MAKALAH PROSES MASUKNYA ISLAM DINUSANTARA


BAB I
PENDAHULUAN
     
A.  Latar Belakang
Sejakawalmasehikawasan Nusantara telahberfungsisebagaijalurlintasperdaganganbagikawasan Asia Barat, Asia Timurdan Asia Selatan.Kedatangan Islam di Nusantara penuhdenganperdebatan, terdapattigamasalahpokok yang menjadiperdebatanparasejarawan.Pertama, tempatasalkedatangan Islam.Kedua, parapembawanya.Ketiga, waktukedatanganya.
Namun, Islam telahmasuk, tumbuhdanberkembang di wilayah Nusantara dengancukuppesat.Mengingatkedatangan Islam ke Nusantara yang padasaatitusudahmemilikibudaya Hindu-Budha.Makahalinisangatmenggembirakankarena Islam mampuberkembang di tengahkehidupanmasyarakat yang telahmemilikiakarbudaya yang cukupkuatdan lama.
Kedatangan Islam kewilayah Nusantara mengalamiberbagaicaradandinamika, antara lain denganperdagangan, pernikahan, sosialbudaya, dansebagainya. Hal inimenyebabkanpertumbuhandanperkembangan Islam di wilayahinimemilikicoraktersendiri.
Dalammakalahini, penulismembahastentangcorakawal Islam Nusantara sampaiawalabad ke-17 danwacanasufistik; tasawuffalsafisampaiabad 17.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.




B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yangdidapat adalah sebagai berikut :
1.     Bagaimana proses perkembangan Islam di Nusantara
2.     Bagaimana corak Islam di Nusantara
C. Tujuan
Adapun tujuan penulis dalam menyusun makalah ini tiada lain adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui proses perkembangan Islam di Nusantara
2.      Untuk mengetahui corak Islam di Nusantara




 















BAB II
PEMBAHASAN


A.    Proses Perkembangan Islam di Nusantara
Islam datang ke Nusantara melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan, politik, tasawuf dan kesenian. Berdasarkan berita Cina dari zaman Dinasti Tang, Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7. Berita itu menyebutkan adanya serangan orang-orang Ta shish terhadap Kerajaan Ho-Ling yang pada waktu itu diperintah oleh Ratu Sima. Ta shih ini ditafsirkan sebagai orang-orang Arab. Hal itu diperkuat oleh berita Jepang (784 M) yang menyebutkan tentangadanya perjalanan pendeta Kanshih. Pendapat yang menyatakan Islam  masuk ke Nusantara sekitar abad ke-13 didasarkan pada berita Marcopolo (1292 M) dan berita Ibnu Battutah (abad ke-14). Adanya batu nisan makam Sultan Malik As Saleh (1297), penyebar-an ajaran tasawuf (abad ke-13), dan keruntuhan Dinasti Abbasiyah (1258 M). Dari bukti-bukti itu bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 Masehi yang mencapai perkembangannya pada abad ke-13. Hal itu ditandai dengan adanya kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Indonesia.[1]
Proses penyebaran Islam di Indonesia berjalan secara damai. Hal ini terjadi karena penyebaran Islam di Nusantara dilaksanakan melalui penyesuaian diri dengan adat istiadat pendidikan tanpa paksaan dan kekerasan. Itulah penyebab utama agama Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Faktor lainnya adalah karena agama Islam mengajarkan persamaan derajat dan martabat manusia, tidak membeda-bedakan baik jenis kelamin maupun  kedudukan. Uka Tjandra Sasmita, menyatakan bahwa proses masuknya Islam di Indonesia dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut:
1.        Perdagangan
Pada Abad ke-7 M, bangsa Indonesia kedatangan para pedagang dari Arab, Persia dan India. Mereka telah mengambil bagian dari kegiatan perdagangan di Indonesia. Hal itu, mengakibatkan adanya jalinan hubungan dagang antara pedagang Indonesia dengan  pedagang Islam yang datang dari Arab, Persia dan India.
Kegiatan berdagang dilaksanakan oleh  seluruh umat Islam. Selama melakukan kegiatan dagang, para pedagang Muslim juga melakukan kegiatan dakwah. Dakwah ini sangat efektif, karena dakwah itu kemudian diteruskan oleh pedagang Indonesia yang telah masuk Islam, ketika mereka berdagang ke tempat lain. Sasmita menyatakan banyak di antara para pedagang Islam yang kemudian tinggal menetap di daerah pesisir di pulau Jawa dan Sumatera.
2.        Perkawinan
Pedagang pada saat itu merupakan orang yang dihormati dan memiliki kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat. Kondisi ini mengakibatkan penduduk pribumi menginginkan untuk menikahkan putri-putrinya dengan para pedagang tersebut, dengan terlebih dahulu mereka diislamkan. Cara ini merupakan langkah efektif, karena dengan pernikahan ini akan terlahir seorang anak yang muslim juga. Harapan lainnya, dengan pernikahan akan terbentuk masyarakat sehingga suatu saat dapat terbentuk kerajaan dan pemerintahan Islam.
Contoh peristiwa pernikahan antara pedagang Islam dengan penduduk pribumi adalah perkawinan Raden Rakhmat atau Sunan Ampel dengan Nya Manila, perkawinan Sunan Gunung Djati dengan putri Kawungaten, perkawinan antara Raja Brawijaya dengan putri Jeumpa yang bergama Islam yang kemudian berputra Raden Patah yang menjadi Raja Demak.
3.        Politik
Islamisasi jalur politik dilakukan secara berkesinambungan antara penguasa dan pemerintahan. Setelah penguasa atau raja masuk Islam, hampir dapat dipastikan bahwa rakyatnya juga masuk Islam. Misalnya yang terjadi di Maluku dan Sulawesi. Hal itu terjadi karena masyarakat memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap pemerintah, dan seorang raja akan menjadi panutan bahkan menjadi contoh bagi rakyatnya.[2]
Di Jawa proses perkaninan para wali dan juru dakwah dengan putri-putri keturunan kerajaan, membuat status dakwah dan penyebaran Islam mendapatkan perlindungan dan berkembang lebih cepat. Setelah raja dan rakyat memeluk Islam, kepentingan politik dilakukan dengan cara perluasan wilayah kerajaan, yang diikuti dengan penyebaran agama Islam. Misalnya Sultan Demak yang mengirimkan pasukan di bawah komandi Fatahillah untuk menguasai wilayah Jawa Barat dan menyebarkan Islam di wilayah tersebut.
4.        Pendidikan
Islamisasi jalur pendidikan dilakukan melalui pendidikan pesantren oleh para guru agama, kiyai dan ulama. Bahkan banyak diantara para santri itu yang mendirikan dan memiliki pondok pesantren sendiri.
Tujuan pendidikan di pondok pesantren adalah untuk mempermudah penyebaran dan pemahaman agama Islam. Contoh pesantren perintis penyebaran Islam seperti pesantren yang didirikan oleh Raden Rakhmat di Ample Denta-Surabaya, Pesantren Sunan Giti di Giri. Santri yang belajar di pesantren tersebut bukan hanya berasal dari lingkungan sekitar, akan tetapi banyak yang datang dari jauh bahkan dari luar pulau jawa semisal Kalimantan, Maluku, Makasar dan Sumatera.
5.        Tasawuf
Para sufi mengajarkan tasawuf yang diramu dengan ajaran yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Seorang sufi biasa dikenal dengan gaya hidup yang penuh kesederhanaan. Seorang sufi biasa menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah masyarakat. Para sufi terbiasa membantu masyarakat, diantara mereka ada yang ahli dalam menyembuhkan penyakit. Selain itu juga aktif menyiarkan dan mengajarkan ajaran Islam. Diantara para sufi itu yang melakukan islamisasi dengan pendekatan tasawuf adalah Hamzah Fansuri dari Aceh dan Ki Ageng Pengging di Jawa.[3]


6.        Kesenian
Islamisasi jalur kesenian yang paling terkenal adalah dengan cara mengadakan pertunjukan seni gamelan dan wayang. Cara ini banyak ditemukan di kawasan Yogyakarta, Solo, Cirebon. Seni wayang, adalah kesenian yang memiliki banyak penggemar pada saat itu. Dengan mengemas cerita wayang, para ulama menyisipkan ajaran Islam ke dalamnya sehingga masyarakat dapat dengan mudah menangkap dan memahami ajaran Islam. Contoh pertunjukan wayang yang dilaskanakan oleh Sunan Kalijaga, dimana dalam pertunjukannya masyarakat dapat menonton dengan karcis membaca dua kalimat syahadat.
Kesenian lainnya yang juga berkembang dan menjadi jalur dalam penyebaran Islam adalah seni bangunan, seni rupa (kaligrafi), seni tarik suara, permainan anak-anak.
Selain beberapa cara di atas, ada beberapa faktor yang menjadi sebab kenapa Islam mudah berkembang di tanah air, yaitu:[4]
a.    Agama Islam bersifat terbuka sehingga penyiaran dan pengajaran agama Islam dapat dilakukan oleh setiap orang Islam;
b.    Penyebaran agama Islam dilakukan dengan cara damai;
c.    Islam tidak mengenal diskriminasi dan tidak membedakan kedudukan seseorang dalam masyarakat;
d.   Perayaan-perayaan dalam agama Islam dilakukan dengan sederhana;

Dalam Islam dikenal adanya kewajiban bagi orang yang mampu untuk mengeluarkan zakat. Zakat ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan kepedulian hidup di masyarakat

Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan cara yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim terorganisir. Namun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa Barat dan kerajaan Majapahit di Jawa Timurditaklukkan oleh Muslim Jawa. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim di abad ke-16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang Hindu-Buddha sering berperang. Penyebaran terorganisir Islam juga terbukti dengan adanya Wali Sanga (sembilan orang suci) yang diakui mempunyai andil besar dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini.[5]

1.      Malaka

Didirikan sekitar awal abad ke-15, negara perdagangan Melayu Kesultanan Malaka (sekarang bagian Malaysia) didirikan oleh Sultan Parameswara, sebagai pusat perdagangan paling penting di kepulauan Asia Tenggara, pusat kedatangan Muslim asing, dan dengan demikian muncul sebagai pendukung penyebaran Islam di Nusantara. Parameswara sendiri diketahui telah dikonversike Islam, dan mengambil nama Iskandar Shah setelah kedatanganLaksamana Cheng Ho yang merupakan Suku Hui muslim dari negeri China. Di Malaka dan di tempat lain batu-batu nisan bertahan dan menunjukkan tidak hanya penyebaran Islam di kepulauan Melayu, tetapi juga sebagai agama dari sejumlah budaya dan penguasa mereka pada akhir abad ke-15.

2.      Sumatera Utara

Bukti yang lebih kuat mendokumentasikan transisi budaya yang berlanjut berasal dari dua batu nisan akhir abad ke-14 dari Minye Tujoh di Sumatera Utara, masing-masing dengan tulisan Islam tetapi dengan jenis karakter India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan di Brunei, Trengganu(timur laut Malaysia) dan Jawa Timur adalah bukti penyebaran Islam. Batu Trengganu memiliki dominasi bahasa Sansekerta atas kata-kata Arab, menunjukkan representasi pengenalan hukum Islam.

Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut di Utara pulau Sumatera didokumentasikan oleh kuburan-kuburan akhir abad ke-15 dan ke-16 termasuk sultan pertama dan kedua Kesultanan Pedir (sekarang Pidie), Muzaffar Syah, dimakamkan 902 H (1497 M) dan Ma'ruf Syah, dimakamkan 917 H (1511 M). Kesultanan Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan kemudian akan menjadi negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang paling kuat di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan Aceh adalah Ali Mughayat Syah yang nisannya bertanggal tahun 936 H (1530 M).

Buku ahli pengobatan Portugis Tome Pires yang mendokumentasikan pengamatannya atas Jawa dan Sumatera dari kunjungannya tahun 1512-1515, dianggap salah satu sumber yang paling penting tentang penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat tersebut, menurut Piers, kebanyakan raja di Sumatera adalah Muslim, dari Aceh dan ke selatan sepanjang pantai timur ke Palembang, para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatera dan ke pantai barat, sebagian besar bukan. Di kerajaan lain Sumatera, seperti Pasai dan Minangkabau penguasanya adalah Muslim meskipun pada tahap itu warga mereka dan orang-orang di daerah tetangga bukan. Bagaimanapun, dilaporkan oleh Pires bahwa agama Islam terus memperoleh penganut baru.

Setelah kedatangan rombongan kolonial Portugis dan ketegangan yang mengikuti tentang kekuasaan atas perdagangan rempah-rempah, Sultan Aceh Alauddin al-Kahar(1539-1571) mengirimkan dutanya ke Sultan Kesultanan Utsmaniyah, Suleiman I tahun 1564, meminta dukungan Utsmaniyah melawan Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian dikirim laksamana mereka, Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar dengan kekuatan 22 kapal membawa tentara, peralatan militer dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan yang ditulis oleh Laksamana Portugis Fernão Mendes Pinto, armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan Muslim dari pelabuhan Samudera Hindia.

3.      Jawa Tengah dan Jawa Timur

Prasasti-prasasti dalam aksara Jawa Kuno, bukan bahasa Arab, ditemukan pada banyak serangkaian batu nisan bertanggal sampai 1369 M di Jawa Timur, menunjukkan bahwa mereka hampir pasti adalah Jawa pribumi, bukan Muslim asing. Karena dekorasi rumit dan kedekatan dengan lokasi bekas ibukota kerajaan Hindu-Buddha Majapahit,Louis-Charles Damais (peneliti dan sejarawan) menyimpulkan bahwa makam ini adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang sangat terhormat, bahkan mungkin keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa elit Kerajaan Majapahit di Jawa telah memeluk Islam pada saat Majapahit yang merupakan Kerajaan Hindu-Buddha berada di puncak kejayaannya.

Ricklefs (1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur ini, berlokasi dan bertanggal di wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan pandangan lama bahwa Islam di Jawa berasal dari pantai dan mewakili oposisi politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan dengan kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun kemungkinan adanya abdi dalem keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta pedagang masih sebatas dugaan. Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi mistisisme dan mungkin mengklaim mempunyai kekuatan gaib, lebih mungkin untuk diduga sebagai agen konversi agama para elit istana Jawa yang sudah lama akrab dengan aspek mistisisme Hindu dan Buddha.

Pada awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku Jawahidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di pedalaman Jawa Timur di Daha (sekarang Kediri). Namun daerah pesisir seperti Surabaya, telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan daerah pedalaman, kecuali Tuban, yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah di pesisir tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke Islam, atau wilayah Tionghoa Muslim, India, Arab dan Melayu yang menetap dan mendirikan negara perdagangan mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan mereka tersebut begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya tersebut dan dengan demikian mereka menjadi "Jawa". Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman ini juga terus berlanjut lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan permusuhan ini juga terus berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.

Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas. Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa lima puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin memang telah diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum orang Jawa pesisir.

Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik, pelabuhan di Jawa Timur dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun bagaimanapun, dia adalah orang asing non-Jawa, dan batu nisannya tidak memberikan bukti konversi pesisir Jawa. Namun Malik Ibrahim, menurut tradisi Jawa adalah salah satu dari sembilan rasul Islam di Jawa (disebut Wali Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang tradisi ini. Pada abad ke-15-an, Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa berada di penurunan. Setelah dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan Demak pada tahun 1520.

4.      Jawa Barat

Suma Oriental ("Dunia Timur") yang ditulis Tome Pires melaporkan juga bahwa Suku Sunda di Jawa Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan memang memusuhi Islam.Sebuah penaklukan oleh Muslim di daerah ini terjadi pada abad ke 16. Dalam studinya tentangKesultanan Banten,Martin van Bruinessen berfokus pada hubungan antara mistik dan keluarga kerajaan, mengkontraskan bahwa proses Islamisasi dengan yang yang berlaku di tempat lain di Pulau Jawa: "Dalam kasus Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan "tarekat" tidak dengan perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan magis dan legitimasi politik." Ia menyajikan bukti bahwa Sunan Gunungjatidiinisiasi ke dalam aliran "Kubra", "Shattari", dan "Naqsyabandiyah" dari sufisme.

5.      Daerah lain

Tidak ada bukti dari penerapan Islam oleh orang Nusantara sebelum abad ke-16 di daerahluarPulauJawa,PulauSumatera,Kesultanan Ternatedan Tidore di Maluku, dan Kesultanan Brunei dan Semenanjung Melayu.

B.  Corak Islam di Nusantara

Islam datang ke Nusantara diperkirakan sekitar abad ke-7, kemudian mengalami perkembangan dan mengislamisasi diperkirakan pada abad ke-13. Awal kedatangannya diduga akibat hubungan dagang antara pedagang-pedagang Arab dari Timur Tengah atau dari wilayah sekitar India, dengan kerjaan-kerajaan di Nusantara. Perkembangannya pada abad ke-13 sampai awal abad ke-15 ditandai dengan banyaknya pemukiman muslim baik di Sumatera maupun di Jawa seperti dipesisir-pesisirpantai.Pada awal penyebarannya Islam tampak berkembang pesat di wilayah-wilayah yang tidak banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha, seperti Aceh, Minangkabau, Banten, Makassar, Maluku, serta wilayah-wilayah lain yang para penguasa lokalnya memiliki akses langsung kepada peradaban kosmopolitan berkat maraknya perdagangan antar bangsa ketika itu. Menurut penulis pendapat ini kurang kuat karena bertolak belakang dengan pendapat yang menyatakan bahwa Nusantara sebelum kedatangan Islam dipengaruhi oleh budaya Hindu Budha. Selain itu, pendapat ini tidak memiliki bukti yang cukup kuat. Kemunculan dan perkembangan Islam di kawasan Nusantara menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal.[6]
Tranformasi melalui pergantian agama dimungkinkan karena Islam selain menekankan keimanan yang benar, juga mementingkan tingkah laku dan pengamalan yang baik, yang diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan. 
Terjadinya transformasi kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan lokal kepada sistem keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat kepada Islam terjadi bersamaan dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara mengalami peningkatan posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Kota-kota wilayah pesisir muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan kekuasaan. Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada masa-masa sebelumnya. Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut:[7]
1. Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
Sebelum Islam datang, sistem kepercayaan lokal berpusat kepada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak siap pakai. Oleh karena itu, sistem kepercayaan kepada Tuhan yang berada di mana-mana dan siap memberikan perlindungan di manapun mereka berada, mereka temukan di dalam Islam.
2. Asosiasi Islam dengan kekayaan.
Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan pedagang Muslim yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peran penting dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatik.
3. Kejayaan militer.
Orang Muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pertempuran yang dialami dan dimenangkan oleh kaum Muslim.
4. Memperkenalkan tulisan.
Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara (Nusantara) yang sebagian belum mengenal tulisan, dan sebagian sudah mengenal tulisan sanskerta. Tulisan yang diperkenalkan adalah tulisan Arab.
5. Mengajarkan penghapalan.
 Para penyebar Islam menyandarkan otoritas sakral. Ajaran Islam yang mengandung kebenaran dirancang dalam bentuk –bentuk yang mudah dipahami dan dihafalkan oleh penganut baru. Karena itulah, hafalan menjadi sangat penting bagi para penganut baru yang semakin banyak jumlahnya.
6. Kepandaian dalam penyembuhan.
Karena penyakit selalu dikaitkan dengan sebab-sebab spiritual, maka agama dipandang mempunyai jawaban terhadap berbagai penyakit dan ini menjadi jalan untuk pengembang sebuah agama yang baru (Islam). Contohnya, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan penyakitnya oleh seorang ulama dari Pasai. 
7. Pengajaran tentang moral.
Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat. Ini terangkum dalam moral dunia yang diprediksi bahwa orang-orang yang taat akan dilindungi Tuhan dari segala kekuatan jahat dan akan diberi imbalan surga di akhirat. Melalui sebab-sebab itu, Islam cepat mendapat pengikut yang banyak. Menurut Azra, semua daya tarik tersebut mendorong terjadinya “Revolusi keagamaan”. Adapun corak awal Islam dipengaruhi oleh tasawuf, antara lain terlihat dalam berbagai aspek berikut:
a). Aspek Politik
Dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat. Ditambah lagi kalangan pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan, panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan politik dari tangan penguasa yang masih kafir.
Menurut penulis, pengambil alihan kekuasaan dari penguasa yang masih kafir ini merupakan konflik yang terjadi antara rakyat dengan penguasa. Karena, rakyat yang sudah memeluk agama Islam, menginginkan kehidupan yang adil di bawah pimpinan yang adil pula. Maka dalam hal ini, keadilan tersebut akan sangat mungkin didapatkan apabila pemimpin sudah memeluk Islam dan melaksanakan ajarannya.
Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik, Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai. Pada tahap-tahap selanjutnya, banyak kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara, seperti kerajaan Aceh, Demak, Pajang, Mataram, Ternate, Tidore, dan sebagainya.
Menurut penulis, banyaknya kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara tidak terlepas dari adanya peran para ulama yang dekat dengan Raja. Dengan demikian, terjadi kontak antara Raja dengan ulama, yang selanjutnya mengislamkan raja kemudian diikuti oleh rakyatnya. Pada tahap berikutnya, raja yang muslimpun akan membantu penyebaran dan pengembangan agama Islam ke wilayah-wilayah di Nusantara, dan diikuti dengan banyaknya kerajaan Islam yang berdiri.

b). Aspek Hukum
Adanya sebuah kerajaan, akan melahirkan undang-undang untuk mengatur jalannya kehidupan di sebuah kerajaan. Karena dengan undang-undang inilah masyarakat akan diatur.
Sebelum masuknya Nusantara, telah ada sistem hukum yang bersumber dari hukum Hindu dan tradisi lokal (hukum adat). Berbagai perkara dalam masyarakat diselesaikan dengan kedua hukum tersebut. Setelah agama Islam masuk, terjadi perubahan tata hukum. Hukum Islam berhasil menggantikan hukum Hindu di samping berusaha memasukkan pengaruh ke dalam masyarakat dengan mendesak hukum adat, meskipun dalam batas-batas tertentu hukum adat masih tetap bertahan. Pengaruh hukum Islam tampak jelas dalam beberapa segi kehidupan dan berhasil mengambil kedudukan yang tetap bagi penganutnya. 
Berbagai kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara yang menjadi panduan hukum bagi negara dan masyarakat, memang bersumber dari kitab-kitab karya ulama Sunni di berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di Timur Tengah. Kitab undang-undang Melayu menunjukkan ajaran-ajaran syari’ah sebagai bagian integral dalam pembinaan tradisi politik di kawasan ini.
Sebagai contoh, yaitu kitab Undang-Undang Melaka. Kitab undang-undang ini menunjukkan kuatnya pengaruh unsur-unsur hukum Islam, khususnya yang berasal dari Mazhab Syafi’i. Undang-Undang Melaka pada intinya meletakkan beberapa prinsip pertemuan antara hukum Islam dan adat setempat. Pertama, gagasan tentang kekuasaan dan dan sifat daulat ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Kedua, pemeliharaan ketertiban umum dan penyelesaian perkara hukum didasarkan pada ketentuan-ketentuan Islam dan adat. Ketiga, hukum kekeluargaan pada umumnya didasarkan pada ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Keempat, hukum dagang dirumuskan berdasarkan praktek perdagangan kaum Muslimin. Kelima, hukum yang berkaitan dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan adat.
Dengan demikian, dalam perkembangan tradisi politik Melayu di Nusantara, pembinaan hukum dilakukan dengan mengambil prinsip-prinsip hukum Islam, dan mempertahankan ketentuan-ketentuan adat yang dipandang tidak bertentangan dengan hukum Islam. 
c). Aspek Bahasa 
Kedalaman pengaruh bahasa Arab dalam politik Islam di Asia Tenggara (nusantara) tidak diragukan lagi banyak berkaitan dengan sifat penyebaran Islam di kawasan, khususnya pada masa-masa awal. Hal ini berbeda dengan Islamisasi di wilayah Persia dan Turki yang melibatkan penggunaan militer, Islamisasi di Nusantara pada umumnya berlangsung damai.
Konsekuensi dari sifat proses penyebaran itu sudah jelas. Wilayah Muslim Asia Tenggara (Nusantara) menerima Islam secara berangsur-angsur. Dengan demikian, Muslim Melayu tidak mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan, bahkan warna lokal cukup menonjol dalam perjalanan Islam di kawasan ini.
Walaupun kurang terarabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan sosial keagamaan kaum Muslim. Berbagai suku bangsa Melayu tidak hanya mengadopsi peristilahan Arab, tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikit banyak disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal.
Dari aspek tersebut, kemunculan Islam dan penerimaan aksara Arab merupakan langkah signifikan bagi sebagian penduduk di Nusantara untuk masuk ke dalam kebudayaan tulisan. Selanjutnya, hal tersebut melahirkan tulisan yang dikenal dengan akasara Arab Melayu atau aksara Arab Jawi.
Ketiga aspek tersebut yang dipengaruhi oleh Islam, hal tersebut menjadi corak Islam yang terus berkembang hingga abad ke 17. Hal ini menunjukkan kehidupan beragama Islam sangat terasa pada masa tersebut.





















BAB 3
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
1.         Islam datang ke Nusantara melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan, politik, tasawuf dan kesenian. Proses penyebaran Islam di Indonesia berjalan secara damai. Hal ini terjadi karena penyebaran Islam di Nusantara dilaksanakan melalui penyesuaian diri dengan adat istiadat pendidikan tanpa paksaan dan kekerasan. Itulah penyebab utama agama Islam mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Penyebaran menurut wilayah antara lain: Malaka, Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta Jawa Barat.
2.  Kedatangan Islam ke Nusantara telah memberikan pencerahan dan membawa dampak yang positif bagi masyarakat pribumi Nusantara. Hal ini telah memunculkan sebuah peradaban baru bagi dunia Islam. Peradaban baru tersebut tidak terlepas dari corak dan karakteristik yang dimiliki oleh budaya masyarakat di Nusantara. Tasawuf falsafi memang merupakan salah satu bentuk ajaran tasawuf yang pernah berkembang di wilayah Nusantara. Hal ini disebabkan karena tasawuf falsafi merupakan ajaran tasawuf yang pertama dibawa ke wilayah Nusantara. Walaupun terjadi perdebatan mengenai ajaran tasawuf tersebut, tetapi tasawuf tersebut telah menambah khazanah intelektual di Nusantara. 
B. SARAN
Masih banyak hal yang perlu dipelajari untuk lebih memahami sejarah dan corak Islam di Nusantara.  Sebagai seorang mahasiswa/i sudah seharusnya kita memahami sejarah dan corak Islam di Nusantara ini yang merupakan agama yang kita terapkan.



DAFTAR PUSTAKA

Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, cet. I.         
Umar. (2012). Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara
                                                                                 



[1] Umar. (2012). Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara
[3]Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

[5]Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
[7]Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH " THAHARAH"

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

MAKALAH Perkembangan Moral