MAKALAH REMAJA KELOMPOK 2


BAB 1
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Remaja dikenal sebagai masa transisi dimana individu meninggalkan masa kanak-kanan menuju kedewasaan yang ditandai dengan pertumbuhan fisik yang pesat. Pertumbuhan fisik pada remaja membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja. Masa remaja juga penuh dengan berbagai perasaan yang tidak menentu, dimana bercambuk harapan dan tantangan, kesenangan dan kesengsaraan, yang semuanya harus dilalui agar mampu berfikir secara lebih dewasa dan rasional, serta mampu dalam menyelesaikan masalah. Remaja mampu mengambil keputusan sendiri dan memikirkan efeknya dimasa yang akan datang.
Remaja sudah mulai berspekulasi tentang sesuatu dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diiinginkan dimasa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis.
Dengan makalah ini pembaca dapat mengembangkan kreativitasnya dalam melihat kemungkinan-kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah yang terjadi, serta meningkatkan kreativitasnya dalam meningkatkan kualitas hidup khususnya bagi remaja. Oleh sebab itu, makalah ini dibuat untuk membahas tentang perkembangan kognitif bagi remaja.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa saja karakteristik dalam pemikiran remaja ?
2.      Bagaimana perkembangan kognitif menurut Kohlberg ?
3.      Bagaimana teori perkembangan bahasa ?
4.      Bagaimana isu pendidikan dan pekerjaan pada remaja ?
C.       Tujuan
1.      Untuk mengetahui karakteristik dalam pemikiran remaja.
2.      Untuk mengetahui perkembangan kognitif menurut Kohlberg.
3.      Untuk mengetahui teori perkembangan bahasa.
4.      Untuk mengetahui isu pendidikan dan pekerjaan pada remaja




























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Karakteristik Pemikiran Remaja
Kita telah melihat bagaimana anak berkembang dari makhluk egosentris dengan rentang ketertarikan tidak lebih dari putting susu ibunya kepada sosok person yang mampu memecahkan masalah abstrak dan membayangkan masyarakat yang ideal. Walaupun demikian, dalam beberapa hal pemikiran beberapa remaja masih terlihat kurang matang. Mereka mungkin kasar kepada orang dewasa, memiliki kesulitan untuk menyusun pikiran mereka tentang apa yang hendak dipakainya tiap hari, dan mereka sering kali bertindak seolah dunia mengelilingi mereka.
Merujuk kepada psikolog (Papalia, 2011, David Elkind 1984, 1998), perilaku seperti itu bersumber dari usaha remaja yang belum berpengalaman untuk masuk ke dalam pemikiran formal. Cara berfikir baru ini,  yang secara fundamental mengubah cara mereka melihat diri sendiri dan dunia mereka, tidak akrab dengan diri mereka sendiri  seperti tubuh mereka yang berubah bentuk, mereka terkadang merasa janggal dalam menggunakannya. Ketika mencoba kekuatan baru mereka, mereka terkadang tersandung seperti seorang bayi yang belajar berjalan.
Menurut Elkind, pemikiran belum matang ini memanifestasikan dirinya sendiri ke dalam, paling tidak, enam karakteristik :
1.    Idealism dan kekritisan, ketika para remaja memimpikan dunia yang ideal, mereka menyadari betapa jauhnya mereka dengan dunia nyata, dimana mereka memegang tanggung jawab dewasa, … mereka menjadi sangat sadar akan kemunafikan (hypocrisy), dan dengan penalaran verbal mereka yang semakin tajam, mereka menyukai majalah dan entertainer yang menyerang figur publik dengan kata-kata satire dan parody. Mereka yakin bahwa mereka lebih mengetahui bagaimana menjalankan dunia ketimbang orang dewasa dan mereka sering kali mengkritik orang tua mereka.
2.    Argumentativitas, para remaja senantiasa mencari kesempatan untuk mencoba atau menunjukkan kemampuan penalaran formal baru mereka. Mereka menjadi argumentative ketika mereka menyusun fakta dan logika untuk mencari alasan, misalnya, begadang.
3.    Ragu-ragu . para remaja dapat menyimpan berbagai alternative dalam pikiran mereka pada waktu yang sama, tetapi karena kurangnya pengalaman, mereka kekurangan strategi efektif untuk memilih. Karena itu, mereka mungkin memilih masalah dalam menyatukan akan dipakai.
4.    Menunjukkan hypocrisy. Remaja sering kali tidak menyadari perbedaan antara mengekspresikan sesuatu yang ideal dan membuat pengorbanan yang dibutuhkan untuk mewujudkannya. Dalam sebuah contoh yang diberikan (Papalia, 2011, elkind 1998), para remaja yang peduli dengan kesejahteraan hewan berdemonstrasi di depan took pakaian bulu, tetapi mereka menunggu musim panas untuk melakukannya-agar terhindar dari berdiri diluar dengan mantel dan udara yang membeku. Bagi pengamat orang dewasa, tindakan ini seperti bersifat hipokrit; akan tetapi para anak muda yang bersungguh-sungguh ini sebenarnya tidak dapat membedakan hubungan antara perilaku mereka dan kondisi ideal yang mereka suarakan.
5.    Kesadaran diri. Para remaja sekarang dapat berfikir tentang pemikiran mereka sendiri dan orang lain. Akan tetapi, dalam keasyikan mereka akan kondisi mental mereka, para remaja sering kali berasumsi bahwa yang dipikirkan orang lain sama dengan yang mereka pikirkan, yaitu: diri mereka sendiri. Seorang gadis remaja bisa dipermalukan apabila “mengenakan pakaian yang salah” untuk menghadiri pesta, dank arena ia berfikir demikian maka orang lain tampak mencurigakan baginya. Elkind merujuk kondisi kesadaran ini sebagai imaginary audience, “pengamat” yang terkonseptualisasikan yang berkaitan dengan pemikiran dan perilaku mereka. Menurut Elkind, imaginary audience amat kuat di masa remaja dini tetapi kemudian menurun dalam kehidupan orang dewasa. Kondisi tersebut dapat muncul ketika, misalnya, seseorang menjatuhkan garpu dilantai keramik restoran yang penuh dengan orang dan berimajinasi semua orang yang melihat kearahnya.
6.    Kekhususan dan ketangguhan. Elikind menggunakan istilah personal fable untuk menunjukkan keyakinan para remaja bahwa ia spesial, bahwa pengalaman mereka unik, dan mereka tidak tunduk pada peraturan yang mengatur dunia (“Orang lain ketagihan ketika mereka menggunakan obat terlarang, tetapi saya tidak” atau “Tidak ada seorang pun yang mengalami jatuh cinta sedalam ini kecuali saya”). Menurut elkind, bentuk egosentrisme khusus ini mendasari perilaku self-desrtuctive dan berisiko. Seperti imaginary audience, personal fable terus berlanjut hingga masa dewasa. Tanpa keyakinan seperti itu, orang-orang akan menjadi pertapa, membentengi diri mereka sendiri secara konstan dari bahaya sesungguhnya dalam kehidupan kontemporer.
Konsep imaginary audience dan personal fable sudah diterima secara luas, akan tetapi validitas keduanya sebagai ciri pembeda masa remaja hanya memiliki sedikit dukungan riset independen. Dalam sebuah studi tentang personal fable, dibandingkan dengan mhasiswa dan orang dewasa, remaja lebih cenderung melihat diri mereka rapuh terhadap risiko-risiko tertentu, seperti alkohol dan masalah obat-obatan lain, bukan kurang cenderung kepada berbagai hal tersebut sebagaimana yang diprediksikan oleh teori personal fable (Papalia, 2011, Qurdel, Fischoff, & Davis, 1993). Alih-alih sebagai karakteristik universal perkembangan kognitif remaja, personal fable dan imaginary audience mungkin terkait dengan pengalaman sosial tertentu. Dan, karena kedua konsep ini berasal dari klinik observasi milik Elkind, keduanya mungkin lebih merupakan karakteristik dari anak muda yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri (Papalia, 2011, Vartanian & Powlishta, 1996).



B.     Perkembangan Kognitif Kohlberg
Kognitif diartikan sebagai potensi intelektual yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (application), analisa (analysis), sintesa (synthesis), evaluasi (evaluation). Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembsngkan kemampuan rasional (akal), teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain. Oleh sebab itu, kognitif beda dengan teori behavioristik, yang lebih menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dnegan cara kemampuan merespons terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.
Menurut teori Piaget (Santrock, 2011), remaja termotivasi untuk memahai dunianya karena hal ini merupakan suatu bentuk adaptasi biologis. Remaja secara aktif mengkontruksikan dunia kognitifnyasendiri, dengan demikian informasi-informasi dari lingkungan tidak hanya sekedar ditungakan dalam pikiran mereka. Remaja mengorganisasikan pengalaman-pengalamannya, memisahkan gagasan-gagasan penting dari gaggasan-gagasan yang kurang penting., dan menggabungkan gagasan-gagasan itu satu sama lain. Remaja juga mengadaptasikan pemikiran mereka yang melibatkan gagasan-gagasan baru karena informasi tambahan ini dapat meningkatkan pemahaman mereka.
Berikut beberapa cara remaja mengonstruksikan dunianya :
a.         Skema (schema) merupakan sebuah konsep atau kerangka kerja mental yang diperlukan untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi. Piaget berminat pada bagaimana anak-anak dan remaja menggunakan skema skema untuk mengorganisasikan pengalamannya sekarang.
b.        Asimilasi (assimilation) yaitu memasukkan informasi-informasi baru ke dalam pengaturan yang sudah ada. Dalam asimilasi asimilasi yang sudah ada tidak mengalami perubahan.
c.         Akomodasi (accommodation) yaitu menyesuaikan sebuah skema yang sudah ada terhadap masuknya informasi baru. Dalam akomodasi terjadi perubahan yang sudah ada.
d.        Ekuilibrium (equilibrium) yaitu mengubah pemikiran dari satu kondisike kondisi lain. Perubahan ini berlangsung ketika mereka mengalami konflik kognitif atau mengalami ketidakseimbangan (disequilibrium) ketika remaja itu berusaha untuk memahami dunianya. Menurut Piaget secara bergantian individu berada dalam kondisi kognitif equilibrium dan disequilibrium.
Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget :
a.     Tahap Sensorimotor (0-2 tahun)
b.    Tahap praoperasional (2-7 tahun)
c.     Tahap operasional konkret (7-11 tahun)
d.    Tahap operasional formal (11 – 15 tahun)
Tahap ini ditandai dengan pemikiran yang abstrak, idealistic, dan logis. Karakteristik yang paling menonjol dari pemikiran operasi formal adalah sifatnya yang lebih abstrak dibandingkan pemikiran operasi konkret. Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman yang aktual atau konkret sebagai titik tolak pemikirannya. Kualitas abstark dari pemikiran di tahap operasional formal pada remaja terbukti di dalam kemampuan mereka untuk memecahkan masalah verbal. Indicator lain memperlihatkan kualitas abstrak dari pemikiran remaja adalah meningkatnya tendensi untuk berpikir mengenai berpikir itu sendiri.
Pemikiran yang menyertai sifat dasar abstrak dari pemikiran formal operasional adalah pemikiran yang banyak mengandung idealisme dan kemungkinan. Sementara anak-anak sering kali berpikir secara konkret mengenai hal-hal yang bersifat riil dan terbatas, remaja mulai terlibat di dalam berbagai spekulasi mengenai karakteristik-karakteristik ideal-kualitas yang mereka inginkan terdapat pada dirinya maupun pada orang lain. Cara berpikir seperti itu sering kali menggiring remaja untuk membandingkan dirinya dengan orang lain menurut standar ideal itu. Pun, pemikiran mereka sering kali bersifat fantasi mengenai kemungkinan-kemungkinan dimasa depan.
Disamping berpikir abstrak dan idealistic, remaja juga berpikir logis. Remaja mulai berpikir seperti cara seorang ilmuan berpikir, membuat rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji solusi. Piaget menamai pemecahan masalah itu sebagai penalaran hipotesis deduktif  (hypothetical-deductive reasoning), yang berarti kemampuan untuk mengembangkan sebuah hipotesis atau dugaan, mengenai bagaimana memecahkan masalah seperti menyelesaikan perhitungan aljabar.
Menurut Piaget, pemikiran operasi formal adalah deskriptif terbaik untuk menggambarkan bagaimana remaja itu berpikir. Meskipun demikian, pemikiran operasi formal bukanlah sebuah tahap yang bersifat homogeny. Tidak semua remaja dapat menjadi pemikir operasi formal sepenuhnya.
Didalam tulisannya (Santrock, 2007, Piaget, 1952), menyatakan bahwa kemunculannnya dan konsolidasi dari pemikiran operasional formal dianggap telah lengkap dimana remaja awal sekitar usia 11 sampai 15 tahun. Kemudian, (Santrock 2007, Piaget, 1972) merevisi pandangannya ini dan berkesimpulan bahwa pemikiran operasi formal baru sepenuhnya dicapai di masa remaja akhir, sekitar usia 15 sampai 20 tahun. Disamping itu, teorinya tidak memadai dan menjelaskan perbedaan individual dimasa perkembangan remaja, sebgaaimana yang telah tercatat dalam sejumlah peneliti (Santrock 2007, Kuhn & Franklin, 2006;Neinmark,1982;Overton & Byrnes, 1991). Beberapa remaja cilik adalah pemikir operasional formal sementara yang lain bukan. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa pemikiran operasional formal meningkat seiring dengan meningkatnya usia usia remaja sementara yang lain tidak. Pada kenyataannya banyak orang dewasa dan mahasiswa yang tidak berpikir dengan cara operasional formal (Santrock 2007, Elkind, 1961; Tomlinson-Keno 1972). Remaja cenderung menggunakan pemikiran operasional formal pada bidang-bidang dimana mereka memiliki pengalaman yang paling banyak. Atau anak dan para remaja secara bertahap membangun pengetahuan yang semua teelaborasi melalui pengalaman  dan praktik yang luas diberbagai kegiatan.
Pada awalnya konsep perkembangan moral (moral development) dikemukakan oleh (Sandika 2011, Piaget, 1932). Dalam perkembangannya menurut Kohlberg et al., 1984, perkembangan moral berkembang menjadi teori perkembangan moral kognitif (cognitive moral development–CMD) modern yang dilahirkan oleh seorang peneliti yang bernama Lawrence Kohlberg, pada tahun 1950an. Penemuan tersebut merupakan hasil dari perluasan gagasan Piaget sehingga mencakup penalaran remaja dan orang dewasa. Dengan kata lain, Kohlberg memilih untuk mendalami struktur proses berpikir yang terlibat dalam penalaran moral. Kohlberg meneliti cara berpikir anak-anak melalui pengalaman mereka yang meliputi pemahaman konsep moral, misalnya konsep justice, rights, equality, dan human welfare. Riset awal Kohlberg dilakukan pada tahun 1963 pada anak usia 10-16 tahun. Berdasarkan riset tersebut Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral kognitif. Riset Kohlberg memfokuskan pada pengembangan moral kognitif anak muda (young males) yang menguji proses kualitatif pengukuran respon verbal dengan menggunakan Kohlberg’s Moral Judgement Interview (MJI).
Dalam melakukan studinya, Kohlberg merancang serangkaian cerita imajinatif yang masing-masing memuat dilema-dilema moral untuk mengukur penalaran moral. Konflik moral yang terkandung dalam cerita-cerita tersebut ada yang berupa pilihan antara dua alternatif yang tidak dapat diterima secara kultural dan ada pula yang berupa pilihan antara dua alternatif yang dapat diterima secara kultural. Cerita-cerita ini menempatkan seseorang pada situasi konflik yang memberikan sejumlah alternatif pilihan yang dapat diterima. Respons apa yang dipilih oleh seseorang tidak begitu penting, tetapi yang terpenting adalah penalaran yang digunakan individu dalam menyelesaikan konflik. Oleh sebab itu, kepada para responden, ditanyakan tentang apa yang sebaiknya dilakukan, di samping mereka ditanya mengapa memilih melakukan hal itu.

Analisis dari proses penalaran disimpulkan dari jawaban terhadap serangkaian cerita tersebut. Akhirnya, Kohlberg dapat menilai penalaran moral responden. Dari analisis ini, ia menemukan bahwa ada enam level perkembangan penalaran moral manusia. Keenam level perkembangan moral ini menggambarkan suatu urutan yang bersifat universal. Lebih lanjut, keenam level perkembangan penalaran moral tersebut dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan sehingga masing-masing level terdiri atas dua tahapan sebagai berikut.
            Tabel. 1.1 Tahapan Cognitive Moral Development (Sandika, 2011)


                      LEVEL

           HAL YANG BENAR

Level 1: Pre-Conventional (4-10 tahun)
Tingkat 1: Orientasi ketaatan dan hukuman
(Punishment and Obedience Orientation)
Tingkat 2: Pandangan Individualistik
(Intrumental Relativist Orientation)

Menghindari pelanggaran aturan untuk
menghindari hukuman atau kerugian.
Kekuatan otoritas superior menentukan
“right”
Mengikuti aturan ketika aturan tersebut sesuai dengan kepentingan pribadi dan membiarkan pihak lain melakukan hal yang sama. “right” didefinisikan dengan equal exchange, suatu kesepakatan yang fair.
Level 2: Conventional (10-13 tahun atau lebih)
Tingkat3:Mutualekspektasi interpersonal, hubungan dan kesesuaian.
(“good boy or nice girl” orientation)
Tingkat 4: Sistem sosial dan hati nurani
(Law and order orientation)



Memperlihatkan stereotype perilaku yang baik. Berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan pihak lain.
Mengikuti aturan hukum dan masyarakat (sosial, legal, dan sistem keagamaan) dalam usaha untuk memelihara kesejahteraan
Level 3 Post-Conventional (awal masa remaja, atau baru muncul pada awal masa dewasa, atau tidak pernah muncul sama sekali)
Tingkat 5: Kontak sosial dan hak
individual
(Social-contract legal orientation)

Tingkat 6: Prinsip etika universal
(Universa ethical principle
orientation)




Mempertimbangkan relativism padangan personal, tetapi masih menekankan aturan dan hukum.

Bertindak sesuai dengan pemilihan pribadi prinsip etika keadilan dan hak (perspektif rasionalitas individu yang mengakui sifat moral)

Berdasarkan proses pemikiran yang ditunjukkan dengan respons terhadap dilemanya, (Papalia, 2011, Kholberg, 1969) mendeskripsikan tiga level penalaran moral, dan setiap level terbagi ke dalam dua tahap.

a.    Level 1 : moralitas prakovensional. Orang-orang bertindak di bawah kontrol eksternal. Mereka mematuhi perintah untuk menghindari hukuman atau mendapatkan hadiah, atau bertindak diluar kepentingan diri.
b.    Level 2 : moralitas konvensional. orang-orang telah menginternalisasikan standar figur otoritas. Mereka peduli tentang menjadi baik, memuasan orang lain, dan mempertahankan tatanan sosial.
c.    Level 3 : moralitas postkonvensional. Orang-orang pada tahap ini menyadari konflik antara standar moral dan mebuat keputusan sendiri berdasarkan prinsip hak, kesetaraan, dan keadilan. Seseorang biasanya baru mencapaitahap moralseperti itu, jika memang terjadi, ketika mencapai usia masa remaja awal, atau lebih umum lagi pada masa dewasa awal.
Individu menjadi lebih rumit dan komplek jika individu tersebut mendapatkan tambahan struktur moral kognitif pada setiap peningkatan level pertumbuhan perkembangan moral. Pertumbuhan eksternal berasal dari rewards dan punishment yang diberikan, sedangkan pertumbuhan internal mengarah pada prinsip dan keadilan universal (Sandika, 2011, Kohlberg, 1981).
Menurut Kohlberg (Kneller, 1984: 110-111), tiap-tiap pertimbangan moral adalah produk dari sebuah perbedaan struktur kognitif, yaitu suatu pengorganisasian sistem asumsi-asumsi dan aturan-aturan tentang situasi konflik moral yang memberikan situasi makna terhadap asumsi dan aturan tersebut. Struktur kognitif tidak terjadi karena pembawaan tetapi merupakan hasil interaksi organisme manusia dengan “Lingkaran sosial”-nya. Fungsi pertimbangan moral adalah untuk memecahkan konflik klaim-klaim pribadi dengan lainnya.

C.    Perkembangan Bahasa
Definisi Bahasa
Menurut Gorys Keraf dalam Inrayanti (2015), bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Karakteristik Bahasa
Abdul Chaer dalam Indrayanti (2015) menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem berupa bunyi, bersifat abitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Dari pengertian tersebut, di antara karakteristik bahasa adalah beragam, dan manusiawi.
a.    Bahasa itu beragam
Meskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon.
b.    Bahasa itu manusiawi
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia. Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingtif atau naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi.
Perkembangan bahasa
Masa remaja memunculkan penghalusan bahasa lebih lanjut, kosa kata terus tumbuh seiring dengan bahasa bacaan yang semakin dewasa. Pada usia 16 sampai 18 tahun, seorang anak muda rata-rata mengetahui 80.000 kata (Papalia, 2011; Owens, 1996).
Dengan kemunculan pemikiran formal, para remaja dapat menentukan dan membahas abstrak seperti cinta,keadilan,dan kebebasan. Mereka lebih sering menggunakan istilah seperti however (walaupun),otherwise(sebaliknya),anyway(bagaimanapun juga), therefore(oleh karena itu),really,dan probably(mungkin) untuk menunjukkan realsi logis antara klausa dan kalimat. Mereka makin sadar akan kata sebagai sebuah symbol dengan berbagai macam makna; mereka menikmati menggunakan ironi,permainan kata,dan metafora (Papalia,2011;Owens,1996).
Para remaja juga menjadi lebih terampil dalam penyerapan perspektif sosial(social perspective-taking), kemampuan memahami sudut pandang orang lain dan level pengetahuan serta kemampuan berbicara menjadi sepadan dengan kedua hal tersebut. Kemampuan ini sangat esensial untuk membujuk atau hanya sekedar dapat mengikuti pembicaraan. Dengan kesadaran akan audien mereka, para remaja berbicara dengan cara yang berbeda kepada orang dewasa dan kepada teman sebaya (Papalia, 2011; Owens,1996).
Bahasa Remaja
Media sosial adalah salah satu media yang memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa. Bahkan, bahasa remaja menggeser penggunaan bahasa Indonesia. Para remaja lebih tertarik menggunakan bahasa tersebut karena dapat digunakan sesuka keinginan mereka.
Remaja merupakan penutur yang kompeten dalam bahasanya dan tidak tertutup dalam pilihan bahasanya. Ketika menyerap bahasa dengan mengembangkan kosakata dan jarak stilistiknya, mereka mengontrolnya secara penuh. Mereka sering memilih kata yang berbeda dari orang dewasa (Indrayanti; Harimansyah, 2015).
Table 1.2 Dalam Indrayanti 2015, Berikut ini beberapa kata dari bahasa remaja
BAHASA INDONESIA
BAHASA REMAJA
BAHASA INDONESIA
BAHASA REMAJA
panas
nyanyas
Sakit
Atiit
serius
cius
Keren
Keyen
Aku
aq
Banget
Bingo
Kamu
kamyu
sayang
Cayang
Terimakasih
maacih
belum
Blom
menyanyi
menyenyong
rumah
Humz
Pusing
pucing
iya
Yups
Ganggu
G3
ngantuk
Antuk
Ayah
Bokap
sudah
Dah
Gagal
Gatot
Marah
mayah
Tidak jelas
Gaje
malas
mayez
Palsu
Hoax
biarin
bialin
santai
Woles
dingin
ingin

D.    Sekolah dan Kerja
Sekolah merupakan pengorganisir pusat pengalaman dalam kehidupan sebagian besar remaja. Sekolah menawarkan peluang untuk belajar informasi, menguasai keterampilan baru, dan menajamkan keterampilan yang sudah ada; berpastisipasi dalam olahraga, seni dan aktivitas lain; mengeksplorasi pilihan pekerjaan; dan tempat berkumpul bersama teman.  Walaupun demikian, sebagian besar remaja merasakan sekolah bukan sebagai peluang melaikan sebagai rintangan di jalan menuju masa depannya.
Pengaruh Terhadap Prestasi Sekolah
Seperti pada tingkat dasar, berbagai faktor seperti status ekonomi, kualitas lingkungan rumah, dan keterlibatan orang terus mempangaruhi prestasi sekolah. Dalam sebuah studi longitudinal atas 174 anak kurang mampu, berbagai faktor ini, sebagaimana yang diukur paa tingkat dasar, dapat memprediksikan peningkatan atau kemerosotan tingkat akademis di usia 16 (Papalia, 2011; Jimerson, Egeland, & Teo, 1999). Faktor lainnya adalah pengaruh teman sebaya, kualitas sekolah, dan mungkin yang paling penting keyakinan si murid dan orang tua akan kemampuannya mencapai kesuksesan.
·         Keyakinan akan kecakapan diri dan motivasi akademis
Menurut Albert Bandura (Papalia, 2011; Bandura, 1996; Zimmerman, 1992) siswa dengan tingkat kecakapan diri tinggi yang yakin bahwa  mereka dapat menguasai materi akademis dan mengatur pemebelajaran mereka sendiri memiliki kecenderungan lebih besar mencoba berprestasi dan cenderung lebih sukses ketimbang dengan siswa yang tidakdengan kemempuanya. Pelajar yang mengatur pembelajarannya sendiri menentukan target yang menentang dan menggunakan strategi yang tepat untuk mencapainya, tidak hanya siswa kecakapan diri orang tua sendiri juga meningkatkan pertumbuhan akademis anak mereka.
·         Penggunaan waktu
Motivasi akademis dan keyakinan akan kecakapan diri mungkin akan mempengaruhi mempengaruhi diri mereka dalam menggunakan waktu. Sebagian dari mereka lebih sibuk melalukan aktivitas lain daripada mengharapkan mendapat peringkat yang lebih baik. Tetapi banyak siswa memiliki sedikit waktu dapat benar-benar berhasil dalam studi, sedangkan banyak siswa yang tampak memiliki banyak waktu justru tidak terlalu berprestasi.
·         Status sosioekonomis dan lingkungan keluarga
Status sosioekomomi menjadi bisa menjadi faktor kuat dalam prestasi akademis melalui pengaruhnya, seperti atmosfer keluarga, pemilihan lingkungan, dan pola asuh orang tua (Papalia, 2011; National Research Council, 1993). Anak-anak miskin, dengan orang tua yang tidak berpendidikan, memiliki kecenderungan merasakan atmosfer negatif keluarga dan sekolah serta peristiwa yang menekan (Papalia, 2011; Felner, 1995). Pada lingkungan keluarga secara umum menentukan kualitas pendidikan dan peluang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga dengan adanya peluang seperti itu serta sikap kelompok teman sebaya dan lingkungan sekitar mempengaruhi motivasi. Akan  tetapi, masih banyak anak dari lingkungan keluarga miskin yang brprestasi di sekolah dan menigkatkan kondisi kehidupan mereka yang membedakan hal tersebut adalah modal sosial yang merupakan potensi keluarga dan lingkungan yang dapat diserap oleh anak.
·         Keterlibatan orang tua dan pola pengasuhan
Orang tua dapat mempengaruhi prestasi anak dengan cara melibatkan diri dalam pendidikan anak, bertindak sebagai penasihat bagi anak mereka serta member kesan [ada guru tantang keseriusan target pendidikan pada anak (Papalia, 2011; Bandura, 1996). Siswa dengan orang tua yang terlibat aktif dalam kehidupan sekolah dan memonitor perkembangan mereka biasanya  menjadi siswa yang terbaik di sekolah menegah atas (Papalia, 2011; Natonal Central for Education Statistic (NCES], 1985). Pola asuh dapat membuat perbedaan yang secara konsisten telah terbukti oleh berbagai riset tentang manfaat pola asuh orang tua otoritatif yang mendorong anak melihat dua sisi dari sebuah isu, mengakui bahwa kadang anak lebih tau daripada orang tua, dan menerima partisipasi mereka dalam keluarga. Sebaliknya, pola asuh orang tua otoriter yang membertahukan pada remaja untuk tidak berdebat dan menanyakan dan mengatakan kepada mereka untuk tahu ketika mereka sudah dewasa (Papalia, 2011). Namun dibeberapa etnis pola asuh tidak menjadi faktor yang penting mempengaruhi motivasi anak.
·         Faktor sekolah
Kualitas sekolah sangat mempengaruhi prestasi sekolah siswa. Sekolah menegah atas yang bagus memiliki atmosfer yang teratur dan tidak oppressive; kepala sekolah yang aktif dan energik dan guru yang berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Kepala sekolah dan guru memiliki harapan yang tinggi kepada siswa, lebih menekankan kegiatan akademis dibandingan kegiatan ekstrakulikuler, dan memonitor dengan seksama performa siswa (Papalia, 2011; Linney & Seidman, 1989). Sekolah yang menyesuaikan pengajaran dan kemampuan siswa mendapatkan hasil yang lebih baik daripada menggunakan metode yang sama pada semua siswa. Riset terhadap teori kecerdasan triarkis Sternberg menemukan bahwa siswa dengan kemampuan praktikal dan kecerdasan kreatif yang tinggi akan menunjukkan hasil yang lebih baik apabila diajari dengan cara yang memungkinkan mereka mendapat keuntungan dari kekuatan tersebut dan mengkompensasi kelemahan mereka (Papalia, 2011; Sternberg, 1997).
Drop-Out Dari Sekolah Menengah Atas
Pendidikan merupakan gerbang bagi seseorang dalam peningkatan ekonomi dan sosial. Akan tetapi, bagi siswa tidak memikirkan hal ini. Masyarakat akan kasihan melihat apabila ank muda tidak menyelesaikan pendidikannya. Mereka yang drop-out berkesempatan besar menggunakan obat-obat terlarang atau memiliki penghasialan yang rendah kemudian berakhir pada masalah kesejahteraan dan terlibat pada kenakalan bahkan kriminalitas.
Tingkat drop-out dan kelulusan sekolah menegah memiliki berbagai faktor. Siswa dari kalangan berpenghasilan rendah cenderung lebih tinggi untuk berhenti sekolah dibandingkan siswa yang berasal dari keluarga berpenghasilan menengah atau tinggi (Papalia, 2011; NCES, 1999). Namun ada juga siswa dari yang tergolong mampu  erhenti sekolah di akibatkan diasuh oleh orang tua tunggal atau orang tua yang telah menikah kembali dibandingkan siswa yang tinggal dengan kedua orang tuanya (Papalia, 2011; Finn & Rock, 1997; Zimiles & Lee, 1991). Kurangnya pengalaman prasekolah dapat menjadi penentu kesuksesan atau kegagalan sekolah menegah atas.
Kegagalan pada sekolah menengah atas juga bisa disebabkan oleh kegiatan ekstrakulikuler berupa pekerjaan paruh waktu (25-40 jam seminggu) merupakan salah satu faktor resiko. Sepertiga dari tinggkat sebelas dan setengah dari tingkat dua belas yang berhenti sekolah telah memulai bekerja penuh waktu pada tingkat sebelas (Papalia, 2011; Shanahan & Flaherty, 2001)
Penggunaan waktu adalah suatu cara mencari faktor kunci partisipasi aktif atau keterlibatan dalam bersekolah. Pada level dasar, partisipasi aktif berarti dating ke kelas tepat waktu, siap, mendengar, merespon guru, dan mematuhi peraturan sekolah. Level kedua partisipasi tersebut mengandung keterlibatan dalam pelajaran, mengajukan pertanyaan, mengambil inisiatif mencari pertolongan ketika dibutuhkan, atau melakukan proyek ekstra. Kedua level partisipasi aktif tersebut cenderung berakibat pada performa sekolah positif oleh siswa yang beresik (Papalia, 2011; Finn& Rock, 1997).
Persiapan Pendidikan Dan Pekerjaan
(Papalia, 2011) Bagaimana mereka meneruskan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan ke kuliah, dan jika tidak, bagaiamana mereka memasuki dunia kerja? banyak factor yang terlibat termasuk kemampuan individu dan kepribadian, pendidikan, sosialekonomi, dan latar belakang etnis, masukan konselor sekolah, pengalaman hidup,dan nilai sosial.
·         Berbagai pengaruh terhadap Aspirasi Siswa.
Keyakinan akan kecakapan diri seorang siswa-kepercayaan diri mereka terhadap prospek pendidikan dan pekerjaan-menajamkan opsi pekerjaan yang di pertimbangkan mereka dan cara mereka mempersiapkan diri untuk karier. berbagai keyakinan dan aspirasi ini sering kali dipengaruhi oleh keyakinan akan kecakapan diri dan aspirasi orang tua (papalia,2011;Bandura, Barbaranelli, Caprara,& Pastorelli,2001;Bandura et al.,1996). Penghargaan orang tua terhadap prestasi akademis akan memengaruhi nilai remaja dan rencana pekerjaan mereka (Papalia, 2011; Jodi,Micheal, Malanchuk, Eccles,& Sameroff,2001).
Gender juga mungkin berpengaruh. Sebuah laporan tahun 1992 oleh American Association of University Woman (AAUW), yayasan pendidikan yang mengklaim bahwa sekolah”menipu” anak perempuan dengan menjauhkan mereka dari matematika dan sains serta mengarahkan mereka pada pelajaran berbasis gender. Enam tahun kemudian,studi lanjutan (Papalia,2011;AAUW Education Fondation,1998a;weinma,1998b). Papalia, 2011 melaporkan jumlah anak perempuan yang mengambil pelajaran matematika dan sains lebih banyak dibandingakan sebelumnya dan prestasi lebih baik dalam subjek tersebut. Merujuk kepada National Center for Education Statistics (1997), siswa senior sekolah menewngah atas baik yang pria maupun yang wanita cenderung merencanakan karier di bidang matematika atau sains, walaupun anak lelaki lebih cenderung menjadi insinyur.
Sistem pendidikan itu sendiri dapat bertindak sebagai penghambat aspirasi pekerjaan. Sempitnya cakupan kemampuan yang dihargai dibanyak sekolah memberi keuntungan tertentu kepada beberapa orang siswa. Siswa yang dapat menghapal dan menganalisis cenderung baik dalam tes kecerdasan dan ruang kelas di mana guru punya kemampuan tersebut. Sebagaimana yang diprediksikan oleh tes, para siswa ini merupakan achiever dalam system yang menekankan kemampuan yang merupakan keunggulan mereka.
Sedangkan, siswa yang lebih kuat dalam penalaran kreatif dan praktis-aspek penting bagi kesuksesan berbagai bidang, tidak pernah mendapatkan kesempatan menunjukkan apa-apa yang dapat mereka lakukan. Mereka akan berada di luar jalur karier atau di paksa masuk ke jalur karier yang kurang menantang karena nilai tes dan tingkat yang terlalu rendah untuk memasukkan mereka ke jalur kesuksesan yang sebenarnya (Papalia, 2011; Sternberg, 1997).
·         Bimbingan Siswa yang tidak kuliahan            
Sekitar 37 persen lulusan sekolah menengah atas di AS. Tidak langsung melanjutkan kuliah (NCES, 2001). Padahal sebagian besar konseling kejuruan di sekolah menengah atas di orientasikan ke kuliah.
Menurut NRC, 1993a dalam Papalia, 2011.Di AS.,Program pelatihan kejuruan yang ada masih kurang komprehensif dan kurang berkaitan dengan kebutuhan bisnisdan industry. Sebagian besar anak muda mendapatkan pelatihan saat bekerja atau dalam kursus komunitas kuliah. Banyak di antara mereka, terlepas dari kebutuhan pasar, tidak mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan. Yang lain mengambil pekerjaan diluar kemampuan mereka. Sebagian yang lain bahkan tidak menemukan pekerjaan apa pun.
Dalam beberapa komunitas, program percontohan membentuk transisi sekolah ke dunia kerja. Yang tersukes di antara program tersebut adalah yang menawarkan intruksi keterampilan dasar, konseling, dukungan teman sebaya, mentoring, pemagangan dan penempatan kerja (Papalia,2011) .
·         Haruskah Siswa Sekolah Menengah Atas Bekerja Paruh Waktu
Pekerjaan yang bergaji mengajari anak muda untuk menangani uang, mengembangkan kebiasaan kerja yang baik, mengelola waktu, dan  memikul tanggung jawab. Pekerjaan tersebut juga dapat mengajari anak keterampilan di tempat kerja seperti bahaimana menemukan pekerjaan. pekerjaan tersebut dapat membangun rasa percaya diri, Independensi dan status dimata teman sebaya. Dengan membantu mereka belajar lebih banyak tentang bidang pekerjaan tertentu, maka hal tersebut dapat memandu mereka dalam pemilihan karier (Papalia, 2011; Elder & Caspi, 1990; Mortimer, 2003; Mortimer & Shanahan, 1991; National Commission on Youth, 1980; Philips & Sandstrom, 1990; Steel, 1991).
Papalia (2011) di sisi lain, sebagian besar siswa SMA yang bekerja paruh waktu memiliki pekerjaan level rendah di mana mereka tidak belajar keterampilan yang berguna di kemudian hari. Remaja yang bekerja tidak lebih independen dalam membuat keputusan finansial dan tidak mendapatkan uang lebih banyak sebagai orang dewasa di bandingkan mereka yang tidak bekerja pada saat SMA. Dengan asumsi mereka menanggung tanggung jawab orang dewasa yang belum siap mereka pikul,anak muda dapat kehilangan peluang memperluas minat mereka dan membangun hubungan yangb akrab.
Pekerjaan bergaji memiliki sisi yang lain. Anak muda yang bekerja dalam jam yang panjang cenderung jarang makan sarapan, berolahraga,tidur yang cukup, dan tidak memiliki waktu senggang yang cukup (Papalia, 2011; Bachman & Schulenberg, 1993). Mereka menghabiskan lebih sedikit waktu bersama keluarga dan banyak di antara mereka yang merasa kurang dekat dengan keluarga. Dalam studi penggunaan waktu di St. Paul, sebagian besar siswa yang bekerja juga amat berpartisipasi di sekolah dan aktivitas lainnya (Papalia, 2011; Shanahan & Flaherty, 2011). Jumlah jam yang digunakan siswa untuk bekerja tidak mengurangi kepercayaan diri, kesehatan mental dan motivasi untuk menguasai pelajaran. Bekerja tidak berefek pada waktu pengerjaan rumah atau kenaikan kelas sampai tahun akhir, di mana siswa yang bekerja lebih dari 20 jam cenderung mengerjakan lebih sedikit pekerjaan rumah di banding siswa yang lain. Bekerja lebih dari 20 jam seminggu diasosiasikan dengan peningkatan komsumsi alcohol (Papalia, 2011; Mortimer, Finch,Ryu, Shanahan & Call, 1996). Studi lain terhadap lebih dari 12.000 anak tingkat 7 sampai 12 seluruh Negara bagian menemukan remaja yang bekerja lebih dari 20 jam seminggu berkecenderungan lebih besar menderita stress,merokok,minum minuman keras, atau menggunakan mariyuana,dan memulai aktivitas seks lebih dini (Papalia, 2011; Resnick et al., 1997).
Perencanaan kejuruan merupakan salah satu aspek pencarian identitas oleh remaja. Orang-orang yang akan merasakan diri mereka melakukan sesuatu yang berharga, dan melakukan dengan  benar, merasa nyaman akan diri mereka sendiri. Mereka yang merasa pekerjaan mereka tidak berharga atau tidak baik sama sekali mungkin akan mempertanyakan makna hidup mereka (Papalia, 2011).           

