MAKALAH " THAHARAH"


MAKALAH
AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN 2
THAHARAH

LOGO STISIP NEW.png


DISUSUN OLEH : KELOMPOK 1
v  LISA KARTINI                    (17.22.275)
v  RESKI WAHYUNI              (17.XX.XX)
v  MISNAWATI                       (17.XX.XXX)




SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN POLITIK
(STISIP) MUHAMMADIYAH SINJAI
TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR

          Segala puji bagi Allah SWT, karena atas berkah dan limpahan rahmat serta nikmat keimanan, keislaman, kesempatan dan kesehatan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Thaharah sebagai salah satu tugas mata kuliah Al-Islam Kemuhammadiyahan 2.
Tidak lupa pula penulis ucapkan salam serta shalawat kepada junjungan kita Nabiyullah Muhammad SAW, yang menjadi suri tauladan bagi kita semua. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui atau memahami tentang masalah Thaharah.
Merupakan suatu harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya untuk penulis. Kritik dan saran dari pembaca akan sangat berarti untuk perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini juga bisa menjadi motivator bagi penulis untuk penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik dan bermanfaat.

Sinjai, 18 Maret 2018

Penulis












DAFTAR ISI

SAMPUL...................................................................................        i
KATA PENGANTAR.............................................................        ii
DAFTAR ISI.............................................................................        iii
BAB I     PENDAHULUAN....................................................        1
A.    Latar Belakang.........................................................        1
B.     Rumusan Masalah....................................................        2
C.     Tujuan Penulisan......................................................        2
D.    Manfaat Penulisan....................................................        2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................        3
A.    Pengertian Thaharah.................................................        3
B.     Dasar Hukum Thaharah............................................        5
C.     Pembagian Thaharah................................................        5
D.    Jenis Air yang Dapat Digunakan Untuk Bersuci.....        8
E.     Hadas.......................................................................        9
F.   Najis.........................................................................        10
G.    Syarat wajib Thaharah..............................................        11
H.    Bentuk-Bentuk Thaharah.........................................        12
I.    Fungsi Thaharah........................................................        12
J.    Manfaat Thaharah.....................................................        13
BAB III   PENUTUP.................................................................        15
A.    Kesimpulan...............................................................        15
B.     Saran.........................................................................        15
DAFTAR PUSTAKA...............................................................        16





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam menganjurkan untuk selalu menjaga kebersihan badani selain rohani. Kebersihan badani tercermin dengan bagaimana umat muslim selalu bersuci sebelum mereka melakukan ibadah menghadap Allah SWT. Pada hakikatnya tujuan bersuci adalah agar umat muslim terhindari dari kotoran atau debu yang menempel di badan sehingga secara sadar atau tidak sengaja membatalkan rangkaian ibadah kita kepada Allah SWT.

Namun, yang terjadi sekarang adalah banyak umat muslim hanya tahu saja bahwa bersuci itu sebatas membasuh badan dengan air tanpa mengamalkan rukun-rukun bersuci lainnya sesuai syariat Islam. Bersuci atau istilah dalam Islam yaitu Thaharah mempunyai makna luas yang tidak hanya berwudhu saja.

Pengertian Thaharah adalah mensucikan diri, pakaian, dan tempat sholat dari hadas dan najis menurut syariat islam. Bersuci dari hadas dan najis adalah syarat syahnya seorang muslim dalam mengerjakan ibadah tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut sebenarnya banyak sekali manfaat yang bisa kita ambil dari fungsi Thaharah. Taharah sebagai bukti bahwa Islam amat mementingkan kebersihan dan kesucian.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan Thaharah ?
2.      Bagaimanakah dasar hukum Thaharah ?
3.      Apa sajakah pembagian Thaharah ?
4.      Apa sajakah jenis-jenis air yang dapat digunakan untuk bersuci ?
5.      Apa yang dimaksud dengan hadas dan jenis-jenisnya ?
6.      Apa yang dimaksud dengan najis dan jenis-jenisnya ?
7.      Bagaimanakah syarat wajib Thaharah ?
8.      Bagaimanakah bentuk-bentuk Thaharah ?
9.      Apa sajakah fungsi Thaharah ?
10.  Apa sajakah manfaat Thaharah ?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Thaharah.
2.      Untuk mengetahui bagaimana dasar hukum Thaharah.
3.      Untuk mengetahui apa sajakah pembagian Thaharah.
4.      Untuk mengetahui apa sajakah jenis-jenis air yang dapat digunakan untuk bersuci.
5.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hadas dan jenis-jenisnya.
6.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan najis dan jenis-jenisnya.
7.      Untuk mengetahui bagaimana syarat wajib Thaharah.
8.      Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk Thaharah.
9.      Untuk mengetahui apa sajakah fungsi Thaharah.
10.  Untuk mengetahui apa sajakah manfaat Thaharah.

D.    Manfaat Penulisan

1.      Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai Thaharah.
2.      Untuk memahami cara-cara bersuci yang dikehendaki oleh syari’at Islam dan mempraktekkannya dalam menjalani ibadah sehari-hari.  

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Thaharah

Thaharah menurut bahasa berasal dari kata طهور (Thahur), artinya  bersuci atau bersih. Menurut istilah adalah bersuci dari hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil dan bersuci dari najis yang meliputi badan, pakaian, tempat, dan benda-benda yang terbawa di badan.

Thaharah juga dapat diartikan melaksanakan pekerjaan dimana tidak sah melaksanakan shalat kecuali dengannya yaitu menghilangkan atau mensucikan diri dari hadas dan najis dengan air. Thaharah merupakan anak kunci dan syarat sah salat.

Thaharah berarti kebersihan dan kesucian dari berbagai kotoran atau bersih dan suci dari kotoran atau najis yang dapat dilihat (najis hissi) dan najis ma’nawi (yang tidak kelihatan zatnya) seperti aib dan kemaksiatan.

B.     Dasar Hukum Thaharah

H.abdul khaliq Hasan mengemukakan salah satu landasan hukum Thaharah adalah surah al Furqan ayat 11 yang artinya “Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, dekat sebelum kedatangan rahmatnya (hujan) dan kami turunkan air dari langit air yang bersih” (QS.Al-Furqan : 48/11).

Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menjelaskan, maksud ayat ini adalah allah menurunkan air yang suci sebagai alat bersuci baik untuk tubuh, pakaian, maupun yang lain sebab kata Thahur berarti sesuatu yang digunakan untuk thaharah (bersuci), sebagaimana kata wudhu yang di gunakan untuk berwudhu.
Dan perhatikanlah Surah Al Mudatsir ayat 3 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut :

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ   وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
“dan pakaianmu bersihkanlah dan seluruh kotoran termasuk berhala jauhilah” (Q.S. Al Mudatsir : 3 dan 4).
Allah SWT menyuruh manusia untuk membersihkan pakaian dan segala kotoran yang termasuk berhala. Membersihkan pakaian dapat diartikan dengan membersihkan pakaian lahir dan pakaian batin. Jadi dengan ayat di atas, Allah SWT mengatakan bahwa kebersihan dari lahir dan batin itu harus dipadukan sebab di antara keduanya saling berhubungan.
Dan sebuah hadits dari rasulullah SAW yang berbunyi :

تنظفوالكل مااستطعتم فاان لله تعلى بنى لاسلام على النظافةولايدخل الجنة الانطيف(رواه الطبرانى)
“Jagalah selalu kebersihan sedapat mungkin karena Allah SWT membangun Islam di atas kebersihan dan tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang bersih” (H.R. Atharbany).
Kebersihan atau bersuci menjadi media utama mendekatkan diri kepada Allah SWT karena Allah SWT mencintai orang-orang yang mensucikan dirinya, perhatikanlah Surah Al-Baqarah ayat 222 berikut :

إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri (Q.S.Al-Baqarah:222).
Ada pun dalil- dalil yang di kemukakan oleh Wahbah Az Zuhaily adalah Nabi Muhammad SAW bersabda :
مفتح الصلاة الطهوروتحريمهاالتكبيرويحليلها التسليم

“Kunci sholat ialah suci, yang menyebabkan haram melakukan perkara – perkara yang dihalalkan sebelum sholat adalah takbiratul ihram dan yang menghalalkan melakukan perkara yang diharamkan sewaktu sholat ialah salam.
Rasulullah SAW juga bersabda :
الطهور شطر الايمان
“Kesucian adalah sebahagian dari iman
Prof Dr.Zakiah Daradjad dalam bukunya mengemukakan dalil- dalil tentang thaharah sebagai berikut :
  وان كنتم جنبا فاطهروا
“Dan jika kamu junub maka bersucilah (mandi)
C.    Pembagian Thaharah

1.      Thaharah Hakiki

Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan,  pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh  dikatakan bahwa Thaharah secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seseorang yang shalat yang memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing tidak sah shalatnya. Karena ia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki.

Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual, caranya bermacam-macam tergantuk level kenajisannya. Bila najis itu ringan cukup dengan memercikan air saja maka najis itu dianggap sudah lenyap. Bila najis itu berat harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan disucikan dengan cara mencusikanya dengan air biasa hingga hilang warna, bau, dan rasa najisnya.



2.      Thaharah Hukmi

Thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik memang tidak ada kotoran yang menempel namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ibadah ritual. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan cara wudhu atau mandi janabah.

Seseorang yang tidak batal wudhunya boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu, bila ia ingin melakukan ibadah tertentu seperti shalat, thawaf dan lain-lainnya.

Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah membersihkannya  dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadas besar hingga selesai dari mandi janabah.

D.    Jenis Air Yang Dapat Digunakan Untuk Bersuci

Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, terkait dengan hukumnya untuk digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam Kitab Fiqih, mereka membaginya menjadi 4 macam, yaitu :

1.      Air Mutlaq
Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis. Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk  digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah. Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Diantara air-air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah :
·         Air Hujan
·         Salju
·         Embun
·         Air Laut
·         Air Zam-zam
·         Air Sumur atau Mata Air
·         Air Sungai

2.      Air Musta’mal
Air suci tapi tidak mensucikan atau air musta’mal yaitu air yang telah digunakan untuk menghilangkan najis meskipun rasa, warna, dan bau tidak berubah. Air musta’mal tidak dapat digunakan untuk bersuci karena tidak bisa menyucikan zat lain karena fungsi awalnya adalah sebagai air suci mensucikan, namun setelah dipakai untuk bersuci maka fungsi tersebut telah hilang, bergantilah ia menjadi air musta’amal yaitu air hasil atau bekas dari bersuci. Meskipun air tersebut masih tetap dalam kondisi dan karakter awal dari sebuah air.
Namun jika air musta’mal tersedia dalam jumlah yang banyak sehingga mencapai dua qullah maka hukumnya menjadi suci mensucikan. Air yang mencapai dua qullah tidak menjadi najis karena ada najis di dalamnya kecuali jika perubahan karakter sebuah air telihat dengan jelas maka air tersebut menjadi najis. Contoh lain dari air ini adalah air suci namun hanya tersedia dalam jumlah sedikit. Misalnya segelas atau hanya segayung. Dua qullah = 216 Liter. Jika berbentuk bak, maka besarnya = 60cm x 60cm x   60cm.
3.      Air yang tercampur barang suci
Jenis air yang ketiga adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya. Namun bila air telah keluar dari karakternya sebagai air mutlak atau murni, air itu hukumnya suci namun tidak mensucikan. Misalnya air dicampur dengan susu, meski air itu suci dan susu juga benda suci, tetapi campuran antara air dan susu sudah menghilangkan sifat utama air murni menjadi larutan susu. Air yang seperti ini tidak lagi bisa dikatakan air mutlak, sehingga secara hukum tidak sah kalau digunakan untuk berwudhu' atau mandi janabah meskipun masih tetap suci.

4.      Air Mutanajjis

Air mutanajjis artinya adalah air yang tercampur dengan barang atau benda yang najis. Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum, bisa ikut menjadi najis juga atau bisa juga  sebaliknya yaitu ikut tidak menjadi najis. Keduanya tergantung dari apakah air itu mengalami perubahan atau tidak, setelah tercampur benda yang najis. Dan perubahan itu sangat erat kaitannya dengan perbandingan jumlah air dan besarnya noda najis.
Pada air yang volumenya sedikit seperti air di dalam kolam kamar mandi, secara logika bila kemasukan ke dalamnya bangkai anjing, kita akan mengatakan bahwa air itu menjadi mutanajjis atau ikut menjadi najis juga. Karena air itu sudah tercemar dengan perbandingan benda najis yang besar dan jumlah volume air yang kecil.
Agar kita bisa menilai apakah air yang ke dalamnya kemasukan benda najis itu ikut berubah menjadi najis atau tidak, maka para ulama membuat indikator, yaitu rasa, warna atau aromanya.

·         Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Bila berubah rasa, warna atau aromanya ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu iut menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.
·         Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aroma
Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan baik air itu sedikit atau pun banyak.
E.     Hadas
1.      Pengertian Hadas
Hadas menurut bahasa artinya berlaku atau terjadi. Menurut istilah, hadas adalah sesuatu yang terjadi atau berlaku yang mengharuskan bersuci atau membersihkan diri sehingga sah untuk melaksanakan ibadah.
Berkaitan dengan hal ini Nabi Muhammad saw, bersabda :

قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم لا يقبل الله صلاة احدكم اذا حدث حتّى يتوضّاء  (متفق عليه)

“Rasulullah SAW telah bersabda : Allah tidak akan menerima shalat seseorang dari kamu jika berhadas sehingga lebih dahulu berwudhu” (H.R. Mutafaq Alaih).
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا (٦)
“Dan jika kamu junub, maka mandilah kamu.” (Q.S. Al Maidah : 6)
Ayat dan hadist di atas menjelaskan bahwa bersuci untuk menghilangkan hadas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berwudu dan mandi.
2.      Jenis-jenis hadas dan cara mensucikannya
Menurut fiqih, hadas dibagi menjadi dua yaitu :
·         Hadas kecil
Hadas kecil adalah adanya sesuatu yag terjadi dan mengharuskan seseorang berwudu apabila hendak melaksanakan shalat. Contoh hadas kecil adalah sebagai berikut :
§  Keluarnya sesuatu dari kubul atau dubur
§  Tidur nyenyak dalam kondisi tidak duduk
§  Menyentuh kubul atau dubur dengan telapak tangan tanpa pembatas
§  Hilang akal karena sakit atau mabuk.

·         Hadas besar

Hadas besar adalah sesuatu yang keluar atau terjadi sehingga mewajibkan mandi besar atau junub. Contoh-contoh terjadinya hadas besar adalah sebagai berikut :
§  Bersetubuh (hubungan suami istri)
§  Keluar mani, baik karena mimpi maupun hal lain
§  Keluar darah haid
§  Nifas
§  Meninggal dunia

F.     Najis

1.      Pengertian Najis

Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang kotor. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang dipandang kotor atau menjijikkan yang harus disucikan karena menjadikan tidak sahnya melaksanakan sesuatu.

2.      Jenis-jenis najis dan cara mensucikannya
Berdasarkan berat dan ringannya, najis dibagi menjadi tiga macam yaitu :
·         Najis Mukhafafah
Najis mukhafafah adalah najis ringan. Yang tergolong najis mukhafafah yaitu air kencing bayi laki-laki yang berumur tidak lebih dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya. Cara mensucikan najis mukhafafah cukup dengan megusapkan/ memercikkan air pada benda yang terkena najis.
·         Najis Mutawasitah
Najis mutawasitah adalah najis sedang. Termasuk najis mutawasitah antara lain air kencing, darah, nanah, tinja dan kotoran hewan. Najis mutawasitah terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
§  Najis hukmiah adalah najis yang diyakini adanya, tetapi zat, bau, warna dan rasanya tidak nyata. Misalnya air kencing yang telah mengering. Cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada benda yang terkena najis tersebut.
§  Najis ainiyah adalah najis yang nyata zat, warna, rasa dan baunya. Cara mensucikannya dengan menyirkan air hingga hilang zat, warna, rasa dan baunya.

·         Najis Mugalazah
Najis mugalazah adalah najis berat, seperti najisnya anjing dan babi. Adapun cara mensucikannya ialah dengan menyiramkan air suci yang mensucikan (air mutlak) atau membasuh benda atau tempat yang terkena najis sampai tujuh kali. Kali yang pertama dicampur dengan tanah atau debu sehingga hilang zat, warna, rasa, dan baunya.
G.    Syarat Wajib Thaharah


3.        













Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH PERMASALAHAN POKOK PENDIDIKAN DAN PENANGGULANGANNYA

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA