahun)
Tahap ini
ditandai dengan pemikiran yang abstrak, idealistic, dan logis. Karakteristik
yang paling menonjol dari pemikiran operasi formal adalah sifatnya yang lebih
abstrak dibandingkan pemikiran operasi konkret. Remaja tidak lagi terbatas pada
pengalaman-pengalaman yang aktual atau konkret sebagai titik tolak
pemikirannya. Kualitas abstark dari pemikiran di tahap operasional formal pada
remaja terbukti di dalam kemampuan mereka untuk memecahkan masalah verbal.
Indicator lain memperlihatkan kualitas abstrak dari pemikiran remaja adalah
meningkatnya tendensi untuk berpikir mengenai berpikir itu sendiri.
Pemikiran yang menyertai sifat dasar abstrak dari
pemikiran formal operasional adalah pemikiran yang banyak mengandung idealisme
dan kemungkinan. Sementara anak-anak sering kali berpikir secara konkret
mengenai hal-hal yang bersifat riil dan terbatas, remaja mulai terlibat di
dalam berbagai spekulasi mengenai karakteristik-karakteristik ideal-kualitas
yang mereka inginkan terdapat pada dirinya maupun pada orang lain. Cara
berpikir seperti itu sering kali menggiring remaja untuk membandingkan dirinya
dengan orang lain menurut standar ideal itu. Pun, pemikiran mereka sering kali
bersifat fantasi mengenai kemungkinan-kemungkinan dimasa depan.
Disamping berpikir abstrak dan idealistic, remaja
juga berpikir logis. Remaja mulai berpikir seperti cara seorang ilmuan
berpikir, membuat rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis
menguji solusi. Piaget menamai pemecahan masalah itu sebagai penalaran
hipotesis deduktif (hypothetical-deductive reasoning), yang berarti kemampuan untuk
mengembangkan sebuah hipotesis atau dugaan, mengenai bagaimana memecahkan
masalah seperti menyelesaikan perhitungan aljabar.
Menurut Piaget, pemikiran operasi formal adalah
deskriptif terbaik untuk menggambarkan bagaimana remaja itu berpikir. Meskipun
demikian, pemikiran operasi formal bukanlah sebuah tahap yang bersifat
homogeny. Tidak semua remaja dapat menjadi pemikir operasi formal sepenuhnya.
Didalam tulisannya (Santrock, 2007, Piaget, 1952),
menyatakan bahwa kemunculannnya dan konsolidasi dari pemikiran operasional
formal dianggap telah lengkap dimana remaja awal sekitar usia 11 sampai 15
tahun. Kemudian, (Santrock 2007, Piaget, 1972) merevisi pandangannya ini dan
berkesimpulan bahwa pemikiran operasi formal baru sepenuhnya dicapai di masa
remaja akhir, sekitar usia 15 sampai 20 tahun. Disamping itu, teorinya tidak
memadai dan menjelaskan perbedaan individual dimasa perkembangan remaja,
sebgaaimana yang telah tercatat dalam sejumlah peneliti (Santrock 2007, Kuhn
& Franklin, 2006;Neinmark,1982;Overton & Byrnes, 1991). Beberapa remaja
cilik adalah pemikir operasional formal sementara yang lain bukan. Beberapa
peneliti mengungkapkan bahwa pemikiran operasional formal meningkat seiring
dengan meningkatnya usia usia remaja sementara yang lain tidak. Pada
kenyataannya banyak orang dewasa dan mahasiswa yang tidak berpikir dengan cara
operasional formal (Santrock 2007, Elkind, 1961; Tomlinson-Keno 1972). Remaja
cenderung menggunakan pemikiran operasional formal pada bidang-bidang dimana
mereka memiliki pengalaman yang paling banyak. Atau anak dan para remaja secara
bertahap membangun pengetahuan yang semua teelaborasi melalui pengalaman dan praktik yang luas diberbagai kegiatan.
Pada awalnya konsep perkembangan moral (moral development)
dikemukakan oleh (Sandika 2011, Piaget, 1932). Dalam perkembangannya menurut
Kohlberg et al., 1984, perkembangan moral berkembang menjadi teori perkembangan
moral kognitif (cognitive moral development–CMD) modern yang dilahirkan
oleh seorang peneliti yang bernama Lawrence Kohlberg, pada tahun 1950an.
Penemuan tersebut merupakan hasil dari perluasan gagasan Piaget sehingga
mencakup penalaran remaja dan orang dewasa. Dengan kata lain, Kohlberg memilih
untuk mendalami struktur proses berpikir yang terlibat dalam penalaran moral.
Kohlberg meneliti cara berpikir anak-anak melalui pengalaman mereka yang
meliputi pemahaman konsep moral, misalnya konsep justice, rights, equality, dan
human welfare. Riset awal Kohlberg dilakukan pada tahun 1963 pada anak
usia 10-16 tahun. Berdasarkan riset tersebut Kohlberg mengemukakan teori
perkembangan moral kognitif. Riset Kohlberg memfokuskan pada pengembangan moral
kognitif anak muda (young males) yang menguji proses kualitatif
pengukuran respon verbal dengan menggunakan Kohlberg’s Moral Judgement
Interview (MJI).
Dalam melakukan studinya, Kohlberg merancang serangkaian cerita
imajinatif yang masing-masing memuat dilema-dilema moral untuk mengukur
penalaran moral. Konflik moral yang terkandung dalam cerita-cerita tersebut ada
yang berupa pilihan antara dua alternatif yang tidak dapat diterima secara
kultural dan ada pula yang berupa pilihan antara dua alternatif yang dapat
diterima secara kultural. Cerita-cerita ini menempatkan seseorang pada situasi
konflik yang memberikan sejumlah alternatif pilihan yang dapat diterima.
Respons apa yang dipilih oleh seseorang tidak begitu penting, tetapi yang
terpenting adalah penalaran yang digunakan individu dalam menyelesaikan
konflik. Oleh sebab itu, kepada para responden, ditanyakan tentang apa yang
sebaiknya dilakukan, di samping mereka ditanya mengapa memilih melakukan hal
itu.
Analisis dari proses penalaran disimpulkan dari jawaban terhadap
serangkaian cerita tersebut. Akhirnya, Kohlberg dapat menilai penalaran moral
responden. Dari analisis ini, ia menemukan bahwa ada enam level perkembangan
penalaran moral manusia. Keenam level perkembangan moral ini menggambarkan
suatu urutan yang bersifat universal. Lebih lanjut, keenam level perkembangan
penalaran moral tersebut dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan sehingga
masing-masing level terdiri atas dua tahapan sebagai berikut.
Tabel.
1.1 Tahapan Cognitive Moral Development
(Sandika, 2011)
|
LEVEL
|
HAL YANG BENAR
|
|
Level 1: Pre-Conventional (4-10 tahun)
Tingkat 1:
Orientasi ketaatan dan hukuman
(Punishment
and Obedience Orientation)
Tingkat 2:
Pandangan Individualistik
(Intrumental
Relativist Orientation)
|
Menghindari
pelanggaran aturan untuk
menghindari
hukuman atau kerugian.
Kekuatan
otoritas superior menentukan
“right”
Mengikuti aturan
ketika aturan tersebut sesuai dengan kepentingan pribadi dan membiarkan pihak
lain melakukan hal yang sama. “right” didefinisikan dengan equal
exchange, suatu kesepakatan yang fair.
|
|
Level 2: Conventional (10-13 tahun atau lebih)
Tingkat3:Mutualekspektasi
interpersonal, hubungan dan kesesuaian.
(“good boy or
nice girl” orientation)
Tingkat 4:
Sistem sosial dan hati nurani
(Law and order
orientation)
|
Memperlihatkan stereotype
perilaku yang baik. Berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan pihak lain.
Mengikuti aturan
hukum dan masyarakat (sosial, legal, dan sistem keagamaan) dalam usaha untuk
memelihara kesejahteraan
|
|
Level 3 Post-Conventional (awal masa remaja, atau baru muncul pada
awal masa dewasa, atau tidak pernah muncul sama sekali)
Tingkat 5:
Kontak sosial dan hak
individual
(Social-contract
legal orientation)
Tingkat 6:
Prinsip etika universal
(Universa
ethical principle
orientation)
|
Mempertimbangkan
relativism padangan personal, tetapi masih menekankan aturan dan hukum.
Bertindak sesuai
dengan pemilihan pribadi prinsip etika keadilan dan hak (perspektif
rasionalitas individu yang mengakui sifat moral)
|
Berdasarkan proses pemikiran yang ditunjukkan dengan respons
terhadap dilemanya, (Papalia, 2011, Kholberg, 1969) mendeskripsikan tiga level
penalaran moral, dan setiap level terbagi ke dalam dua tahap.
a. Level
1 : moralitas prakovensional. Orang-orang bertindak di bawah kontrol eksternal.
Mereka mematuhi perintah untuk menghindari hukuman atau mendapatkan hadiah,
atau bertindak diluar kepentingan diri.
b. Level
2 : moralitas konvensional. orang-orang telah menginternalisasikan standar
figur otoritas. Mereka peduli tentang menjadi baik, memuasan orang lain, dan
mempertahankan tatanan sosial.
c. Level
3 : moralitas postkonvensional. Orang-orang pada tahap ini menyadari konflik
antara standar moral dan mebuat keputusan sendiri berdasarkan prinsip hak,
kesetaraan, dan keadilan. Seseorang biasanya baru mencapaitahap moralseperti
itu, jika memang terjadi, ketika mencapai usia masa remaja awal, atau lebih
umum lagi pada masa dewasa awal.
Individu menjadi lebih rumit dan komplek jika individu
tersebut mendapatkan tambahan struktur moral kognitif pada setiap peningkatan
level pertumbuhan perkembangan moral. Pertumbuhan eksternal berasal dari
rewards dan punishment yang diberikan, sedangkan pertumbuhan internal mengarah
pada prinsip dan keadilan universal (Sandika, 2011, Kohlberg, 1981).
Menurut Kohlberg (Kneller, 1984: 110-111), tiap-tiap
pertimbangan moral adalah produk dari sebuah perbedaan struktur kognitif, yaitu
suatu pengorganisasian sistem asumsi-asumsi dan aturan-aturan tentang situasi
konflik moral yang memberikan situasi makna terhadap asumsi dan aturan
tersebut. Struktur kognitif tidak terjadi karena pembawaan tetapi merupakan
hasil interaksi organisme manusia dengan “Lingkaran sosial”-nya. Fungsi
pertimbangan moral adalah untuk memecahkan konflik klaim-klaim pribadi dengan
lainnya.
C.
Perkembangan
Bahasa
Definisi Bahasa
Menurut Gorys Keraf dalam Inrayanti (2015), bahasa
adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Karakteristik
Bahasa
Abdul Chaer dalam Indrayanti (2015)
menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem berupa bunyi, bersifat abitrer,
produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Dari pengertian tersebut, di antara
karakteristik bahasa adalah beragam, dan manusiawi.
a. Bahasa itu beragam
Meskipun bahasa mempunyai kaidah
atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur
yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda,
maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis,
sintaksis maupun pada tataran leksikon.
b. Bahasa itu manusiawi
Bahasa sebagai alat komunikasi
verbal, hanya dimiliki manusia. Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara
instingtif atau naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan tidak mampu untuk
mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa itu bersifat
manusiawi.
Perkembangan
bahasa
Masa remaja memunculkan penghalusan bahasa lebih lanjut, kosa kata
terus tumbuh seiring dengan bahasa bacaan yang semakin dewasa. Pada usia 16
sampai 18 tahun, seorang anak muda rata-rata mengetahui 80.000 kata (Papalia,
2011; Owens, 1996).
Dengan kemunculan pemikiran formal, para remaja dapat menentukan
dan membahas abstrak seperti cinta,keadilan,dan kebebasan. Mereka lebih sering
menggunakan istilah seperti however
(walaupun),otherwise(sebaliknya),anyway(bagaimanapun juga), therefore(oleh karena itu),really,dan probably(mungkin) untuk menunjukkan realsi logis antara klausa dan
kalimat. Mereka makin sadar akan kata sebagai sebuah symbol dengan berbagai
macam makna; mereka menikmati menggunakan ironi,permainan kata,dan metafora
(Papalia,2011;Owens,1996).
Para remaja juga menjadi lebih terampil dalam penyerapan perspektif
sosial(social perspective-taking),
kemampuan memahami sudut pandang orang lain dan level pengetahuan serta
kemampuan berbicara menjadi sepadan dengan kedua hal tersebut. Kemampuan ini
sangat esensial untuk membujuk atau hanya sekedar dapat mengikuti pembicaraan.
Dengan kesadaran akan audien mereka, para remaja berbicara dengan cara yang
berbeda kepada orang dewasa dan kepada teman sebaya (Papalia, 2011;
Owens,1996).
Bahasa Remaja
Media sosial adalah salah satu media yang memiliki peran penting
dalam perkembangan bahasa. Bahkan, bahasa remaja menggeser penggunaan bahasa
Indonesia. Para remaja lebih tertarik menggunakan bahasa tersebut karena dapat
digunakan sesuka keinginan mereka.
Remaja merupakan penutur yang kompeten dalam bahasanya dan tidak
tertutup dalam pilihan bahasanya. Ketika menyerap bahasa dengan mengembangkan
kosakata dan jarak stilistiknya, mereka mengontrolnya secara penuh. Mereka
sering memilih kata yang berbeda dari orang dewasa (Indrayanti; Harimansyah,
2015).
Table 1.2 Dalam Indrayanti 2015, Berikut ini beberapa kata dari bahasa remaja
|
BAHASA INDONESIA
|
BAHASA REMAJA
|
BAHASA INDONESIA
|
BAHASA REMAJA
|
|
panas
|
nyanyas
|
Sakit
|
Atiit
|
|
serius
|
cius
|
Keren
|
Keyen
|
|
Aku
|
aq
|
Banget
|
Bingo
|
|
Kamu
|
kamyu
|
sayang
|
Cayang
|
|
Terimakasih
|
maacih
|
belum
|
Blom
|
|
menyanyi
|
menyenyong
|
rumah
|
Humz
|
|
Pusing
|
pucing
|
iya
|
Yups
|
|
Ganggu
|
G3
|
ngantuk
|
Antuk
|
|
Ayah
|
Bokap
|
sudah
|
Dah
|
|
Gagal
|
Gatot
|
Marah
|
mayah
|
|
Tidak jelas
|
Gaje
|
malas
|
mayez
|
|
Palsu
|
Hoax
|
biarin
|
bialin
|
|
santai
|
Woles
|
dingin
|
ingin
|
D.
Sekolah
dan Kerja
Sekolah merupakan pengorganisir pusat pengalaman
dalam kehidupan sebagian besar remaja. Sekolah menawarkan peluang untuk belajar
informasi, menguasai keterampilan baru, dan menajamkan keterampilan yang sudah
ada; berpastisipasi dalam olahraga, seni dan aktivitas lain; mengeksplorasi
pilihan pekerjaan; dan tempat berkumpul bersama teman. Walaupun demikian, sebagian besar remaja
merasakan sekolah bukan sebagai peluang melaikan sebagai rintangan di jalan
menuju masa depannya.
Pengaruh
Terhadap Prestasi Sekolah
Seperti pada tingkat dasar, berbagai faktor seperti
status ekonomi, kualitas lingkungan rumah, dan keterlibatan orang terus
mempangaruhi prestasi sekolah. Dalam sebuah studi longitudinal atas 174 anak
kurang mampu, berbagai faktor ini, sebagaimana yang diukur paa tingkat dasar,
dapat memprediksikan peningkatan atau kemerosotan tingkat akademis di usia 16
(Papalia, 2011; Jimerson, Egeland, & Teo, 1999). Faktor lainnya adalah
pengaruh teman sebaya, kualitas sekolah, dan mungkin yang paling penting
keyakinan si murid dan orang tua akan kemampuannya mencapai kesuksesan.
·
Keyakinan akan kecakapan diri dan
motivasi akademis
Menurut
Albert Bandura (Papalia, 2011; Bandura, 1996; Zimmerman, 1992) siswa dengan
tingkat kecakapan diri tinggi yang yakin bahwa
mereka dapat menguasai materi akademis dan mengatur pemebelajaran mereka
sendiri memiliki kecenderungan lebih besar mencoba berprestasi dan cenderung
lebih sukses ketimbang dengan siswa yang tidakdengan kemempuanya. Pelajar yang
mengatur pembelajarannya sendiri menentukan target yang menentang dan
menggunakan strategi yang tepat untuk mencapainya, tidak hanya siswa kecakapan
diri orang tua sendiri juga meningkatkan pertumbuhan akademis anak mereka.
·
Penggunaan waktu
Motivasi akademis dan keyakinan
akan kecakapan diri mungkin akan mempengaruhi mempengaruhi diri mereka dalam
menggunakan waktu. Sebagian dari mereka lebih sibuk melalukan aktivitas lain
daripada mengharapkan mendapat peringkat yang lebih baik. Tetapi banyak siswa
memiliki sedikit waktu dapat benar-benar berhasil dalam studi, sedangkan banyak
siswa yang tampak memiliki banyak waktu justru tidak terlalu berprestasi.
·
Status sosioekonomis dan lingkungan
keluarga
Status sosioekomomi menjadi bisa
menjadi faktor kuat dalam prestasi akademis melalui pengaruhnya, seperti
atmosfer keluarga, pemilihan lingkungan, dan pola asuh orang tua (Papalia,
2011; National Research Council,
1993). Anak-anak miskin, dengan orang tua yang tidak berpendidikan, memiliki
kecenderungan merasakan atmosfer negatif keluarga dan sekolah serta peristiwa
yang menekan (Papalia, 2011; Felner, 1995). Pada lingkungan keluarga secara
umum menentukan kualitas pendidikan dan peluang melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi, sehingga dengan adanya peluang seperti itu serta
sikap kelompok teman sebaya dan lingkungan sekitar mempengaruhi motivasi. Akan tetapi, masih banyak anak dari lingkungan
keluarga miskin yang brprestasi di sekolah dan menigkatkan kondisi kehidupan
mereka yang membedakan hal tersebut adalah modal sosial yang merupakan potensi
keluarga dan lingkungan yang dapat diserap oleh anak.
·
Keterlibatan orang tua dan pola
pengasuhan
Orang tua dapat mempengaruhi
prestasi anak dengan cara melibatkan diri dalam pendidikan anak, bertindak
sebagai penasihat bagi anak mereka serta member kesan [ada guru tantang
keseriusan target pendidikan pada anak (Papalia, 2011; Bandura, 1996). Siswa
dengan orang tua yang terlibat aktif dalam kehidupan sekolah dan memonitor
perkembangan mereka biasanya menjadi
siswa yang terbaik di sekolah menegah atas (Papalia, 2011; Natonal Central for Education Statistic (NCES], 1985). Pola asuh
dapat membuat perbedaan yang secara konsisten telah terbukti oleh berbagai
riset tentang manfaat pola asuh orang tua otoritatif yang mendorong anak
melihat dua sisi dari sebuah isu, mengakui bahwa kadang anak lebih tau daripada
orang tua, dan menerima partisipasi mereka dalam keluarga. Sebaliknya, pola
asuh orang tua otoriter yang membertahukan pada remaja untuk tidak berdebat dan
menanyakan dan mengatakan kepada mereka untuk tahu ketika mereka sudah dewasa
(Papalia, 2011). Namun dibeberapa etnis pola asuh tidak menjadi faktor yang
penting mempengaruhi motivasi anak.
·
Faktor sekolah
Kualitas sekolah sangat
mempengaruhi prestasi sekolah siswa. Sekolah menegah atas yang bagus memiliki
atmosfer yang teratur dan tidak oppressive; kepala sekolah yang aktif dan
energik dan guru yang berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Kepala
sekolah dan guru memiliki harapan yang tinggi kepada siswa, lebih menekankan
kegiatan akademis dibandingan kegiatan ekstrakulikuler, dan memonitor dengan
seksama performa siswa (Papalia, 2011; Linney & Seidman, 1989). Sekolah
yang menyesuaikan pengajaran dan kemampuan siswa mendapatkan hasil yang lebih
baik daripada menggunakan metode yang sama pada semua siswa. Riset terhadap
teori kecerdasan triarkis Sternberg menemukan bahwa siswa dengan kemampuan
praktikal dan kecerdasan kreatif yang tinggi akan menunjukkan hasil yang lebih
baik apabila diajari dengan cara yang memungkinkan mereka mendapat keuntungan
dari kekuatan tersebut dan mengkompensasi kelemahan mereka (Papalia, 2011; Sternberg,
1997).
Drop-Out Dari Sekolah Menengah Atas
Pendidikan merupakan gerbang bagi seseorang dalam
peningkatan ekonomi dan sosial. Akan tetapi, bagi siswa tidak memikirkan hal
ini. Masyarakat akan kasihan melihat apabila ank muda tidak menyelesaikan
pendidikannya. Mereka yang drop-out berkesempatan besar menggunakan obat-obat
terlarang atau memiliki penghasialan yang rendah kemudian berakhir pada masalah
kesejahteraan dan terlibat pada kenakalan bahkan kriminalitas.
Tingkat drop-out
dan kelulusan sekolah menegah memiliki berbagai faktor. Siswa dari kalangan
berpenghasilan rendah cenderung lebih tinggi untuk berhenti sekolah
dibandingkan siswa yang berasal dari keluarga berpenghasilan menengah atau tinggi
(Papalia, 2011; NCES, 1999). Namun ada juga siswa dari yang tergolong
mampu erhenti sekolah di akibatkan
diasuh oleh orang tua tunggal atau orang tua yang telah menikah kembali
dibandingkan siswa yang tinggal dengan kedua orang tuanya (Papalia, 2011; Finn
& Rock, 1997; Zimiles & Lee, 1991). Kurangnya pengalaman prasekolah
dapat menjadi penentu kesuksesan atau kegagalan sekolah menegah atas.
Kegagalan pada sekolah menengah atas juga bisa
disebabkan oleh kegiatan ekstrakulikuler berupa pekerjaan paruh waktu (25-40
jam seminggu) merupakan salah satu faktor resiko. Sepertiga dari tinggkat
sebelas dan setengah dari tingkat dua belas yang berhenti sekolah telah memulai
bekerja penuh waktu pada tingkat sebelas (Papalia, 2011; Shanahan &
Flaherty, 2001)
Penggunaan
waktu adalah suatu cara mencari faktor kunci partisipasi aktif atau
keterlibatan dalam bersekolah. Pada level dasar, partisipasi aktif berarti
dating ke kelas tepat waktu, siap, mendengar, merespon guru, dan mematuhi
peraturan sekolah. Level kedua partisipasi tersebut mengandung keterlibatan
dalam pelajaran, mengajukan pertanyaan, mengambil inisiatif mencari pertolongan
ketika dibutuhkan, atau melakukan proyek ekstra. Kedua level partisipasi aktif
tersebut cenderung berakibat pada performa sekolah positif oleh siswa yang
beresik (Papalia, 2011; Finn& Rock, 1997).
Persiapan
Pendidikan Dan Pekerjaan
(Papalia, 2011) Bagaimana mereka meneruskan untuk melanjutkan atau
tidak melanjutkan ke kuliah, dan jika tidak, bagaiamana mereka memasuki dunia
kerja? banyak factor yang terlibat termasuk kemampuan individu dan kepribadian,
pendidikan, sosialekonomi, dan latar belakang etnis, masukan konselor sekolah, pengalaman
hidup,dan nilai sosial.
·
Berbagai pengaruh terhadap Aspirasi Siswa.
Keyakinan akan kecakapan diri seorang siswa-kepercayaan diri mereka
terhadap prospek pendidikan dan pekerjaan-menajamkan opsi pekerjaan yang di
pertimbangkan mereka dan cara mereka mempersiapkan diri untuk karier. berbagai
keyakinan dan aspirasi ini sering kali dipengaruhi oleh keyakinan akan
kecakapan diri dan aspirasi orang tua (papalia,2011;Bandura, Barbaranelli,
Caprara,& Pastorelli,2001;Bandura et al.,1996). Penghargaan orang tua
terhadap prestasi akademis akan memengaruhi nilai remaja dan rencana pekerjaan
mereka (Papalia, 2011; Jodi,Micheal, Malanchuk, Eccles,& Sameroff,2001).
Gender juga mungkin berpengaruh. Sebuah laporan tahun 1992 oleh
American Association of University Woman (AAUW), yayasan pendidikan yang
mengklaim bahwa sekolah”menipu” anak perempuan dengan menjauhkan mereka dari
matematika dan sains serta mengarahkan mereka pada pelajaran berbasis gender.
Enam tahun kemudian,studi lanjutan (Papalia,2011;AAUW Education
Fondation,1998a;weinma,1998b). Papalia, 2011 melaporkan jumlah anak perempuan
yang mengambil pelajaran matematika dan sains lebih banyak dibandingakan
sebelumnya dan prestasi lebih baik dalam subjek tersebut. Merujuk kepada
National Center for Education Statistics (1997), siswa senior sekolah menewngah
atas baik yang pria maupun yang wanita cenderung merencanakan karier di bidang
matematika atau sains, walaupun anak lelaki lebih cenderung menjadi insinyur.
Sistem pendidikan itu sendiri dapat bertindak sebagai penghambat
aspirasi pekerjaan. Sempitnya cakupan kemampuan yang dihargai dibanyak sekolah
memberi keuntungan tertentu kepada beberapa orang siswa. Siswa yang dapat
menghapal dan menganalisis cenderung baik dalam tes kecerdasan dan ruang kelas
di mana guru punya kemampuan tersebut. Sebagaimana yang diprediksikan oleh tes,
para siswa ini merupakan achiever dalam
system yang menekankan kemampuan yang merupakan keunggulan mereka.
Sedangkan, siswa yang lebih kuat dalam penalaran kreatif dan
praktis-aspek penting bagi kesuksesan berbagai
bidang, tidak pernah mendapatkan kesempatan menunjukkan apa-apa yang dapat
mereka lakukan. Mereka akan berada di luar jalur karier atau di paksa masuk ke
jalur karier yang kurang menantang karena nilai tes dan tingkat yang terlalu
rendah untuk memasukkan mereka ke jalur kesuksesan yang sebenarnya (Papalia,
2011; Sternberg, 1997).
·
Bimbingan Siswa yang tidak kuliahan
Sekitar 37 persen lulusan sekolah menengah atas di AS. Tidak
langsung melanjutkan kuliah (NCES, 2001). Padahal sebagian besar konseling
kejuruan di sekolah menengah atas di orientasikan ke kuliah.
Menurut NRC, 1993a dalam Papalia, 2011.Di AS.,Program pelatihan
kejuruan yang ada masih kurang komprehensif dan kurang berkaitan dengan
kebutuhan bisnisdan industry. Sebagian besar anak muda mendapatkan pelatihan
saat bekerja atau dalam kursus komunitas kuliah. Banyak di antara mereka,
terlepas dari kebutuhan pasar, tidak mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan.
Yang lain mengambil pekerjaan diluar kemampuan mereka. Sebagian yang lain
bahkan tidak menemukan pekerjaan apa pun.
Dalam beberapa komunitas, program percontohan membentuk transisi
sekolah ke dunia kerja. Yang tersukes di antara program tersebut adalah yang
menawarkan intruksi keterampilan dasar, konseling, dukungan teman sebaya, mentoring, pemagangan dan penempatan
kerja (Papalia,2011) .
·
Haruskah Siswa Sekolah Menengah Atas Bekerja
Paruh Waktu
Pekerjaan yang bergaji mengajari anak muda untuk menangani uang,
mengembangkan kebiasaan kerja yang baik, mengelola waktu, dan memikul tanggung jawab. Pekerjaan tersebut
juga dapat mengajari anak keterampilan di tempat kerja seperti bahaimana
menemukan pekerjaan. pekerjaan tersebut dapat membangun rasa percaya diri,
Independensi dan status dimata teman sebaya. Dengan membantu mereka belajar
lebih banyak tentang bidang pekerjaan tertentu, maka hal tersebut dapat memandu
mereka dalam pemilihan karier (Papalia, 2011; Elder & Caspi, 1990;
Mortimer, 2003; Mortimer & Shanahan, 1991; National Commission on Youth, 1980; Philips & Sandstrom, 1990;
Steel, 1991).
Papalia (2011) di sisi lain, sebagian besar siswa SMA yang bekerja
paruh waktu memiliki pekerjaan level rendah di mana mereka tidak belajar
keterampilan yang berguna di kemudian hari. Remaja yang bekerja tidak lebih
independen dalam membuat keputusan finansial dan tidak mendapatkan uang lebih
banyak sebagai orang dewasa di bandingkan mereka yang tidak bekerja pada saat
SMA. Dengan asumsi mereka menanggung tanggung jawab orang dewasa yang belum
siap mereka pikul,anak muda dapat kehilangan peluang memperluas minat mereka
dan membangun hubungan yangb akrab.
Pekerjaan bergaji memiliki sisi yang lain. Anak muda yang bekerja
dalam jam yang panjang cenderung jarang makan sarapan, berolahraga,tidur yang
cukup, dan tidak memiliki waktu senggang yang cukup (Papalia, 2011; Bachman
& Schulenberg, 1993). Mereka menghabiskan lebih sedikit waktu bersama
keluarga dan banyak di antara mereka yang merasa kurang dekat dengan keluarga.
Dalam studi penggunaan waktu di St. Paul, sebagian besar siswa yang bekerja
juga amat berpartisipasi di sekolah dan aktivitas lainnya (Papalia, 2011;
Shanahan & Flaherty, 2011). Jumlah jam yang digunakan siswa untuk bekerja
tidak mengurangi kepercayaan diri, kesehatan mental dan motivasi untuk
menguasai pelajaran. Bekerja tidak berefek pada waktu pengerjaan rumah atau
kenaikan kelas sampai tahun akhir, di mana siswa yang bekerja lebih dari 20 jam
cenderung mengerjakan lebih sedikit pekerjaan rumah di banding siswa yang lain.
Bekerja lebih dari 20 jam seminggu diasosiasikan
dengan peningkatan komsumsi alcohol (Papalia, 2011; Mortimer, Finch,Ryu, Shanahan
& Call, 1996). Studi lain terhadap lebih dari 12.000 anak tingkat 7 sampai
12 seluruh Negara bagian menemukan remaja yang bekerja lebih dari 20 jam
seminggu berkecenderungan lebih besar menderita stress,merokok,minum minuman
keras, atau menggunakan mariyuana,dan memulai aktivitas seks lebih dini
(Papalia, 2011; Resnick et al., 1997).
Perencanaan kejuruan merupakan salah satu aspek pencarian identitas
oleh remaja. Orang-orang yang akan merasakan diri mereka melakukan sesuatu yang
berharga, dan melakukan dengan benar,
merasa nyaman akan diri mereka sendiri. Mereka yang merasa pekerjaan mereka
tidak berharga atau tidak baik sama sekali mungkin akan mempertanyakan makna
hidup mereka (Papalia, 2011).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan adalah
sebuah upaya untuk mendewasakan manusia untuk dapat berfikir dengan baik
kedepannya seperti dalam bentuk proses pengajaran, pembinaan, pembentukan
karakter. Hubungan teori – teori psikologi terhadap pendidikan menekankan pada
diri seseorang tersebut misalnya Teori behaviouristik menekankan pada “hasil”
daripada proses belajar. Teori kognitif menekankan pada “proses” belajar. Teori
humanistik menekankan pada “isi” atau apa yang dipelajari. Dan teori
psikoanalisis menekankan pada bentuk pengajaran dan tingkah laku individu itu
sendiri.
B.
Saran
Dalam pembuatan
makalah ini penulis menyadari bahwa makalh ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang
makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggung jawabkan.
DAFTAR
PUSTAKA
KBBI Daring.
(2016). https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kognitif.
diakses pada tanggal 11 September 2018 Pukul
17.34 WITA.
Papalia,
Diane E., et al. (2011). Human
Development (Psikologi Perkembangan). A.K. Anwar. Jakarta: Kencana Prenada
Group.
Sandika
kusuma, H. (2011). “Tempat Pelaksanaan
Etika Profesi dan Kecerdasan
Emosional Terhadap Pengambilan Keputusan Bagi Auditor”. Fakultas
Ekonomi, Universitas Diponegoro: Semarang.
Emosional Terhadap Pengambilan Keputusan Bagi Auditor”. Fakultas
Ekonomi, Universitas Diponegoro: Semarang.
Santrock, John W. (2007). Remaja. Benedictine Widyasinta. Jakarta:
Erlangga.
Indrayanti,T.
(2015). Potret penggunaan bahasa remaja dalam perspektif
kalangan mahasiswa. Seminar nasional prasasti ll ”kajian pragmatig di berbagai bidang”: hal 126-131.
kalangan mahasiswa. Seminar nasional prasasti ll ”kajian pragmatig di berbagai bidang”: hal 126-131.
Komentar
Posting Komentar