MAKALAH PSIKOPATOLOGI “SKIZOFRENIA DAN GANGGUAN NEUROKOGNITIF”


Diampu oleh:
Dr. Sitti Murdiana, S.Psi.,M.Psi.,Psikolog
Rahmat Permadi, S.Psi., M.Psi., Psikolog
                                               


MAKALAH PSIKOPATOLOGI
“SKIZOFRENIA DAN GANGGUAN NEUROKOGNITIF”


See the source image

Disusun Oleh :
KELAS A

ST. HARDIATI NINGSIH                         1671040006
AINUN AMANI AMJAD                          1771042030
ANDI INDIRA AULIA MUTMAINNAH  1771042108





UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
FAKULTAS PSIKOLOGI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Jumlah populasi penduduk Indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun. Ini berarti bahwa dengan bertambahnya penduduk Indonesia, tidak menutup kemungkinan akan ada penurunan atau peningkatan sumber daya manusia. Dengan semakin bertambahnya manusia juga tidak menutup kemungkinan bahwa wabah penyakit akan semakin meluas, baik itu penyakit fisik maupun mental.
Seiring berkembanganya jaman maka manusia dituntut untuk semakin bijak dalam menyikapi kehidupan, terutama dalam setiap masalah-masalah yang menghantui negeri ini. Masalah-masalah tersebut pastilah menuntut manusia untuk berpikir dalam menyikapi setiap keadaan mendatang dan akan mengganggu psikis dari masing-masing individu apabila tidak bisa bijak dalam menyikapinya. Kondisi psikis inilah yang nantinya akan menimbulkan penyakit-penyakit jiwa, salah satunya Skizofrenia dan gangguan neurokognitif.
Tidak sedikit penduduk Indonesia yang mengalami Skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan penglihatan realita. Penderita Skizofrenia akan memiliki tingkat halusinasi yang tinggi. Mereka akan cenderung berfikir yang tidak sesuai kenyataan. Sedangkan gangguan neurokognitif dikemukakan bahwa gangguan dapat muncul akibat dari perubahan pada otak berupa struktur, fungsi, dan kimia.

1.2.   Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Apa yang dimaksud dengan skizofrenia ?
2.      Bagaimana simtom-simtom klinis dar skizofrenia?
3.      Bagaimana sejarah konsep dari skizofrenia?
4.      Bagaimana etilogi dari skizofrenia?
5.      Bagaimana terapi dari skizofrenia?
6.      Apa yang di maksud dengan gangguan neurokognitif?
7.      Bagaimana gangguan otak pada orang dewasa?
8.      Bagaimana yang dimaksud Delirium?
9.      Bagaimana yang dimaksud gangguan neurokognitif utama ?
10.  Bagaimana  yang dimaksud penyakit Alzheimer ?
11.  Bagaimana yang dimaksud gangguan neurokognitif akibat infeksi HIV atau masalah pembuluh darah ?
12.  Bagaimana yang dimaksud gangguan neurokognitif yang ditandai oleh gangguan memori yang sangat dalam?
13.  Bagaimana yang dimaksud gangguan melibatkan cedera kepala ?

1.3.   Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Agar pembaca dapat mengetahui apa yang dimaksud skizofrenia.
2.      Agar pembaca dapat mengetahui apa yang dimaksud gangguan neurokognitif.




































BAB II
PEMBAHASAN
A.    Szkizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi, dan prilaku. Pikiran yang terganggu, dimana pikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru. Pasien skizofrenia sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi (Davidson dkk., 2004).
Gangguan ini biasanya muncul pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa, agak lebih awal pada kaum laki-laki daripada kaum perempuan (DiMaggio dkk., 2001). Orang-orang yang menderita skizofrenia umumnya memiliki beberapa episode akut simtom-simtom: di antara setiap episode mereka sering mengalami simtom-simtom yang tidak terlalu parah namun tetap mengganggu keberfungsian mereka (Kosten & Ziedonis, 1997). Simtom-simtom yang dialami pasien skizofrenia mencangkup gangguan dalam beberapa hal penting seperti pikiran, persepsi dan perhatian; prilaku motorik; afek atau emosi; dan keberfungsian hidup.
Tidak ada somtom-simtom penting yang harus ada untuk menegakkan diagnosis skizofrenia. Oleh karena itu, para pasien skizofrenia dapat berbeda antara satu sama lainnya disbanding pasien gangguan lain. Simtom-simtom utama skizofrenia disajikan dalam tiga (3) kategori; positif, negarif, dan disorganisasi. Namun terdapat beberapa simtom tidak cukup sesuai untuk digolongkan ke dalam tiga kategori tersebut.
B.     Simtom Klinis Skizofrenia
Simtom- simtom yang dialami pasien skizofrenia mencakup gangguan dalam beberapa hal penting –pikiran, presepsi dan perhatian; perilaku motoric; afek atau emosi; dan keberfungsian hidup. Rentang masalah orang-orang yang didiagnosis menderita skizofrenia sangat luas , meskipun dalam satu waktu pasien umumnya mengalami hanya beberapa dari masalah tersebut. Bagi para ahli diagnostic DSM menentukan berapa banyak masalah yang harus ada dan seberapa tinggi kadarnya untuk menjustifikasi penegakan diagnosis.
1.      Simtom Positif
Simtom positif menyangkut hal-hal yang berlebihan dan distrosi, seperti halusinasi dan waham, menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia.
Delusi (waham), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan, merupakan simtom-simtom positif yang umum pada skizofrenia (Sartotius dkk., 1974). Menurut Kurt Schneider waham juga dapat memiliki bentuk lain, yakni;
·         Pasien yakin bahwa pikiran yang bukan berasal dari dirinya dimasukkan ke dalam pikirannya oleh suatu sumber eksternal.
·         Pasien yakin bahwa pikiran mereka disiarkan dan ditransmisikan sehingga orang lain mengetahui apa yang mereka pikirkan.
·         Pasien berpikir bahwa pikiran mereka telah dicuri, secara tiba-tiba tanpa terduga, oleh suatu kekuatan eksternal
·         Beberapa pasien yakin bahwa perasaan atau prilaku mereka dikendalikan oleh suatu kekuatan eksternal.
Meskipun waham juga terjadi dikalangan pasien dengan berbagai diagnosis lain, waham yang dialami pasien skizofrenia seringkali lebih aneh dibanding delusi yang dialami para pasien berbagai kategori diagnostic lain.
Halusinasi dan gangguan persepsi lain, yaitu suatu pengalaman indrawi tanpa adanya stimulus dari lingkungan, yang paling sering terjadi adalah halusinasi auditori, bukan visual (Sartorius dkk., 1974). Tipe-tipe halusinasi tersebut antara lain di bawah ini;
·         Beberapa pasien skizofrenia menuturkan bahwa mereka mendengar pikiran mereka diucapkan oleh suara orang lain.
·         Beberapa pasien mengklaim bahwa mereka mendengar suara-suara yang saling berdebat.
·         Beberapa pasien mendengar suara-suara yang mengomentari prilaku mereka.
2.      Simtom Negatif
Simtom-simtom negative skizofrenia mencangkup berbagai defisit behavioral, seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Simtom-simtom ini cenderung bertahan melampui suatu episode akut den memiliki efek parah terhadap kehidupan para pasien skizofrenia. Penting untuk memilah simtom-simtom skizofrenia yang sesungguhnya dan simtom-simtom yang disebabkan oleh faktor lain. Contohnya, afek datar (kurang ekspresif emosional) dapat merupakan efek samping obat antipsikopatik. Mengobservasi pasien dalam kurun waktu yang lebih lama mungkin merupakan satu-satunya cara untuk mengatsi isu ini.
Avolition, apati atau avolition merupakan kondisi kurangnya energi atau ketiadaan minat atau ketidakmampuan untuk tekun melakukan apa yang biasanya merupakan aktifitas rutin.
Alogia, merupakan suatu gangguan pikiran negative, alogia dapat terwujud dalam beberapa bentuk. Dalam miskin percakapan, jumlah total percakapan sangat jauh berkurang, namun hanya mengandung sedikit informasi dan cenderung membingungkan seta diulang-ulang.
Anhedonia, ketidak mampuan untuk merasakan kesenangan, kurangnya minat dalam bebagai aktifitas rekreaksional, gagal untuk mengembangkan hubungan dekat dengan orang lain. Dan kurangnya minat dalam hubungan seks.
Afek Datar,  pada pasien yang memiliki afek datar hampirb tidak ada stimulus yang dapat memunculkan respon emosional. Pasien menatap dengan tatapan kosong, otot-otot wajah kendur, dan mata mereka tidak hidup, ketika diajak berbicara, pasien menjawab dengan suara datar dan tanpa nada. Konsep afek datar hanya merujuk pada konsep emosi yang tampak.
Asosialitas, beberapa pasien skizofrenia mengalami ketidakmampuan parah dalam hubungan social. Mereka memiliki sedikit teman, keterampilan social yang rendah, sangat kurang berminat untuk berkumpul bersama orang lain.
3.      Simtom Disorganisasi
Simtom disorganisasi mencangkup disorganisasi pembicaraan dari perilaku aneh.
Disorgabisasi Pembicaraan. Juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal, masalah dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dan dalam berbicara, berbagai citra dan potongan pikiran tidak saling berhubungan. Bicara juga dapat terganggu karena suatu hal yang disebut asosiasi longgar, atau keluar jalur (derailment). Mereka berhasil berkomunikasi dengan seorang pendengar namunmengalami kesulitan untuk tetap oada satu topik.
Gangguan dalam pembicaraan pernah dianggap sebagai simtom klinis utama skizofrenia, dan tetap merupakan salah satu kriteria diagnosis. Namun, banyak pasien tidak mengalami disorganisasi dan terjadinya disorganisasi bicara tidak membedakan dengan antara pasien skizofrenia dan psikosis lainnya.
Prilaku aneh, prilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dalam meledek, marah, memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol, menyimpan makanan, mengumpulkan sampah, atau melakukan prilaku seksual yang tidak pantas. Mereka kehilangan kemampuan untuk mengatur prilaku dan menyesuaikan dengan berbagai standar masyarakt.
4.      Simtom Lain
Beberapa simtom lain skizofrenia tidak cukup tepat digolongkan ketiga kategori yang telah disampaikan.
Katatonia, beberapa abnormal motorik menjadi ciri khas katonia, mereka melakukan gerakan berulangkali, urutan yang aneh dan kadang kompleks antara gerakan jari, tangan, dan lengan, yang sering tampak memiliki tujuan tertentu.
Afek yang tidak sesuai, respon-respon emotional individu berada diluar konteks. Terjadi perubahan yang signifikan dari satu kondisi emosional ke kondisi emosional lain tanpa alasan yang jelas.
C.    Sejarah Konsep Skizofrenia
1.      Gambaran Awal
Konsep skizofrenia pertama kali dikemukakan oleh dua psikater eropa, Emil Kraepelin dan Eugen Bleuer. Kreapelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai  dementia praecox, istilah awal untuk skizofrenia. Dia membedakan dua kelompok utama psikosis yang disebutnya endogenik, atau disebabkan secara internal: penyakit manik-depresif dan dementia praecox. Dementia praecox mencangkup beberapa konsep diagnostik yakni demensia paaaranoid, katat. Kraepelin yakin mereka memiliki kesamaan inti dan istilah  dementia praecox. Onia dan hibefrenia. Kraepelin yakin bahwa konsep diagnostic memiliki kesamaan inti dan istilah dementia praecox yakni faktor usia awal dan perjalanan yang memburuk yang ditandai kemunduran kelemahan mental.
Eugen Bleuler kemudian menyangkal pendapat Kraepelin bahwa gangguan terjadi pada usia dini dan gangguan dapat berkembang menjadi demensia. Pada tahun 1908 Bleuler mengajukan istilahnya sendiri “Skizofrenia” yang berasal dari Bahasa Yunani schizein, yang artinya “membelah”  dan phren yang artinya akal pikiran.
Bagi Bleuler, jalinan asosiatif tidak hanya menggabungkan kata-kata namun juga pikiran. Teori bahwa jalinan asosiasi skizofrenia mengalami kerusakan dapat menjelaskan berbagai masalah lain.
2.      Konsep yang diperluas di Amerika
Bleuler memberikan pengaruh besar terhadap konsep skizofrenia dalam perkembangannya di Amerika Serikat. Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis di Amerika Serikat dapat diketahuai dengan mudah. Beberapa figure penting di dunia psikiatri di AS  lebih memperluas konsep skizofrenia Bleuler pada dasarnya sudah luas.
Konsep skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga praktik-praktik diagnosis:
a.       Para ahli klinis AS cenderung mendiagnosis skizofrenia bila terjadi waham dan halusinasi. Karena simtom-simtom ini, terutama delusi, juga terjadi dalam ganggauan mood, banyak pasien yang menerima diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-II sebenarnya mengalami gangguan mood.
b.      Para pasien yang dewasa ini akan didiagnosis mengalami gangguan kepribadian (terutama skizotipal, schizoid, ambang dan gangguan kepribadian paranoid) didiagnosis sebagai skizofrenik berdasarkan kriteria DSM-II.
c.       Para pasien yang mengalami simtom-simtom skizofrenik yang terjadi secara akut dengan kesembuhan yang cepat didiagnosis menderita skizofrenia.
3.      Diagnosis DSM-IV-TR
Konsep skizofrenia di AS mengalami perubahan besar dari definisi terdahulu yang luas melalukui lima hal berikut:
a.       Kriteria diagostik disajikan dalam detail yang eksplisit dan substansial
b.      Para pasien yang mengalami simtom-aimtom gangguan mood dipisahkan. Skizofreangguan skizoafektif nia, tipe skizoafektif dicantumkan sebagai gangguan skizoafektif di bagian yang berbeda sebagai salah satu gangguan psikotik. Gangguan skizoafektif mencangkup gabungan simtom-simtom skizofreni dan gangguan mood.
c.       DSM-IV-TR mensyaratkan gangguan terjadi sekurang-kurangnya 6 bulan, mencangkup suatu episode akut atau fase aktif selama sekurang-kurangnya 1 bulan, ditandai adanya minimal: waham, halusinasi, disorganisasi pembicaraan, disorganisasi prilaku yang sangat nyata atau perilaku katatonik, dan simtom-simtom negatif.   
d.      Beberapa ganguan yang pada DSM-II dianggap sebagai bentuk ringan skizofreia sekarang didiagnosis sebagai gangguan kepribadian. Contohnya gangguan kepribadian skizotipal.
e.       DSM-IV-TR membedakan antara skizofrenia paranoid dan gangguan waham. Orang yang menderita gangguan waham oleh waham kejaran terus menerus seperti tuduhan pacar atau pasangan tidak setia, waham erotomania (yakin status sosial lebih tinggi), dan waham somatic (yakin bahwa ada organ tubuhnya yang tidak berfungsi).
Adapun Kriteria Skizofrenia dalam DSM-IV- TR yaitu :
a.       Terdapat dua atau lebih simtom-simtom berikut ini dengan porsi waktu yang signifikanselama sekurang-kurangnya satu bulan : waham, halusinasi, disorganisasi bicara, disorganisasi perilaku atau perilaku katatonik, simtom-simtom negative.
b.      Keberfungsian sosial dan pekerjaan menurun sejak timbulnya gangguan.
c.       Gejala-gejala gangguan terjadi selama sekurang-kurangnya enam bulan; sekurang-kurangnya satu bulan ubtuk simtom-simtom pada poin pertama; selebihnya simtom-simtom negative atau simtom lain pada poin pertama dalam bentuk ringan.
4.      Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR
Dikemukakan Kraepelin bahwa terdapat tiga tipe gangguan skizofrenik yang tercantum dalam DSM-IV-TR yaitu disorganisasi, katatonik dan paranoid.
Skizofrenia Disorganisasi,cara bicara pasien mengalami disorganisasi dan sulit dipahami oleh pendengar. Pasien dapat berbicara secara tidak runut, menggabungkan kata yang terdengar sama bahkan dapat membuat kata-kata baru, seringkali disertai kekonyolan serta tawa. Ia dapat memiliki afek dataratau terus menerus mengalami perubahan emosi, ia dapat meledak menjadi tawa atau tangis sehingga sulit untuk dipahami. Pasien kadang kala mengalami kemunduransampai ke titik yang tidak pantas, buang air besar dimana saja dan kapan saja..
Skizofrenia Katatonik, pasien umumnya bergantian mengalami imobilitas katatonik dan keriangan yang liar, namun salah satunya dapat lebih dominan. Pasien menolak perintah dan saran dan seringkali menirukan kata-kata orang lain. Onset reaksi katatonik lebih sering terjadi disbanding bentuk-bentuk skizofrenia lainnya meskipun sebelumnya pasien menunjukkan kondisi apati dan menarik diri dari kenyataan.  Skizofrenia katatonik jarang ditemui belakangan ini, mungkin karena terapi obat bekerja secara efektif.
Skizofrenia Paranoid, kunci dari diagnosis ini aalah adanya waham. Waham kejaran yang paling umum, namun pasien dapat mengalami waham kebesaran dimana mereka memiiki rasa yang berlebihan mengenaik pentingnya kekuasaan, pengetahuan, atau identtas diri mereka. Beberapa pasien mengalami waham cemburu, suatu keyakinan yang tidak mendasar terhadap pasangan. Waham lainnya disebutkan seperti dimatai-matai, atau dikejar. Halusinasi pendengaran disertai dengan waham. Para pasien yang menderita skizofrenia paranoid seringkali mengalami idea of reference, mereka memasukkan peristiwa yang tidak penting kedalam kereangka waham dan mengalihkan kepentigan pribadi mereka kedalam aktifitas yang tidak berarti yang dilakukan orang lain. Para individu yang mengalami skizofrenia paranoid selalu cemas, argumentative, marah dan kadang kasar. Secara emosional mereka responsive, meskipun mereka kaku, formal dan intens kepada orang lain. Mereka lebih sadar dan verbal disbanding para pasien skizofrenia lainnya. Bahasa yang mereka guakan, meskipun penuh dengan rujukan dulusi namun, tidak mengalami disorganisasi.
Evaluasi terhadap berbagai subtipe. Beberapa subtipe tambahan juga dicamtumkan dalam DSM-IV-TR. Diagnosis skizofrenia tak terinci diberikan kepada para pasien yang memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia, namun tidak memenuhi ketiga subtipe tersebut. Diagnosis skizofrenia residual diberikan bila pasien tidak lagi memenuhi kriteria lengkap skizofrenia namun masih menunjukkan beberapa tanda penyait tersebut.
D.    Etiologi Skizofrenia
Berbagai perspektif teoritis yang luas, seperti psikoanalisis, tidak berdampak besar pada penelitian tentang skizofrenia. Maka, disini memfokuskan pada berbagai bidang utama penelitian etiologis.
1.      Data Genetik
Sejumlah literatur yang meyakinkan mengindikasikan bahwa suatu predisposisi bagi skizofrenia diturunkan secara genetik. Metode keluarga, kembar, dan adopsi digunakan dalam penelitian, seperti halnya dalam proyek-proyek penelitian perilaku genetik lainnya, mengarahkan para peneliti untuk menyimpulkan bahwa suatu predisposisi terhadap skizofrenia diturunkan secara genetik. Analisis ulang menggunakan kriteria DSM-III telah memberikan verifikasi terhadap berbagai kesimpulan yang dicapai sebelumnya.
a.      Studi Keluarga
Tabel 11.2 Ringkasan Berbagai Studi Besar terhadap Keluarga dan Orang Kembar di Eropa Mengenai Genetika Skizofrenia
Hubungan dengan Penderita
Persebtase Skizofrenia
Pasangan
Cucu
Keponakan
Anak
Saudara kandungan
Kembar DZ (dua telur)
Kembar MZ (identik)
1,00
2,84
2,65
9,35
7,30
12,08
44,30
Sumber. Dikutip dari Gottesman, McGuffin, dan Farmer, 1987.
Pada tabel 11.2 berisi ringkasan risiko terhadap skizofrenia pada berbagai kerabat kasus-kasus indeks yang menderita skizofrenia. Cukup jelas, para kerabat pasien skizofrenia memiliki risisko yang lebih tinggi, dan resiko tersebut semakin tinggi bila hubungan kekerabatan semakin dekat.
Lebih jauh lagi, para pasien yang memiliki riwayat skizofrenia dalam keluarga mengalami lebih banyak simtom negaif dibanding para pasien yang tidak memiliki riwayat skizofrenia dalam keluarga, menunjukkan bahwa simtom-simtom negatif dapat mengandung komponen  genetik yang lebih kuat. Para kerabat pasien skizofrenia juga memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan lain yang di anggap sebagai bentuk skizofrenia yang tidak parah.
Dengan demikian, data yang diperoleh melalui metode keluarga mendukung teori bahwa suatu predisposisi terhadap skizofrenia dapat diturunkan secara genetik. Namun, para kerabat kasus indeks skizofrenia tidak hanya memilii gen yang sama, namun juga pengalaman yang sama. Perilaku orang tua yang menderita skizofrenia dapat sangat menggangu bagi anak yang sedang tumbuh. Dengan demiian, pengaruh lingkungan tidak dapat diabaikan sebagai lawan penjelasan atas risiko morbilitas yang lebih tinggi.
b.      Studi Orang kembar
Tingkat kesesuaian bagi kembar MZ dan DZ juga dapat dilihat pada Tabel 11.2. kesesuaian untuk kembar identik (44,30 %), meskipun lebih besar daripada kemvar fratenal (12,08%), namun tetap jauh di bawah 100%. Hasil yang sama juga diperoleh dalam berbagai studi yang lebih mutakhir. Tingkat kesesuaian untuk kembar Mz yang kurang dari 100% merupakan hal penting: jika hanya faktor genetik yang berperan dalam skizofrenia dan salah satunya dari saudara kembar menderita skizofrenia, yang satunya juga akan menderita skizofrenia karena MZ secara genetik identik. Sejalan dengan interpretasi genetik terhadap data tersebut, kesesuaian diantara para kembar MZ memang meningkat jika gangguan yang diderita lebih parah.
Sebagaimana dalam studi keluarga, jelas terdapat masalah kritikal dalam menginterpretasi hasil-hasil studi tentang terhadap prang kembar. Kesamaan lingkungan juga menyimpan dan bukan kesamaan faktor-faktor genetik dapat berperan dalam beberapa porsi tingkat kesesuaian tersebut. Kesamaan lingungan yang kami maksud disisni bukan hanya pola asuh yang sama, namun juga lingkungan didalam rahim yang lebih memiliki kesamaan karena kembar MZ lebih mungkin mendapatkan pasokan darah yang sama dibandingkan kembar DZ.
Dworkin dan para kolegannya mengevaluasi ulang berbagai studi besar terhadap orang kembar berdasarkan perbedaan simtom positif-negatif. Raring simtom-simtom postif dan negatif dikumpulkan dari berbagai publikasi riwayat kasus pada orang-orang kembar dan membandingkan para penderita dari pasangan kembar yang dimiliki kesesuaian dan yang tidak memiliki kesesuaian.  Tidak ada perbedaan dalam simtom-simtom positif. Namun para penderita dari pasangan kembar yang memiliki kesesuaian memiliki simtom-simtom negatif lebih tinggi dibandingkan par penderita dari pasangan kembar yang tidak memiliki kesesuian. Seperti halnya data keluarga yang kami sampaikan sebelumnya, data ini menunjukkan bahwa simtom-simtom negatif mengandung komponen genetik yang lebih kuat dibanding simtom-simtom positif.
c.       Studi Adopsi
Studi terhadap anak-anak dari ibu yang menderita skizofrenia, namun sejak bayi dibesarkan oleh orang tua adopsi nonskizofrenia yelah memberikan telah memberikan informasi yang lebih meyakinkan mengenai peran gen dalm skizofrenia dengan menghilangkan kemungkinan pengaruh lingkungan yang menyimpang. Heston berhasil memantau 47 orang yang lahir antara 1915 dan 1945 dari para ibu yang menderita skizofrenia dirumah sakit jiwa pemerintah. Bayi-bayi tersebut dipisahkan dari ibu mereka sejak lahir dan dibesarkan oleh orang tua asuh atau orang tua adopsi. Lima puluh peserta control diseleksi dari panti-panti asuhan yang sama dengan yang ditinggali oleh anak-anak dari para ibu yang menderita skizofrenia.
Pengukuran dalam pemantauan tersebut, dilakukan pada tahun 1964, terdiri dari wawancara, MMPI, tes IQ, rating kelas sosial, dan sebagainya. Catatan mengenai setiap peserta dirating secara independen oleh dua orang psikiater, dan evaluasi yang ketiga dilakukan oleh Heston. Rating dibuat berdasarkan skala 0 hingga 100 terhadap disabilitas secara keseluruhan, dan jika memungkinkan, ditegakkan berbagai diagnosis. Secara keseluruhan, para peserta kontrol mendapatkan rating disabilitas yang lebih rendah dibandingkan anak-anak dari para ibu yang menderita skizofrenia. Sebanyak 31 anak dari 47 anak yang memiliki ibu skizofrenia (66%) menerima suatu diagnosis DSM, dibandingkan dengan hanya 9 ank dari 50 anak peserta kontrol (18%). Tidak seorang pun dari peserta kontrol yang mendapatkan diagnosis diagnosis skizofrenia, namun 16,6 % ( 5 orang) dari keturunan para ibu yang menderita skizofrenia juga mendapatkan diagnosis yang sama. Anak anak dari ibu yang menderita skizofrenia juga lebih mungkin untuk didignosis lemah mental, psikopatik, dan neurotik. Mereka lebih sering terlibat dalam tindakan kriminal, menghabiskan lebih banyak waktu diberbagai institusi hukuman, dan lebih sering diberhentikan dari dinas kesetaraan karena berbagai alasan psikiatrik. Anak-anak yang dibesarkan tanpa berhubungan dengan ibu mereka yang patogenik juga lebih mungkin menjadi skizofrenia dibandingkan kelompok kontrol. Studi Heston memberikan dukungan kuat terhadap pentignya faktor-faktor genetik dalam timbulnya skizofrenia.
d.      Evaluasi Data Genetik
Data mengindikasikan bahwa faktor-faktor genetik berperan penting dalam terjadinya skizofrenia. Berbagai studi orang kembar dan keluarga terdahulu dikritik karena tidak memisahkan pengaruh gen dan lingkungan. Meskipun demikian, berbagai studi yang lebih mutakhir terhadap anak-anak yang orang tuanya menderita skizofrenia yang dibesarkan oleh orang tua asuh dan orang tua adopsi, ditambah pemantauan terhadap para kerabat anak-anak adopsi yang menderita skizofrenia, hampir menghilangkan potensi pengaruh lingkungan yang membingungkan.
Faktor- faktor genetik hanya dapat menjadi pemberi prediposisi terhadap skizofrenia. Diperlukan beberapa jenis stres untuk membuat predisposisi menjadi patologi yang dapat diamati. Terlepas dari berbagai masalah dan keterkaitan yang longgar dalam genetik data, data tersebut merupakan sekumpulan bukti yang mengesankan. Korelasi positif yang kuat anatara hubungan kekerabatan secara genetik dan prevalensi skizofrenia tetap merupakan salah satu mata rantai terkuat dalam rantai informasi mengenai berbagai penyebab skizofrenia.
2.      Faktor Biokimia
Peran factor-faktor genetic dalam skizofrenia menunjukkan bahwa factor-faktor biokimia perlu diteliti karena melalui kimia tubuh dan proses-proses biologislah factor keturunan tersebut dapat berpengaruh. Peneliti saat ini mengkaji beberapa neurotransmitter yang berbeda, seperti nerepinefrin dan serotonin.
a.      Aktivitas Dopamin
Teori bahwa skizofrenia berhubungan dengan aktivitas berlebihan neurotrensmiter dopamine, terutama didasarkan pada pengetahuan bahwa obat-obatan yang efektif untuk menangani skizofrenia menurunkan aktivitas dopamin. Para peneliti mencatat bahwa obat-obat antipsikotik, selain manfaat untuk menangani beberapa simtom skizofrenia, menimbulkan efek samping yang mirip dengan simtom-simtom penyakit Parkinson. Penyakit Parkinson diketahui sebagian disebabkan oleh kadar dopamin yang rendah dalam bagian saraf otak tertentu. Setelah itu dikonfirmasi bahwa karena strukturnya sama dengan molekul dopamin, molekul-molekul obat-obatan antipsikotik memiliki kecocokan sehingga menghambat berbagai reseptor dopamin pascasinaptik. Reseptor-reseptor dopamin yang dihambat oleh obat-obat antipsikotik disebut reseptor D2. Dari pengetahuan mengenai cara kerja obat-obatan yang membantu para pasien skizofrenia ini, adalah suatu lompatan induktif kecil untuk menganggap skizofrenia disebabkan oleh aktivitas berlebihan dopamin dibagian saraf otak.
Dukungan lebih jauh yang tidak langsung bagi teori dopamin dalam skizofrenia diperoleh dari literatur mengenai psikosis amfetamin. Amfetamin dapat menyebabkan suatu kondisi yang sangat mirip dengan skizofrenia paranoid, dan dapat memperparah simtomatologi pasien skizofrenia. Amfetamin menyebabkan pelepasan katekolamin, termasuk neropinefrin dan dopamin, kedalam celah sinaptik dan mencegah inaktivitasnya. Kita dapat relative yakin bahwa efek amfetamin yang menimbulkan psikosis merupakan akibat peningkatan dopamine dan bukan peningkatan norepinefrin karena obat-obat antipsikotik adalah obat yang menyembuhkan psikosis amfetamin.
Beberapa studi terhadap otak para pasien skizofrenia pascakematian, serta hasil pemindahan PET para pasien skizofrenia, mengungkapkan bahwa reseptor dopamine lebih besar jumlahnya atau hipersensitif pada beberapa orang penderita skizofrenia. Memiliki lebih banyak reseptor memberikan kesempatan yang lebih besar bagi dopamine yang dilepaskan untuk merangsang suatu reseptor.
Perkembaangan selanjutnya dalam teori dopamin memperluas ruang lingkupnya. Perubahan penting termaksud diketahuinya perbedaan diantara jalur-jalur saraf yang menggunakan dopamin sebagai transmiter. Kelebihan aktivitas dopamin yang diduga paling relevan dengan skizofrenia terdapat didalam jalur mesolimbik, dan efek terapeutik obat-obat antipsikotik terhadap simtom-simtom positif terjadi dengan cara menghambat berbagai reseptor dopamin dalam sistem saraf tersebut sehingga menurunkan aktivitasnya.
b.      Evaluasi Data Biokimia
Teori dopamin tidak muncul sebagai teori lengkap mengenai skizofrenia. Perlu beberapa minggu bagi obat-obatan antipsikotik untuk secara bertahap mengurangi simtom-simtom skizofrenia meskipun obat-obat tersebut dengan cepat menghambat reseptor dopamin. Pemisahan antara efek behavioral dan efek farmakologis obat-obat antipsikotik sulit dimengerti dalam konteks teori terkait.
Secara ringkas, meskipun dopamin tetap merupakan variabel biokimia yang paling aktif diteliti, namun tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lengkap mengenai biokimia skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan dengan simtom-simtom yang luas mencakup persepsi, kognisi, aktivitas motorik, dan perilaku sosial. Tidak mungkin bila satu neurotransmiter tunggal dapat menjadi penyebab semua itu. Para peneliti skizofrenia yang berorientasi biokimia melalui menebar jaring biokimia yang lebih lebar, berpindah dari titik berat yang hampir eksklusif pad dopamin. Glumat dan seratonin dapat berada dijalur terdepan dalam penelitian, mungkin dikombinasikan dengan aktivitas dopamin.
3.      Otak dan Skizofrenia
Analisis pascakematian pada otak pasien skizofrenia merupakan salahsatu sumber bukti. Berbagai studi semacam itu secar konsisten meengungkap adanya abnormalitas pada beberap daerah otak pasien skizofrenia, meskipun abnormalitas spesifik yang dilaporkan bervariasi antar studi, dan terdapat banyak temuan yang saling bertentangan. Temuan yang paling konsisten adalah pelebaran rongga otak yang erimplikasi pada hilangnya beberapa sel otak. Berbagai temuan lain yang cukup konsisten mengindikasikan abnormalitas sruktur pada daerah subkortikal temporallimbik, seperti hipokampus dan basal ganglia, dan pada korteks prefrontalis dan temporal.
Hal yang lebih mengesankan adalah berbagai citra yang diperoleh dalam berbagai pemindahan CT dan studi MRI. Para peneliti segera menggunakan alat-alat baru tersebut pada otak pasien skizofrenia yang masih hidup. Sejauh ini, berbagai citra jaringan otak hidup secara paling kosisten mengungkap bahwa beberapa pasien, terutama laki-laki memiliki rongga otak yang melebar. Penelitian juga menunjukkan berkurangnya daerah abu-abu kortikal didaerah temporal dan frontalis dan berkurangnya volume basal ganglia dan struktur limbik.
Berbagai macam data menunjukkan bahwa korteks prefrontalis secara khusus penting dalam skizofrenia.
a.       Korteks prefrontalis diketahui berperan dalam perilaku seperti berbicara, pengambilan keputusan, dan tindakan yang bertujuan, yang kesemuanya mengalami gangguan dalam skizofrenia.
b.      Berbagai studi MRI menunjukkan berkurangnya abu-abu dalam korteks prefontalis.
c.       Dalam suatu jenis pencitraan fungsional dimana metabolisme glukosa diberbagai daerah otak diteliti ketika pasien sedang mengerjakan tes-tes psikologis, para pasien skizofrenia menunjukkan tingkat metabolisme yang rendah dalam korteks prefrontalis.
Salah satu kemungkinan beberapa abnormalitas otak tersebut adalah kerusakan semasa kehamilan atau saat kelahiran. Banyak studi menunjukkan angka komplikasi kelahiran yang tinggi pada para pasien skizofrenia: beberapa komplikasi semacam itu dapat diakibatkan oelh pasokan oksigen yang berkurang ke otak, dan mengakibatkan hilangnya daerah abu-abu kortikal. Berbagai komplikasi kelahiran tersebut tidak meningkatkan angka kejadian skizofrenia pada setiap orang yang mengalami komplikasi tersebut:; resiko skizofrenia meningkat pada mereka yang mengalami komplikasi kelahiran dan memiliki suatu diathesis genetik.
Meskipun data-data yang ada tidak seluruhnya konsisten, kemungkinan lain adalah adanya suatu virus yag masuk keotak dan merusaknya ketika masih dalam perkembangan. Para peneliti meneliti angka kejadian skizofrenia pada orang dewasa yang kemugkinan telah terpapar virus tersebut semasa dalam kandungan.
4.      Stres Psikologis dan Skizofrenia
Stres psikologis berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan biologis untuk menimbulkan penyakit ini. Data menunjukkan bahwa peningkatan stres kehidupan meningkatkan kemungkinkan kekambuhan. Lebih jauh lagi, para individu yang menderita skizofrenia tampak sangat reaktif terhadap berbagai stresor yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dua stresor yang telah mengambil bagian penting dalam penelitian dibidang ini, adalah kelas sosial dan keluarga.
a.      Kelas Sosial dan Skizofrenia
Selama bertahun-tahun kita telah mengetahui bahwa angka kejadian tertinggi skizofrenia terdapat diberbagai wilayah pusat kota yang dihuni oleh masyarakat dari kelas-kelas sosial terendah. Hubungan antara kelas sosial dan skizofrenia tidak menunjukkan tingkat kejadian skizofrenia yang semakin tinggi seiring semakin rendahnya kelas sosial. Namun, terdapat perbedaan yang sangat tajam anatara jumlah orang yang menderita skizofrenia dalam kelas sosial terendah dan jumlah penderita skizofrenia pada berbagai kelas sosial lain.
Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki konsistensi, namun sulit untuk menginterpretasinya secara kasual. Beberaoa orang percaya bahwa stresor yang berhubungan dengan kelas sosial rendah dapat menyebabkan atau berkontribusi terhadap terjadinya skizofrenia yaitu hipotesis sosiogenik. Perlakuan merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain, tingkat pendidikan yang rendah, dan keberadaan seseorang dalam kelas sosial terendah sebagai kondisi yang penuh stres yang dapat membuat seseorang setidak-tidaknya yang memiliki predisposisi menderita skizofrenia. Alternatif lain, berbagai stresor yang dihadapi oleh mereka yang berada dikelas sosial terendah dapat bersifat biologis.; contohnya, kita mengetahui bahwa para ibu yang gizinya buuk selama kehmilan akan melahirkan anak-anak yang memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap skizofrenia.
Penjelasan lain mengenai korelasi antara skizofrenia dan kelas sosial rendah adalah teori seleksi-sosial., yang membalikkan arah kausalitas anatara kelas sosial rendah dan skizofrenia. Dalam perjalanan berkembangnya psikossis mereka, orang-orang yang menderita skizofrenia dapat terseret ke dalam wilayah kota yang miskin. Berbagai masalah kognitif dan motivasional yang semakin berkembang yang membebani para individu tersebut dapat sangat melemahkan kemampuan mereka untuk memperoleh pendapatan sehingga mereka tidak mampu tinggal diwilayah lain. Atau, mereka memilih untuk pindah kewilayah dimana mereka hanya menghadapi sedikit tekanan sosial dan dimana mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang mendalam.
b.      Keluarga dan Skizofrenia
Para teoris terdahulu menganggap hubungan keluarga, terutama antara ibu dan anak laiki-lakinnya, sebagai hal peneting dalam terjadinya skizofrenia. Pada satu saat pandangan tersebut sangat banyak dianut sehingga istila ibu skizofrenogenik diciptakan bagi ibu yang tampak dingin dan dominan, serta selalu menciptakan konflik, yang dianggap menyebabkan skizofrenia pada anaknya. Para ibu tersebut memiliki karakter menolak, terlalu melindungi, mengorbankan diri sendiri, tidak tergerak oleh perasaan orang lain, kaku dan moralistik terhadap seks, dan takut terhadap keintiman. 
Berbagai studi terkendali yang mengevaluasi teori ibu-skizofrenogenik tidak menghasilkan data yang mendukung. Meskipun demikian, berbagai studi terhadap keluarga para individu yang menderita skizofrenia mengungkap bahwa dalam beberapa hal mereka berada dari keluarga normal, sebagai conoh, menunjukkan pola komunikasi yang membingungkan dan tingkat konflik yang tinggi. Meskipun demikian, adalah suatu kemungkinan bila konflik dan komunikasi yang tidak jelas tersebut mungkin merupakan akibat dari adanya anggota keluarga yang berusia muda yang menderita skizofrenia.
Dalam sebuah studi penting mengenai penyimpangan komunikasi, para remaja yang memiliki masalah perilaku diteliti bersama dengan keluarga mereka. Pemantauan selama lima tahun mengungkapkan bahwa sejumlah anak muda telah menderita skizofrenia atau berbagai gangguan lain yang berhubungan dengan skizofrenia. Para peneliti kemudian mampu menghubungkan berbagai gangguan yang diketahui pada saat pemantauan tersebut dengan setiap penyimpangan komunikasi orang tua yang telah terlihat lima tahun sebelumnya. Penyimpangan komunikasi dalam keluarga memang ditemukan memprediksi terjadinya skizofrenia kelak pada anak-anak mereka, memperkuat signifikansinya. Meskipun demikian, penyimpangan komunikasi bukan merupakan faktor etilogis spesifik bagi skizofrenia karena orang tua para pasien manik sma tingginya pada variabel ini.
5.      Studi Perkembangan Skizofrenia
Pada tahun 1960-an, Albee dan Lane serta para kolega mereka secara berulang menemukan bahwa anak-anak yang dikemudian hari menderita skizofrenia memiliki IQ yang lebih rendah dibandingkan para anggota berbagai kelompok kontrol, yang biasanya terdiri dari para saudara kandung dan teman-teman seusia dilingkungan tempat tinggal mereka.
Para peneliti juga meneliti berbagai film keluarga yang dibuat sebelum onset skizofrenia, sebagai bagian dari kehidupan keluarga normal. Dibandingkan dengan saudara-saudara kandung mereka yang dikemudia  hari tidak menjadi skizofrenia, anak-anak praskizofrenik menunjukkan keterampilan motorik yang lebih rendah dan ekspresi afek negatif yang lebih banyak.
Data-data tersebut, meskipun berasal dari sebuah studi kecil, menunjukkan bahwa etilogi skizofrenia dapat berbeda pada para pasien dengan simtom positif dan negatif. Dalam satu analisis terhadap data tersebut, para pasien skizofrenia dibagi menjadi dua kelompok, mereka yang memiliki simtom-simtom positif yang dominan dan mereka yang memiliki simtom-simtom negatif yang domina. Berbagai variabel yang memprediksikan skizofrenia berbeda pada dua kelompok tersebt. Skizofrenia dengan simtom negatif didahului dengan riwayat komplikasi kehamilan dan kelahiran dan kegagalan memberikan respon-respon elektrodermal terhadap stimuli yang sederhana. Skizofrenia simtom positif didahului oleh riwayat ketidakstabilan keluarga, seperti dipisahkab  dari orang tua dan tinggal dipanti atau lembaga asuhan selama beberapa kurun waktu.
E.     Terapi Skizofrenia
Sederetan simtom yang membingungkan dan sering kali menakutkan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang menderita skizofrenia membuat penanganan jadi sulit. Meskipun beberapa orang yang mengalami gangguan parah berabad-abad lalu yang dimasukkan keberbagai rumah sakit jiwa dengan kondisi mengenaskan sebenarnya hanya menderita penyakit seumum sifilis., tampaknya hanya ada sedikit keraguan bahwa banyak dari mereka, jika diteliti dewasa ini, akan didiagnosis menderita skizofrenia. Dewasa ini mengetahui tentang karakteristik dan etilogi skizofrenia; namun meskipun kita dapat menangani simtom-simtomnya secara cukup efekif, penyembuhan masih jauh dari mungkin. Sebagian terbesar penelitian menunjukkan bahwa perawatan dirumah sakit tidak banyak berguna untuk menghasilkan efek perubahan yang berarti dan bertahan lama pada mayoritas pasien gangguan jiwa.
Suatu masalah besar dalam jenis penanganan apa pun untuk skizofrenia adalah banyak pasien yang menderita skizofrenia kurang memiliki insight atas hendaya mereka dan menolak semua terapi yang diberikan. Karena mereka tidak percaya bahwa mereka menderita suatu penyakit, mereka tidak merasa membutuhkan intervensi professional, terutama juka mencakup perawatan dirumah sakit atau pemberian obat-obatan. Hal ini terutama terjadi pada orang-orang yang menderita skizofrenia paranoid, yang dapat menganggap setiap terapi sebagai campur tangan yang mengandung ancama dari kekuatan luar yang hostile. Olah karena itu, para anggota keluarga menghadapi suatu tantangan besar untuk membuat kerabat mereka bersedia menjalani perawatan yang merupakan salah satu alas an mengapa kadang mereka memilih memasukkan pasien kerumah sakit secara paksa dengan alas an komitmen sipil sebagai jalan terakhir.
1.      Penanganan Biologis
a.      Terapi Kejut dan Psychosurgery
Pertemuan umum para pasien dirumah-rumah sakit jiwa diawal abad ke-20, ditambah minimnya staf professional, menciptakan suatu iklim yang memungkinkan, atau mungkin bahwa didorong secara halus, eksperimentasi berbagai intervensi biologis yang radikal. Diawal tahun 1930-an praktik menimbulkan koma dengan memberikan insulin dalam dosis tinggi diperkenalkan oleh Sakel (19380, yang mengklaim bahwa ¾ dari pasien skozofrenia yang ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan terkemudian oleh para peneliti lain kurang mendukung hal itu, dan terapi koma insulin -yang berisiko serius terhadap kesehatan, termasuk koma yang tidak dapat disadarkan dan kematian- secara bertahap ditinggalkan.
Pada taun 1935, Moniz, seorang psikiater berkebangsaan Portugis, memperkenalkan lobomi prefrontalis, suatu prosedur pembedahan yang membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan pusat otak bagian bawah. Berbagai laporan awalnya mengklaim tingkat keberhasilan yang tinggi, dan selama 20 tahu sesudahnya ribuan pasien jiwa –tidak hanya yang didiagnosis menderita skizofrenania- menjalani berbagai variasi psychosurgery. Prosedur tersebut dilakukan terutama bagi pasien yang perilakunya agresif. Banyak pasien yang memang menjad tenang dan bahkan dapat keluar dari rumah sakit. Meskipun demikian, dalam tahun 1950-an intervensi ini mendapatkan reputasi buruk karena beberapa alasan. Setelah pembedahan banyak pasien menjadi tumpul dan tidak bertenaga dan sangat kehilangan berbagai kemampuan kognitif mereka – sebagai contoh, tidak mampu melakukan percakapan yang runtut dengan orang lain- yang tidak mengerankan menilik dibuangnya bagian otak mereka yang diyakini bertanggung jawab terhadap pikiran. Namun, alas an utama ditinggalkannya terapi ini adalah penemuan obat-obatan yang tampaknya mengurangi berbagai ekses behavioural dan emosional pada banyak pasien.
b.      Terapi Obat
Perkembangan terpenting dalam terapi untuk skizofrenia adalah penemuan obat-obatan pada tahun 1950-an yang secara kolektf disebut obat-obatan antipsikotik, yang juga disebut neuroleptic karena menimbulkan efek samping yang sama dengan simtom-simtom penyakit neurologis.
1)      Obat-obatan Antipsikotik Tradisional
Salah satu obat antupsikotik yang paling sering diresepkan, fenothiazin, diciptakan pertama kai oleh ahli kimia berkebangsaan Jerman diakhir abad ke-19. Namun, sebelunya ditemukannya antihistamin yang mengandung nucleus fenothiazin, pada tahun 1940-an, fenothiazin tidak mendapatkan banyak perhatian.
Lebih dari sekedar digunakan untuk mengobati pilek biasa dan asma, ahli bedah berkebangsaan Prancis Laborit memelopori penggunaan antihistamin untuk mengurangi syok karena pembedahan. Ia mengamati bahwa obat ini membuat pasien agak mengantuk dan ketakutannya menghadapi operasi berkurang. Tidak lama setelah itu seorang ahli kimia prancis, Charpentier, ,enyiapkan suatu derivate baru fenothiazin, yang disebut khlorpromazin. Obat ini terbukti sangat efektif untuk menenangkan pasien skozofrenia. Fenothiazin menghasilkan efek terapeutik dengan menghambat berbagai reseptor dopamine di dalam otak sehingga mengurangi pengaruh dopamine pada pikiran, emosi, dan perilaku. Obat-obat antipsikotik secara signifikan mengurangi perawatan jangka panjang dirumah sakitm namun obat-obat tersebut juga menciptakan lingkaran setan yaitu masuk rumah sakit, keluar, dan kembali masuk rumah sakit yang terjadi pada beberapa pasien .
2)      Efek Samping Antipsikotik Tradisional
Efek samping antipsikotik yang umum dilaporkan adalah pusing, penglihatan kabur, tidak bisa tenang, dan disfungsi sekseual. Selain itu, sekumpulan efek samping yang sangat menganggu, yang disebut efek samping ekstrapiraidal, berakar dari berbagai disfungsi batang saraf yang menjulur dari otak ke neuron motoric pada tulang belakang. Orang-orang yang mengosumsi antipsikotik biasanya mengalami tremor pada jari, langkah yang terseret, dan berliur. Efek samping lain mencakup distonia, suatu kondisi kekakuan otok, dan dyskinesia, suatu gerakan abnormal otot-otot sadar dan tidak sadar, mengakibatkan gerakan mengunyah serta gerakan lain pada bibir, jari, dan kaki; secara bersamaan mereka menyebabkan punggung melengkung dan posisi leher dan tubuh yang terpilin. Akasthesia adala ketidakmampuan untuk tetap diam,; orang terus-menerus bergerak dan tidak dapat tenang. Simtom-simtom yang meganggu ini dapat diatasi dengan memberikan obat bagi penyakit Parkinson.
Dalam gangguan otot yang dialami pasien skizofrenia yang berusia lanjut, yang disebut dyskinesia tardif, otot-otot mulut tanpa dapat dikendalikan membuat gerakan menghisap, bibir berkecap, dan dagu bergerak kekanan dan kekiri. Terakhir, suatu efek samping yang disebut sindrom neuroleptic berbahaya terjadi pada sekitar satu persen kasus. Dalam kondisi ini , yang kadang dapat menjadi fatal, terjadi kekakuan otot yang parah, disertai demam. Denyut jantung meningkat, tekanan darah naik, dan pasien dapat menjadi koma.
3)      Terapi Obat Terbaru
Situasi sangat berubah dalam tahun-tahun terakhir, dengan diperkenalkannnya klozapin,yang dapat memberikan manfaat terapeutik bagi para pasien skizofrenia yang tidak merespon dengan baik obat-obat antipsikotik tradisonal dan memberikan manfaat terapeutik yang lebih besar dalam mengurangi simtom-simtom positif dibandingkan obat-obat antiosikotik tradisonal. Para pasien mengosumsi klozapin juga memiliki kemungkinan lebih kecil untuk berhenti dari terapi. Selain itu, klozapin menimbulkan efek samping motoric yang lebih sedikit dibandingkan antipsikotik tradisional. Lebih jauh lagi lagi, pemeliharaan kondisi para pasien yang sudah keluar dari rumah sakit dengan menggunakan klozapin mengurangi angka kekambuhan.
Meskipun demikian, klozapin menimbulkan efek samping serius. Obat ini dapat melemahkan keberfungsian system mun pada sejumlah kecil pasien dengan menurunnya sel darah putih, menjadikan pasien yang mengosumsi klozapin harus dipantau secara hati-hati. Obat tersebut juga dapat menimbulkan kejang-kejang dan efek samping lain seperti pusing, fatik, berliur, dan penambahan berat badan.
4)      Evaluasi Terapi Obat
Obat-obat antipsikotik merupakan bagian yang tidak dapat dihapuskan dalam penanganan skizofrenia dan tanpa diragukan akan terus menjadi suatu komponen penting. Obat-obat tersebut jelas lebih dipilih daripada jaket pengikat yang sebelunya digunakan untuk mengikat pasien.
2.      Penanganan Psikologis
a.      Terapi Psikodinamika
Harry Stack Sullivan adalah seorang psikiater berkebangsaan Amerika, yang memelopori penggunaan psikoterapi bagi para pasien skizofrenik yang dirawat di rumah sakit. Sullivan membangun sebuah bangsal di Rumah Sakit Sheppard dan Enoch Pratt di Towson, Maeyland, pada tahun 1923 dan mengembangkan penanganan psikoanalitis yang dilaporkan sangat berhasil.
Sullivan berpendapat bahwa skizofrenia mencermnkan suatu kondisi dimana seseorang kembali ke bentuk komunikasi pada awal masa kanak-kanak. Ego yang lemah pada para penderita skizofrenia, yang tidak mampu mengatasi stress ekstream dalam berbagai tantangan interpersonal, kemudian mengalami regresi. Maka, terapi menghendaki pasien untuk mempelajari bentuk-bentuk komunikasi orang dewasa dan memperoleh insight atas peran masa lalu dalam berbagai masalah saat ini. Sullivan menyarankan pembentukan hubungan kepercayaan yang sangat bertahap dan tidak mengancam. Contohnya, ia merekomendasikan terapis duduk agak disamping pasien agar tidak memaksakan kontak mata, yang dinilai terlalu menakutkan pada tahap-tahap awal penanganan. Setelah melewati banyak sesi, dan dengan terbentuknya rasa percaya dan dukungan yang lebih besar, analis mulai mendorong pasien untuk mengkaji berbagai hubungan interpersonalnya. Bersama dengan Sullivan, Fromm-Reichmann membantu mengembangkan berbagai jenis psikoanalis sebagai suatu penanganan utama bagi skizofrenia.
Meskipun sangat banyak klaim keberhasilan yang disampaikan atas berbagai analisis yang dilakukan oleh Sullivan dan Fromm-Reichmann, pengamatan teliti terhadap pasien yang mereka tangani menunjukkan banyak diantara mereka yang hanya mengalami gangguan ringan dan mungkin bahkan tidak ada diagnosis skizofrenik berdasarkan kriteria DSM- IV-TR yang sangat ketat bagi gangguan ini.
b.      Pelatihan Keterampilan Sosial
Pelatihan keterampilan sosial mengahari para penderita skizofrenia bagaimana dapat berhasil dalam berbagai situasi interpersonal yang sangat beragam-antara lain membahas pengobatan mereka dengan psikiater, memesan makanan direstoran, mengisi formulir lamaran kerja dan belajar melakukan wawancara kerja (kadang disebut rehabilitasi pekerjaan), mengatakan tidak terhadap tawaran membeli obat di pinggir jalan, belajar tentang seks yang aman,membaca jadwal pelayanan bis- berbagai perilaku yang bagi sebagian besar diantara kita dilakukan begitu saja dan hamper tidak pernah kita pikirkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi para penderita skizofrenia, keterampilan kehidupan tersebut bukan hal yang dapat dilakukan begitu saja; para individu semacam itu harus berusaha keras untuk menguasainya atau kembali menguasainya. Dengan melakukan hal-hal tersebut memungkinkan orang yang bersangkutan mengambil bagian lebih besar dalam hal-hal positif yang terdapat diluar tembok-tembok institusi mental sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka.
Dalam demonsrasi pelatihan keterampilan sosial terdahulu, Ballack, Hersen, dan Turner merekayasa berbagai situasi sosial bagi tiga pasien skizofrenia kronis dan kemudian mengamati apakah mereka berprilaku secara pantas.
c.       Terapi Keluarga dan Mengurangi Ekspresi Emosi
Banysk pasien yang menderita skizofrenia dan sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit kembali pulang ke keluarga mereka. Meskipun berbeda dari segi lama intervensi, tempat pelaksanaan, dan teknik spesifik yang digunakan,, berbagai terapi tersebut memiliki kesamaan diluar tujuan menyeluruhnya yaitu meredahkan segala sesuatu bagi pasien dengan cara meredakan segala sesuatu bagi keluarga.
1)      Edukasi tentang skizofrenia, teruama kerentanan biologis yang mempresposisi seseorang terhadap penyakit tersebut, berbagai masalah kognitif yang melekat dengan skizofrenia, simtom-simtomnya, dan tanda-tanda akan terjadinya kekambuhan.
2)      Informasi tentang dan pemantauan berbagai efek pengobatan antipsikotik.
3)      Menghindari saling menyalahkan terrutama, mendorong keluarga untuk tidak menyalahkan diri sendiri maupun pasien atas penyakit tersebut dan atas semua kesulitan yang dialami seluruh keluarga dalam menghadapi penyakit tersebut.
4)      Memperbaiki komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah dalam keluarga.
5)      Mendorong pasien dan keluarganya untuk memperluas kontak sosial mereka, terutama jaringan dukungan mereka.
6)      Menanamkan sebentuk harapan bahwa segala sesuatu dapat menjadi lebih baik, termasuk harapan bahwa pasien bisa untuk tidak kembali dirawat dirumah sakit.
Dibandingkan dengan berbagai terapi standar (biasanya hanya pemberian obat)., terapi keluarga ditambah pemberian obat umumnya menurunkan tingkat kekambuhan dalam periode satu hingga dua tahun.
d.      Terapi Kognitif- Behavioral
Sebelumnya diasumsikan bahwa tidak ada gunanya mencoba mengubah berbagai distorsi kognitif, termasuk delusi, pada para pasien skizofrenik. Meskipun demikian, suatu literature klinis dan eksperimental yang sedang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa berbagai keyakinan maladaptive pada beberapa pasien kenyataannya dapat diubah dengan berbagai intervensi kognitif-behavioral.
e.       Terapi Personal (Personal Therapy)
Hogarty dkk menyebut “terapi personal” adalah suatu pendekatan kognitif behavioural berspektrum luas terhadap multiplisitas masalah yang dialami para pasien skizofrenia yang telah keluar dari rumah sakit. Terapi individualistic ini dilakukan secara satu per satu maupun dalam kelompok kecil. Satu elemen utama dalam pendekatan ini, berdasarkan temuan dalam penelitian EE bahwa penurunan jumlah reaksi emosi pada anggota keluarga menurunkan tingkat kekambuhan setelah keluar dari rumah sakit, adalah mengajari pasien bagaimana mengenali afek yang tidak sesuai. Jika diabaikan, afek tidak sesuai dapat semakin berkembang dan menyebabkan berbagai distorsi kognitif dan perilaku sosial yang tidak sesuai. Para pasien diajari untuk memeperhatikan tanda0tanda kekambuhan meskipun kecil, seperti penarikan diri dari kehidupan sosial atau antimidasi yang tidak pantas kepada orang lain, dan mereka mempelajari berbagai keteramilan untuk mengurangi masalah-masalah tersebut. Perilaku semacam itu, jika tidak terdeteksi, sangat mungkin menghambat upaya pasien untuk hidup sesuai aturan konvensional, termasuk bekerja dan membangun serta mempertahankan hubungan sosial. Terapi tersebut juga mencakup terapi perilaku rasional emotif untuk membantu pasien mencegah berbagai frustasi dan tantangan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan menjadi suatu bencana dan dengan demikian membantu mereka menurunkan kadar stress.
Selain itu pasien juga sering diajari teknik-teknik relaksasi otot sebagai suatu alat bantu untuk belajar mendeteksi kecemasan atau kemarahan yang berkembang secara perlahan kemudian menerapkan keterampilan relaksasi untuk mengendalikan berbagai emosi tersebut secara lebih baik.
Terapi individual Hogarty juga mencakup berbagai elemen non behavioural, terutama penerimaan yang hangat dan empatik atas gangguan emosional dan kognitif pasien bersama dengan ekspektasi yang realistik, namun optimistik bahwa hidup dapat menjadi lebih baik. Secara umum, para pasien diajari bahwa mereka memiliki kerentanan emosional terhadap stres, bahwa pikiran mereka tidak selalu sejernih yang seharusnya, bahwa mereka harus tetap meneruskan pengobatan, dan bahwa mereka dapat mempelajari berbagai macam keterampilan agar dapat menjalani hidup secara maksimal. Ini bukan penanganan jangka pendek; penanganan ini dapat berlangsung selam 3 tahun dengan sesi terapi setiap satu atau dua minggu sekali.
Terakhir hal penting dalam terapi ini adalah apa yang disebut Hogarty dkk. Sebagai ‘manajemen kritisme dan penyelesaian konflik”. Istilah tersebut merujuk pada cara menghadi umpan balik negatif dari orang lain dan cara menyelesaikan berbagai konflik interpersonal yang merupakan bagian tak terhindarkan dalam berhubungan dengan orang lain. Mengajari pasien keterampilan penyelesaian masalah sosial –cata mengatasi berbagai tantangan yang tidak terhindarkan yang dihadapi oleh setiap orang dalam berhubungan dengan orang lain- merupakan bagian dari elemen terapi ini.
f.       Terapi Reatribusi (Reatribution Therapy)
Melalui diskusi kolaboratif (dan dalam konteks berbagai moda intervensi lain, termasuk pemberian obat-obatan antipsikotik), beberapa pasien dibantu untuk memberikan suatu makna nonpsikotik terhadap berbagai simtom paranoid sehingga mengurangi intensitas dan karakteristiknya yang berbahaya, sama dengan yang dilakukan dalam terapi kognitif Beck untuk depresi dan pendekatan Barlow.
g.      Mengamati Fungsi-fungsi Kognitif Dasar
Dalam beberapa tahun terakhir para peneliti telah mengamati berbagai aspek fundamental kognisi yang mengalami gangguan dalm skizofrenia dalam upaya untuk memperbaiki fungsi-fungsi ini sehingga dapat memengaruhi perilaku secara positif. Pendekatan ii berkonsentrasi pada upaya menormalkan fungsi-fungsi kognitif fundamental seperti perhatian dan memori, yang diketahui melemah pada banyak pasien skizofrenia dan berhubungan dengan adaptasi sosial yang buruk.
Berbagai upaya dilakukan di Pusat Penelitian Klinis bagi skizofrenia dan Rehabilitasi Psikiatrik di UCLA, yang dipimpin oleh psikiater peneliti Robert Paul Liberman, untuk meningkatkan fungsi-fungsi kognitif dasar melalui berbagai cara psikologis seperti kemampuan belajar verbal. Tujuan lain adalah menyusun berbagai strategi intervensi yang memaksimumkan penggunaan fungsi-fungsi kognitif yang relatif tidak mengalami kerusakan karena skizofrenia, seperti kemampuan untuk memahami dan mengingat apa yang ditampilkan dalam suatu gambar. Sebagai contoh, digunakan foto yang relevan dengan pembelajaran keterampilan sosial yang diperlukan selain berbagai car verbal yang biasa digunakan untuk mengajarkan keterampilan semacam itu.
3.      Manajemen Kasus
Setelah dimulainya era perawatan diluar rumah sakit pada tahun 1960-an, banyak pasien yang menderita skizofrenia tidak lagi hidup dirumah-rumah sakit jiwa dan harus berjuang sendiri untuk untuk memperoleh pelayanan yang dibutuhkan. Kurangnya rumah sakit terpusat sebagai tempat dimana sebagian besar pelayanan diberikan, sistem kesehatan mental menjadi semakin kompleks. Pada tahun 1977, khawatir bila banyak pasien tidak dapat dapat mengakses layanan, National Institute of Mental Health (NIMH) menyusun suatu program yang memberikan bantuan dana keseluruh negara bagian untuk membantu pasien menghadapi sistem kesehatan mental. Dari program ini tercipta suatu bidang keahlian baru dalam kesehatan mental, yaitu manajejer kasus.
Seiring berjalannya waktu, berkembang berbagai model manajemen kasus. Inovasi besar adalah pengakuan bahwa para manajer kasus sering kali diperlukan untuk menyediakan berbagai layanan klinik langsung dan layanan tersebut akan lebih baik bila diberikan oleh satu tim daripada dipialangi. Model Assertive Community Treatmen dan model Intensive Case Management mencakup suatu tim multidisiplin yang menyediakan berbagai layanan dimasyarakat mulai dari pengobatan, penanganan bagi penyalahgunaan zat, membantu mengatasi berbagai stresor yang dihadapi pasien secara rutin (seperti mengatur keuangan), psikoterapi, pelatihan pekerjaan, dan membantu pasien mendapatkan rumah dan pekerjaan. Para manajer kasus berfungsi sebagai “lem” yang merekatkan dan mengoordinasikan seluruh layanan medis dan psikologis yang penting bagi para pasien skizofrenik agar tetap dapat berfungsi diluar rumah sakit dengan cukup kemandirian serta ketenangan pikiran.
4.      Kecenderungan Umum dalam Penanganan
Berbagai pendekatan kontemporer yang paling menjanjikan terhadap penanganan memanfaatkan dengan baik pemahaman yang semakin meningkat tersebut dan menekankan pentingnya intervensi farmakologis dan Psikososial.
a.       Keluarga dan pasien dapat diberikan informasi yang realistis dan cukup ilmiah tentang skizofrenia sebagai disabilitas yang dapat dikendalikan, namun mungkin dialami seumur hidup.
b.      Pengobatan hanya merupakan bagian dari keseluruhan penanganan.
c.       Semakin diakui bahwa intervensi dini penting dan berguna untuk memengaruhi perjalan skizofrenia. Yaitu, memberikan kepada pasien pengobatan yang tepat dan memberikan dukungan serta informasi bagi keluarga dan psikoterapi yang tepat bagi pasien dapat mengurangi parahnya kekambuhan di masa mendatang.
d.      Meskipun jenis penanganan terpadu yang telah di gambarkan memang memjanjikan, fakta yang menyedihkan adalah hal itu tidak tersedia atau terakses secara luas oleh sebagian besar pasien dan keluarga mereka.
5.      Berbagai Isu yang Berkembng dalam Perawatan Pasien Skizofrenia
Seiring bertambahnya usia para pasien skizofrenia, semakin tidak mungkin mereka tinggal bersama keluarga mereka. Transisi ke berbagai tempat tinggal diluar rumah orang tua mereka penuh dengan risiko.keberfungsian yang semakin menurun ibarat spiral kearah bawah sulit untuk dibalikkan arahnya,. Jaminan sosial diberikan bagi para pnderita skizofrenia, namun banyak yang tidak menerima jaminan yang menjadi haknya tersebut karena berbagai lembaga birokrasi federal dan negara bagian yang tidak memiliki staf yang memadai. Dan banyak pasien skizofrenia yang kehilangan kontak dengan berbagai program pananganan pascarumah sakit yang pernah mereka ikuti.
Meskipun demikian, terdapat beberapa gejala posistif. Dua puluh atau tiga puluh tahun setelah ditemukannya simtom skizofrenia untuk pertama kalinya, sekitar separuh pasien skizofrenia mampu merawat diri mereka sendiri dan berpartisipasi secara bermakna di masyarakat luas. Beberapa diantaranya tetap melanjutkan pengobatan, namun banyak yang tidak lagi dan tetap berfungsi cukup baik sehingga tidak perlu kembali ke rumah sakit. Departemen Perumahan dan Pengembangan Wilayah Kota di Amerika Serikat baru-baru ini mulai memberikan bantuan uang sewa bagi mantan pasien mental untuk membantu mereka tinggal di apartemen pribadi, dimana mereka dikunjungi secara berkala oleh para petugas kesehatan mental.
F.     Neurocognitive Disorders (Gangguan Neurokognitif)
Dikemukakan bahwa gangguan dapat muncul akibat dari perubahan pada otak berupa struktur, fungsi, dan kimia. Ada beberapa alasan kenapa gangguan neurokognitif dibahasa dalam psikologi abnormal. Pertama, karena dimasukkannya mereka dalam DSM menunjukkan bahwa gangguan ini dianggap sebagai kondisi psikopatologis. Kedua, beberapa kelainan otak menyebabkan gejala yang tampak luar biasa seperti gangguan psikologi abnormal lainnya. Ketiga, kerusakan pada otak dapat menyebabkan perubahan perilaku, mood dan personality. Mengetahui area dari otak yang terlibat dalam perubahan perilaku, mood dan personality saat terjadi saat kerusakan otak dapat membantu dalam hal penelitian yang bersangkutan dengan psikologi abnormal. Keempat, banyak orang menderita gangguan otak (misalnya, orang yang didiagnosis menderita penyakit Alzheimer) bereaksi terhadap berita diagnosis mereka dengan depresi atau kecemasan.
G.    Gangguan Otak pada Orang Dewasa
Penyebab gangguan neurokognitif sering lebih spesifik daripada kasus-kasus gangguan lainnya. Dalam DSM-5, gangguan ini dulu dikenal sebagai "Delirium, Demensia, dan Amnestic dan Gangguan Kognitif Lainnya" sekarang dikelompokkan ke dalam kategori diagnostik baru yang disebut "Gangguan Neurokognitif".
Disorder dalam kategori ini adalah yang melibatkan hilangnya kemampuan kognitif yang sebelumnya telah dicapai dan di mana penyebab yang diduga adalah kerusakan otak atau penyakit. Subbagian dari kategori diagnostik ini termasuk delirium, gangguan neurokognitif mayor (yang meliputi diagnosis mantan demenia), dan kategori baru gangguan neurokognitif ringan. Perbedaan antara gangguan neurokognitif mayor dan ringan didasarkan pada keparahannya.
Dalam setiap kategori diagnostik yang luas, diagnosis spesifik ditentukan oleh apa yang dianggap sebagai penyebab masalah. Misalnya, diagnosis gangguan neurokognitif mayor yang terkait dengan penyakit Alzheimer digunakan untuk pasien yang diduga menderita Alzheimer. Untuk pasien yang kerusakan otaknya disebabkan oleh cedera otak traumatis, diagnosis akan menjadi gangguan neurokognitif mayor (atau ringan) yang terkait dengan cedera otak traumatis. Dengan cara ini diagnosis memberikan informasi tentang penyebab gangguan neurokognitif maupun tingkat keparahannya.
1.      Tanda Klinis Kerusakan Otak
Ketika cedera otak terjadi pada anak yang lebih tua atau orang dewasa mereka mengalami  kerugian dalam keberfungsian. Seringkali, orang yang menderita kehilangan ini sangat menyadari apa yang dia tidak bisa lagi lakukan, kemudian ditambah dengan beban psikologis kemudian berpengaruh dan menyebabkan luka fisik. Dalam kasus lain, kerusakan dapat meluas sampai hilangnya kapasitas untuk penilaian diri yang realistis (kondisi yang disebut anamognoid), membuat pasien ini relatif tidak sadar akan hilangnya kemampuan mereka dan karenanya kurang termotivasi untuk rehabilitasi.
Tingkat gangguan mental biasanya terkait dengan tingkat kerusakan otak. Namun, ini tidak selalu demikian. Banyak juga yang yang tergantung pada lokasi kerusakan serta premorbid (predisorder) kompetensi dan kepribadian individu.
2.      Membaur versus kerusakan fokal
Beberapa gangguan ini umumnya dipahami dengan baik, dengan gejala yang memiliki fitur relatif konstan pada orang yang cedera otaknya sebanding di lokasi dan luasnya. Contohnya, ketika perhatian sering terganggu oleh penggunaan ringan hingga difus - atau meluas - kerusakan, seperti mungkin terjadi dengan kekurangan oksigen moderat atau menelan zat beracun seperti merkuri.
Berbeda dengan kerusakan difus, lesi otak fokal melibatkan daerah-daerah terbatas perubahan abnormal dalam struktur otak. Ini adalah jenis kerusakan yang mungkin terjadi dengan cedera traumatik yang tajam atau gangguan suplai darah (stroke) ke bagian tertentu dari otak.
Lokasi dan luas daerah kerusakan dapt menentukan masalah apa yang pasien akan miliki. Pada risiko penyederhanaan, secara umum diterima bahwa keberfungsian berkerja bergantung pada pemrosesan serial informasi yang sudah dikenal, seperti bahasa dan penyelesaian persamaan matematika, terjadi di sebagian besar belahan kiri untuk hampir semua orang. Sebaliknya, belahan kanan tampaknya secara umum khusus untuk memahami makna keseluruhan dalam situasi baru; beralasan pada tingkat intuitif nonverbal; dan menghargai hubungan spasial. Bahkan dalam belahan otak, berbagai lobus dan daerah memediasi fungsi-fungsi khusus.
Meskipun tidak ada hubungan antara lokasi otak dan perilaku yang dapat dianggap benar secara universal, sangat mungkin untuk membuat generalisasi luas tentang kemungkinan dampak kerusakan pada bagian-bagian tertentu dari otak.
3.      Neuro kognitif / Interaksi Psikopatologi
       Kebanyakan orang yang mengalami gangguan neurokognitif tidak berkembang mengalami simtom-simtom psikopatologi seperti serangan panic, disasosiatif episode atau delusi. Demikian pula, beberapa orang yang menderita gangguan psikopatologi juga memiliki gangguan kognitif. Sebagai contoh, pasien dengan gangguan bipolar memiliki gangguan kognitif persisten yang dapat dideteksi bahkan selama periode remisi penyakit. Ini merupakan garis besar bahwa gangguan neurokognitif dan psikopatologi berhubungan antara satu sama lain.
H.    Delirium
Delirium adalah keadaan kegagalan otak akut yang terletak di antara kesadaran normal dan pingsan atau koma
1.      Gambaran Klinis
Sindrom yang sering terjadi, delirium ditandai oleh kebingungan, konsentrasi terganggu, dan disfungsi kognitif. Meskipun kriteria DSM-IV-TR menyatakan bahwa delirium melibatkan gangguan kesadaran, kata kesadaran dihapus di DSM-5. Delirium diperlakukan sebagai gangguan yang berbeda di DSM-5, karena dapat dengan cepat berfluktuasi dalam tingkat keparahan. Ia juga bisa hidup berdampingan dengan gangguan neurokognitif mayor atau ringan.
Selain gangguan dalam tingkat kesadaran, delerium juga melibatkan gangguan memori dan perhatian serta pemikiran yang tidak teratur. Halusinasi dan delusi sering terjadi. Selain itu, sindrom ini sering termasuk aktivitas psikomotorik abnormal seperti meronta-ronta liar dan mengganggu siklus tidur.
       Delirium dapat terjadi pada usia kapan saja. Namun, orang tua berisiko sangat tinggi, mungkin karena perubahan otak yang disebabkan oleh penuaan normal yang menyebabkan berkurangnya cadangan otak. Delirium dapat terjadi akibat beberapa kondisi termasuk cedera kepala dan infeksi. Namun, penyebab paling umum dari delirium adalah intoksikasi atau penarikan obat. Toksisitas dari obat-obatan juga menyebabkan banyak kasus delirium. Selain itu, manipulasi lingkungan yang membantu pasien tetap berorientasi, seperti pencahayaan yang baik, signage yang jelas, dan kalender serta jam yang mudah terlihat, dapat membantu. Penting juga bahwa anggota staf memperkenalkan diri ketika mereka bekerja dengan pasien, menjelaskan apa peran mereka, dan memberikan petunjuk reorientasi kapan saja diperlukan.
2.      Kriteria DSM 5 untuk Delirium
a.        Gangguan perhatian (yaitu, kemampuan untuk mengarahkan, fokus, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian berkurang) dan kesadaran (dikurangi ORIENTASI ke lingkungan).
b.        Gangguan berkembang selama periode waktu yang singkat (biasanya jam sampai beberapa hari), merupakan perubahan dari perhatian awal dan kesadaran, dan cenderung berfluktuasi dalam tingkat keparahan selama sehari.
c.        Sebuah gangguan tambahan dalam kognisi (misalnya, defisit memori, disorientasi, bahasa, kemampuan visuospatial, atau persepsi).
d.        Gangguan di Kriteria A dan C tidak dijelaskan lebih baik oleh neurokognitif lain yang sudah ada sebelumnya, didirikan, atau berkembang neurokognitif gangguan dan tidak terjadi dalam konteks tingkat rangsangan sangat berkurang, seperti koma.
e.        Ada bukti dari sejarah, temuan pemeriksaan fisik, atau laboratorium bahwa gangguan tersebut merupakan konsekuensi psikologi langsung kondisi medis, keracunan zat lain atau penarikan (yaitu, karena penyalahgunaan obat ), atau paparan racun, atau karena beberapa etiologi.
Di ujung lain dari spektrum usia, anak-anak juga berisiko tinggi delirium, mungkin karena otak mereka belum sepenuhnya dikembangkan. Selain usia lanjut, faktor risiko lain untuk delirium termasuk demensia, depresi, dan penggunaan tembakau. Tes skrining yang handal dan mudah untuk delirium melibatkan meminta pasien untuk membaca bulan tahun ke belakang.
Delirium mungkin akibat dari beberapa kondisi termasuk cedera kepala dan infeksi. Namun, penyebab paling umum dari delirium adalah keracunan obat atau penarikan. keracunan dari obat juga menyebabkan banyak kasus delirium. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa delirium sangat umum pada orang tua setelah mereka telah menjalani operasi.
3.      Perawatan dan Hasil
Delirium adalah keadaan darurat medis yang sebenarnya, dan penyebab utamanya harus diidentifikasi dan dikelola. Sebagian besar kasus delirium bersifat reversibel, kecuali bila delirium disebabkan oleh penyakit terminal atau oleh trauma otak yang parah. Perawatan melibatkan obat, manipulasi lingkungan, dan dukungan keluarga. Obat-obatan yang digunakan untuk sebagian besar kasus adalah neuroleptik (Fricchione et al., 2008; Lee et al., 2004). Ini adalah obat yang sama yang digunakan untuk mengobati skizofrenia. Untuk delirium yang disebabkan oleh alkohol atau penarikan obat, benzodiazepin (seperti yang digunakan dalam pengobatan gangguan kecemasan) digunakan (Trzepacz et al., 2002). Selain itu, manipulasi lingkungan yang membantu pasien tetap berorientasi, seperti pencahayaan yang baik, signage yang jelas, dan kalender serta jam yang mudah terlihat, dapat membantu. Penting juga bahwa anggota staf memperkenalkan diri ketika mereka bekerja dengan pasien, menjelaskan peran mereka, dan memberikan petunjuk ulang kapan pun diperlukan. Namun, beberapa pasien, terutama yang berusia lanjut, mungkin masih memiliki masalah orientasi, masalah tidur, dan kesulitan lain bahkan beberapa bulan setelah episode delirium.

I.       Major NeurocognitiveDisorder ( Gangguan Neurokognitif Utama )
Dalam DSM-5 memiliki kategori diagnostik demensia luas diganti namanya dengan Istilah gangguan neurokognitif utama. Salah satu alasannya adalah untuk mengurangi stigma. Itu juga kasus itu, meskipun istilah demensia diterima secara luas untuk orang dewasa yang lebih tua, itu bukan istilah yang sangat tepat untuk orang dewasa muda yang memiliki masalah kognitif (misalnya, mereka yang mengalami kerusakan karena cedera kepala).
Kelainan neurokognitif utama adalah gangguan yang melibatkan defisit yang ditandai dalam kemampuan kognitif. Ini mungkin terlihat di bidang-bidang seperti perhatian, kemampuan eksekutif, pembelajaran dan memori, bahasa, persepsi, dan kognisi sosial (keterampilan yang dibutuhkan untuk memahami, menafsirkan, dan menanggapi perilaku orang lain). Yang penting adalah bahwa ada penurunan dari tingkat pencapaian fungsi yang dicapai sebelumnya.
Pada orang tua, permulaaan defisit kognitif biasanya cukup bertahap. Sejak dini, individu waspada dan cukup terbiasa dengan kejadian di lingkungan. Bahkan pada tahap awal, bagaimanapun, memori terpengaruh, khususnya memori untuk kejadian terkini. Seiring berjalannya waktu, pasien menunjukkan defisit yang semakin nyata dalam pemikiran abstrak, perolehan pengetahuan atau keterampilan baru, pemahaman visuospasial, kontrol motorik, penyelesaian masalah, dan penilaian. Ini sering disertai dengan gangguan dalam kendali emosi dan dalam kepekaan moral dan etika; misalnya, orang tersebut dapat terlibat dalam permohonan kasar untuk seks. Defisit mungkin progresif (semakin buruk seiring waktu) atau statis, tetapi lebih sering yang pertama. Kadang-kadang gangguan neurokognitif utama reversibel jika memiliki penyebab yang mendasarinya yang bisa dihilangkan atau diobati (seperti kekurangan vitamin).
Beberapa penyebab gangguan neurokognitif utama  yaitu :
*      Obat-obatan
*      Depresi klinis
*      Kekurangan vitamin B12
*      Alkoholisme kronis
*      Tumor atau infeksi tertentu dari otak
*      Gumpalan darah menekan otak
*      Ketidakseimbangan metabolik (termasuk gangguan tiroid, ginjal, atau hati)
Kriteria  DSM – 5 untuk  Gangguan Neurokognitif Utama :
a.       Bukti penurunan kognitif yang signifikan dari tingkat sebelumnya kinerja dalam   satu atau lebih domain kognitif (kompleks perhatian, fungsi eksekutif, belajar dan memori, bahasa, perseptual-motor, atau kognisi sosial) berdasarkan:
*      Kepedulian individu, informan yang berpengetahuan, atau dokter bahwa ada      penurunan yang signifikan dalam fungsi kognitif; dan
*      Kerusakan substansial dalam kinerja kognitif, sebaiknya didokumentasikan         oleh neuropsikologi standar pengujian atau, dalam ketiadaannya, klinis kuantitatif lainnya penilaian.
b.      Defisit kognitif mengganggu kemandirian dalam kehidupan sehari-hari kegiatan (yaitu, minimal, membutuhkan bantuan dengan aktivitas instrumental yang kompleks dari kehidupan sehari-hari seperti membayar tagihan atau mengelola obat).
c.       Defisit kognitif tidak terjadi secara eksklusif dalam konteks sebuah delirium.
d.      Defisit kognitif tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain (misalnya, gangguan depresi mayor, skizofrenia).
1.      Penyakit Parkinson
Dinamakan Penyakit Parkinson  karena James Parkinson yang pertama kali menggambarkannya pada tahun 1817,Penyakit  Parkinson adalah neurodegeneratif kedua yang paling umum (setelah penyakit Alzheimer). Ini lebih sering ditemukan pada pria daripada pada wanita, dan itu mempengaruhi antara 0,5 dan 1 persen orang antara usia 65 dan 69 dan 1 hingga 3 persen orang di atas usia 80 (Toulouse & Sullivan, 2008).
Penyakit Parkinson ditandai oleh gejala motorik seperti tremor saat istirahat atau gerakan kaku. Penyebab yang mendasari ini adalah hilangnya neuron dopamin dalam area otak yang disebut substantia nigra. Dopamin adalah aneurotransmitter yang terlibat dalam kontrol gerakan. Ketika neuron dopamin hilang, seseorang tidak mampu untuk bergerak dengan cara yang terkendali. Sebagai tambahannya gejala motorik, penyakit Parkinson dapat melibatkan gejala psikologis seperti depresi, kecemasan, apatis, masalah kognitif, dan bahkan halusinasi dan delusi (Chaudhuri et al., 2011). Seiring waktu, 25 hingga 40 persen pasien dengan penyakit Parkinson akan menunjukkan tanda-tanda gangguan kognitif (Marsh & Margolis, 2009).
Gejala penyakit Parkinson dapat dikurangi sementara oleh obat-obatan, seperti pramipexole (Mirapex) atau levodopa / carbidopa (Sinemet), yang meningkatkan ketersediaan dopamin di otak baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun, begitu obatnya habis, gejalanya kembali. Pendekatan pengobatan lain yang sekarang sedang dicoba adalah stimulasi otak. Bagaimanapun, latihan harus menjadi komponen perawatan yang penting. Dalam penilitian terbaru, 6 bulan setelah memulai program latihan yang melibatkan  berjalan tiga kali seminggu, pasien tidak hanya meningkatkan tingkat kebugaran secara umum tetapi juga menunjukkan peningkatan dalam fungsi motorik, kemampuan kognitif, dan kualitas hidup secara umum (Uc et al., 2014). Temuan seperti ini memberikan pendekatan praktis yang dapat digunakan oleh sejumlah besar pasien.
2.      Penyakit Huntington
Penyakit Huntington adalah gangguan degeneratif yang langka dari sistem saraf pusat yang menimpa sekitar 1 dari setiap 10.000 orang (Phillips et al., 2008). Itu pertama kali dijelaskan pada tahun 1872 oleh ahli saraf Amerika George Huntington.Penyakit dimulai pada usia paruh baya (usia rata-rata serangan adalah sekitar 40 tahun), dan itu mempengaruhi pria dan wanita dalam jumlah yang sama. Penyakit Huntington ditandai dengan kronis, progresif chorea gerakan spontas dan tidak teratur yang mengalir secara acak dari satu area tubuh ke bagian lain). Namun, masalah kognitif halus sering terjadi mendahului timbulnya gejala motor selama bertahun-tahun. Masalah kognitif ini tidak diragukan lagi karena hilangnya jaringan otak secara progresif (dapat dideteksi dengan pencitraan otak) yang terjadi sebanyak satu dekade sebelum serangan  formal penyakit itu terjadi (Shoulson & Young, 2011).
Penyakit Huntington disebabkan oleh satu dominan gen (gen Huntingtin) pada kromosom 4. Mutasi genetik ini ditemukan sebagai hasil penelitian intens pada orang-orang yang tinggal di desa-desa sekitar Danau Maracaibo di Venezuela, dimana penyakit ini sangat umum (Marsh & Margolis, 2009). Karena Gen huntingtin adalah gen yang dominan, siapa pun yang memiliki orang tua dengan penyakit ini memiliki 50 persen kemungkinan mengembangkan penyakit itu sendiri.
J.      Penyakit Alzheimer
Penyakit Alzheimer adalah gangguan neurodegeneratif progresif dan fatal. Nama Penyakit Alzheimer diambil  dari Alois Alzheimer (1864–1915), ahli neuropati Jerman yang pertama menggambarkannya pada tahun 1907. Ini adalah penyebab paling umum dari demensia (Jalbert et al., 2008). Dalam DSM-5 itu secara resmi disebut
"Gangguan neurokognitif mayor (atau ringan) yang terkait dengan Penyakit Alzheimer. "Penyakit Alzheimer terkait dengan sindrom demensia yang  yang memiliki serangan tak terlihat dan biasanya lambat tetapi progresif memburuk, berakhir di delirium dan kematian.
1.      Gambaran klinis
Diagnosis penyakit Alzheimer dibuat setelah penilaian klinis menyeluruh dari pasien. Namun, diagnosis hanya dapat benar-benar dikonfirmasi setelah kematian pasien.Ini karena otopsi harus dilakukan untuk melihat kelainan otak yang merupakan tanda-tanda khas dari penyakit ini. Pada pasien yang hidup, diagnosisnya normal diberikan hanya setelah semua penyebab potensi demensia lainnya dikesampingkan oleh riwayat medis dan keluarga, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium.
Pada tahap awal, penyakit Alzheimer melibatkan gangguan kognitif minor. Misalnya, orangnya mungkin mengalami kesulitan mengingat peristiwa baru-baru ini, buat lebih banyak kesalahan di tempat kerja, atau memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan tugas rutin. Pada tahap selanjutnya, ada bukti demensia; defisit menjadi lebih parah, mencakup beberapa domain, dan mengakibatkan ketidakmampuan untuk berfungsi. Misalnya, orang itu mungkin mudah disorientasi, memiliki penilaian yang buruk, dan kelalaian kebersihan pribadinya.
Lobus temporal otak adalah daerah pertama rusak pada orang dengan penyakit Alzheimer. Karena hippocampus terletak di sini, gangguan memori merupakan gejala awal penyakit. Hilangnya jaringan otak di lobus temporal juga dapat menjelaskan mengapa delusi ditemukan pada beberapa pasien (Lyketsos et al., 2000). Meskipun khayalan penganiayaan yang dominan, kecemburuan delusi kadang-kadang terlihat. Di sini, orang itu secara terus-menerus menuduh pasangannya yang sering usia lanjut dan lemah secara fisik - menjadi tidak setia secara seksual. Anggota keluarga dapat dituduh meracuni makanan pasien atau merencanakan untuk mencuri pasien dana. Satu studi tentang pasien agresif secara fisik dengan Penyakit Alzheimer menemukan bahwa 80 persen dari mereka delusional (Gilley et al., 1997).
Dengan perawatan yang tepat, yang mungkin termasuk pengobatan dan pemeliharaan lingkungan sosial yang teang, meyakinkan, dan tidak provokatif, banyak orang dengan Penyakit Alzheimer menunjukkan beberapa pengentasan gejala. Secara umum, bagaimanapun, kemerosotan berlanjut ke bawah Tentu saja selama beberapa bulan atau tahun. Akhirnya, pasien menjadi tidak sadar akan lingkungan mereka, terbaring di tempat tidur, dan dikurangi menjadi keadaan vegetatif. Resistensi terhadap penyakit diturunkan, dan kematian biasanya diakibatkan oleh pneumonia atau masalah pernapasan atau jantung lainnya. Median waktu hingga kematian adalah 5,7 tahun dari saat kontak klinis pertama (Jalbert et al., 2008).
2.      Prevalensi
Diperkirakan bahwa tingkat penyakit Alzheimer meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun setelah seseorang mencapai usia 40 (Hendrie, 1998). Sedangkan kurang dari 1 persen Usia 60 hingga 64 tahun menderita penyakit ini, hingga 40 persen dari mereka yang berusia 85 tahun atau lebih tua (Jalbert et al., 2008).
Untuk alasan yang belum jelas, tampaknya para wanita memiliki risiko sedikit lebih tinggi terkena penyakit Alzheimer daripada pria (Jalbert et al., 2008). Memang, Alois Alzheimer Kasus asli adalah seorang wanita berusia 51 tahun. Wanita cenderung hidup lebih lama daripada pria, tetapi ini mungkin tidak sepenuhnya menjelaskan peningkatan prevalensi wanita dengan penyakit Alzheimer. Namun, faktor yang relevan mungkin adalah kesepian. Dalam satu studi tentang 800 orang lanjut usia (mayoritas dari mereka adalah wanita), mereka yang melaporkan bahwa mereka merasa kesepian memiliki risiko dua kali lipat mengembangkan penyakit Alzheimer selama perjalanan 4 tahun tindak lanjut. Asosiasi ini tidak bergantung pada mereka skor pada ukuran kognisi, menunjukkan kesepian itu bukan merupakan tanda awal kerusakan kognitif atau konsekuensi keterampilan kognitif terganggu (Wilson, Krueger, et al., 2007). Ini masuk akal untuk menyatakan bahwa wanita lebih mungkin mengalami kesepian karena mereka hidup lebih lama daripada pasangan mereka. Ini mungkin penting saat mencoba memahami perbedaan jenis kelamin dalam risiko penyakit Alzheimer.
Faktor Risiko untuk Penyakit Alzheimer
a.       Usia lanjut
b.      Wanita
c.       Perokok saat ini
d.      Lebih sedikit tahun pendidikan
e.       Penghasilan rendah
f.       Status pekerjaan lebih rendah
g.      Trauma kepala
h.      Kegemukan
i.        Diabetes
3.      Faktor Penyebab
Kasus penyakit Alzheimer serangan dini (yang hanya sekitar 1-2 persen dari keseluruhan kasus) disebabkan oleh mutasi genetik yang langka. Sejauh ini, tiga mutasi tersebut telah diidentifikasi (Guerreiro et al., 2012). Satu melibatkan gen APP (protein prekursor amiloid), yang terletak di kromosom 21. Mutasi gen APP berhubungan dengan timbulnya penyakit Alzheimer di suatu tempat antara 55 dan 60 tahun (Cruts et al., 1998). Mutasi dominan dari gen ini kira-kira 14 persen dari kasus serangan dini (Guerreiro et al., 2012).
Fakta bahwa mutasi gen pada kromosom 21 telah ditemukan menjadi penting adalah menarik karena telah lama diketahui bahwa orang dengan sindrom Down (yang disebabkan oleh tiga kali lipat, atau trisomi, kromosom 21) yang bertahan hidup melampaui usia 40 mengembangkan demensia seperti Alzheimer (Bauer & Shea, 1986; Janicki & Dalton, 1993). Mereka juga menunjukkan perubahan neuropatologis yang serupa (Schapiro & Rapoport, 1987). Selain itu, kasus sindrom Down cenderung terjadi lebih sering pada keluarga pasien dengan penyakit Alzheimer (Heyman et al., 1984; Schupf et al., 1994). Satu penelitian telah menemukan bahwa ibu yang memberi kelahiran seorang anak dengan sindrom Down sebelum usia 35 tahun memiliki Risiko 4,8 kali lebih besar terkena penyakit Alzheimer ketika mereka lebih tua dibandingkan ibu dari anak-anak dengan tipe retardasi mental lainnya (Schupf et al., 2001).
Kasus lain dari serangan yang lebih awal tampaknya dikaitkan dengan mutasi gen pada kromosom 14 yang disebut presenilin 1 (PS1) dan dengan mutasi presenilin 2 (PS2) gen pada kromosom 1. Gen-gen ini terkait dengan timbulnya penyakit Alzheimer di suatu tempat 30 dan 50 tahun (Cruts et al., 1998). Satu pembawa dari Mutasi PS1 bahkan diketahui telah mengembangkan gangguan pada usia 24 tahun (Wisniewski et al., 1998).
Sebagian besar kasus penyakit Alzheimer adalah "sporadis," artinya itu terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga, dan berkembang di kemudian hari. Gen yang memainkan peran penting dalam kasus penyakit Alzheimer akhir-akhir ini gen APOE (apolipoprotein) pada kromosom 19. Ini kode gen untuk protein darah yang membantu membawa kolesterol melalui aliran darah. Kami tahu bahwa bentuk-bentuk yang berbeda (Alel genetik) dari APOE berbeda memprediksi risiko untuk penyakit Alzheimer yang terlambat. Tiga alel tersebut telah diidentifikasi, dan semua orang mewarisi dua dari mereka, satu dari setiap orang tua. Salah satu alel ini, alel APOE-E4, secara signifikan meningkatkan risiko untuk penyakit serangan lambat. Dengan demikian, seseorang dapat mewarisi nol, satu, atau dua dari alel APOE-E4, dan resikonya terhadap penyakit Alzheimer meningkat secara bersamaan. Misalnya, memiliki satu alel APOE-E4 meningkatkan risiko dengan faktor 3; memiliki dua alel APOE-E4 menghasilkan peningkatan 8 hingga 10 kali lipat dalam kesempatan seseorang mengembangkan penyakit (Karch et al., 2014). Lain seperti itu alel, APOE-E2, tampaknya memberikan perlindungan terhadap penyakit Alzheimer yang terlambat. Bentuk alel yang tersisa dan paling umum (ditemukan di sekitar 70 persen dari populasi) adalah APOE-E3, dan memiliki signifikansi netral. Itu alel berbeda dalam seberapa efisien mereka dalam   membersihkan amyloid, dengan APOE-E2 yang paling efisien dan APOE-E4 paling tidak efisien (Karran et al., 2011). APOE-E4 telah terbukti menjadi prediktor yang signifikan kerusakan memori pada individu yang lebih tua dengan atau tanpa demensia klinis (Hofer et al., 2002).
Gen yang terkait dengan penyakit Alzheimer
Gen
kromosom
Tipe
Amyloid precursor protein
gene (APP)
21
Mutasi

Presenilin 1 (PS1)
14
Mutasi
Presenilin 2 (PS 2)
1
Mutasi
Appolipoprotein E (APOE)
19
gen kerentanan

4.      Perkembangan dalam Penelitian
Depresi Meningkatkan Risiko Penyakit Alzheimer
Memiliki sejarah depresi tampaknya membuat seseorang menjadi lebih tinggirisiko untuk perkembangan selanjutnya dari penyakit Alzheimer (Ownbyet al., 2006).  Depresi juga bisa menjadi tanda peringatan awal dari serangan demensia. Dalam studi prospektif besar berbasis komunitas tentang orang berusia 65 dan lebih tua, peneliti menemukan bahwa orang yang tidak memiliki riwayat depresi awal (sebelum usia 50) tetapi bagaimana mengembangkan gejala depresi di kemudian hari sekitar 46 persen lebih mungkin untuk mengembangkan demensia selama perjalanan sekitar 7 tahun masa tindak lanjut (Li et al., 2011).
a.      Neuropatologi
Ketika Alois Alzheimer melakukan otopsi pertama pada dirinya (dia dikenal sebagai Auguste D.), dia mengidentifikasi  jumlah kelainan otak yang sekarang dikenal karakteristik penyakit. Ini adalah (1) plakat amyloid, (2) kusut neurofibrillaris, dan (3) atrofi (susut) dari otak. Meskipun plak dan kusut juga ditemukan di otak normal, mereka hadir dalam jumlah yang jauh lebih besar pada pasien dengan penyakit Alzheimer, khususnya di lobus temporal.
Pemikiran saat ini adalah bahwa, pada penyakit Alzheimer, neuron di otak mengeluarkan zat protein lengket yang disebut beta amyloid jauh lebih cepat daripada yang dapat dipecah dan dibersihkan. Amiloid beta ini kemudian terakumulasi menjadi plak amyloid (lihat Gambar 14.6). Ini dianggap mengganggu fungsi sinapsis dan memicu kaskade kejadian yang mengarah pada kematian sel-sel otak. Beta amyloid telah terbukti bersifat neurotoksik (artinya menyebabkan sel kematian). Plak amiloid juga memicu peradangan kronis lokal di otak dan melepaskan sitokin (lihat Bab 5) yang dapat semakin memperparah proses ini. Lebih umum, peradangan sekarang semakin dipandang sebagai kunci faktor, tidak hanya dalam perkembangan penyakit Alzheimer tetapi juga dalam perkembangannya. Fakta bahwa banyak proses inflamasi diregulasi oleh obesitas lagi menyoroti hubungan antara faktor gaya hidup dan penyakit Alzheimer.
Neurofibrillary tangles adalah jaring dari filamen abnormal di dalam sel saraf. Filamen ini terbuat dari protein lain yang disebut tau. Dalam otak yang normal dan sehat, tau bertindak seperti perancah, mendukung tabung di dalam neuron dan memungkinkan mereka untuk melakukan impuls saraf. Di Alzheimer penyakit tau yang linglung dan kusut. Ini menyebabkan tabung neuron runtuh.
Perubahan penting lainnya dalam penyakit Alzheimer menyangkut neurotransmitter acetylcholine (ACh). Neurotransmitter ini dikenal penting dalam mediasi ingatan. Meskipun ada kerusakan luas pada neuron pada penyakit Alzheimer, khususnya di daerah tersebut hippocampus (Adler, 1994; Mori et al., 1997b), bukti menunjukkan bahwa di antara yang paling awal dan paling parah terpengaruh struktur adalah sekelompok badan sel yang terletak di basal otak depan dan terlibat dalam pelepasan ACh (Schliebs & Arendt, 2006). Pengurangan aktivitas otak ACh di pasien dengan penyakit Alzheimer berkorelasi dengan tingkat kerusakan saraf (yaitu, plak, kusut) bahwa mereka telah berkelanjutan.
Hilangnya sel-sel yang menghasilkan ACh membuat situasi buruk jauh lebih buruk. Karena ACh sangat penting dalam ingatan, penipisannya sangat berkontribusi pada kognitif dan defisit perilaku yang merupakan karakteristik Alzheimer penyakit. Untuk alasan ini, obat-obatan (disebut inhibitor kolinesterase) yang menghambat pemecahan ACh (dan karenanya meningkat ketersediaan neurotransmitter ini) dapat secara klinis bermanfaat untuk pasien (Winblad et al., 2001)
b.      Perawatan dan Hasil
Meskipun upaya penelitian yang luas, kami masih tidak memiliki pengobatan untuk penyakit Alzheimer yang akan memulihkan fungsi setelah mereka hancur atau hilang. Perawatan saat ini, menargetkan pasien dan anggota keluarga, bertujuan untuk mengurangi agitasi dan agresi pada pasien dan mengurangi kesulitan pada pengasuh sebanyak mungkin (Pedoman Praktik, 2007).
Beberapa perilaku bermasalah umum yang terkait dengan demensia mengembara, inkontinensia,  perilaku seksual yang tidak pantas, dan keterampilan perawatan diri yang tidak memadai. Ini bisa agak dikontrol melalui pendekatan perilaku (lihat Bab 16). Perawatan perilaku tidak perlu tergantung pada kemampuan kognitif dan komunikasi yang kompleks (yang cenderung kurang pada pasien dengan demensia). Sebagai contoh, benda yang dibutuhkan dapat diberi label. Dan benda-benda yang dibutuhkan untuk sebuah tugas khusus (seperti perawatan) semuanya dapat ditempatkan bersama dalam satu wadah. Gelang identitas juga dapat digunakan untuk pasien yang cenderung berkeliaran dan meninggalkan rumah. Secara umum, laporan hasil cukup mendorong dalam hal mengurangi frustrasi dan rasa malu yang tidak perlu untuk pasien dan kesulitan untuk caregiver (Brodaty & Arasratnam, 2012; Gitlin et al., 2012).
Seperti yang kami catat sebelumnya, beberapa pasien dengan Alzheimer penyakit mengembangkan gejala psikotik dan menjadi sangat gelisah. Obat antipsikotik (seperti yang digunakan dalam  pengobatan skizofrenia) kadang-kadang diberikan kepada pasien untuk meringankan gejala-gejala ini. Namun, obat-obatan ini harus digunakan dengan sangat hati-hati. Makanan dan Obat Administrasi AS telah mengeluarkan peringatan bahwa pasien dengan demensia yang menerima obat antipsikotik atipikal berada pada peningkatan risiko kematian (Schultz, 2008). Bahkan, meskipun obat antipsikotik dapat meringankan beberapa gejala ke tingkat yang sangat sederhana, tidak ada bukti yang baik bahwa mereka lebih baik daripada plasebo ketika datang ke fungsi dan kognisi harian pasien secara keseluruhan (Sultzer et al., 2008).
Upaya pengobatan untuk meningkatkan fungsi kognitif telah berfokus pada temuan konsisten asetilkolin menipisnya penyakit Alzheimer. Alasannya di sini adalah bahwa dimungkinkan untuk meningkatkan fungsi dengan pemberian obat yang meningkatkan ketersediaan otak ACh. Saat ini, cara paling efektif untuk melakukannya adalah dengan menghambat produksi asetilkolinesterase, prinsipal enzim yang terlibat dalam pemecahan metabolik acetylcholine. Ini adalah alasan untuk mengelola obat-obatan semacam itu seperti galantamine (Razadyne), rivastigmine (Exelon), dan donepezil (Aricept). Winblad dan rekan (2001) mempelajari 286 pasien yang secara acak ditugaskan untuk menerima obat-obatan (donepezil) atau plasebo selama 1 tahun periode. Fungsi kognitif pasien dan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari diukur pada awal belajar dan kembali pada interval reguler selama masa studi. Pasien yang menerima obat itu secara keseluruhan lebih baik daripada pasien yang menerima plasebo. Namun, semuanya pasien menurun dalam fungsi mereka selama perjalanan pembelajaran. Lebih jauh lagi, meskipun donepezil sangat membantu pasien sedikit, hasil ini tidak berarti bahwa pasien yang memakai obat tersebut kurang mungkin untuk menghindari pelembagaan daripada mereka yang tidak minum obat (AD2000 Collaborative Group, 2004).
c.       Deteksi dini
Sebagian besar peneliti percaya bahwa tanda-tanda penyakit Alzheimer mungkin terdeteksi jauh sebelum gejala klinis muncul. Untuk mengeksplorasi ini, mereka menggunakan berbagai teknik pencitraan otak (brainimaging) untuk mempelajari otak orang yang tinggi risikonya untuk mengembangkan penyakit. Orang yang berisiko tinggi termasuk mereka yang memiliki alel APOE-E4 serta orang-orang yang mengalami gangguan kognitif kecil. MCI  dianggap berada dalam suatu rangkaian antara penuaan yang sehat dan tanda-tanda awal dari demensia (Risacher & Saykin, 2013). Beberapa orang dengan masalah laporan MCI dengan memori. Namun, masalah kognitif lain (yang tidak berhubungan dengan memori) juga merupakan prediksi penyakit Alzheimer yang belakangan (Storandt, 2008).
Pemindaian otak orang dengan MCI menunjukkan bahwa, seperti pasien dengan penyakit Alzheimer, mereka mengalami atrofi di sejumlah area otak, termasuk hippocampus (yang Anda mungkin ingat terlibat dalam memori) (Chételat et al., 2003; Devanand et al., 2007; Kubota et al., 2005). Bahkan, pengurangan ukuran hippocampus memprediksi nanti perkembangan penyakit Alzheimer baik pada orang dengan MCI dan pada orang tua yang tidak melaporkan memori apa pun atau kerusakan kognitif (De Leon et al., 2004; den Heijer et al., 2006). Ini menunjukkan bahwa atrofi area otak ini tanda awal penyakit.
5.      Perkembangan dalam Penelitian
Pendekatan Baru untuk Pengobatan Penyakit Alzheimer
Obat penghambat kolinesterase adalah arus utama pengobatan untuk penyakit Alzheimer, tetapi mereka hanya memberikan manfaat terbatas. Pendekatan baru sangat dibutuhkan.
Para peneliti sekarang menggunakan stimulasi otak noninvasif teknik seperti stimulasi magnetik transkranial berulang (RTM) dan stimulasi arus langsung transkranial (tDCS) untuk mencoba meningkatkan fungsi kognitif pada pasien dengan penyakit Alzheimer. RTM mengubah aktivasi otak melalui pengiriman pulsa magnet yang kuat yang melewati kulit kepala dan ke korteks di bawah. Di tDCS, arus listrik yang lemah dikirim ke kulit kepala; jenis stimulasi (anodal atau cathodal) menentukan apakah rangsangan di daerah kortikal yang mendasari  meningkat atau menurun. Meski hanya segelintir penelitian saja telah dilakukan hingga saat ini, melibatkan total 200 pasien, hasil menunjukkan bahwa pasien berkinerja lebih baik ketika mereka menerima stimulasi otak (Hsu et al., 2015).
Obat-obatan baru juga terus dikembangkan dan diuji. Dalam uji coba awal, satu obat yang disebut inhibitor BACE mengurangi tingkat amyloid di otak pasien Alzheimer. Dan dalam uji klinis kecil lainnya, obat lain mengurangi peradangan dan meningkatkan fungsi kognitif pada pasien dengan gangguan kognitif ringan.
6.      Dunia sekitar kita
Mendukung Pengasuh (Suppporting Caregivers)
Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi peningkatan tajam dalam jumlah unit perawatan khusus demensia di panti jompo. Sebagian besar pasien dengan demensia akan dilembagakan sebelum mereka mati. Sampai pasien mencapai tahap yang sangat terganggu, namun, sebagian besar hidup di komunitas, dirawat oleh anggota keluarga mereka. Sangat sering, beban perawatan jatuh pada satu orang.
Tidak mengherankan, sebagai suatu kelompok, pengasuh berada pada posisi tinggi risiko menjadi terisolasi secara sosial dan untuk berkembang depresi (Richards & Sweet, 2009). Semakin kuat ikatan yang mereka miliki dengan orang dengan penyakit Alzheimer, semakin besar kemungkinan mereka untuk menjadi depresi (Wojtyna &Popiolek, 2015). Pengasuh dari pasien dengan penyakit Alzheimer cenderung mengonsumsi obat dalam jumlah besar dan melaporkan banyak gejala stres, nyeri fisik, dan kesehatan yang buruk (Alzheimer Association, 2015). Memberikan pengasuh dengan konseling dan terapi suportif sangat bermanfaat. Itu dapat mengurangi reaksi negatif mereka terhadap gejala pasien dan juga menghasilkan pengurangan yang dapat diukur dalam tingkat depresi mereka (Brodaty & Arasaratnam, 2012; Mittelman et al., 2004).
K.    Gangguan Neurokognitif Akibat Infeksi HIV atau Masalah Pembuluh Darah
1.      Gangguan Neurokognitif yang Terkait dengan Infeksi HIV-1 Infeksi
Infeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV) menimbulkan kekacauan pada sistem kekebalan tubuh. Seiring waktu, Infeksi ini dapat menyebabkan sindrom defisiensi imun yang didapat, atau AIDS. Di seluruh dunia, virus HIV tipe 1 memiliki menginfeksi lebih dari 37 juta orang, dengan sub-Sahara Afrika menjadi wilayah yang paling terpengaruh (World Health Organisasi, 2015d).
Selain merusak tubuh, virus HIV tersebut juga mampu menginduksi penyakit syaraf yang bisa menghasilkan masalah neurokognitif. Ini bisa terjadi dalam dua cara. Pertama, karena sistem kekebalan tubuh melemah, orang dengan HIV lebih rentan terhadap infeksi yang jarang terjadi oleh parasit dan jamur. Namun, virus itu juga muncul mampu merusak otak lebih langsung, mengakibatkan cedera saraf dan penghancuran sel-sel otak (lihat Kaul et al., 2005; Snider et al., 1983).
Neuropatologi neurokognitif terkait HIV gangguan melibatkan berbagai perubahan di otak, di antaranya mereka atrofi umum, edema (pembengkakan), peradangan, dan patch demielinasi (Adams & Ferraro, 1997; Sewell et al., 1994). Tidak ada area otak yang sepenuhnya terhindar, tetapi kerusakan tampaknya terkonsentrasi di daerah subkortikal, terutama materi putih sentral, jaringan mengelilingi ventrikel, dan struktur materi abu-abu yang lebih dalam seperti ganglia basalis dan talamus. Sembilan puluh persen pasien dengan AIDS menunjukkan bukti perubahan tersebut pada otopsi (Adams & Ferraro, 1997).
Gambaran neuropsikologis dari AIDS cenderung muncul sebagai fase akhir infeksi HIV, meskipun sering muncul sebelum perkembangan penuh AIDS itu sendiri. Mereka mulai dengan kesulitan memori ringan, perlambatan psikomotor, dan berkurangnya perhatian dan konsentrasi (lihat Fernandez et al., 2002, untuk review). Progresi biasanya cepat setelah titik ini, dengan demensia jelas muncul dalam banyak kasus dalam 1 tahun, meskipun periode jauh lebih lama telah dilaporkan. Fase selanjutnya juga meliputi regresi perilaku, kebingungan, pemikiran psikotik, apati, dan ditandai penarikan.
2.      Gangguan Neurokognitif yang terkait dengan penyakit vaskular
Dalam gangguan ini, serangkaian infark serebral yang dibatasi – gangguan suplai darah ke daerah-daerah kecil otak karena penyakit arteri, umumnya dikenal sebagai "stroke kecil" secara kumulatif menghancurkan neuron di atas perluasan wilayah otak. Daerah yang terkena menjadi lunak dan dapat merosot seiring waktu waktu, hanya menyisakan rongga. Meskipun gangguan kognitif vaskular  cenderung memiliki gambaran klinis awal yang lebih bervariasi daripada penyakit Alzheimer (Wallin & Blennow, 1993), hilangannya sel secara progresif  menyebabkan atrofi otak dan perilaku gangguan yang pada akhirnya meniru orang-orang penyakit Alzheimer (Bowler et al., 1997).
Kerusakan kognitif vaskular cenderung terjadi setelah usia 50 tahun dan mempengaruhi lebih banyak pria daripada wanita (Askin-Edgar et al., 2002). Abnormalitas gaya berjalan (misalnya, tidak stabil kaki seseorang) dapat menjadi prediktor awal dari kondisi ini (Verghese et al., 2002). Kerusakan kognitif vaskular kurang umum daripada penyakit Alzheimer, terhitung  hanya 19 persen dari kasus demensia dalam sampel komunitas individu usia 65 tahun atau lebih (Lyketsos et al., 2000). Salah satu alasannya adalah bahwa pasien ini memiliki banyak perjalanan penyakit yang lebih singkat karena mereka rentan kematian mendadak akibat stroke atau penyakit kardiovaskular (Askin-Edgar et al., 2002). Gangguan suasana hati yang menyertai juga lebih sering terjadi pada demensia vaskular daripada di Penyakit Alzheimer, mungkin karena area subkortikal otak lebih terpengaruh (Lyketsos et al., 2000).
L.     Gangguan Neurokognitif Yang Ditandai oleh Gangguan Memori yang Sangat Dalam (Gangguan Amnestic)
Kebanyakan gangguan neurokognitif melibatkan penurunan domain pada banyak orang yang berbeda. Namun, gangguan neurokognitif diagnosis juga digunakan ketika ada penurunan yang ditandai dalam domain tunggal. Ini bisa terjadi ketika kerusakan otak hasil gangguan memori yang sangat besar.
Dalam DSM-IV-TR ada diagnosis spesifik dan berbeda yang disebut amnestic ( amnestic hanyalah cara lain untuk mengatakan amnesia). Di DSM-5, paisen yang telah diberi diagnosis memiliki gangguan neurokognitif utama. Penyebab gangguan juga tercantum (misalnya, gangguuan neurokognitif utama karena penggunaan subtansi). Tidak seperti bentuk-bentuk lain dari gangguan neurokognitif. Bagaimanapun, penurunan subtansial dalam fungsi terjadi dalam domain kognitif tunggal (memori).
Ciri khas gangguan neurokognitif dari jenis ini (sebagai singkatan kita masih akan menyebut mereka gangguan  amnestic) adalah memori yang sangat terganggu. Penaikan kembali  (yaitu, kemampuan untuk mengulangi apa yang baru saja didengarjuga relatif bisa dipertahankan. Memori untuk peristiwa masa lalu terpencil juga biasanya relatif diawetkan. Namun demikian, memori jangka pendek biasanya sangat terganggu sehingga orang tersebut tidak mampu untuk mengingat peristiwa yang terjadi hanya beberapa menit sebelumnya. Untuk mengimbangi, pasien kadang-kadang bertukar pikiran, membuat acara untuk mengisi kekosongan yang mereka miliki di ingatan mereka.
Kerusakan otak adalah akar penyebab gangguan amnestic. Kerusakan ini mungkin disebabkan oleh stroke, cedera, tumor, atau infeksi (Andreescu & Aizenstein, 2009).
Namun, tidak semua kerusakan otak bersifat permanen. Sindrom Korsakoff adalah gangguan amnestic yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B1 (tiamin). Karena ini, masalah ingatan dikaitkan dengan sindrom Korsakoff kadang-kadang bisa dibalik jika sindrom dideteksi sangat dini dan diberikan vitamin B1. Sindrom Korsakoff sering ditemukan di orang dengan alkoholisme kronis atau pada mereka yang tidak makan diet sehat. Itu adalah penyebab hilangnya ingatan pasien dalam studi kasus berikut.
1.      Gangguan Melibatkan Cedera kepala
Cedera otak traumatis (TBI) sering terjadi, mempengaruhi hanya di bawah 2 juta orang setiap tahun di Amerika Serikat. Penyebab TBI yang paling umum adalah jatuh, diikuti oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Penyebab lainnya termasuk serangan dan cedera olahraga (meskipun sebagian besar dari ini adalah mungkin bahkan tidak pernah dilaporkan). Anak-anak usia 0 hingga 4 tahun, remaja usia 15 hingga 19 tahun, dan orang dewasa berusia 65 tahun ke atas kemungkinan besar mengalami TBI. Di setiap kelompok umur tingkat TBI lebih tinggi untuk laki-laki daripada untuk perempuan (Faul et al., 2010). Dalam istilah diagnostik DSM-5 seperti mayor (atau ringan) gangguan neurokognitif yang terkait dengan kepala trauma digunakan untuk merujuk pada kompromi kognitif itu hasil dari cedera kepala.
a.      Gambaran klinis
Dokter mengkategorikan cedera otak sebagai akibat dari keduanya cedera kepala tertutup (di mana tengkorak tetap utuh) atau cedera kepala tembus (di mana beberapa objek seperti peluru masuk ke otak). Dalam cedera kepala tertutup, kerusakan otak tidak langsung — disebabkan oleh gaya inersia yang menyebabkan otak datang ke kontak kekerasan dengan interior dinding tengkorak atau oleh kekuatan rotasi yang memutar massa otak relatif terhadap batang otak. Bukan tidak biasa, tutup kepala cedera juga menyebabkan kerusakan neuron difus karena gaya inersia. Dengan kata lain, pergerakan cepat dari cranium kaku berhenti pada kontak dengan pantang menyerah obyek. Namun, jaringan otak yang lebih lembut di dalam terus bergerak, dan ini memiliki efek geser pada serabut saraf dan mereka interkoneksi sinaptik.
Cedera kepala yang parah biasanya menyebabkan ketidaksadaran dan gangguan regulasi sirkulasi, metabolisme, dan neurotransmitter. Biasanya, jika cedera kepala parah cukup untuk menghasilkan ketidaksadaran, orang mengalami retrograde amnesia, atau ketidakmampuan untuk mengingat peristiwa segera sebelum cedera. Ternyata, trauma mengganggu kapasitas otak untuk mengkonsolidasikan penyimpanan jangka panjang pada peristiwa yang masih diproses saat trauma. Anterograde amnesia (juga disebut amnesia pasca trauma) adalah ketidakmampuan untuk menyimpan secara efektif dalam peristiwa memori yang terjadi selama periode variabel waktu setelah trauma. (Jika Anda ingat bahwa anterograde dan setelah keduanya dimulai dengan "a" Anda akan mengingat ini lebih banyak lagi mudah.) Anterograde amnesia juga sering diamati dan dianggap oleh banyak orang sebagai tanda prognostik negatif.
Orang yang memainkan olahraga tertentu berisiko tinggi mengalami gegar otak dan cedera otak. Untuk laki-laki, yang risiko terbesar berasal dari bermain sepak bola; untuk wanita, yang risiko terbesar berasal dari bermain sepak bola (Lincoln et al., 2011). Apalagi karena ada masa kritis otak perkembangan yang terjadi dari usia 10 hingga 12, mungkin sangat penting bagi anak laki-laki untuk menghindari sepak bola sampai mereka telah melewati tahap ini (Stamm et al., 2015)
b.      Perawatan dan Hasil
Seperti diilustrasikan dalam kasus Zack, perawatan medis yang cepat cedera otak mungkin diperlukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang dan menghilangkan tekanan pada otak yang disebabkan oleh pembengkakan hebat. Perawatan medis segera juga harus ditambah dengan program pendidikan ulang jangka panjang dan rehabilitasi yang melibatkan banyak profesional yang berbeda.
Meskipun banyak pasien dengan TBI menunjukkan beberapa residu efek dari cedera mereka, terutama jika mereka sudah berpengalaman hanya kehilangan kesadaran sesaat, pasien lain mengalami penurunan yang pasti dan jangka panjang. Gejala umum TBI minor termasuk sakit kepala, masalah memori, sensitivitas untuk cahaya dan suara, pusing, kecemasan, lekas marah, kelelahan, dan gangguan konsentrasi (Miller, 2011). Ketika kerusakan otak sangat luas, tingkat intelektual umum pasien mungkin sangat berkurang, terutama jika lobus temporal atau lobus parietal rusak. Kebanyakan orang mengalami penundaan yang signifikan untuk kembali ke pekerjaan mereka, dan banyak yang tidak dapat melakukannya kembali sama sekali (Selassie et al., 2008). Kerugian sosial dewasa lainnya fungsi peran juga umum dan terkait dengan keparahan cedera (Rassovsky et al., 2015). Sekitar 24 persen kasus TBI, secara keseluruhan, mengembangkan pasca trauma epilepsi, diduga karena pertumbuhan jaringan parut di otak. Kejang biasanya berkembang dalam 2 tahun setelah cedera kepala. Selama beberapa dekade setelah cedera kepala, ada juga risiko yang meningkat depresi serta gangguan lain seperti substansi penyalahgunaan, gangguan kecemasan, dan gangguan kepribadian(Holsinger et al., 2002; Koponen et al., 2002).
Cedera otak juga bisa mengakibatkan perubahan kepribadian. Sebuah perubahan yang relatif umum adalah bahwa orang tersebut menjadi lebih banyak mudah tidak diatur secara emosional. Labilitas emosional ini sering disertai dengan iritabilitas atau disinhibition. Kurang umum, apati dan paranoia juga bisa terlihat (Max et al., 2015). Perubahan kepribadian telah dilaporkan di hingga 40 persen anak-anak dengan otak traumatis yang parah cedera. Dalam sampel orang dewasa yang sudah mengalami berat TBI, perubahan kepribadian dilaporkan oleh mereka yang signifikan yang lain dalam 59 persen kasus (Norup & Mortensen, 2015).
2.      Dunia sekitar kita
Kerusakan otak pada Atlet Profesional
Untuk atlet, tabrakan sering menjadi bagian dari permainan. Tapi bukti baru memaksa banyak olahraga perguruan tinggi dan profesional untuk mempertimbangkan potensi kerusakan otak jangka panjang yang mungkin datang dari menuju bola atau menangani pemain lain. Masalah ini pertama kali menjadi perhatian penggemar olahraga ketika Ted Johnson, mantan juara Super Bowl dan linebacker untuk New England Patriots,go public tentang depresi dan sakit kepala yang melumpuhkan yang menjadi pengalaman rutin baginya (MacMullan, 2007). Johnson, yang telah didiagnosis dengan sindrom pasca konklusi kronis (yang melibatkan kelelahan, lekas marah, kehilangan ingatan, dan depresi), juga menunjukkan tanda-tanda kerusakan otak awal. Dia percaya bahwa masalahnya adalah akibat langsung dari beberapa pukulan ke kepala yang dideritanya selama karir bermainnya
Fungsi kognitif Johnson menurun drastis setelah dia terlibat dalam tabrakan serius selama pertandingan pameran dan harus ditarik dari lapangan. Empat harikemudian, dia diharapkan untuk melakukan kontak penuh selama latihan. Meskipun dia tahu ini adalah ide yang buruk, kebanggaannya, dikombinasikan dengan tekanan untuk tidak terlihat lemah, mencegahnya meminta untuk dibebaskan dari latihan fisik. Selama latihan, ia mengalami serangan ringan dan mengalami sensasi hangat dan kabur yang menandakan gegar otak. Bagi Johnson, ini adalah awal dari akhir.
Johnson memutuskan untuk mengumumkan kisahnya setelahmantan pemain belakang NFL, Andre Waters bunuh diri. Waters, yang dikenal sebagai pemain keras dan memukul keras, menderita banyak gegar otak berulang selama karirnya. Setelah kematiannya pada usia 44 tahun, seorang ahli saraf memeriksa otaknya dan melaporkan bahwa jaringannya mirip dengan tubuh berusia 85 tahun; Perairan juga memiliki beberapa tanda penyakit Alzheimer. Gegar otak berulang diduga penyebab kerusakan otaknya.
Penelitian mendukung spekulasi ini. Sebuah penelitian terhadap 2.552 pensiunan pemain sepak bola profesional menunjukkan bahwa mayoritas (61 persen) telah mengalami setidaknya satu gegar otak selama karir bermain mereka. Selain itu, para pemain yang memiliki riwayat tiga atau lebih lima kali gegar otak lebih mungkin didiagnosis dengan masalah kognitif dan memiliki gangguan ingatan tiga kali lebih banyak daripada pemain tanpa riwayat gegar otak. Pemain yang mengalami gegar otak berulang juga lebih mungkin untuk didiagnosis depresi.
3.      Isu yang belum terselesaikan
Haruskah Orang Sehat Gunakan Peningkat Kognitif?
Dalam mencari keuntungan kognitif, banyak orang sehat, muda dan tua, beralih ke obat-obatan yang dapat memberikan manfaat kognitif. Banyak dari kita secara rutin menggunakan kafein, yang meningkatkan kewaspadaan, memori kerja, dan pembelajaran insidental. Orang lain menggunakan nikotin, yang meskipun jelas merugikan kesehatan ketika merokok,dapat meningkatkan perhatian, memori kerja, dan perhatian dalam jangka pendek.
Tren yang lebih baru, bagaimanapun, melibatkan penggunaan stimulan resep. Ini termasuk methylphenidate (Ritalin), yang digunakan dalam pengobatan gangguan perhatian-defisit, dan modafinil. yang digunakan sebagai agen yang membangunkan untuk orang-orang dengan kantuk di siang hari yang berlebihan. Senyawa-senyawa ini (yang tidak selalu diresepkan secara hukum) sekarang digunakan oleh siswa yang mencari nilai lebih baik serta oleh personel militer yang perlu tetap terjaga selama misi panjang. Menurut beberapa penelitian, sekitar 16 persen mahasiswa mengakui bahwa mereka telah menggunakan methylphenidate untuk tujuan rekreasi
Studi menunjukkan bahwa dokter enggan meresepkan obat-obatan ini untuk orang muda, yang secara kognitif sehat (Banjo et al., 2010). Pada bagian, keengganan ini berasal dari kekhawatiran tentang keamanan senyawa dan keyakinan ini bahwamanfaat yang mereka berikan sangat kecil. Tentu saja, bukti menunjukkan bahwa manfaat dari peningkat kognitif pada individu yang sehat memang sangat sederhana. Tetapi ada masalah etika juga
 


 
 


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi, dan prilaku. Pikiran yang terganggu, dimana pikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru. Pasien skizofrenia sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi. Gangguan ini biasanya muncul pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa, agak lebih awal pada kaum laki-laki daripada kaum perempuan. Orang-orang yang menderita skizofrenia umumnya memiliki beberapa episode akut simtom-simtom: di antara setiap episode mereka sering mengalami simtom-simtom yang tidak terlalu parah namun tetap mengganggu keberfungsian mereka. Simtom-simtom yang dialami pasien skizofrenia mencangkup gangguan dalam beberapa hal penting seperti pikiran, persepsi dan perhatian; prilaku motorik; afek atau emosi; dan keberfungsian hidup.
Sedangkan gangguan neurokognitif dikemukakan bahwa gangguan dapat muncul akibat dari perubahan pada otak berupa struktur, fungsi, dan kimia. Ada beberapa alasan kenapa gangguan neurokognitif dibahasa dalam psikologi abnormal. Pertama, karena dimasukkannya mereka dalam DSM menunjukkan bahwa gangguan ini dianggap sebagai kondisi psikopatologis. Kedua, beberapa kelainan otak menyebabkan gejala yang tampak luar biasa seperti gangguan psikologi abnormal lainnya. Ketiga, kerusakan pada otak dapat menyebabkan perubahan perilaku, mood dan personality. Mengetahui area dari otak yang terlibat dalam perubahan perilaku, mood dan personality saat terjadi saat kerusakan otak dapat membantu dalam hal penelitian yang bersangkutan dengan psikologi abnormal. Keempat, banyak orang menderita gangguan otak (misalnya, orang yang didiagnosis menderita penyakit Alzheimer) bereaksi terhadap berita diagnosis mereka dengan depresi atau kecemasan.

B.     Saran
untuk penulis selanjutnya dapat lebih memperhatikan teknik penulisan dan menambah referensi.







DAFTAR PUSTAKA

Davidson, G.C.,Neale, J.M., Kring, A.M. 2010. Psikologi abnormal edisi ke-9. Jakarta: Rajawali
            Pers.
Hooley, J.M., Butcher, J.N., Nock, M.K., Mineka, Susan. 2017. Abnormal Psychology
            Seventeenth Edition. England : Pearson


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH PERMASALAHAN POKOK PENDIDIKAN DAN PENANGGULANGANNYA

MAKALAH " THAHARAH"

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA