MAKALAH PSIKOPATOLOGI “SKIZOFRENIA DAN GANGGUAN NEUROKOGNITIF”
Diampu oleh:
Dr. Sitti Murdiana, S.Psi.,M.Psi.,Psikolog
Rahmat Permadi, S.Psi.,
M.Psi., Psikolog
MAKALAH PSIKOPATOLOGI
“SKIZOFRENIA DAN GANGGUAN NEUROKOGNITIF”

Disusun Oleh :
KELAS A
ST. HARDIATI NINGSIH 1671040006
AINUN AMANI AMJAD 1771042030
ANDI INDIRA AULIA MUTMAINNAH 1771042108
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
FAKULTAS
PSIKOLOGI
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jumlah
populasi penduduk Indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun. Ini berarti
bahwa dengan bertambahnya penduduk Indonesia, tidak menutup kemungkinan akan
ada penurunan atau peningkatan sumber daya manusia. Dengan semakin bertambahnya
manusia juga tidak menutup kemungkinan bahwa wabah penyakit akan semakin
meluas, baik itu penyakit fisik maupun mental.
Seiring
berkembanganya jaman maka manusia dituntut untuk semakin bijak dalam menyikapi
kehidupan, terutama dalam setiap masalah-masalah yang menghantui negeri ini.
Masalah-masalah tersebut pastilah menuntut manusia untuk berpikir dalam
menyikapi setiap keadaan mendatang dan akan mengganggu psikis dari
masing-masing individu apabila tidak bisa bijak dalam menyikapinya. Kondisi
psikis inilah yang nantinya akan menimbulkan penyakit-penyakit jiwa, salah
satunya Skizofrenia dan gangguan neurokognitif.
Tidak
sedikit penduduk Indonesia yang mengalami Skizofrenia. Skizofrenia adalah
gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan penglihatan realita. Penderita
Skizofrenia akan memiliki tingkat halusinasi yang tinggi. Mereka akan cenderung
berfikir yang tidak sesuai kenyataan. Sedangkan gangguan neurokognitif
dikemukakan bahwa gangguan dapat muncul akibat dari perubahan pada otak berupa
struktur, fungsi, dan kimia.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah :
1. Apa
yang dimaksud dengan skizofrenia ?
2. Bagaimana
simtom-simtom klinis dar skizofrenia?
3. Bagaimana
sejarah konsep dari skizofrenia?
4. Bagaimana
etilogi dari skizofrenia?
5. Bagaimana
terapi dari skizofrenia?
6. Apa
yang di maksud dengan gangguan neurokognitif?
7. Bagaimana
gangguan otak pada orang dewasa?
8. Bagaimana
yang dimaksud Delirium?
9. Bagaimana
yang dimaksud gangguan
neurokognitif utama ?
10. Bagaimana yang dimaksud penyakit Alzheimer ?
11. Bagaimana
yang dimaksud gangguan
neurokognitif akibat infeksi HIV atau masalah pembuluh darah ?
12. Bagaimana
yang dimaksud gangguan
neurokognitif yang ditandai oleh gangguan memori yang sangat dalam?
13. Bagaimana
yang dimaksud gangguan melibatkan cedera
kepala ?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
:
1. Agar
pembaca dapat mengetahui apa yang dimaksud skizofrenia.
2.
Agar pembaca dapat mengetahui apa yang
dimaksud gangguan neurokognitif.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Szkizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai
dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi, dan prilaku. Pikiran yang
terganggu, dimana pikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan
perhatian yang keliru. Pasien skizofrenia sering kali masuk ke dalam kehidupan
fantasi yang penuh delusi dan halusinasi (Davidson dkk., 2004).
Gangguan ini biasanya muncul pada akhir masa remaja
atau awal masa dewasa, agak lebih awal pada kaum laki-laki daripada kaum
perempuan (DiMaggio dkk., 2001). Orang-orang yang menderita skizofrenia umumnya
memiliki beberapa episode akut simtom-simtom: di antara setiap episode mereka
sering mengalami simtom-simtom yang tidak terlalu parah namun tetap mengganggu
keberfungsian mereka (Kosten & Ziedonis, 1997). Simtom-simtom yang dialami
pasien skizofrenia mencangkup gangguan dalam beberapa hal penting seperti
pikiran, persepsi dan perhatian; prilaku motorik; afek atau emosi; dan
keberfungsian hidup.
Tidak ada somtom-simtom penting yang harus ada untuk
menegakkan diagnosis skizofrenia. Oleh karena itu, para pasien skizofrenia
dapat berbeda antara satu sama lainnya disbanding pasien gangguan lain.
Simtom-simtom utama skizofrenia disajikan dalam tiga (3) kategori; positif,
negarif, dan disorganisasi. Namun terdapat beberapa simtom tidak cukup sesuai
untuk digolongkan ke dalam tiga kategori tersebut.
B. Simtom
Klinis Skizofrenia
Simtom- simtom yang dialami
pasien skizofrenia mencakup gangguan dalam beberapa hal penting –pikiran,
presepsi dan perhatian; perilaku motoric; afek atau emosi; dan keberfungsian
hidup. Rentang masalah orang-orang yang didiagnosis menderita skizofrenia
sangat luas , meskipun dalam satu waktu pasien umumnya mengalami hanya beberapa
dari masalah tersebut. Bagi para ahli diagnostic DSM menentukan berapa banyak
masalah yang harus ada dan seberapa tinggi kadarnya untuk menjustifikasi
penegakan diagnosis.
1.
Simtom
Positif
Simtom positif
menyangkut hal-hal yang berlebihan dan distrosi, seperti halusinasi dan waham,
menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia.
Delusi
(waham), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan,
merupakan simtom-simtom positif yang umum pada skizofrenia (Sartotius dkk.,
1974). Menurut Kurt Schneider waham juga dapat memiliki bentuk lain, yakni;
·
Pasien yakin bahwa pikiran yang bukan
berasal dari dirinya dimasukkan ke dalam pikirannya oleh suatu sumber
eksternal.
·
Pasien yakin bahwa pikiran mereka
disiarkan dan ditransmisikan sehingga orang lain mengetahui apa yang mereka
pikirkan.
·
Pasien berpikir bahwa pikiran mereka
telah dicuri, secara tiba-tiba tanpa terduga, oleh suatu kekuatan eksternal
·
Beberapa pasien yakin bahwa perasaan
atau prilaku mereka dikendalikan oleh suatu kekuatan eksternal.
Meskipun waham juga terjadi dikalangan
pasien dengan berbagai diagnosis lain, waham yang dialami pasien skizofrenia
seringkali lebih aneh dibanding delusi yang dialami para pasien berbagai
kategori diagnostic lain.
Halusinasi
dan gangguan persepsi lain, yaitu suatu pengalaman indrawi
tanpa adanya stimulus dari lingkungan, yang paling sering terjadi adalah
halusinasi auditori, bukan visual (Sartorius dkk., 1974). Tipe-tipe halusinasi
tersebut antara lain di bawah ini;
·
Beberapa pasien skizofrenia menuturkan
bahwa mereka mendengar pikiran mereka diucapkan oleh suara orang lain.
·
Beberapa pasien mengklaim bahwa mereka
mendengar suara-suara yang saling berdebat.
·
Beberapa pasien mendengar suara-suara
yang mengomentari prilaku mereka.
2.
Simtom
Negatif
Simtom-simtom
negative skizofrenia mencangkup berbagai defisit behavioral, seperti avolition,
alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Simtom-simtom ini cenderung
bertahan melampui suatu episode akut den memiliki efek parah terhadap kehidupan
para pasien skizofrenia. Penting untuk memilah simtom-simtom skizofrenia yang
sesungguhnya dan simtom-simtom yang disebabkan oleh faktor lain. Contohnya,
afek datar (kurang ekspresif emosional) dapat merupakan efek samping obat
antipsikopatik. Mengobservasi pasien dalam kurun waktu yang lebih lama mungkin
merupakan satu-satunya cara untuk mengatsi isu ini.
Avolition,
apati atau avolition merupakan kondisi kurangnya energi atau ketiadaan minat
atau ketidakmampuan untuk tekun melakukan apa yang biasanya merupakan aktifitas
rutin.
Alogia,
merupakan suatu gangguan pikiran negative, alogia dapat terwujud dalam beberapa
bentuk. Dalam miskin percakapan, jumlah total percakapan sangat jauh berkurang,
namun hanya mengandung sedikit informasi dan cenderung membingungkan seta
diulang-ulang.
Anhedonia,
ketidak mampuan untuk merasakan kesenangan, kurangnya minat dalam bebagai aktifitas
rekreaksional, gagal untuk mengembangkan hubungan dekat dengan orang lain. Dan
kurangnya minat dalam hubungan seks.
Afek Datar, pada pasien yang memiliki afek datar hampirb
tidak ada stimulus yang dapat memunculkan respon emosional. Pasien menatap
dengan tatapan kosong, otot-otot wajah kendur, dan mata mereka tidak hidup,
ketika diajak berbicara, pasien menjawab dengan suara datar dan tanpa nada.
Konsep afek datar hanya merujuk pada konsep emosi yang tampak.
Asosialitas,
beberapa pasien skizofrenia mengalami ketidakmampuan parah dalam hubungan
social. Mereka memiliki sedikit teman, keterampilan social yang rendah, sangat
kurang berminat untuk berkumpul bersama orang lain.
3.
Simtom
Disorganisasi
Simtom disorganisasi
mencangkup disorganisasi pembicaraan dari perilaku aneh.
Disorgabisasi Pembicaraan.
Juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal, masalah dalam mengorganisasi
berbagai pemikiran dan dalam berbicara, berbagai citra dan potongan pikiran
tidak saling berhubungan. Bicara juga dapat terganggu karena suatu hal yang
disebut asosiasi longgar, atau keluar jalur (derailment). Mereka berhasil
berkomunikasi dengan seorang pendengar namunmengalami kesulitan untuk tetap
oada satu topik.
Gangguan
dalam pembicaraan pernah dianggap sebagai simtom klinis utama skizofrenia, dan
tetap merupakan salah satu kriteria diagnosis. Namun, banyak pasien tidak
mengalami disorganisasi dan terjadinya disorganisasi bicara tidak membedakan
dengan antara pasien skizofrenia dan psikosis lainnya.
Prilaku aneh,
prilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dalam meledek, marah, memakai
pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak atau dengan gaya
yang konyol, menyimpan makanan, mengumpulkan sampah, atau melakukan prilaku
seksual yang tidak pantas. Mereka kehilangan kemampuan untuk mengatur prilaku
dan menyesuaikan dengan berbagai standar masyarakt.
4.
Simtom
Lain
Beberapa
simtom lain skizofrenia tidak cukup tepat digolongkan ketiga kategori yang
telah disampaikan.
Katatonia,
beberapa abnormal motorik menjadi ciri khas katonia, mereka melakukan gerakan
berulangkali, urutan yang aneh dan kadang kompleks antara gerakan jari, tangan,
dan lengan, yang sering tampak memiliki tujuan tertentu.
Afek yang tidak sesuai,
respon-respon emotional individu berada diluar konteks. Terjadi perubahan yang
signifikan dari satu kondisi emosional ke kondisi emosional lain tanpa alasan
yang jelas.
C. Sejarah
Konsep Skizofrenia
1. Gambaran Awal
Konsep
skizofrenia pertama kali dikemukakan oleh dua psikater eropa, Emil Kraepelin
dan Eugen Bleuer. Kreapelin pertama kali mengemukakan teorinya mengenai dementia praecox, istilah awal untuk
skizofrenia. Dia membedakan dua kelompok utama psikosis yang disebutnya
endogenik, atau disebabkan secara internal: penyakit manik-depresif dan
dementia praecox. Dementia praecox mencangkup beberapa konsep diagnostik yakni
demensia paaaranoid, katat. Kraepelin yakin mereka memiliki kesamaan inti dan
istilah dementia praecox. Onia dan
hibefrenia. Kraepelin yakin bahwa konsep diagnostic memiliki kesamaan inti dan
istilah dementia praecox yakni faktor usia awal dan perjalanan yang memburuk
yang ditandai kemunduran kelemahan mental.
Eugen Bleuler
kemudian menyangkal pendapat Kraepelin bahwa gangguan terjadi pada usia dini
dan gangguan dapat berkembang menjadi demensia. Pada tahun 1908 Bleuler
mengajukan istilahnya sendiri “Skizofrenia” yang berasal dari Bahasa Yunani
schizein, yang artinya “membelah” dan
phren yang artinya akal pikiran.
Bagi Bleuler,
jalinan asosiatif tidak hanya menggabungkan kata-kata namun juga pikiran. Teori
bahwa jalinan asosiasi skizofrenia mengalami kerusakan dapat menjelaskan
berbagai masalah lain.
2.
Konsep
yang diperluas di Amerika
Bleuler
memberikan pengaruh besar terhadap konsep skizofrenia dalam perkembangannya di
Amerika Serikat. Penyebab meningkatnya frekuensi diagnosis di Amerika Serikat
dapat diketahuai dengan mudah. Beberapa figure penting di dunia psikiatri di
AS lebih memperluas konsep skizofrenia
Bleuler pada dasarnya sudah luas.
Konsep
skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga praktik-praktik
diagnosis:
a. Para
ahli klinis AS cenderung mendiagnosis skizofrenia bila terjadi waham dan
halusinasi. Karena simtom-simtom ini, terutama delusi, juga terjadi dalam
ganggauan mood, banyak pasien yang menerima diagnosis skizofrenia berdasarkan
DSM-II sebenarnya mengalami gangguan mood.
b. Para
pasien yang dewasa ini akan didiagnosis mengalami gangguan kepribadian
(terutama skizotipal, schizoid, ambang dan gangguan kepribadian paranoid)
didiagnosis sebagai skizofrenik berdasarkan kriteria DSM-II.
c. Para
pasien yang mengalami simtom-simtom skizofrenik yang terjadi secara akut dengan
kesembuhan yang cepat didiagnosis menderita skizofrenia.
3.
Diagnosis
DSM-IV-TR
Konsep
skizofrenia di AS mengalami perubahan besar dari definisi terdahulu yang luas
melalukui lima hal berikut:
a. Kriteria
diagostik disajikan dalam detail yang eksplisit dan substansial
b. Para
pasien yang mengalami simtom-aimtom gangguan mood dipisahkan. Skizofreangguan
skizoafektif nia, tipe skizoafektif dicantumkan sebagai gangguan skizoafektif
di bagian yang berbeda sebagai salah satu gangguan psikotik. Gangguan
skizoafektif mencangkup gabungan simtom-simtom skizofreni dan gangguan mood.
c. DSM-IV-TR
mensyaratkan gangguan terjadi sekurang-kurangnya 6 bulan, mencangkup suatu
episode akut atau fase aktif selama sekurang-kurangnya 1 bulan, ditandai adanya
minimal: waham, halusinasi, disorganisasi pembicaraan, disorganisasi prilaku
yang sangat nyata atau perilaku katatonik, dan simtom-simtom negatif.
d. Beberapa
ganguan yang pada DSM-II dianggap sebagai bentuk ringan skizofreia sekarang
didiagnosis sebagai gangguan kepribadian. Contohnya gangguan kepribadian
skizotipal.
e. DSM-IV-TR
membedakan antara skizofrenia paranoid dan gangguan waham. Orang yang menderita
gangguan waham oleh waham kejaran terus menerus seperti tuduhan pacar atau pasangan
tidak setia, waham erotomania (yakin status sosial lebih tinggi), dan waham
somatic (yakin bahwa ada organ tubuhnya yang tidak berfungsi).
Adapun Kriteria Skizofrenia dalam
DSM-IV- TR yaitu :
a. Terdapat
dua atau lebih simtom-simtom berikut ini dengan porsi waktu yang
signifikanselama sekurang-kurangnya satu bulan : waham, halusinasi,
disorganisasi bicara, disorganisasi perilaku atau perilaku katatonik,
simtom-simtom negative.
b. Keberfungsian
sosial dan pekerjaan menurun sejak timbulnya gangguan.
c. Gejala-gejala
gangguan terjadi selama sekurang-kurangnya enam bulan; sekurang-kurangnya satu
bulan ubtuk simtom-simtom pada poin pertama; selebihnya simtom-simtom negative
atau simtom lain pada poin pertama dalam bentuk ringan.
4.
Kategori
Skizofrenia dalam DSM-IV-TR
Dikemukakan
Kraepelin bahwa terdapat tiga tipe gangguan skizofrenik yang tercantum dalam
DSM-IV-TR yaitu disorganisasi, katatonik dan paranoid.
Skizofrenia Disorganisasi,cara
bicara pasien mengalami disorganisasi dan sulit dipahami oleh pendengar. Pasien
dapat berbicara secara tidak runut, menggabungkan kata yang terdengar sama
bahkan dapat membuat kata-kata baru, seringkali disertai kekonyolan serta tawa.
Ia dapat memiliki afek dataratau terus menerus mengalami perubahan emosi, ia
dapat meledak menjadi tawa atau tangis sehingga sulit untuk dipahami. Pasien
kadang kala mengalami kemunduransampai ke titik yang tidak pantas, buang air
besar dimana saja dan kapan saja..
Skizofrenia Katatonik,
pasien umumnya bergantian mengalami imobilitas katatonik dan keriangan yang
liar, namun salah satunya dapat lebih dominan. Pasien menolak perintah dan
saran dan seringkali menirukan kata-kata orang lain. Onset reaksi katatonik
lebih sering terjadi disbanding bentuk-bentuk skizofrenia lainnya meskipun
sebelumnya pasien menunjukkan kondisi apati dan menarik diri dari
kenyataan. Skizofrenia katatonik jarang
ditemui belakangan ini, mungkin karena terapi obat bekerja secara efektif.
Skizofrenia Paranoid,
kunci dari diagnosis ini aalah adanya waham. Waham kejaran yang paling umum, namun pasien dapat mengalami waham kebesaran dimana mereka memiiki rasa
yang berlebihan mengenaik pentingnya kekuasaan, pengetahuan, atau identtas diri
mereka. Beberapa pasien mengalami waham cemburu,
suatu keyakinan yang tidak mendasar terhadap pasangan. Waham lainnya
disebutkan seperti dimatai-matai, atau dikejar. Halusinasi pendengaran disertai
dengan waham. Para pasien yang menderita skizofrenia paranoid seringkali
mengalami idea of reference, mereka
memasukkan peristiwa yang tidak penting kedalam kereangka waham dan mengalihkan
kepentigan pribadi mereka kedalam aktifitas yang tidak berarti yang dilakukan
orang lain. Para individu yang mengalami skizofrenia paranoid selalu cemas,
argumentative, marah dan kadang kasar. Secara emosional mereka responsive,
meskipun mereka kaku, formal dan intens kepada orang lain. Mereka lebih sadar
dan verbal disbanding para pasien skizofrenia lainnya. Bahasa yang mereka
guakan, meskipun penuh dengan rujukan dulusi namun, tidak mengalami
disorganisasi.
Evaluasi terhadap berbagai subtipe.
Beberapa
subtipe tambahan juga dicamtumkan dalam DSM-IV-TR.
Diagnosis skizofrenia tak terinci
diberikan kepada para pasien yang memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia,
namun tidak memenuhi ketiga subtipe tersebut. Diagnosis skizofrenia residual diberikan bila pasien tidak lagi memenuhi
kriteria lengkap skizofrenia namun masih menunjukkan beberapa tanda penyait
tersebut.
D. Etiologi
Skizofrenia
Berbagai
perspektif teoritis yang luas, seperti psikoanalisis, tidak berdampak besar
pada penelitian tentang skizofrenia. Maka, disini memfokuskan pada berbagai
bidang utama penelitian etiologis.
1. Data
Genetik
Sejumlah literatur yang meyakinkan mengindikasikan bahwa suatu predisposisi
bagi skizofrenia diturunkan secara genetik. Metode keluarga, kembar, dan adopsi
digunakan dalam penelitian, seperti halnya dalam proyek-proyek penelitian
perilaku genetik lainnya, mengarahkan para peneliti untuk menyimpulkan bahwa
suatu predisposisi terhadap skizofrenia diturunkan secara genetik. Analisis
ulang menggunakan kriteria DSM-III telah memberikan verifikasi terhadap
berbagai kesimpulan yang dicapai sebelumnya.
a. Studi
Keluarga
Tabel 11.2 Ringkasan
Berbagai Studi Besar terhadap Keluarga dan Orang Kembar di Eropa Mengenai
Genetika Skizofrenia
|
|
Hubungan dengan Penderita
|
Persebtase Skizofrenia
|
Pasangan
Cucu
Keponakan
Anak
Saudara kandungan
Kembar DZ (dua telur)
Kembar MZ (identik)
|
1,00
2,84
2,65
9,35
7,30
12,08
44,30
|
Sumber.
Dikutip dari Gottesman, McGuffin, dan Farmer, 1987.
|
Pada tabel 11.2
berisi ringkasan risiko terhadap skizofrenia pada berbagai kerabat kasus-kasus
indeks yang menderita skizofrenia. Cukup jelas, para kerabat pasien skizofrenia
memiliki risisko yang lebih tinggi, dan resiko tersebut semakin tinggi bila
hubungan kekerabatan semakin dekat.
Lebih jauh lagi,
para pasien yang memiliki riwayat skizofrenia dalam keluarga mengalami lebih
banyak simtom negaif dibanding para pasien yang tidak memiliki riwayat
skizofrenia dalam keluarga, menunjukkan bahwa simtom-simtom negatif dapat
mengandung komponen genetik yang lebih
kuat. Para kerabat pasien skizofrenia juga memiliki risiko lebih tinggi
terhadap gangguan lain yang di anggap sebagai bentuk skizofrenia yang tidak
parah.
Dengan demikian,
data yang diperoleh melalui metode keluarga mendukung teori bahwa suatu
predisposisi terhadap skizofrenia dapat diturunkan secara genetik. Namun, para
kerabat kasus indeks skizofrenia tidak hanya memilii gen yang sama, namun juga
pengalaman yang sama. Perilaku orang tua yang menderita skizofrenia dapat
sangat menggangu bagi anak yang sedang tumbuh. Dengan demiian, pengaruh
lingkungan tidak dapat diabaikan sebagai lawan penjelasan atas risiko
morbilitas yang lebih tinggi.
b. Studi
Orang kembar
Tingkat kesesuaian bagi kembar MZ dan DZ juga dapat
dilihat pada Tabel 11.2. kesesuaian untuk kembar identik (44,30 %), meskipun
lebih besar daripada kemvar fratenal (12,08%), namun tetap jauh di bawah 100%.
Hasil yang sama juga diperoleh dalam berbagai studi yang lebih mutakhir.
Tingkat kesesuaian untuk kembar Mz yang kurang dari 100% merupakan hal penting:
jika hanya faktor genetik yang berperan dalam skizofrenia dan salah satunya
dari saudara kembar menderita skizofrenia, yang satunya juga akan menderita
skizofrenia karena MZ secara genetik identik. Sejalan dengan interpretasi
genetik terhadap data tersebut, kesesuaian diantara para kembar MZ memang
meningkat jika gangguan yang diderita lebih parah.
Sebagaimana dalam studi keluarga, jelas terdapat masalah
kritikal dalam menginterpretasi hasil-hasil studi tentang terhadap prang
kembar. Kesamaan lingkungan juga menyimpan dan bukan kesamaan faktor-faktor
genetik dapat berperan dalam beberapa porsi tingkat kesesuaian tersebut.
Kesamaan lingungan yang kami maksud disisni bukan hanya pola asuh yang sama,
namun juga lingkungan didalam rahim yang lebih memiliki kesamaan karena kembar
MZ lebih mungkin mendapatkan pasokan darah yang sama dibandingkan kembar DZ.
Dworkin dan para kolegannya mengevaluasi ulang berbagai
studi besar terhadap orang kembar berdasarkan perbedaan simtom positif-negatif.
Raring simtom-simtom postif dan negatif dikumpulkan dari berbagai publikasi
riwayat kasus pada orang-orang kembar dan membandingkan para penderita dari
pasangan kembar yang dimiliki kesesuaian dan yang tidak memiliki
kesesuaian. Tidak ada perbedaan dalam
simtom-simtom positif. Namun para penderita dari pasangan kembar yang memiliki
kesesuaian memiliki simtom-simtom negatif lebih tinggi dibandingkan par
penderita dari pasangan kembar yang tidak memiliki kesesuian. Seperti halnya
data keluarga yang kami sampaikan sebelumnya, data ini menunjukkan bahwa
simtom-simtom negatif mengandung komponen genetik yang lebih kuat dibanding
simtom-simtom positif.
c. Studi
Adopsi
Studi terhadap anak-anak dari ibu yang menderita
skizofrenia, namun sejak bayi dibesarkan oleh orang tua adopsi nonskizofrenia
yelah memberikan telah memberikan informasi yang lebih meyakinkan mengenai peran
gen dalm skizofrenia dengan menghilangkan kemungkinan pengaruh lingkungan yang
menyimpang. Heston berhasil memantau 47 orang yang lahir antara 1915 dan 1945
dari para ibu yang menderita skizofrenia dirumah sakit jiwa pemerintah.
Bayi-bayi tersebut dipisahkan dari ibu mereka sejak lahir dan dibesarkan oleh
orang tua asuh atau orang tua adopsi. Lima puluh peserta control diseleksi dari
panti-panti asuhan yang sama dengan yang ditinggali oleh anak-anak dari para
ibu yang menderita skizofrenia.
Pengukuran dalam pemantauan tersebut, dilakukan pada
tahun 1964, terdiri dari wawancara, MMPI, tes IQ, rating kelas sosial, dan
sebagainya. Catatan mengenai setiap peserta dirating secara independen oleh dua
orang psikiater, dan evaluasi yang ketiga dilakukan oleh Heston. Rating dibuat
berdasarkan skala 0 hingga 100 terhadap disabilitas secara keseluruhan, dan
jika memungkinkan, ditegakkan berbagai diagnosis. Secara keseluruhan, para peserta kontrol mendapatkan
rating disabilitas yang lebih rendah dibandingkan anak-anak dari para ibu yang
menderita skizofrenia. Sebanyak 31 anak dari 47 anak yang memiliki ibu
skizofrenia (66%) menerima suatu diagnosis DSM, dibandingkan dengan hanya 9 ank
dari 50 anak peserta kontrol (18%). Tidak seorang pun dari peserta kontrol yang
mendapatkan diagnosis diagnosis skizofrenia, namun 16,6 % ( 5 orang) dari
keturunan para ibu yang menderita skizofrenia juga mendapatkan diagnosis yang
sama. Anak anak dari ibu yang menderita skizofrenia juga lebih mungkin untuk
didignosis lemah mental, psikopatik, dan neurotik. Mereka lebih sering terlibat
dalam tindakan kriminal, menghabiskan lebih banyak waktu diberbagai institusi
hukuman, dan lebih sering diberhentikan dari dinas kesetaraan karena berbagai
alasan psikiatrik. Anak-anak yang dibesarkan tanpa berhubungan dengan ibu
mereka yang patogenik juga lebih mungkin menjadi skizofrenia dibandingkan
kelompok kontrol. Studi Heston memberikan dukungan kuat terhadap pentignya
faktor-faktor genetik dalam timbulnya skizofrenia.
d. Evaluasi
Data Genetik
Data mengindikasikan bahwa faktor-faktor genetik berperan
penting dalam terjadinya skizofrenia. Berbagai studi orang kembar dan keluarga
terdahulu dikritik karena tidak memisahkan pengaruh gen dan lingkungan.
Meskipun demikian, berbagai studi yang lebih mutakhir terhadap anak-anak yang
orang tuanya menderita skizofrenia yang dibesarkan oleh orang tua asuh dan
orang tua adopsi, ditambah pemantauan terhadap para kerabat anak-anak adopsi
yang menderita skizofrenia, hampir menghilangkan potensi pengaruh lingkungan
yang membingungkan.
Faktor- faktor genetik hanya dapat menjadi pemberi
prediposisi terhadap skizofrenia. Diperlukan beberapa jenis stres untuk membuat
predisposisi menjadi patologi yang dapat diamati. Terlepas dari berbagai
masalah dan keterkaitan yang longgar dalam genetik data, data tersebut
merupakan sekumpulan bukti yang mengesankan. Korelasi positif yang kuat anatara
hubungan kekerabatan secara genetik dan prevalensi skizofrenia tetap merupakan
salah satu mata rantai terkuat dalam rantai informasi mengenai berbagai
penyebab skizofrenia.
2. Faktor
Biokimia
Peran factor-faktor genetic dalam skizofrenia
menunjukkan bahwa factor-faktor biokimia perlu diteliti karena melalui kimia
tubuh dan proses-proses biologislah factor keturunan tersebut dapat
berpengaruh. Peneliti saat ini mengkaji beberapa neurotransmitter yang berbeda,
seperti nerepinefrin dan serotonin.
a. Aktivitas
Dopamin
Teori bahwa skizofrenia berhubungan dengan aktivitas
berlebihan neurotrensmiter dopamine, terutama didasarkan pada pengetahuan bahwa
obat-obatan yang efektif untuk menangani skizofrenia menurunkan aktivitas
dopamin. Para peneliti mencatat bahwa obat-obat antipsikotik, selain manfaat
untuk menangani beberapa simtom skizofrenia, menimbulkan efek samping yang
mirip dengan simtom-simtom penyakit Parkinson. Penyakit Parkinson diketahui
sebagian disebabkan oleh kadar dopamin yang rendah dalam bagian saraf otak
tertentu. Setelah itu dikonfirmasi bahwa karena strukturnya sama dengan molekul
dopamin, molekul-molekul
obat-obatan antipsikotik memiliki kecocokan sehingga menghambat berbagai
reseptor dopamin pascasinaptik. Reseptor-reseptor dopamin yang dihambat oleh
obat-obat antipsikotik disebut reseptor D2. Dari pengetahuan mengenai cara
kerja obat-obatan yang membantu para pasien skizofrenia ini, adalah suatu
lompatan induktif kecil untuk menganggap skizofrenia disebabkan oleh aktivitas
berlebihan dopamin dibagian saraf otak.
Dukungan lebih jauh yang tidak langsung bagi teori
dopamin dalam skizofrenia diperoleh dari literatur mengenai psikosis amfetamin.
Amfetamin dapat menyebabkan suatu kondisi yang sangat mirip dengan skizofrenia
paranoid, dan dapat memperparah simtomatologi pasien skizofrenia. Amfetamin
menyebabkan pelepasan katekolamin, termasuk neropinefrin dan dopamin, kedalam celah sinaptik dan mencegah inaktivitasnya. Kita dapat
relative yakin bahwa efek amfetamin yang menimbulkan psikosis merupakan akibat
peningkatan dopamine dan bukan peningkatan norepinefrin karena obat-obat
antipsikotik adalah obat yang menyembuhkan psikosis amfetamin.
Beberapa studi terhadap otak para pasien skizofrenia
pascakematian, serta hasil pemindahan PET para pasien skizofrenia,
mengungkapkan bahwa reseptor dopamine lebih besar jumlahnya atau hipersensitif
pada beberapa orang penderita skizofrenia. Memiliki lebih banyak reseptor
memberikan kesempatan yang lebih besar bagi dopamine yang dilepaskan untuk
merangsang suatu reseptor.
Perkembaangan selanjutnya dalam teori dopamin memperluas ruang lingkupnya. Perubahan penting termaksud
diketahuinya perbedaan diantara jalur-jalur saraf yang menggunakan dopamin
sebagai transmiter. Kelebihan aktivitas dopamin yang diduga paling relevan
dengan skizofrenia terdapat didalam jalur mesolimbik, dan efek terapeutik
obat-obat antipsikotik terhadap simtom-simtom positif terjadi dengan cara
menghambat berbagai reseptor dopamin dalam sistem saraf tersebut sehingga
menurunkan aktivitasnya.
b. Evaluasi
Data Biokimia
Teori dopamin tidak muncul sebagai teori lengkap mengenai
skizofrenia. Perlu beberapa minggu bagi obat-obatan antipsikotik untuk secara
bertahap mengurangi simtom-simtom skizofrenia meskipun obat-obat tersebut
dengan cepat menghambat reseptor dopamin. Pemisahan antara efek behavioral dan
efek farmakologis obat-obat antipsikotik sulit dimengerti dalam konteks teori
terkait.
Secara ringkas, meskipun dopamin tetap merupakan variabel
biokimia yang paling aktif diteliti, namun tidak mungkin dapat memberikan
penjelasan lengkap mengenai biokimia skizofrenia. Skizofrenia merupakan
gangguan dengan simtom-simtom yang luas mencakup persepsi, kognisi, aktivitas
motorik, dan perilaku sosial. Tidak mungkin bila satu neurotransmiter tunggal
dapat menjadi penyebab semua itu. Para peneliti skizofrenia yang berorientasi
biokimia melalui menebar jaring biokimia yang lebih lebar, berpindah dari titik
berat yang hampir eksklusif pad dopamin. Glumat dan seratonin dapat berada
dijalur terdepan dalam penelitian, mungkin dikombinasikan dengan aktivitas
dopamin.
3. Otak
dan Skizofrenia
Analisis pascakematian pada otak pasien skizofrenia
merupakan salahsatu sumber bukti. Berbagai studi semacam itu secar konsisten
meengungkap adanya abnormalitas pada beberap daerah otak pasien skizofrenia, meskipun
abnormalitas spesifik yang dilaporkan bervariasi antar studi, dan terdapat
banyak temuan yang saling bertentangan. Temuan yang paling konsisten adalah
pelebaran rongga otak yang erimplikasi pada hilangnya beberapa sel otak.
Berbagai temuan lain yang cukup konsisten mengindikasikan abnormalitas sruktur
pada daerah subkortikal temporallimbik, seperti hipokampus dan basal ganglia,
dan pada korteks prefrontalis dan temporal.
Hal yang lebih mengesankan adalah berbagai citra yang
diperoleh dalam berbagai pemindahan CT dan studi MRI. Para peneliti segera
menggunakan alat-alat baru tersebut pada otak pasien skizofrenia yang masih
hidup. Sejauh ini, berbagai citra jaringan otak hidup secara paling kosisten
mengungkap bahwa beberapa pasien, terutama laki-laki memiliki rongga otak yang
melebar. Penelitian juga menunjukkan berkurangnya daerah abu-abu kortikal
didaerah temporal dan frontalis dan berkurangnya volume basal ganglia dan
struktur limbik.
Berbagai macam data menunjukkan bahwa korteks
prefrontalis secara khusus penting dalam skizofrenia.
a.
Korteks
prefrontalis diketahui berperan dalam perilaku seperti berbicara, pengambilan
keputusan, dan tindakan yang bertujuan, yang kesemuanya mengalami gangguan
dalam skizofrenia.
b.
Berbagai
studi MRI menunjukkan berkurangnya abu-abu dalam korteks prefontalis.
c.
Dalam
suatu jenis pencitraan fungsional dimana metabolisme glukosa diberbagai daerah
otak diteliti ketika pasien sedang mengerjakan tes-tes psikologis, para pasien
skizofrenia menunjukkan tingkat metabolisme yang rendah dalam korteks
prefrontalis.
Salah satu
kemungkinan beberapa abnormalitas otak tersebut adalah kerusakan semasa
kehamilan atau saat kelahiran. Banyak studi menunjukkan angka komplikasi
kelahiran yang tinggi pada para pasien skizofrenia: beberapa komplikasi semacam
itu dapat diakibatkan oelh pasokan oksigen yang berkurang ke otak, dan
mengakibatkan hilangnya daerah abu-abu kortikal. Berbagai komplikasi kelahiran
tersebut tidak meningkatkan angka kejadian skizofrenia pada setiap orang yang
mengalami komplikasi tersebut:; resiko skizofrenia meningkat pada mereka yang
mengalami komplikasi kelahiran dan memiliki suatu diathesis genetik.
Meskipun
data-data yang ada tidak seluruhnya konsisten, kemungkinan lain adalah adanya
suatu virus yag masuk keotak dan merusaknya ketika masih dalam perkembangan.
Para peneliti meneliti angka kejadian skizofrenia pada orang dewasa yang
kemugkinan telah terpapar virus tersebut semasa dalam kandungan.
4. Stres
Psikologis dan Skizofrenia
Stres psikologis berperan penting dengan cara
berinteraksi dengan kerentanan biologis untuk menimbulkan penyakit ini. Data
menunjukkan bahwa peningkatan stres kehidupan meningkatkan kemungkinkan
kekambuhan. Lebih jauh lagi, para individu yang menderita skizofrenia tampak
sangat reaktif terhadap berbagai stresor yang kita hadapi dalam kehidupan
sehari-hari. Dua stresor yang telah mengambil bagian penting dalam penelitian
dibidang ini, adalah kelas sosial dan keluarga.
a. Kelas
Sosial dan Skizofrenia
Selama bertahun-tahun kita telah mengetahui bahwa angka
kejadian tertinggi skizofrenia terdapat diberbagai wilayah pusat kota yang
dihuni oleh masyarakat dari kelas-kelas sosial terendah. Hubungan antara kelas
sosial dan skizofrenia tidak menunjukkan tingkat kejadian skizofrenia yang
semakin tinggi seiring semakin rendahnya kelas sosial. Namun, terdapat
perbedaan yang sangat tajam anatara jumlah orang yang menderita skizofrenia
dalam kelas sosial terendah dan jumlah penderita skizofrenia pada berbagai
kelas sosial lain.
Korelasi antara kelas sosial dan skizofrenia memiliki
konsistensi, namun sulit untuk menginterpretasinya secara kasual. Beberaoa
orang percaya bahwa stresor yang berhubungan dengan kelas sosial rendah dapat
menyebabkan atau berkontribusi terhadap terjadinya skizofrenia yaitu hipotesis
sosiogenik. Perlakuan merendahkan yang diterima seseorang dari orang lain,
tingkat pendidikan yang rendah, dan keberadaan seseorang dalam kelas sosial
terendah sebagai kondisi yang penuh stres yang dapat membuat seseorang
setidak-tidaknya yang memiliki predisposisi menderita skizofrenia. Alternatif
lain, berbagai stresor yang dihadapi oleh mereka yang berada dikelas sosial
terendah dapat bersifat biologis.; contohnya, kita mengetahui bahwa para ibu
yang gizinya buuk selama kehmilan akan melahirkan anak-anak yang memiliki
resiko yang lebih tinggi terhadap skizofrenia.
Penjelasan lain mengenai korelasi antara skizofrenia dan
kelas sosial rendah adalah teori seleksi-sosial., yang membalikkan arah
kausalitas anatara kelas sosial rendah dan skizofrenia. Dalam perjalanan
berkembangnya psikossis mereka, orang-orang yang menderita skizofrenia dapat
terseret ke dalam wilayah kota yang miskin. Berbagai masalah kognitif dan
motivasional yang semakin berkembang yang membebani para individu tersebut
dapat sangat melemahkan kemampuan mereka untuk memperoleh pendapatan sehingga
mereka tidak mampu tinggal diwilayah lain. Atau, mereka memilih untuk pindah
kewilayah dimana mereka hanya menghadapi sedikit tekanan sosial dan dimana
mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang mendalam.
b. Keluarga
dan Skizofrenia
Para teoris terdahulu menganggap hubungan keluarga,
terutama antara ibu dan anak laiki-lakinnya, sebagai hal peneting dalam
terjadinya skizofrenia. Pada satu saat pandangan tersebut sangat banyak dianut
sehingga istila ibu skizofrenogenik diciptakan bagi ibu yang tampak dingin dan
dominan, serta selalu menciptakan konflik, yang dianggap menyebabkan
skizofrenia pada anaknya. Para ibu tersebut memiliki karakter menolak, terlalu
melindungi, mengorbankan diri sendiri, tidak tergerak oleh perasaan orang lain,
kaku dan moralistik terhadap seks, dan takut terhadap keintiman.
Berbagai studi terkendali yang mengevaluasi teori
ibu-skizofrenogenik tidak menghasilkan data yang mendukung. Meskipun demikian,
berbagai studi terhadap keluarga para individu yang menderita skizofrenia
mengungkap bahwa dalam beberapa hal mereka berada dari keluarga normal, sebagai
conoh, menunjukkan pola komunikasi yang membingungkan dan tingkat konflik yang
tinggi. Meskipun demikian, adalah suatu kemungkinan bila konflik dan komunikasi
yang tidak jelas tersebut mungkin merupakan akibat dari adanya anggota keluarga
yang berusia muda yang menderita skizofrenia.
Dalam sebuah studi penting mengenai penyimpangan
komunikasi, para remaja yang memiliki masalah perilaku diteliti bersama dengan
keluarga mereka. Pemantauan selama lima tahun mengungkapkan bahwa sejumlah anak
muda telah menderita skizofrenia atau berbagai gangguan lain yang berhubungan
dengan skizofrenia. Para peneliti kemudian mampu menghubungkan berbagai
gangguan yang diketahui pada saat pemantauan tersebut dengan setiap
penyimpangan komunikasi orang tua yang telah terlihat lima tahun sebelumnya.
Penyimpangan komunikasi dalam keluarga memang ditemukan memprediksi terjadinya
skizofrenia kelak pada anak-anak mereka, memperkuat signifikansinya. Meskipun
demikian, penyimpangan komunikasi bukan merupakan faktor etilogis spesifik bagi
skizofrenia karena orang tua para pasien manik sma tingginya pada variabel ini.
5. Studi
Perkembangan Skizofrenia
Pada tahun 1960-an, Albee dan Lane serta para kolega
mereka secara berulang menemukan bahwa anak-anak yang dikemudian hari menderita
skizofrenia memiliki IQ yang lebih rendah dibandingkan para anggota berbagai
kelompok kontrol, yang biasanya terdiri dari para saudara kandung dan
teman-teman seusia dilingkungan tempat tinggal mereka.
Para peneliti juga meneliti berbagai film keluarga yang
dibuat sebelum onset skizofrenia, sebagai bagian dari kehidupan keluarga
normal. Dibandingkan dengan saudara-saudara kandung mereka yang dikemudia hari tidak menjadi skizofrenia, anak-anak
praskizofrenik menunjukkan keterampilan motorik yang lebih rendah dan ekspresi
afek negatif yang lebih banyak.
Data-data tersebut, meskipun berasal dari sebuah studi
kecil, menunjukkan bahwa etilogi skizofrenia dapat berbeda pada para pasien
dengan simtom positif dan negatif. Dalam satu analisis terhadap data tersebut,
para pasien skizofrenia dibagi menjadi dua kelompok, mereka yang memiliki
simtom-simtom positif yang dominan dan mereka yang memiliki simtom-simtom
negatif yang domina. Berbagai variabel yang memprediksikan skizofrenia berbeda
pada dua kelompok tersebt. Skizofrenia dengan simtom negatif didahului dengan
riwayat komplikasi kehamilan dan kelahiran dan kegagalan memberikan
respon-respon elektrodermal terhadap stimuli yang sederhana. Skizofrenia simtom
positif didahului oleh riwayat ketidakstabilan keluarga, seperti
dipisahkab dari orang tua dan tinggal
dipanti atau lembaga asuhan selama beberapa kurun waktu.
E. Terapi
Skizofrenia
Sederetan simtom yang membingungkan dan sering kali
menakutkan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang menderita skizofrenia membuat
penanganan jadi sulit. Meskipun beberapa orang yang mengalami gangguan parah
berabad-abad lalu yang dimasukkan keberbagai rumah sakit jiwa dengan kondisi
mengenaskan sebenarnya hanya menderita penyakit seumum sifilis., tampaknya
hanya ada sedikit keraguan bahwa banyak dari mereka, jika diteliti dewasa ini,
akan didiagnosis menderita skizofrenia. Dewasa ini mengetahui tentang karakteristik
dan etilogi skizofrenia; namun meskipun kita dapat menangani simtom-simtomnya
secara cukup efekif, penyembuhan masih jauh dari mungkin. Sebagian terbesar
penelitian menunjukkan bahwa perawatan dirumah sakit tidak banyak berguna untuk
menghasilkan efek perubahan yang berarti dan bertahan lama pada mayoritas
pasien gangguan jiwa.
Suatu masalah besar dalam jenis penanganan apa pun
untuk skizofrenia adalah banyak pasien yang menderita skizofrenia kurang
memiliki insight atas hendaya mereka dan menolak semua terapi yang diberikan.
Karena mereka tidak percaya bahwa mereka menderita suatu penyakit, mereka tidak
merasa membutuhkan intervensi professional, terutama juka mencakup perawatan
dirumah sakit atau pemberian obat-obatan. Hal ini terutama terjadi pada
orang-orang yang menderita skizofrenia paranoid, yang dapat menganggap setiap
terapi sebagai campur tangan yang mengandung ancama dari kekuatan luar yang
hostile. Olah karena itu, para anggota keluarga menghadapi suatu tantangan
besar untuk membuat kerabat mereka bersedia menjalani perawatan yang merupakan
salah satu alas an mengapa kadang mereka memilih memasukkan pasien kerumah
sakit secara paksa dengan alas an komitmen sipil sebagai jalan terakhir.
1. Penanganan
Biologis
a. Terapi
Kejut dan Psychosurgery
Pertemuan umum para pasien dirumah-rumah sakit jiwa
diawal abad ke-20, ditambah minimnya staf professional, menciptakan suatu iklim
yang memungkinkan, atau mungkin bahwa didorong secara halus, eksperimentasi
berbagai intervensi biologis yang radikal. Diawal tahun 1930-an praktik
menimbulkan koma dengan memberikan insulin dalam dosis tinggi diperkenalkan
oleh Sakel (19380, yang mengklaim bahwa ¾ dari pasien skozofrenia yang
ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan terkemudian oleh
para peneliti lain kurang mendukung hal itu, dan terapi koma insulin -yang
berisiko serius terhadap kesehatan, termasuk koma yang tidak dapat disadarkan
dan kematian- secara bertahap ditinggalkan.
Pada taun 1935, Moniz, seorang psikiater berkebangsaan
Portugis, memperkenalkan lobomi prefrontalis, suatu prosedur pembedahan yang
membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus frontalis dengan pusat otak
bagian bawah. Berbagai laporan awalnya mengklaim tingkat keberhasilan yang
tinggi, dan selama 20 tahu sesudahnya ribuan pasien jiwa –tidak hanya yang
didiagnosis menderita skizofrenania- menjalani berbagai variasi psychosurgery.
Prosedur tersebut dilakukan terutama bagi pasien yang perilakunya agresif.
Banyak pasien yang memang menjad tenang dan bahkan dapat keluar dari rumah
sakit. Meskipun demikian, dalam tahun 1950-an intervensi ini mendapatkan
reputasi buruk karena beberapa alasan. Setelah pembedahan banyak pasien menjadi
tumpul dan tidak bertenaga dan sangat kehilangan berbagai kemampuan kognitif
mereka – sebagai contoh, tidak mampu melakukan percakapan yang runtut dengan
orang lain- yang tidak mengerankan menilik dibuangnya bagian otak mereka yang
diyakini bertanggung jawab terhadap pikiran. Namun, alas an utama
ditinggalkannya terapi ini adalah penemuan obat-obatan yang tampaknya
mengurangi berbagai ekses behavioural dan emosional pada banyak pasien.
b. Terapi
Obat
Perkembangan terpenting dalam terapi untuk skizofrenia
adalah penemuan obat-obatan pada tahun 1950-an yang secara kolektf disebut
obat-obatan antipsikotik, yang juga disebut neuroleptic karena menimbulkan efek
samping yang sama dengan simtom-simtom penyakit neurologis.
1) Obat-obatan
Antipsikotik Tradisional
Salah satu obat antupsikotik yang paling sering
diresepkan, fenothiazin, diciptakan pertama kai oleh ahli kimia berkebangsaan
Jerman diakhir abad ke-19. Namun, sebelunya ditemukannya antihistamin yang
mengandung nucleus fenothiazin, pada tahun 1940-an, fenothiazin tidak
mendapatkan banyak perhatian.
Lebih dari sekedar digunakan untuk mengobati pilek
biasa dan asma, ahli bedah berkebangsaan Prancis Laborit memelopori penggunaan
antihistamin untuk mengurangi syok karena pembedahan. Ia mengamati bahwa obat
ini membuat pasien agak mengantuk dan ketakutannya menghadapi operasi
berkurang. Tidak lama setelah itu seorang ahli kimia prancis, Charpentier,
,enyiapkan suatu derivate baru fenothiazin, yang disebut khlorpromazin. Obat
ini terbukti sangat efektif untuk menenangkan pasien skozofrenia. Fenothiazin
menghasilkan efek terapeutik dengan menghambat berbagai reseptor dopamine di
dalam otak sehingga mengurangi pengaruh dopamine pada pikiran, emosi, dan
perilaku. Obat-obat antipsikotik secara signifikan mengurangi perawatan jangka
panjang dirumah sakitm namun obat-obat tersebut juga menciptakan lingkaran
setan yaitu masuk rumah sakit, keluar, dan kembali masuk rumah sakit yang
terjadi pada beberapa pasien .
2) Efek
Samping Antipsikotik Tradisional
Efek samping antipsikotik yang umum dilaporkan adalah
pusing, penglihatan kabur, tidak bisa tenang, dan disfungsi sekseual. Selain
itu, sekumpulan efek samping yang sangat menganggu, yang disebut efek samping
ekstrapiraidal, berakar dari berbagai disfungsi batang saraf yang menjulur dari
otak ke neuron motoric pada tulang belakang. Orang-orang yang mengosumsi
antipsikotik biasanya mengalami tremor pada jari, langkah yang terseret, dan
berliur. Efek samping lain mencakup distonia, suatu kondisi kekakuan otok, dan
dyskinesia, suatu gerakan abnormal otot-otot sadar dan tidak sadar,
mengakibatkan gerakan mengunyah serta gerakan lain pada bibir, jari, dan kaki;
secara bersamaan mereka menyebabkan punggung melengkung dan posisi leher dan
tubuh yang terpilin. Akasthesia adala ketidakmampuan untuk tetap diam,; orang
terus-menerus bergerak dan tidak dapat tenang. Simtom-simtom yang meganggu ini
dapat diatasi dengan memberikan obat bagi penyakit Parkinson.
Dalam gangguan otot yang dialami pasien skizofrenia
yang berusia lanjut, yang disebut dyskinesia tardif, otot-otot mulut tanpa
dapat dikendalikan membuat gerakan menghisap, bibir berkecap, dan dagu bergerak
kekanan dan kekiri. Terakhir, suatu efek samping yang disebut sindrom
neuroleptic berbahaya terjadi pada sekitar satu persen kasus. Dalam kondisi ini
, yang kadang dapat menjadi fatal, terjadi kekakuan otot yang parah, disertai
demam. Denyut jantung meningkat, tekanan darah naik, dan pasien dapat menjadi
koma.
3) Terapi
Obat Terbaru
Situasi sangat berubah dalam tahun-tahun terakhir,
dengan diperkenalkannnya klozapin,yang dapat memberikan manfaat terapeutik bagi
para pasien skizofrenia yang tidak merespon dengan baik obat-obat antipsikotik
tradisonal dan memberikan manfaat terapeutik yang lebih besar dalam mengurangi
simtom-simtom positif dibandingkan obat-obat antiosikotik tradisonal. Para
pasien mengosumsi klozapin juga memiliki kemungkinan lebih kecil untuk berhenti
dari terapi. Selain itu, klozapin menimbulkan efek samping motoric yang lebih
sedikit dibandingkan antipsikotik tradisional. Lebih jauh lagi lagi, pemeliharaan
kondisi para pasien yang sudah keluar dari rumah sakit dengan menggunakan
klozapin mengurangi angka kekambuhan.
Meskipun demikian, klozapin menimbulkan efek samping
serius. Obat ini dapat melemahkan keberfungsian system mun pada sejumlah kecil
pasien dengan menurunnya sel darah putih, menjadikan pasien yang mengosumsi
klozapin harus dipantau secara hati-hati. Obat tersebut juga dapat menimbulkan
kejang-kejang dan efek samping lain seperti pusing, fatik, berliur, dan
penambahan berat badan.
4) Evaluasi
Terapi Obat
Obat-obat antipsikotik merupakan bagian yang tidak
dapat dihapuskan dalam penanganan skizofrenia dan tanpa diragukan akan terus
menjadi suatu komponen penting. Obat-obat tersebut jelas lebih dipilih daripada
jaket pengikat yang sebelunya digunakan untuk mengikat pasien.
2. Penanganan
Psikologis
a. Terapi
Psikodinamika
Harry Stack Sullivan adalah seorang psikiater
berkebangsaan Amerika, yang memelopori penggunaan psikoterapi bagi para pasien
skizofrenik yang dirawat di rumah sakit. Sullivan membangun sebuah bangsal di
Rumah Sakit Sheppard dan Enoch Pratt di Towson, Maeyland, pada tahun 1923 dan
mengembangkan penanganan psikoanalitis yang dilaporkan sangat berhasil.
Sullivan berpendapat bahwa skizofrenia mencermnkan
suatu kondisi dimana seseorang kembali ke bentuk komunikasi pada awal masa
kanak-kanak. Ego yang lemah pada para penderita skizofrenia, yang tidak mampu
mengatasi stress ekstream dalam berbagai tantangan interpersonal, kemudian
mengalami regresi. Maka, terapi menghendaki pasien untuk mempelajari
bentuk-bentuk komunikasi orang dewasa dan memperoleh insight atas peran masa
lalu dalam berbagai masalah saat ini. Sullivan menyarankan pembentukan hubungan
kepercayaan yang sangat bertahap dan tidak mengancam. Contohnya, ia
merekomendasikan terapis duduk agak disamping pasien agar tidak memaksakan
kontak mata, yang dinilai terlalu menakutkan pada tahap-tahap awal penanganan.
Setelah melewati banyak sesi, dan dengan terbentuknya rasa percaya dan dukungan
yang lebih besar, analis mulai mendorong pasien untuk mengkaji berbagai
hubungan interpersonalnya. Bersama dengan Sullivan, Fromm-Reichmann membantu
mengembangkan berbagai jenis psikoanalis sebagai suatu penanganan utama bagi
skizofrenia.
Meskipun sangat banyak klaim keberhasilan yang
disampaikan atas berbagai analisis yang dilakukan oleh Sullivan dan
Fromm-Reichmann, pengamatan teliti terhadap pasien yang mereka tangani
menunjukkan banyak diantara mereka yang hanya mengalami gangguan ringan dan
mungkin bahkan tidak ada diagnosis skizofrenik berdasarkan kriteria DSM- IV-TR
yang sangat ketat bagi gangguan ini.
b. Pelatihan
Keterampilan Sosial
Pelatihan keterampilan sosial mengahari para penderita
skizofrenia bagaimana dapat berhasil dalam berbagai situasi interpersonal yang
sangat beragam-antara lain membahas pengobatan mereka dengan psikiater, memesan
makanan direstoran, mengisi formulir lamaran kerja dan belajar melakukan
wawancara kerja (kadang disebut rehabilitasi pekerjaan), mengatakan tidak
terhadap tawaran membeli obat di pinggir jalan, belajar tentang seks yang
aman,membaca jadwal pelayanan bis- berbagai perilaku yang bagi sebagian besar
diantara kita dilakukan begitu saja dan hamper tidak pernah kita pikirkan dalam
kehidupan sehari-hari. Bagi para penderita skizofrenia, keterampilan kehidupan
tersebut bukan hal yang dapat dilakukan begitu saja; para individu semacam itu
harus berusaha keras untuk menguasainya atau kembali menguasainya. Dengan
melakukan hal-hal tersebut memungkinkan orang yang bersangkutan mengambil
bagian lebih besar dalam hal-hal positif yang terdapat diluar tembok-tembok
institusi mental sehingga meningkatkan kualitas hidup mereka.
Dalam demonsrasi pelatihan keterampilan sosial
terdahulu, Ballack, Hersen, dan Turner merekayasa berbagai situasi sosial bagi
tiga pasien skizofrenia kronis dan kemudian mengamati apakah mereka berprilaku
secara pantas.
c. Terapi
Keluarga dan Mengurangi Ekspresi Emosi
Banysk pasien yang menderita skizofrenia dan sudah
diperbolehkan keluar dari rumah sakit kembali pulang ke keluarga mereka.
Meskipun berbeda dari segi lama intervensi, tempat pelaksanaan, dan teknik
spesifik yang digunakan,, berbagai terapi tersebut memiliki kesamaan diluar
tujuan menyeluruhnya yaitu meredahkan segala sesuatu bagi pasien dengan cara
meredakan segala sesuatu bagi keluarga.
1)
Edukasi
tentang skizofrenia, teruama kerentanan biologis yang mempresposisi seseorang
terhadap penyakit tersebut, berbagai masalah kognitif yang melekat dengan
skizofrenia, simtom-simtomnya, dan tanda-tanda akan terjadinya kekambuhan.
2)
Informasi
tentang dan pemantauan berbagai efek pengobatan antipsikotik.
3)
Menghindari
saling menyalahkan terrutama, mendorong keluarga untuk tidak menyalahkan diri
sendiri maupun pasien atas penyakit tersebut dan atas semua kesulitan yang
dialami seluruh keluarga dalam menghadapi penyakit tersebut.
4)
Memperbaiki
komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah dalam keluarga.
5)
Mendorong
pasien dan keluarganya untuk memperluas kontak sosial mereka, terutama jaringan
dukungan mereka.
6)
Menanamkan
sebentuk harapan bahwa segala sesuatu dapat menjadi lebih baik, termasuk
harapan bahwa pasien bisa untuk tidak kembali dirawat dirumah sakit.
Dibandingkan
dengan berbagai terapi standar (biasanya hanya pemberian obat)., terapi
keluarga ditambah pemberian obat umumnya menurunkan tingkat kekambuhan dalam periode
satu hingga dua tahun.
d. Terapi
Kognitif- Behavioral
Sebelumnya diasumsikan bahwa tidak ada gunanya mencoba
mengubah berbagai distorsi kognitif, termasuk delusi, pada para pasien
skizofrenik. Meskipun demikian, suatu literature klinis dan eksperimental yang
sedang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa berbagai keyakinan maladaptive
pada beberapa pasien kenyataannya dapat diubah dengan berbagai intervensi
kognitif-behavioral.
e. Terapi
Personal (Personal Therapy)
Hogarty dkk menyebut “terapi personal” adalah suatu
pendekatan kognitif behavioural berspektrum luas terhadap multiplisitas masalah
yang dialami para pasien skizofrenia yang telah keluar dari rumah sakit. Terapi
individualistic ini dilakukan secara satu per satu maupun dalam kelompok kecil.
Satu elemen utama dalam pendekatan ini, berdasarkan temuan dalam penelitian EE
bahwa penurunan jumlah reaksi emosi pada anggota keluarga menurunkan tingkat
kekambuhan setelah keluar dari rumah sakit, adalah mengajari pasien bagaimana
mengenali afek yang tidak sesuai. Jika diabaikan, afek tidak sesuai dapat
semakin berkembang dan menyebabkan berbagai distorsi kognitif dan perilaku
sosial yang tidak sesuai. Para pasien diajari untuk memeperhatikan tanda0tanda
kekambuhan meskipun kecil, seperti penarikan diri dari kehidupan sosial atau
antimidasi yang tidak pantas kepada orang lain, dan mereka mempelajari berbagai
keteramilan untuk mengurangi masalah-masalah tersebut. Perilaku semacam itu,
jika tidak terdeteksi, sangat mungkin menghambat upaya pasien untuk hidup sesuai
aturan konvensional, termasuk bekerja dan membangun serta mempertahankan
hubungan sosial. Terapi tersebut juga mencakup terapi perilaku rasional emotif
untuk membantu pasien mencegah berbagai frustasi dan tantangan yang tidak
terhindarkan dalam kehidupan menjadi suatu bencana dan dengan demikian membantu
mereka menurunkan kadar stress.
Selain itu pasien juga sering diajari teknik-teknik
relaksasi otot sebagai suatu alat bantu untuk belajar mendeteksi kecemasan atau
kemarahan yang berkembang secara perlahan kemudian menerapkan keterampilan
relaksasi untuk mengendalikan berbagai emosi tersebut secara lebih baik.
Terapi individual Hogarty juga mencakup berbagai
elemen non behavioural, terutama penerimaan yang hangat dan empatik atas
gangguan emosional dan kognitif pasien bersama dengan ekspektasi yang
realistik, namun optimistik bahwa
hidup dapat menjadi lebih baik. Secara umum, para pasien diajari bahwa mereka
memiliki kerentanan emosional terhadap stres, bahwa pikiran mereka tidak selalu
sejernih yang seharusnya, bahwa mereka harus tetap meneruskan pengobatan, dan
bahwa mereka dapat mempelajari berbagai macam keterampilan agar dapat menjalani
hidup secara maksimal. Ini bukan penanganan jangka pendek; penanganan ini dapat
berlangsung selam 3 tahun dengan sesi terapi setiap satu atau dua minggu
sekali.
Terakhir hal penting dalam terapi ini adalah apa yang
disebut Hogarty dkk. Sebagai ‘manajemen kritisme dan penyelesaian konflik”.
Istilah tersebut merujuk pada cara menghadi umpan balik negatif dari orang lain
dan cara menyelesaikan berbagai konflik interpersonal yang merupakan bagian tak
terhindarkan dalam berhubungan dengan orang lain. Mengajari pasien keterampilan
penyelesaian masalah sosial –cata mengatasi berbagai tantangan yang tidak
terhindarkan yang dihadapi oleh setiap orang dalam berhubungan dengan orang
lain- merupakan bagian dari elemen terapi ini.
f. Terapi
Reatribusi (Reatribution Therapy)
Melalui diskusi kolaboratif (dan dalam konteks
berbagai moda intervensi lain, termasuk pemberian obat-obatan antipsikotik),
beberapa pasien dibantu untuk memberikan suatu makna nonpsikotik terhadap
berbagai simtom paranoid sehingga mengurangi intensitas dan karakteristiknya
yang berbahaya, sama dengan yang dilakukan dalam terapi kognitif Beck untuk
depresi dan pendekatan Barlow.
g. Mengamati
Fungsi-fungsi Kognitif Dasar
Dalam beberapa tahun terakhir para peneliti telah
mengamati berbagai aspek fundamental kognisi yang mengalami gangguan dalm
skizofrenia dalam upaya untuk memperbaiki fungsi-fungsi ini sehingga dapat
memengaruhi perilaku secara positif. Pendekatan ii berkonsentrasi pada upaya
menormalkan fungsi-fungsi kognitif fundamental seperti perhatian dan memori,
yang diketahui melemah pada banyak pasien skizofrenia dan berhubungan dengan
adaptasi sosial yang buruk.
Berbagai upaya dilakukan di Pusat Penelitian Klinis bagi
skizofrenia dan Rehabilitasi Psikiatrik di UCLA, yang dipimpin oleh psikiater
peneliti Robert Paul Liberman, untuk meningkatkan fungsi-fungsi kognitif dasar
melalui berbagai cara psikologis seperti kemampuan belajar verbal. Tujuan lain
adalah menyusun berbagai strategi intervensi yang memaksimumkan penggunaan
fungsi-fungsi kognitif yang relatif tidak mengalami kerusakan karena
skizofrenia, seperti kemampuan untuk memahami dan mengingat apa yang
ditampilkan dalam suatu gambar. Sebagai contoh, digunakan foto yang relevan
dengan pembelajaran keterampilan sosial yang diperlukan selain berbagai car
verbal yang biasa digunakan untuk mengajarkan keterampilan semacam itu.
3. Manajemen
Kasus
Setelah dimulainya era perawatan diluar rumah sakit pada
tahun 1960-an, banyak pasien yang menderita skizofrenia tidak lagi hidup
dirumah-rumah sakit jiwa dan harus berjuang sendiri untuk untuk memperoleh
pelayanan yang dibutuhkan. Kurangnya rumah sakit terpusat sebagai tempat dimana
sebagian besar pelayanan diberikan, sistem kesehatan mental menjadi semakin
kompleks. Pada tahun 1977, khawatir bila banyak pasien tidak dapat dapat
mengakses layanan, National Institute of Mental Health (NIMH) menyusun suatu
program yang memberikan bantuan dana keseluruh negara bagian untuk membantu
pasien menghadapi sistem kesehatan mental. Dari program ini tercipta suatu
bidang keahlian baru dalam kesehatan mental, yaitu manajejer kasus.
Seiring berjalannya waktu, berkembang berbagai model
manajemen kasus. Inovasi besar adalah pengakuan bahwa para manajer kasus sering
kali diperlukan untuk menyediakan berbagai layanan klinik langsung dan layanan
tersebut akan lebih baik bila diberikan oleh satu tim daripada dipialangi.
Model Assertive Community Treatmen dan model Intensive Case Management mencakup
suatu tim multidisiplin yang menyediakan berbagai layanan dimasyarakat mulai
dari pengobatan, penanganan bagi penyalahgunaan zat, membantu mengatasi
berbagai stresor yang dihadapi pasien secara rutin (seperti mengatur keuangan),
psikoterapi, pelatihan pekerjaan, dan membantu pasien mendapatkan rumah dan
pekerjaan. Para manajer kasus berfungsi sebagai “lem” yang merekatkan dan
mengoordinasikan seluruh layanan medis dan psikologis yang penting bagi para
pasien skizofrenik agar tetap dapat berfungsi diluar rumah sakit dengan cukup
kemandirian serta ketenangan pikiran.
4. Kecenderungan
Umum dalam Penanganan
Berbagai pendekatan kontemporer yang paling menjanjikan
terhadap penanganan memanfaatkan dengan baik pemahaman yang semakin meningkat
tersebut dan menekankan pentingnya intervensi farmakologis dan Psikososial.
a.
Keluarga
dan pasien dapat diberikan informasi yang realistis dan cukup ilmiah tentang
skizofrenia sebagai disabilitas yang dapat dikendalikan, namun mungkin dialami
seumur hidup.
b.
Pengobatan
hanya merupakan bagian dari keseluruhan penanganan.
c.
Semakin
diakui bahwa intervensi dini penting dan berguna untuk memengaruhi perjalan
skizofrenia. Yaitu, memberikan kepada pasien pengobatan yang tepat dan
memberikan dukungan serta informasi bagi keluarga dan psikoterapi yang tepat
bagi pasien dapat mengurangi parahnya kekambuhan di masa mendatang.
d.
Meskipun
jenis penanganan terpadu yang telah di gambarkan memang memjanjikan, fakta yang
menyedihkan adalah hal itu tidak tersedia atau terakses secara luas oleh
sebagian besar pasien dan keluarga mereka.
5. Berbagai
Isu yang Berkembng dalam Perawatan Pasien Skizofrenia
Seiring bertambahnya usia para pasien skizofrenia,
semakin tidak mungkin mereka tinggal bersama keluarga mereka. Transisi ke
berbagai tempat tinggal diluar rumah orang tua mereka penuh dengan
risiko.keberfungsian yang semakin menurun ibarat spiral kearah bawah sulit
untuk dibalikkan arahnya,. Jaminan sosial diberikan bagi para pnderita
skizofrenia, namun banyak yang tidak menerima jaminan yang menjadi haknya tersebut
karena berbagai lembaga birokrasi federal dan negara bagian yang tidak memiliki
staf yang memadai. Dan banyak pasien skizofrenia yang kehilangan kontak dengan
berbagai program pananganan pascarumah sakit yang pernah mereka ikuti.
Meskipun demikian, terdapat beberapa gejala posistif. Dua
puluh atau tiga puluh tahun setelah ditemukannya simtom skizofrenia untuk
pertama kalinya, sekitar separuh pasien skizofrenia mampu merawat diri mereka
sendiri dan berpartisipasi secara bermakna di masyarakat luas. Beberapa
diantaranya tetap melanjutkan pengobatan, namun banyak yang tidak lagi dan
tetap berfungsi cukup baik sehingga tidak perlu kembali ke rumah sakit.
Departemen Perumahan dan Pengembangan Wilayah Kota di Amerika Serikat baru-baru
ini mulai memberikan bantuan uang sewa bagi mantan pasien mental untuk membantu
mereka tinggal di apartemen pribadi, dimana mereka dikunjungi secara berkala
oleh para petugas kesehatan mental.
F.
Neurocognitive
Disorders (Gangguan Neurokognitif)
Dikemukakan bahwa gangguan dapat muncul akibat dari
perubahan pada otak berupa struktur, fungsi, dan kimia. Ada beberapa alasan
kenapa gangguan neurokognitif dibahasa dalam psikologi abnormal. Pertama,
karena dimasukkannya mereka dalam DSM menunjukkan bahwa gangguan ini dianggap
sebagai kondisi psikopatologis. Kedua, beberapa kelainan otak menyebabkan
gejala yang tampak luar biasa seperti gangguan psikologi abnormal lainnya.
Ketiga, kerusakan pada otak dapat menyebabkan perubahan perilaku, mood dan
personality. Mengetahui area dari otak yang terlibat dalam perubahan perilaku,
mood dan personality saat terjadi saat kerusakan otak dapat membantu dalam hal
penelitian yang bersangkutan dengan psikologi abnormal. Keempat, banyak orang
menderita gangguan otak (misalnya, orang yang didiagnosis menderita penyakit
Alzheimer) bereaksi terhadap berita diagnosis mereka dengan depresi atau
kecemasan.
G.
Gangguan
Otak pada Orang Dewasa
Penyebab gangguan neurokognitif sering lebih
spesifik daripada kasus-kasus gangguan lainnya. Dalam DSM-5, gangguan ini dulu dikenal
sebagai "Delirium, Demensia, dan Amnestic dan Gangguan Kognitif
Lainnya" sekarang dikelompokkan ke dalam kategori diagnostik baru yang
disebut "Gangguan Neurokognitif".
Disorder dalam kategori ini adalah yang melibatkan
hilangnya kemampuan kognitif yang sebelumnya telah dicapai dan di mana penyebab
yang diduga adalah kerusakan otak atau penyakit. Subbagian dari kategori
diagnostik ini termasuk delirium, gangguan neurokognitif mayor (yang meliputi
diagnosis mantan demenia), dan kategori baru gangguan neurokognitif ringan.
Perbedaan antara gangguan neurokognitif mayor dan ringan didasarkan pada
keparahannya.
Dalam setiap kategori diagnostik yang luas,
diagnosis spesifik ditentukan oleh apa yang dianggap sebagai penyebab masalah.
Misalnya, diagnosis gangguan neurokognitif mayor yang terkait dengan penyakit
Alzheimer digunakan untuk pasien yang diduga menderita Alzheimer. Untuk pasien
yang kerusakan otaknya disebabkan oleh cedera otak traumatis, diagnosis akan
menjadi gangguan neurokognitif mayor (atau ringan) yang terkait dengan cedera
otak traumatis. Dengan cara ini diagnosis memberikan informasi tentang penyebab
gangguan neurokognitif maupun tingkat keparahannya.
1.
Tanda
Klinis Kerusakan Otak
Ketika
cedera otak terjadi pada anak yang lebih tua atau orang dewasa mereka
mengalami kerugian dalam keberfungsian.
Seringkali, orang yang menderita kehilangan ini sangat menyadari apa yang dia
tidak bisa lagi lakukan, kemudian ditambah dengan beban psikologis kemudian
berpengaruh dan menyebabkan luka fisik. Dalam kasus lain, kerusakan dapat
meluas sampai hilangnya kapasitas untuk penilaian diri yang realistis (kondisi
yang disebut anamognoid), membuat pasien ini relatif tidak sadar akan hilangnya
kemampuan mereka dan karenanya kurang termotivasi untuk rehabilitasi.
Tingkat
gangguan mental biasanya terkait dengan tingkat kerusakan otak. Namun, ini
tidak selalu demikian. Banyak juga yang yang tergantung pada lokasi kerusakan
serta premorbid (predisorder) kompetensi dan kepribadian individu.
2.
Membaur
versus kerusakan fokal
Beberapa
gangguan ini umumnya dipahami dengan baik, dengan gejala yang memiliki fitur
relatif konstan pada orang yang cedera otaknya sebanding di lokasi dan luasnya.
Contohnya, ketika perhatian sering terganggu oleh penggunaan ringan hingga
difus - atau meluas - kerusakan, seperti mungkin terjadi dengan kekurangan
oksigen moderat atau menelan zat beracun seperti merkuri.
Berbeda
dengan kerusakan difus, lesi otak fokal melibatkan daerah-daerah terbatas
perubahan abnormal dalam struktur otak. Ini adalah jenis kerusakan yang mungkin
terjadi dengan cedera traumatik yang tajam atau gangguan suplai darah (stroke)
ke bagian tertentu dari otak.
Lokasi
dan luas daerah kerusakan dapt menentukan masalah apa yang pasien akan miliki.
Pada risiko penyederhanaan, secara umum diterima bahwa keberfungsian berkerja
bergantung pada pemrosesan serial informasi yang sudah dikenal, seperti bahasa
dan penyelesaian persamaan matematika, terjadi di sebagian besar belahan kiri
untuk hampir semua orang. Sebaliknya, belahan kanan tampaknya secara umum
khusus untuk memahami makna keseluruhan dalam situasi baru; beralasan pada
tingkat intuitif nonverbal; dan menghargai hubungan spasial. Bahkan dalam
belahan otak, berbagai lobus dan daerah memediasi fungsi-fungsi khusus.
Meskipun
tidak ada hubungan antara lokasi otak dan perilaku yang dapat dianggap benar
secara universal, sangat mungkin untuk membuat generalisasi luas tentang
kemungkinan dampak kerusakan pada bagian-bagian tertentu dari otak.
3.
Neuro
kognitif / Interaksi Psikopatologi
Kebanyakan orang yang mengalami gangguan neurokognitif tidak
berkembang mengalami simtom-simtom psikopatologi seperti serangan panic,
disasosiatif episode atau delusi. Demikian pula, beberapa orang yang menderita
gangguan psikopatologi juga memiliki gangguan kognitif. Sebagai contoh, pasien
dengan gangguan bipolar memiliki gangguan kognitif persisten yang dapat
dideteksi bahkan selama periode remisi penyakit. Ini merupakan garis besar
bahwa gangguan neurokognitif dan psikopatologi berhubungan antara satu sama
lain.
H.
Delirium
Delirium adalah keadaan kegagalan otak akut yang
terletak di antara kesadaran normal dan pingsan atau koma
1.
Gambaran
Klinis
Sindrom
yang sering terjadi, delirium ditandai oleh kebingungan, konsentrasi terganggu,
dan disfungsi kognitif. Meskipun kriteria DSM-IV-TR menyatakan bahwa delirium
melibatkan gangguan kesadaran, kata kesadaran dihapus di DSM-5. Delirium
diperlakukan sebagai gangguan yang berbeda di DSM-5, karena dapat dengan cepat
berfluktuasi dalam tingkat keparahan. Ia juga bisa hidup berdampingan dengan
gangguan neurokognitif mayor atau ringan.
Selain
gangguan dalam tingkat kesadaran, delerium juga melibatkan gangguan memori dan
perhatian serta pemikiran yang tidak teratur. Halusinasi dan delusi sering
terjadi. Selain itu, sindrom ini sering termasuk aktivitas psikomotorik
abnormal seperti meronta-ronta liar dan mengganggu siklus tidur.
Delirium dapat terjadi pada usia kapan saja. Namun, orang tua
berisiko sangat tinggi, mungkin karena perubahan otak yang disebabkan oleh
penuaan normal yang menyebabkan berkurangnya cadangan otak. Delirium dapat
terjadi akibat beberapa kondisi termasuk cedera kepala dan infeksi. Namun,
penyebab paling umum dari delirium adalah intoksikasi atau penarikan obat.
Toksisitas dari obat-obatan juga menyebabkan banyak kasus delirium. Selain itu,
manipulasi lingkungan yang membantu pasien tetap berorientasi, seperti
pencahayaan yang baik, signage yang jelas, dan kalender serta jam yang mudah
terlihat, dapat membantu. Penting juga bahwa anggota staf memperkenalkan diri
ketika mereka bekerja dengan pasien, menjelaskan apa peran mereka, dan
memberikan petunjuk reorientasi kapan saja diperlukan.
2.
Kriteria
DSM 5 untuk Delirium
a.
Gangguan
perhatian (yaitu, kemampuan untuk mengarahkan, fokus, mempertahankan, dan
mengalihkan perhatian berkurang) dan kesadaran (dikurangi ORIENTASI ke
lingkungan).
b.
Gangguan
berkembang selama periode waktu yang singkat (biasanya jam sampai beberapa
hari), merupakan perubahan dari perhatian awal dan kesadaran, dan cenderung
berfluktuasi dalam tingkat keparahan selama sehari.
c.
Sebuah
gangguan tambahan dalam kognisi (misalnya, defisit memori, disorientasi,
bahasa, kemampuan visuospatial, atau persepsi).
d.
Gangguan
di Kriteria A dan C tidak dijelaskan lebih
baik oleh neurokognitif lain yang sudah ada sebelumnya, didirikan, atau berkembang neurokognitif
gangguan dan tidak terjadi dalam konteks tingkat rangsangan sangat berkurang,
seperti koma.
e.
Ada bukti
dari sejarah, temuan pemeriksaan fisik, atau laboratorium bahwa gangguan
tersebut merupakan konsekuensi psikologi langsung kondisi medis, keracunan zat
lain atau penarikan (yaitu, karena penyalahgunaan obat ), atau paparan racun,
atau karena beberapa etiologi.
Di
ujung lain dari spektrum usia, anak-anak juga berisiko tinggi delirium, mungkin
karena otak mereka belum sepenuhnya dikembangkan. Selain usia lanjut, faktor
risiko lain untuk delirium termasuk demensia, depresi, dan penggunaan tembakau.
Tes skrining yang handal dan mudah untuk delirium melibatkan meminta pasien
untuk membaca bulan tahun ke belakang.
Delirium
mungkin akibat dari beberapa kondisi termasuk cedera kepala dan infeksi. Namun,
penyebab paling umum dari delirium adalah keracunan obat atau penarikan.
keracunan dari obat juga menyebabkan banyak kasus delirium. Hal ini mungkin
menjelaskan mengapa delirium sangat umum pada orang tua setelah mereka telah
menjalani operasi.
3.
Perawatan dan Hasil
Delirium adalah keadaan darurat medis yang sebenarnya, dan
penyebab utamanya harus diidentifikasi dan dikelola. Sebagian besar kasus
delirium bersifat reversibel, kecuali bila delirium disebabkan oleh penyakit
terminal atau oleh trauma otak yang parah. Perawatan melibatkan obat,
manipulasi lingkungan, dan dukungan keluarga. Obat-obatan yang digunakan untuk
sebagian besar kasus adalah neuroleptik (Fricchione et al., 2008; Lee et al.,
2004). Ini adalah obat yang sama yang digunakan untuk mengobati skizofrenia. Untuk delirium
yang disebabkan oleh alkohol atau penarikan obat, benzodiazepin (seperti yang
digunakan dalam pengobatan gangguan kecemasan) digunakan (Trzepacz et al.,
2002). Selain itu, manipulasi lingkungan yang membantu pasien tetap
berorientasi, seperti pencahayaan yang baik, signage yang jelas, dan kalender
serta jam yang mudah terlihat, dapat membantu. Penting juga bahwa anggota staf
memperkenalkan diri ketika mereka bekerja dengan pasien, menjelaskan peran
mereka, dan memberikan petunjuk ulang kapan pun diperlukan. Namun, beberapa
pasien, terutama yang berusia lanjut, mungkin masih memiliki masalah orientasi,
masalah tidur, dan kesulitan lain bahkan beberapa bulan setelah episode
delirium.
I. Major NeurocognitiveDisorder (
Gangguan Neurokognitif Utama )
Dalam DSM-5
memiliki kategori diagnostik demensia luas diganti namanya dengan Istilah
gangguan neurokognitif utama. Salah satu alasannya adalah untuk mengurangi
stigma. Itu juga kasus itu, meskipun istilah demensia diterima secara luas
untuk orang dewasa yang lebih tua, itu bukan istilah yang sangat tepat untuk
orang dewasa muda yang memiliki masalah kognitif (misalnya, mereka yang
mengalami kerusakan karena cedera kepala).
Kelainan
neurokognitif utama adalah gangguan yang melibatkan defisit yang ditandai dalam
kemampuan kognitif. Ini mungkin terlihat di bidang-bidang seperti perhatian,
kemampuan eksekutif, pembelajaran dan memori, bahasa, persepsi, dan kognisi
sosial (keterampilan yang dibutuhkan untuk memahami, menafsirkan, dan
menanggapi perilaku orang lain). Yang penting adalah bahwa ada penurunan dari
tingkat pencapaian fungsi yang dicapai sebelumnya.
Pada orang tua,
permulaaan defisit kognitif biasanya cukup bertahap. Sejak dini, individu
waspada dan cukup terbiasa dengan kejadian di lingkungan. Bahkan pada tahap
awal, bagaimanapun, memori terpengaruh, khususnya memori untuk kejadian
terkini. Seiring berjalannya waktu, pasien menunjukkan defisit yang semakin
nyata dalam pemikiran abstrak, perolehan pengetahuan atau keterampilan baru,
pemahaman visuospasial, kontrol motorik, penyelesaian masalah, dan penilaian.
Ini sering disertai dengan gangguan dalam kendali emosi dan dalam kepekaan
moral dan etika; misalnya, orang tersebut dapat terlibat dalam permohonan kasar
untuk seks. Defisit mungkin progresif (semakin buruk seiring waktu) atau
statis, tetapi lebih sering yang pertama. Kadang-kadang gangguan neurokognitif
utama reversibel jika memiliki penyebab yang mendasarinya yang bisa dihilangkan
atau diobati (seperti kekurangan vitamin).
Beberapa penyebab
gangguan neurokognitif utama yaitu :







Kriteria DSM – 5 untuk
Gangguan Neurokognitif Utama :
a.
Bukti
penurunan kognitif yang signifikan dari tingkat sebelumnya kinerja dalam satu atau lebih domain kognitif (kompleks
perhatian, fungsi eksekutif, belajar dan memori, bahasa, perseptual-motor, atau
kognisi sosial) berdasarkan:


b.
Defisit
kognitif mengganggu kemandirian dalam kehidupan sehari-hari kegiatan (yaitu,
minimal, membutuhkan bantuan dengan aktivitas instrumental yang kompleks dari
kehidupan sehari-hari seperti membayar tagihan atau mengelola obat).
c.
Defisit
kognitif tidak terjadi secara eksklusif dalam konteks sebuah delirium.
d.
Defisit
kognitif tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain (misalnya,
gangguan depresi mayor, skizofrenia).
1. Penyakit
Parkinson
Dinamakan
Penyakit Parkinson karena James
Parkinson yang pertama kali menggambarkannya pada tahun 1817,Penyakit Parkinson adalah neurodegeneratif kedua yang
paling umum (setelah penyakit Alzheimer). Ini lebih sering ditemukan pada pria
daripada pada wanita, dan itu mempengaruhi antara 0,5 dan 1 persen orang antara
usia 65 dan 69 dan 1 hingga 3 persen orang di atas usia 80 (Toulouse &
Sullivan, 2008).
Penyakit
Parkinson ditandai oleh gejala motorik seperti tremor saat istirahat atau
gerakan kaku. Penyebab yang mendasari ini adalah hilangnya neuron dopamin dalam
area otak yang disebut substantia nigra. Dopamin adalah aneurotransmitter yang
terlibat dalam kontrol gerakan. Ketika neuron dopamin hilang, seseorang tidak
mampu untuk bergerak dengan cara yang terkendali. Sebagai tambahannya gejala
motorik, penyakit Parkinson dapat melibatkan gejala psikologis seperti depresi,
kecemasan, apatis, masalah kognitif, dan bahkan halusinasi dan delusi
(Chaudhuri et al., 2011). Seiring waktu, 25 hingga 40 persen pasien dengan
penyakit Parkinson akan menunjukkan tanda-tanda gangguan kognitif (Marsh &
Margolis, 2009).
Gejala
penyakit Parkinson dapat dikurangi sementara oleh obat-obatan, seperti
pramipexole (Mirapex) atau levodopa / carbidopa (Sinemet), yang meningkatkan
ketersediaan dopamin di otak baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun,
begitu obatnya habis, gejalanya kembali. Pendekatan pengobatan lain yang
sekarang sedang dicoba adalah stimulasi otak. Bagaimanapun, latihan harus
menjadi komponen perawatan yang penting. Dalam penilitian terbaru, 6 bulan
setelah memulai program latihan yang melibatkan
berjalan tiga kali seminggu, pasien tidak hanya meningkatkan tingkat
kebugaran secara umum tetapi juga menunjukkan peningkatan dalam fungsi motorik,
kemampuan kognitif, dan kualitas hidup secara umum (Uc et al., 2014). Temuan
seperti ini memberikan pendekatan praktis yang dapat digunakan oleh sejumlah
besar pasien.
2. Penyakit
Huntington
Penyakit
Huntington adalah gangguan degeneratif yang langka dari sistem saraf pusat yang
menimpa sekitar 1 dari setiap 10.000 orang (Phillips et al., 2008). Itu pertama
kali dijelaskan pada tahun 1872 oleh ahli saraf Amerika George
Huntington.Penyakit dimulai pada usia paruh baya (usia rata-rata serangan
adalah sekitar 40 tahun), dan itu mempengaruhi pria dan wanita dalam jumlah
yang sama. Penyakit Huntington ditandai dengan kronis, progresif chorea gerakan
spontas dan tidak teratur yang mengalir secara acak dari satu area tubuh ke
bagian lain). Namun, masalah kognitif halus sering terjadi mendahului timbulnya
gejala motor selama bertahun-tahun. Masalah kognitif ini tidak diragukan lagi
karena hilangnya jaringan otak secara progresif (dapat dideteksi dengan
pencitraan otak) yang terjadi sebanyak satu dekade sebelum serangan formal penyakit itu terjadi (Shoulson &
Young, 2011).
Penyakit
Huntington disebabkan oleh satu dominan gen (gen Huntingtin) pada kromosom 4.
Mutasi genetik ini ditemukan sebagai hasil penelitian intens pada orang-orang
yang tinggal di desa-desa sekitar Danau Maracaibo di Venezuela, dimana penyakit
ini sangat umum (Marsh & Margolis, 2009). Karena Gen huntingtin adalah gen
yang dominan, siapa pun yang memiliki orang tua dengan penyakit ini memiliki 50
persen kemungkinan mengembangkan penyakit itu sendiri.
J. Penyakit
Alzheimer
Penyakit Alzheimer adalah
gangguan neurodegeneratif progresif dan fatal. Nama Penyakit Alzheimer
diambil dari Alois Alzheimer
(1864–1915), ahli neuropati Jerman yang pertama menggambarkannya pada tahun
1907. Ini adalah penyebab paling umum dari demensia (Jalbert et al., 2008).
Dalam DSM-5 itu secara resmi disebut
"Gangguan
neurokognitif mayor (atau ringan) yang terkait dengan Penyakit Alzheimer.
"Penyakit Alzheimer terkait dengan sindrom demensia yang yang memiliki serangan tak terlihat dan
biasanya lambat tetapi progresif memburuk, berakhir di delirium dan kematian.
1. Gambaran
klinis
Diagnosis
penyakit Alzheimer dibuat setelah penilaian klinis menyeluruh dari pasien.
Namun, diagnosis hanya dapat benar-benar dikonfirmasi setelah kematian
pasien.Ini karena otopsi harus dilakukan untuk melihat kelainan otak yang
merupakan tanda-tanda khas dari penyakit ini. Pada pasien yang hidup,
diagnosisnya normal diberikan hanya setelah semua penyebab potensi demensia
lainnya dikesampingkan oleh riwayat medis dan keluarga, pemeriksaan fisik, dan
tes laboratorium.
Pada tahap awal,
penyakit Alzheimer melibatkan gangguan kognitif minor. Misalnya, orangnya
mungkin mengalami kesulitan mengingat peristiwa baru-baru ini, buat lebih
banyak kesalahan di tempat kerja, atau memerlukan waktu lebih lama untuk
menyelesaikan tugas rutin. Pada tahap selanjutnya, ada bukti demensia; defisit
menjadi lebih parah, mencakup beberapa domain, dan mengakibatkan ketidakmampuan
untuk berfungsi. Misalnya, orang itu mungkin mudah disorientasi, memiliki
penilaian yang buruk, dan kelalaian kebersihan pribadinya.
Lobus temporal otak
adalah daerah pertama rusak pada orang dengan penyakit Alzheimer. Karena
hippocampus terletak di sini, gangguan memori merupakan gejala awal penyakit.
Hilangnya jaringan otak di lobus temporal juga dapat menjelaskan mengapa delusi
ditemukan pada beberapa pasien (Lyketsos et al., 2000). Meskipun khayalan
penganiayaan yang dominan, kecemburuan delusi kadang-kadang terlihat. Di sini,
orang itu secara terus-menerus menuduh pasangannya yang sering usia lanjut dan
lemah secara fisik - menjadi tidak setia secara seksual. Anggota keluarga dapat
dituduh meracuni makanan pasien atau merencanakan untuk mencuri pasien dana.
Satu studi tentang pasien agresif secara fisik dengan Penyakit Alzheimer
menemukan bahwa 80 persen dari mereka delusional (Gilley et al., 1997).
Dengan perawatan
yang tepat, yang mungkin termasuk pengobatan dan pemeliharaan lingkungan sosial
yang teang, meyakinkan, dan tidak provokatif, banyak orang dengan Penyakit
Alzheimer menunjukkan beberapa pengentasan gejala. Secara umum, bagaimanapun,
kemerosotan berlanjut ke bawah Tentu saja selama beberapa bulan atau tahun.
Akhirnya, pasien menjadi tidak sadar akan lingkungan mereka, terbaring di
tempat tidur, dan dikurangi menjadi keadaan vegetatif. Resistensi terhadap
penyakit diturunkan, dan kematian biasanya diakibatkan oleh pneumonia atau
masalah pernapasan atau jantung lainnya. Median waktu hingga kematian adalah
5,7 tahun dari saat kontak klinis pertama (Jalbert et al., 2008).
2. Prevalensi
Diperkirakan
bahwa tingkat penyakit Alzheimer meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun
setelah seseorang mencapai usia 40 (Hendrie, 1998). Sedangkan kurang dari 1
persen Usia 60 hingga 64 tahun menderita penyakit ini, hingga 40 persen dari
mereka yang berusia 85 tahun atau lebih tua (Jalbert et al., 2008).
Untuk alasan yang
belum jelas, tampaknya para wanita memiliki risiko sedikit lebih tinggi terkena
penyakit Alzheimer daripada pria (Jalbert et al., 2008). Memang, Alois
Alzheimer Kasus asli adalah seorang wanita berusia 51 tahun. Wanita cenderung
hidup lebih lama daripada pria, tetapi ini mungkin tidak sepenuhnya menjelaskan
peningkatan prevalensi wanita dengan penyakit Alzheimer. Namun, faktor yang
relevan mungkin adalah kesepian. Dalam satu studi tentang 800 orang lanjut usia
(mayoritas dari mereka adalah wanita), mereka yang melaporkan bahwa mereka
merasa kesepian memiliki risiko dua kali lipat mengembangkan penyakit Alzheimer
selama perjalanan 4 tahun tindak lanjut. Asosiasi ini tidak bergantung pada mereka
skor pada ukuran kognisi, menunjukkan kesepian itu bukan merupakan tanda awal
kerusakan kognitif atau konsekuensi keterampilan kognitif terganggu (Wilson,
Krueger, et al., 2007). Ini masuk akal untuk menyatakan bahwa wanita lebih
mungkin mengalami kesepian karena mereka hidup lebih lama daripada pasangan
mereka. Ini mungkin penting saat mencoba memahami perbedaan jenis kelamin dalam
risiko penyakit Alzheimer.
Faktor Risiko untuk
Penyakit Alzheimer
a.
Usia
lanjut
b.
Wanita
c.
Perokok
saat ini
d.
Lebih
sedikit tahun pendidikan
e.
Penghasilan
rendah
f.
Status
pekerjaan lebih rendah
g.
Trauma
kepala
h.
Kegemukan
i.
Diabetes
3. Faktor
Penyebab
Kasus
penyakit Alzheimer serangan dini (yang hanya sekitar 1-2 persen dari
keseluruhan kasus) disebabkan oleh mutasi genetik yang langka. Sejauh ini, tiga
mutasi tersebut telah diidentifikasi (Guerreiro et al., 2012). Satu melibatkan
gen APP (protein prekursor amiloid), yang terletak di kromosom 21. Mutasi gen
APP berhubungan dengan timbulnya penyakit Alzheimer di suatu tempat antara 55
dan 60 tahun (Cruts et al., 1998). Mutasi dominan dari gen ini kira-kira 14
persen dari kasus serangan dini (Guerreiro et al., 2012).
Fakta
bahwa mutasi gen pada kromosom 21 telah ditemukan menjadi penting adalah
menarik karena telah lama diketahui bahwa orang dengan sindrom Down (yang
disebabkan oleh tiga kali lipat, atau trisomi, kromosom 21) yang bertahan hidup
melampaui usia 40 mengembangkan demensia seperti Alzheimer (Bauer & Shea,
1986; Janicki & Dalton, 1993). Mereka juga menunjukkan perubahan neuropatologis
yang serupa (Schapiro & Rapoport, 1987). Selain itu, kasus sindrom Down
cenderung terjadi lebih sering pada keluarga pasien dengan penyakit Alzheimer
(Heyman et al., 1984; Schupf et al., 1994). Satu penelitian telah menemukan
bahwa ibu yang memberi kelahiran seorang anak dengan sindrom Down sebelum usia
35 tahun memiliki Risiko 4,8 kali lebih besar terkena penyakit Alzheimer ketika
mereka lebih tua dibandingkan ibu dari anak-anak dengan tipe retardasi mental
lainnya (Schupf et al., 2001).
Kasus
lain dari serangan yang lebih awal tampaknya dikaitkan dengan mutasi gen pada
kromosom 14 yang disebut presenilin 1 (PS1) dan dengan mutasi presenilin 2
(PS2) gen pada kromosom 1. Gen-gen ini terkait dengan timbulnya penyakit
Alzheimer di suatu tempat 30 dan 50 tahun (Cruts et al., 1998). Satu pembawa
dari Mutasi PS1 bahkan diketahui telah mengembangkan gangguan pada usia 24
tahun (Wisniewski et al., 1998).
Sebagian
besar kasus penyakit Alzheimer adalah "sporadis," artinya itu terjadi
pada pasien tanpa riwayat keluarga, dan berkembang di kemudian hari. Gen yang
memainkan peran penting dalam kasus penyakit Alzheimer akhir-akhir ini gen APOE
(apolipoprotein) pada kromosom 19. Ini kode gen untuk protein darah yang
membantu membawa kolesterol melalui aliran darah. Kami tahu bahwa bentuk-bentuk
yang berbeda (Alel genetik) dari APOE berbeda memprediksi risiko untuk penyakit
Alzheimer yang terlambat. Tiga alel tersebut telah diidentifikasi, dan semua
orang mewarisi dua dari mereka, satu dari setiap orang tua. Salah satu alel
ini, alel APOE-E4, secara signifikan meningkatkan risiko untuk penyakit
serangan lambat. Dengan demikian, seseorang dapat mewarisi nol, satu, atau dua
dari alel APOE-E4, dan resikonya terhadap penyakit Alzheimer meningkat secara
bersamaan. Misalnya, memiliki satu alel APOE-E4 meningkatkan risiko dengan
faktor 3; memiliki dua alel APOE-E4 menghasilkan peningkatan 8 hingga 10 kali
lipat dalam kesempatan seseorang mengembangkan penyakit (Karch et al., 2014).
Lain seperti itu alel, APOE-E2, tampaknya memberikan perlindungan terhadap
penyakit Alzheimer yang terlambat. Bentuk alel yang tersisa dan paling umum
(ditemukan di sekitar 70 persen dari populasi) adalah APOE-E3, dan memiliki
signifikansi netral. Itu alel berbeda dalam seberapa efisien mereka dalam membersihkan amyloid, dengan APOE-E2 yang
paling efisien dan APOE-E4 paling tidak efisien (Karran et al., 2011). APOE-E4
telah terbukti menjadi prediktor yang signifikan kerusakan memori pada individu
yang lebih tua dengan atau tanpa demensia klinis (Hofer et al., 2002).
Gen
yang terkait dengan penyakit Alzheimer
Gen
|
kromosom
|
Tipe
|
Amyloid precursor protein
gene (APP) |
21
|
Mutasi
|
Presenilin 1
(PS1)
|
14
|
Mutasi
|
Presenilin 2
(PS 2)
|
1
|
Mutasi
|
Appolipoprotein
E (APOE)
|
19
|
gen
kerentanan
|
4. Perkembangan
dalam Penelitian
Depresi
Meningkatkan Risiko Penyakit Alzheimer
Memiliki
sejarah depresi tampaknya membuat seseorang menjadi lebih tinggirisiko untuk
perkembangan selanjutnya dari penyakit Alzheimer (Ownbyet al., 2006). Depresi juga bisa
menjadi tanda peringatan awal dari serangan demensia. Dalam studi prospektif
besar berbasis komunitas tentang orang berusia 65 dan lebih tua, peneliti
menemukan bahwa orang yang tidak memiliki riwayat depresi awal (sebelum usia
50) tetapi bagaimana mengembangkan gejala depresi di kemudian hari sekitar 46
persen lebih mungkin untuk mengembangkan demensia selama perjalanan sekitar 7
tahun masa tindak lanjut (Li et al., 2011).
a. Neuropatologi
Ketika
Alois Alzheimer melakukan otopsi pertama pada dirinya (dia dikenal sebagai
Auguste D.), dia mengidentifikasi jumlah
kelainan otak yang sekarang dikenal karakteristik penyakit. Ini adalah (1)
plakat amyloid, (2) kusut neurofibrillaris, dan (3) atrofi (susut) dari otak.
Meskipun plak dan kusut juga ditemukan di otak normal, mereka hadir dalam
jumlah yang jauh lebih besar pada pasien dengan penyakit Alzheimer, khususnya
di lobus temporal.
Pemikiran
saat ini adalah bahwa, pada penyakit Alzheimer, neuron di otak mengeluarkan zat
protein lengket yang disebut beta amyloid jauh lebih cepat daripada yang dapat
dipecah dan dibersihkan. Amiloid beta ini kemudian terakumulasi menjadi plak
amyloid (lihat Gambar 14.6). Ini dianggap mengganggu fungsi sinapsis dan memicu
kaskade kejadian yang mengarah pada kematian sel-sel otak. Beta amyloid telah
terbukti bersifat neurotoksik (artinya menyebabkan sel kematian). Plak amiloid
juga memicu peradangan kronis lokal di otak dan melepaskan sitokin (lihat Bab
5) yang dapat semakin memperparah proses ini. Lebih umum, peradangan sekarang
semakin dipandang sebagai kunci faktor, tidak hanya dalam perkembangan penyakit
Alzheimer tetapi juga dalam perkembangannya. Fakta bahwa banyak proses
inflamasi diregulasi oleh obesitas lagi menyoroti hubungan antara faktor gaya
hidup dan penyakit Alzheimer.
Neurofibrillary tangles adalah jaring dari filamen abnormal di dalam sel saraf.
Filamen ini terbuat dari protein lain yang disebut tau. Dalam otak yang normal
dan sehat, tau bertindak seperti perancah, mendukung tabung di dalam neuron dan
memungkinkan mereka untuk melakukan impuls saraf. Di Alzheimer penyakit tau
yang linglung dan kusut. Ini menyebabkan tabung neuron runtuh.
Perubahan
penting lainnya dalam penyakit Alzheimer menyangkut neurotransmitter
acetylcholine (ACh). Neurotransmitter ini dikenal penting dalam mediasi
ingatan. Meskipun ada kerusakan luas pada neuron pada penyakit Alzheimer,
khususnya di daerah tersebut hippocampus (Adler, 1994; Mori et al., 1997b),
bukti menunjukkan bahwa di antara yang paling awal dan paling parah terpengaruh
struktur adalah sekelompok badan sel yang terletak di basal otak depan dan
terlibat dalam pelepasan ACh (Schliebs & Arendt, 2006). Pengurangan
aktivitas otak ACh di pasien dengan penyakit Alzheimer berkorelasi dengan
tingkat kerusakan saraf (yaitu, plak, kusut) bahwa mereka telah berkelanjutan.
Hilangnya
sel-sel yang menghasilkan ACh membuat situasi buruk jauh lebih buruk. Karena
ACh sangat penting dalam ingatan, penipisannya sangat berkontribusi pada
kognitif dan defisit perilaku yang merupakan karakteristik Alzheimer penyakit.
Untuk alasan ini, obat-obatan (disebut inhibitor kolinesterase) yang menghambat
pemecahan ACh (dan karenanya meningkat ketersediaan neurotransmitter ini) dapat
secara klinis bermanfaat untuk pasien (Winblad et al., 2001)
b. Perawatan
dan Hasil
Meskipun
upaya penelitian yang luas, kami masih tidak memiliki pengobatan untuk penyakit
Alzheimer yang akan memulihkan fungsi setelah mereka hancur atau hilang.
Perawatan saat ini, menargetkan pasien dan anggota keluarga, bertujuan untuk
mengurangi agitasi dan agresi pada pasien dan mengurangi kesulitan pada
pengasuh sebanyak mungkin (Pedoman Praktik, 2007).
Beberapa
perilaku bermasalah umum yang terkait dengan demensia mengembara,
inkontinensia, perilaku seksual yang
tidak pantas, dan keterampilan perawatan diri yang tidak memadai. Ini bisa agak
dikontrol melalui pendekatan perilaku (lihat Bab 16). Perawatan perilaku tidak
perlu tergantung pada kemampuan kognitif dan komunikasi yang kompleks (yang
cenderung kurang pada pasien dengan demensia). Sebagai contoh, benda yang
dibutuhkan dapat diberi label. Dan benda-benda yang dibutuhkan untuk sebuah
tugas khusus (seperti perawatan) semuanya dapat ditempatkan bersama dalam satu
wadah. Gelang identitas juga dapat digunakan untuk pasien yang cenderung
berkeliaran dan meninggalkan rumah. Secara umum, laporan hasil cukup mendorong
dalam hal mengurangi frustrasi dan rasa malu yang tidak perlu untuk pasien dan
kesulitan untuk caregiver (Brodaty & Arasratnam, 2012; Gitlin et al.,
2012).
Seperti
yang kami catat sebelumnya, beberapa pasien dengan Alzheimer penyakit
mengembangkan gejala psikotik dan menjadi sangat gelisah. Obat antipsikotik
(seperti yang digunakan dalam pengobatan
skizofrenia) kadang-kadang diberikan kepada pasien untuk meringankan gejala-gejala
ini. Namun, obat-obatan ini harus digunakan dengan sangat hati-hati. Makanan
dan Obat Administrasi AS telah mengeluarkan peringatan bahwa pasien dengan
demensia yang menerima obat antipsikotik atipikal berada pada peningkatan
risiko kematian (Schultz, 2008). Bahkan, meskipun obat antipsikotik dapat
meringankan beberapa gejala ke tingkat yang sangat sederhana, tidak ada bukti
yang baik bahwa mereka lebih baik daripada plasebo ketika datang ke fungsi dan
kognisi harian pasien secara keseluruhan (Sultzer et al., 2008).
Upaya
pengobatan untuk meningkatkan fungsi kognitif telah berfokus pada temuan
konsisten asetilkolin menipisnya penyakit Alzheimer. Alasannya di sini adalah
bahwa dimungkinkan untuk meningkatkan fungsi dengan pemberian obat yang
meningkatkan ketersediaan otak ACh. Saat ini, cara paling efektif untuk
melakukannya adalah dengan menghambat produksi asetilkolinesterase, prinsipal
enzim yang terlibat dalam pemecahan metabolik acetylcholine. Ini adalah alasan
untuk mengelola obat-obatan semacam itu seperti galantamine (Razadyne),
rivastigmine (Exelon), dan donepezil (Aricept). Winblad dan rekan (2001)
mempelajari 286 pasien yang secara acak ditugaskan untuk menerima obat-obatan
(donepezil) atau plasebo selama 1 tahun periode. Fungsi kognitif pasien dan
kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari diukur pada awal belajar dan
kembali pada interval reguler selama masa studi. Pasien yang menerima obat itu
secara keseluruhan lebih baik daripada pasien yang menerima plasebo. Namun,
semuanya pasien menurun dalam fungsi mereka selama perjalanan pembelajaran.
Lebih jauh lagi, meskipun donepezil sangat membantu pasien sedikit, hasil ini
tidak berarti bahwa pasien yang memakai obat tersebut kurang mungkin untuk
menghindari pelembagaan daripada mereka yang tidak minum obat (AD2000
Collaborative Group, 2004).
c. Deteksi
dini
Sebagian
besar peneliti percaya bahwa tanda-tanda penyakit Alzheimer mungkin terdeteksi
jauh sebelum gejala klinis muncul. Untuk mengeksplorasi ini, mereka menggunakan
berbagai teknik pencitraan otak (brainimaging) untuk mempelajari otak orang
yang tinggi risikonya untuk mengembangkan penyakit. Orang yang berisiko tinggi
termasuk mereka yang memiliki alel APOE-E4 serta orang-orang yang mengalami
gangguan kognitif kecil. MCI dianggap
berada dalam suatu rangkaian antara penuaan yang sehat dan tanda-tanda awal
dari demensia (Risacher & Saykin, 2013). Beberapa orang dengan masalah
laporan MCI dengan memori. Namun, masalah kognitif lain (yang tidak berhubungan
dengan memori) juga merupakan prediksi penyakit Alzheimer yang belakangan
(Storandt, 2008).
Pemindaian
otak orang dengan MCI menunjukkan bahwa, seperti pasien dengan penyakit
Alzheimer, mereka mengalami atrofi di sejumlah area otak, termasuk hippocampus
(yang Anda mungkin ingat terlibat dalam memori) (Chételat et al., 2003;
Devanand et al., 2007; Kubota et al., 2005). Bahkan, pengurangan ukuran
hippocampus memprediksi nanti perkembangan penyakit Alzheimer baik pada orang
dengan MCI dan pada orang tua yang tidak melaporkan memori apa pun atau kerusakan
kognitif (De Leon et al., 2004; den Heijer et al., 2006). Ini menunjukkan bahwa
atrofi area otak ini tanda awal penyakit.
5. Perkembangan
dalam Penelitian
Pendekatan Baru untuk Pengobatan Penyakit Alzheimer
Obat penghambat kolinesterase adalah arus utama
pengobatan untuk penyakit Alzheimer, tetapi mereka hanya memberikan manfaat
terbatas. Pendekatan baru sangat dibutuhkan.
Para peneliti sekarang menggunakan stimulasi otak
noninvasif teknik seperti stimulasi magnetik transkranial berulang (RTM) dan stimulasi
arus langsung transkranial (tDCS) untuk mencoba meningkatkan fungsi kognitif
pada pasien dengan penyakit Alzheimer. RTM mengubah aktivasi otak melalui
pengiriman pulsa magnet yang kuat yang melewati kulit kepala dan ke korteks di
bawah. Di tDCS, arus listrik yang lemah dikirim ke kulit kepala; jenis
stimulasi (anodal atau cathodal) menentukan apakah rangsangan di daerah
kortikal yang mendasari meningkat atau
menurun. Meski hanya segelintir penelitian saja telah dilakukan hingga saat
ini, melibatkan total 200 pasien, hasil menunjukkan bahwa pasien berkinerja
lebih baik ketika mereka menerima stimulasi otak (Hsu et al., 2015).
Obat-obatan baru juga terus dikembangkan dan diuji. Dalam
uji coba awal, satu obat yang disebut inhibitor BACE mengurangi tingkat amyloid
di otak pasien Alzheimer. Dan dalam uji klinis kecil lainnya, obat lain
mengurangi peradangan dan meningkatkan fungsi kognitif pada pasien dengan
gangguan kognitif ringan.
6.
Dunia
sekitar kita
Mendukung Pengasuh (Suppporting Caregivers)
Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi peningkatan
tajam dalam jumlah unit perawatan khusus demensia di panti jompo. Sebagian
besar pasien dengan demensia akan dilembagakan sebelum mereka mati. Sampai
pasien mencapai tahap yang sangat terganggu, namun, sebagian besar hidup di
komunitas, dirawat oleh anggota keluarga mereka. Sangat sering, beban perawatan
jatuh pada satu orang.
Tidak mengherankan, sebagai suatu kelompok, pengasuh
berada pada posisi tinggi risiko menjadi terisolasi secara sosial dan untuk
berkembang depresi (Richards & Sweet, 2009). Semakin kuat ikatan yang
mereka miliki dengan orang dengan penyakit Alzheimer, semakin besar kemungkinan
mereka untuk menjadi depresi (Wojtyna &Popiolek, 2015). Pengasuh dari
pasien dengan penyakit Alzheimer cenderung mengonsumsi obat dalam jumlah besar
dan melaporkan banyak gejala stres, nyeri fisik, dan kesehatan yang buruk
(Alzheimer Association, 2015). Memberikan pengasuh dengan konseling dan terapi
suportif sangat bermanfaat. Itu dapat mengurangi reaksi negatif mereka terhadap
gejala pasien dan juga menghasilkan pengurangan yang dapat diukur dalam tingkat
depresi mereka (Brodaty & Arasaratnam, 2012; Mittelman et al., 2004).
K. Gangguan
Neurokognitif Akibat Infeksi HIV atau Masalah Pembuluh Darah
1. Gangguan
Neurokognitif yang Terkait dengan Infeksi HIV-1 Infeksi
Infeksi
dengan human immunodeficiency virus (HIV) menimbulkan kekacauan pada sistem
kekebalan tubuh. Seiring waktu, Infeksi ini dapat menyebabkan sindrom
defisiensi imun yang didapat, atau AIDS. Di seluruh dunia, virus HIV tipe 1
memiliki menginfeksi lebih dari 37 juta orang, dengan sub-Sahara Afrika menjadi
wilayah yang paling terpengaruh (World Health Organisasi, 2015d).
Selain
merusak tubuh, virus HIV tersebut juga mampu menginduksi penyakit syaraf yang
bisa menghasilkan masalah neurokognitif. Ini bisa terjadi dalam dua cara.
Pertama, karena sistem kekebalan tubuh melemah, orang dengan HIV lebih rentan
terhadap infeksi yang jarang terjadi oleh parasit dan jamur. Namun, virus itu
juga muncul mampu merusak otak lebih langsung, mengakibatkan cedera saraf dan
penghancuran sel-sel otak (lihat Kaul et al., 2005; Snider et al., 1983).
Neuropatologi
neurokognitif terkait HIV gangguan melibatkan berbagai perubahan di otak, di
antaranya mereka atrofi umum, edema (pembengkakan), peradangan, dan patch
demielinasi (Adams & Ferraro, 1997; Sewell et al., 1994). Tidak ada area
otak yang sepenuhnya terhindar, tetapi kerusakan tampaknya terkonsentrasi di
daerah subkortikal, terutama materi putih sentral, jaringan mengelilingi ventrikel,
dan struktur materi abu-abu yang lebih dalam seperti ganglia basalis dan
talamus. Sembilan puluh persen pasien dengan AIDS menunjukkan bukti perubahan
tersebut pada otopsi (Adams & Ferraro, 1997).
Gambaran
neuropsikologis dari AIDS cenderung muncul sebagai fase akhir infeksi HIV,
meskipun sering muncul sebelum perkembangan penuh AIDS itu sendiri. Mereka
mulai dengan kesulitan memori ringan, perlambatan psikomotor, dan berkurangnya
perhatian dan konsentrasi (lihat Fernandez et al., 2002, untuk review). Progresi
biasanya cepat setelah titik ini, dengan demensia jelas muncul dalam banyak
kasus dalam 1 tahun, meskipun periode jauh lebih lama telah dilaporkan. Fase
selanjutnya juga meliputi regresi perilaku, kebingungan, pemikiran psikotik,
apati, dan ditandai penarikan.
2. Gangguan
Neurokognitif yang terkait dengan penyakit vaskular
Dalam
gangguan ini, serangkaian infark serebral yang dibatasi – gangguan suplai darah
ke daerah-daerah kecil otak karena penyakit arteri, umumnya dikenal sebagai
"stroke kecil" secara kumulatif menghancurkan neuron di atas
perluasan wilayah otak. Daerah yang terkena menjadi lunak dan dapat merosot
seiring waktu waktu, hanya menyisakan rongga. Meskipun gangguan kognitif
vaskular cenderung memiliki gambaran
klinis awal yang lebih bervariasi daripada penyakit Alzheimer (Wallin &
Blennow, 1993), hilangannya sel secara progresif menyebabkan atrofi otak dan perilaku gangguan
yang pada akhirnya meniru orang-orang penyakit Alzheimer (Bowler et al., 1997).
Kerusakan
kognitif vaskular cenderung terjadi setelah usia 50 tahun dan mempengaruhi
lebih banyak pria daripada wanita (Askin-Edgar et al., 2002). Abnormalitas gaya
berjalan (misalnya, tidak stabil kaki seseorang) dapat menjadi prediktor awal
dari kondisi ini (Verghese et al., 2002). Kerusakan kognitif vaskular kurang
umum daripada penyakit Alzheimer, terhitung
hanya 19 persen dari kasus demensia dalam sampel komunitas individu usia
65 tahun atau lebih (Lyketsos et al., 2000). Salah satu alasannya adalah bahwa
pasien ini memiliki banyak perjalanan penyakit yang lebih singkat karena mereka
rentan kematian mendadak akibat stroke atau penyakit kardiovaskular
(Askin-Edgar et al., 2002). Gangguan suasana hati yang menyertai juga lebih
sering terjadi pada demensia vaskular daripada di Penyakit Alzheimer, mungkin
karena area subkortikal otak lebih terpengaruh (Lyketsos et al., 2000).
L. Gangguan
Neurokognitif Yang Ditandai oleh Gangguan Memori yang Sangat Dalam (Gangguan
Amnestic)
Kebanyakan gangguan
neurokognitif melibatkan penurunan domain pada banyak orang yang berbeda.
Namun, gangguan neurokognitif diagnosis juga digunakan ketika ada penurunan
yang ditandai dalam domain tunggal. Ini bisa terjadi ketika kerusakan otak
hasil gangguan memori yang sangat besar.
Dalam DSM-IV-TR ada
diagnosis spesifik dan berbeda yang disebut amnestic ( amnestic hanyalah cara
lain untuk mengatakan amnesia). Di DSM-5, paisen yang telah diberi diagnosis
memiliki gangguan neurokognitif utama. Penyebab gangguan juga tercantum
(misalnya, gangguuan neurokognitif utama karena penggunaan subtansi). Tidak
seperti bentuk-bentuk lain dari gangguan neurokognitif. Bagaimanapun, penurunan
subtansial dalam fungsi terjadi dalam domain kognitif tunggal (memori).
Ciri khas gangguan
neurokognitif dari jenis ini (sebagai singkatan kita masih akan menyebut mereka
gangguan amnestic) adalah memori yang
sangat terganggu. Penaikan kembali
(yaitu, kemampuan untuk mengulangi apa yang baru saja didengarjuga
relatif bisa dipertahankan. Memori untuk peristiwa masa lalu terpencil juga
biasanya relatif diawetkan. Namun demikian, memori jangka pendek biasanya
sangat terganggu sehingga orang tersebut tidak mampu untuk mengingat peristiwa
yang terjadi hanya beberapa menit sebelumnya. Untuk mengimbangi, pasien
kadang-kadang bertukar pikiran, membuat acara untuk mengisi kekosongan yang
mereka miliki di ingatan mereka.
Kerusakan otak
adalah akar penyebab gangguan amnestic. Kerusakan ini mungkin disebabkan oleh
stroke, cedera, tumor, atau infeksi (Andreescu & Aizenstein, 2009).
Namun, tidak semua
kerusakan otak bersifat permanen. Sindrom Korsakoff adalah gangguan amnestic
yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B1 (tiamin). Karena ini, masalah
ingatan dikaitkan dengan sindrom Korsakoff kadang-kadang bisa dibalik jika
sindrom dideteksi sangat dini dan diberikan vitamin B1. Sindrom Korsakoff
sering ditemukan di orang dengan alkoholisme kronis atau pada mereka yang tidak
makan diet sehat. Itu adalah penyebab hilangnya ingatan pasien dalam studi
kasus berikut.
1. Gangguan
Melibatkan Cedera kepala
Cedera otak
traumatis (TBI) sering terjadi, mempengaruhi hanya di bawah 2 juta orang setiap
tahun di Amerika Serikat. Penyebab TBI yang paling umum adalah jatuh, diikuti
oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Penyebab lainnya termasuk serangan dan
cedera olahraga (meskipun sebagian besar dari ini adalah mungkin bahkan tidak
pernah dilaporkan). Anak-anak usia 0 hingga 4 tahun, remaja usia 15 hingga 19
tahun, dan orang dewasa berusia 65 tahun ke atas kemungkinan besar mengalami
TBI. Di setiap kelompok umur tingkat TBI lebih tinggi untuk laki-laki daripada
untuk perempuan (Faul et al., 2010). Dalam istilah diagnostik DSM-5 seperti
mayor (atau ringan) gangguan neurokognitif yang terkait dengan kepala trauma
digunakan untuk merujuk pada kompromi kognitif itu hasil dari cedera kepala.
a. Gambaran
klinis
Dokter
mengkategorikan cedera otak sebagai akibat dari keduanya cedera kepala tertutup
(di mana tengkorak tetap utuh) atau cedera kepala tembus (di mana beberapa
objek seperti peluru masuk ke otak). Dalam cedera kepala tertutup, kerusakan
otak tidak langsung — disebabkan oleh gaya inersia yang menyebabkan otak datang
ke kontak kekerasan dengan interior dinding tengkorak atau oleh kekuatan rotasi
yang memutar massa otak relatif terhadap batang otak. Bukan tidak biasa, tutup
kepala cedera juga menyebabkan kerusakan neuron difus karena gaya inersia.
Dengan kata lain, pergerakan cepat dari cranium kaku berhenti pada kontak
dengan pantang menyerah obyek. Namun, jaringan otak yang lebih lembut di dalam
terus bergerak, dan ini memiliki efek geser pada serabut saraf dan mereka
interkoneksi sinaptik.
Cedera
kepala yang parah biasanya menyebabkan ketidaksadaran dan gangguan regulasi
sirkulasi, metabolisme, dan neurotransmitter. Biasanya, jika cedera kepala
parah cukup untuk menghasilkan ketidaksadaran, orang mengalami retrograde
amnesia, atau ketidakmampuan untuk mengingat peristiwa segera sebelum cedera.
Ternyata, trauma mengganggu kapasitas otak untuk mengkonsolidasikan penyimpanan
jangka panjang pada peristiwa yang masih diproses saat trauma. Anterograde
amnesia (juga disebut amnesia pasca trauma) adalah ketidakmampuan untuk
menyimpan secara efektif dalam peristiwa memori yang terjadi selama periode
variabel waktu setelah trauma. (Jika Anda ingat bahwa anterograde dan setelah
keduanya dimulai dengan "a" Anda akan mengingat ini lebih banyak lagi
mudah.) Anterograde amnesia juga sering diamati dan dianggap oleh banyak orang
sebagai tanda prognostik negatif.
Orang
yang memainkan olahraga tertentu berisiko tinggi mengalami gegar otak dan
cedera otak. Untuk laki-laki, yang risiko terbesar berasal dari bermain sepak
bola; untuk wanita, yang risiko terbesar berasal dari bermain sepak bola
(Lincoln et al., 2011). Apalagi karena ada masa kritis otak perkembangan yang
terjadi dari usia 10 hingga 12, mungkin sangat penting bagi anak laki-laki
untuk menghindari sepak bola sampai mereka telah melewati tahap ini (Stamm et
al., 2015)
b. Perawatan
dan Hasil
Seperti
diilustrasikan dalam kasus Zack, perawatan medis yang cepat cedera otak mungkin
diperlukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang dan menghilangkan tekanan pada
otak yang disebabkan oleh pembengkakan hebat. Perawatan medis segera juga harus
ditambah dengan program pendidikan ulang jangka panjang dan rehabilitasi yang
melibatkan banyak profesional yang berbeda.
Meskipun
banyak pasien dengan TBI menunjukkan beberapa residu efek dari cedera mereka,
terutama jika mereka sudah berpengalaman hanya kehilangan kesadaran sesaat,
pasien lain mengalami penurunan yang pasti dan jangka panjang. Gejala umum TBI
minor termasuk sakit kepala, masalah memori, sensitivitas untuk cahaya dan
suara, pusing, kecemasan, lekas marah, kelelahan, dan gangguan konsentrasi
(Miller, 2011). Ketika kerusakan otak sangat luas, tingkat intelektual umum
pasien mungkin sangat berkurang, terutama jika lobus temporal atau lobus
parietal rusak. Kebanyakan orang mengalami penundaan yang signifikan untuk
kembali ke pekerjaan mereka, dan banyak yang tidak dapat melakukannya kembali
sama sekali (Selassie et al., 2008). Kerugian sosial dewasa lainnya fungsi
peran juga umum dan terkait dengan keparahan cedera (Rassovsky et al., 2015).
Sekitar 24 persen kasus TBI, secara keseluruhan, mengembangkan pasca trauma
epilepsi, diduga karena pertumbuhan jaringan parut di otak. Kejang biasanya
berkembang dalam 2 tahun setelah cedera kepala. Selama beberapa dekade setelah
cedera kepala, ada juga risiko yang meningkat depresi serta gangguan lain
seperti substansi penyalahgunaan, gangguan kecemasan, dan gangguan
kepribadian(Holsinger et al., 2002; Koponen et al., 2002).
Cedera
otak juga bisa mengakibatkan perubahan kepribadian. Sebuah perubahan yang
relatif umum adalah bahwa orang tersebut menjadi lebih banyak mudah tidak
diatur secara emosional. Labilitas emosional ini sering disertai dengan
iritabilitas atau disinhibition. Kurang umum, apati dan paranoia juga bisa
terlihat (Max et al., 2015). Perubahan kepribadian telah dilaporkan di hingga
40 persen anak-anak dengan otak traumatis yang parah cedera. Dalam sampel orang
dewasa yang sudah mengalami berat TBI, perubahan kepribadian dilaporkan oleh
mereka yang signifikan yang lain dalam 59 persen kasus (Norup & Mortensen,
2015).
2.
Dunia sekitar kita
Kerusakan
otak pada Atlet Profesional
Untuk
atlet, tabrakan sering menjadi bagian dari permainan. Tapi bukti baru memaksa
banyak olahraga perguruan tinggi dan profesional untuk mempertimbangkan potensi
kerusakan otak jangka panjang yang mungkin datang dari menuju bola atau
menangani pemain lain. Masalah ini pertama kali menjadi perhatian penggemar
olahraga ketika Ted Johnson, mantan juara Super Bowl dan linebacker untuk
New England Patriots,go public tentang depresi dan sakit kepala yang
melumpuhkan yang menjadi pengalaman rutin baginya (MacMullan, 2007). Johnson,
yang telah didiagnosis dengan sindrom pasca konklusi kronis (yang melibatkan kelelahan,
lekas marah, kehilangan ingatan, dan depresi), juga menunjukkan tanda-tanda
kerusakan otak awal. Dia percaya bahwa masalahnya adalah akibat langsung dari
beberapa pukulan ke kepala yang dideritanya selama karir bermainnya
Fungsi
kognitif Johnson menurun drastis setelah dia terlibat dalam tabrakan serius
selama pertandingan pameran dan harus ditarik dari lapangan. Empat
harikemudian, dia diharapkan untuk melakukan kontak penuh selama latihan.
Meskipun dia tahu ini adalah ide yang buruk, kebanggaannya, dikombinasikan
dengan tekanan untuk tidak terlihat lemah, mencegahnya meminta untuk dibebaskan
dari latihan fisik. Selama latihan, ia mengalami serangan ringan dan mengalami
sensasi hangat dan kabur yang menandakan gegar otak. Bagi Johnson, ini adalah awal
dari akhir.
Johnson memutuskan untuk mengumumkan kisahnya
setelahmantan pemain belakang NFL, Andre Waters bunuh diri. Waters, yang
dikenal sebagai pemain keras dan memukul keras, menderita banyak gegar otak
berulang selama karirnya. Setelah kematiannya pada usia 44 tahun, seorang ahli
saraf memeriksa otaknya dan melaporkan bahwa jaringannya mirip dengan tubuh
berusia 85 tahun; Perairan juga memiliki beberapa tanda penyakit Alzheimer.
Gegar otak
berulang
diduga penyebab kerusakan otaknya.
Penelitian
mendukung spekulasi ini. Sebuah penelitian terhadap 2.552 pensiunan pemain
sepak bola profesional menunjukkan bahwa mayoritas (61 persen) telah mengalami
setidaknya satu gegar otak selama karir bermain mereka. Selain itu, para pemain
yang memiliki riwayat tiga atau lebih lima kali gegar otak lebih mungkin didiagnosis dengan masalah
kognitif dan memiliki gangguan ingatan tiga kali lebih banyak daripada pemain
tanpa riwayat gegar otak. Pemain yang mengalami gegar otak berulang juga lebih
mungkin untuk didiagnosis depresi.
3.
Isu yang belum terselesaikan
Haruskah
Orang Sehat Gunakan Peningkat Kognitif?
Dalam mencari keuntungan kognitif, banyak
orang sehat, muda dan tua, beralih ke obat-obatan yang dapat memberikan manfaat
kognitif. Banyak dari kita secara rutin menggunakan kafein, yang meningkatkan
kewaspadaan, memori kerja, dan pembelajaran insidental. Orang lain menggunakan
nikotin, yang meskipun jelas merugikan kesehatan ketika merokok,dapat
meningkatkan perhatian, memori kerja, dan perhatian dalam jangka pendek.
Tren
yang lebih baru, bagaimanapun, melibatkan penggunaan stimulan resep. Ini
termasuk methylphenidate (Ritalin), yang digunakan dalam pengobatan gangguan
perhatian-defisit, dan modafinil. yang digunakan sebagai agen yang membangunkan
untuk orang-orang dengan kantuk di siang hari yang berlebihan. Senyawa-senyawa
ini (yang tidak selalu diresepkan secara hukum) sekarang digunakan oleh siswa
yang mencari nilai lebih baik serta oleh personel militer yang perlu tetap
terjaga selama misi panjang. Menurut beberapa penelitian, sekitar 16 persen
mahasiswa mengakui bahwa mereka telah menggunakan methylphenidate untuk tujuan
rekreasi
Studi
menunjukkan bahwa dokter enggan meresepkan obat-obatan ini untuk orang muda,
yang secara kognitif sehat (Banjo et al., 2010). Pada bagian, keengganan ini
berasal dari kekhawatiran tentang keamanan senyawa dan keyakinan ini bahwamanfaat
yang mereka berikan sangat kecil. Tentu saja, bukti menunjukkan bahwa manfaat
dari peningkat kognitif pada individu yang sehat memang sangat sederhana.
Tetapi ada masalah etika juga
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai
dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi, dan prilaku. Pikiran yang
terganggu, dimana pikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan
perhatian yang keliru. Pasien skizofrenia sering kali masuk ke dalam kehidupan
fantasi yang penuh delusi dan halusinasi. Gangguan ini biasanya muncul pada
akhir masa remaja atau awal masa dewasa, agak lebih awal pada kaum laki-laki
daripada kaum perempuan. Orang-orang yang menderita skizofrenia umumnya
memiliki beberapa episode akut simtom-simtom: di antara setiap episode mereka
sering mengalami simtom-simtom yang tidak terlalu parah namun tetap mengganggu
keberfungsian mereka. Simtom-simtom yang dialami pasien skizofrenia mencangkup
gangguan dalam beberapa hal penting seperti pikiran, persepsi dan perhatian;
prilaku motorik; afek atau emosi; dan keberfungsian hidup.
Sedangkan gangguan neurokognitif dikemukakan bahwa
gangguan dapat muncul akibat dari perubahan pada otak berupa struktur, fungsi,
dan kimia. Ada beberapa alasan kenapa gangguan neurokognitif dibahasa dalam
psikologi abnormal. Pertama, karena dimasukkannya mereka dalam DSM menunjukkan
bahwa gangguan ini dianggap sebagai kondisi psikopatologis. Kedua, beberapa
kelainan otak menyebabkan gejala yang tampak luar biasa seperti gangguan
psikologi abnormal lainnya. Ketiga, kerusakan pada otak dapat menyebabkan
perubahan perilaku, mood dan personality. Mengetahui area dari otak yang
terlibat dalam perubahan perilaku, mood dan personality saat terjadi saat
kerusakan otak dapat membantu dalam hal penelitian yang bersangkutan dengan
psikologi abnormal. Keempat, banyak orang menderita gangguan otak (misalnya,
orang yang didiagnosis menderita penyakit Alzheimer) bereaksi terhadap berita
diagnosis mereka dengan depresi atau kecemasan.
B. Saran
untuk penulis
selanjutnya dapat lebih memperhatikan teknik penulisan dan menambah referensi.
DAFTAR
PUSTAKA
Davidson, G.C.,Neale, J.M., Kring, A.M. 2010. Psikologi abnormal edisi ke-9. Jakarta: Rajawali
Hooley, J.M., Butcher, J.N., Nock, M.K., Mineka, Susan. 2017. Abnormal Psychology
Seventeenth Edition. England : Pearson
Komentar
Posting Komentar