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendidikan adalah sebuah upaya untuk mendewasakan manusia untuk dapat berfikir dengan baik kedepannya seperti dalam bentuk proses pengajaran, pembinaan, pembentukan karakter. Hubungan teori – teori psikologi terhadap pendidikan menekankan pada diri seseorang tersebut misalnya Teori behaviouristik menekankan pada “hasil” daripada proses belajar. Teori kognitif menekankan pada “proses” belajar. Teori humanistik menekankan pada “isi” atau apa yang dipelajari. Dan teori psikoanalisis menekankan pada bentuk pengajaran dan tingkah laku individu itu sendiri.
B.     Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa makalh ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.








DAFTAR PUSTAKA
KBBI Daring. (2016). https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kognitif. diakses pada tanggal 11 September 2018 Pukul 17.34 WITA.
Papalia, Diane E., et al. (2011). Human Development (Psikologi Perkembangan). A.K. Anwar. Jakarta: Kencana Prenada Group.
Sandika kusuma, H. (2011). “Tempat Pelaksanaan Etika Profesi dan Kecerdasan
            Emosional Terhadap Pengambilan Keputusan Bagi Auditor”.
Fakultas
            Ekonomi, Universitas Diponegoro: Semarang.
Santrock, John W. (2007). Remaja. Benedictine Widyasinta. Jakarta: Erlangga.
Indrayanti,T. (2015). Potret penggunaan bahasa remaja dalam perspektif
kalangan mahasiswa
. Seminar nasional prasasti ll ”kajian pragmatig di berbagai bidang”: hal 126-131.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH " THAHARAH"

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

MAKALAH Perkembangan Moral