MAKALAH PROSES MASUKNYA ISLAM DINUSANTARA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejakawalmasehikawasan Nusantara
telahberfungsisebagaijalurlintasperdaganganbagikawasan Asia Barat, Asia
Timurdan Asia Selatan.Kedatangan Islam di Nusantara penuhdenganperdebatan,
terdapattigamasalahpokok yang menjadiperdebatanparasejarawan.Pertama,
tempatasalkedatangan Islam.Kedua, parapembawanya.Ketiga, waktukedatanganya.
Namun, Islam telahmasuk, tumbuhdanberkembang di
wilayah Nusantara dengancukuppesat.Mengingatkedatangan Islam ke Nusantara yang
padasaatitusudahmemilikibudaya Hindu-Budha.Makahalinisangatmenggembirakankarena
Islam mampuberkembang di tengahkehidupanmasyarakat yang telahmemilikiakarbudaya
yang cukupkuatdan lama.
Kedatangan Islam kewilayah Nusantara
mengalamiberbagaicaradandinamika, antara lain denganperdagangan, pernikahan,
sosialbudaya, dansebagainya. Hal inimenyebabkanpertumbuhandanperkembangan Islam
di wilayahinimemilikicoraktersendiri.
Dalammakalahini, penulismembahastentangcorakawal Islam
Nusantara sampaiawalabad ke-17 danwacanasufistik; tasawuffalsafisampaiabad 17.
Bersamaan dengan itu, datang
pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka tidak hanya membeli
dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya menyebarkan agama
Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia ini bersamaan dengan
kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun belum tersebar secara intensif
ke seluruh wilayah Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dipaparkan di atas, rumusan masalah yangdidapat adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
proses perkembangan Islam di Nusantara
2. Bagaimana corak Islam di Nusantara
C. Tujuan
Adapun tujuan penulis dalam menyusun makalah ini tiada
lain adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui proses perkembangan Islam di Nusantara
2. Untuk mengetahui corak Islam di Nusantara
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses
Perkembangan Islam di Nusantara
Islam datang ke
Nusantara melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan, politik, tasawuf dan
kesenian. Berdasarkan berita Cina dari zaman Dinasti Tang, Islam masuk ke
Indonesia sekitar abad ke-7. Berita itu menyebutkan adanya serangan orang-orang
Ta shish terhadap Kerajaan Ho-Ling yang pada waktu itu diperintah oleh Ratu
Sima. Ta shih ini ditafsirkan sebagai orang-orang Arab. Hal itu diperkuat oleh
berita Jepang (784 M) yang menyebutkan tentangadanya perjalanan pendeta
Kanshih. Pendapat yang menyatakan Islam masuk ke Nusantara sekitar
abad ke-13 didasarkan pada berita Marcopolo (1292 M) dan berita Ibnu Battutah
(abad ke-14). Adanya batu nisan makam Sultan Malik As Saleh (1297), penyebar-an
ajaran tasawuf (abad ke-13), dan keruntuhan Dinasti Abbasiyah (1258 M). Dari
bukti-bukti itu bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 Masehi
yang mencapai perkembangannya pada abad ke-13. Hal itu ditandai dengan adanya
kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Indonesia.[1]
Proses penyebaran Islam di Indonesia
berjalan secara damai. Hal ini terjadi karena penyebaran Islam di Nusantara
dilaksanakan melalui penyesuaian diri dengan adat istiadat pendidikan tanpa
paksaan dan kekerasan. Itulah penyebab utama agama Islam mudah diterima oleh
masyarakat Indonesia. Faktor lainnya adalah karena agama Islam mengajarkan
persamaan derajat dan martabat manusia, tidak membeda-bedakan baik jenis
kelamin maupun kedudukan. Uka Tjandra Sasmita, menyatakan bahwa
proses masuknya Islam di Indonesia dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut:
1.
Perdagangan
Pada Abad ke-7 M, bangsa Indonesia
kedatangan para pedagang dari Arab, Persia dan India. Mereka telah mengambil
bagian dari kegiatan perdagangan di Indonesia. Hal itu, mengakibatkan adanya
jalinan hubungan dagang antara pedagang Indonesia dengan pedagang
Islam yang datang dari Arab, Persia dan India.
Kegiatan berdagang dilaksanakan
oleh seluruh umat Islam. Selama melakukan kegiatan dagang, para
pedagang Muslim juga melakukan kegiatan dakwah. Dakwah ini sangat efektif,
karena dakwah itu kemudian diteruskan oleh pedagang Indonesia yang telah masuk
Islam, ketika mereka berdagang ke tempat lain. Sasmita menyatakan banyak di
antara para pedagang Islam yang kemudian tinggal menetap di daerah pesisir di
pulau Jawa dan Sumatera.
2.
Perkawinan
Pedagang pada saat itu merupakan
orang yang dihormati dan memiliki kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat.
Kondisi ini mengakibatkan penduduk pribumi menginginkan untuk menikahkan
putri-putrinya dengan para pedagang tersebut, dengan terlebih dahulu mereka
diislamkan. Cara ini merupakan langkah efektif, karena dengan pernikahan ini
akan terlahir seorang anak yang muslim juga. Harapan lainnya, dengan pernikahan
akan terbentuk masyarakat sehingga suatu saat dapat terbentuk kerajaan dan
pemerintahan Islam.
Contoh peristiwa pernikahan antara
pedagang Islam dengan penduduk pribumi adalah perkawinan Raden Rakhmat atau
Sunan Ampel dengan Nya Manila, perkawinan Sunan Gunung Djati dengan putri
Kawungaten, perkawinan antara Raja Brawijaya dengan putri Jeumpa yang bergama
Islam yang kemudian berputra Raden Patah yang menjadi Raja Demak.
3.
Politik
Islamisasi jalur politik dilakukan
secara berkesinambungan antara penguasa dan pemerintahan. Setelah penguasa atau
raja masuk Islam, hampir dapat dipastikan bahwa rakyatnya juga masuk Islam.
Misalnya yang terjadi di Maluku dan Sulawesi. Hal itu terjadi karena masyarakat
memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap pemerintah, dan seorang raja akan
menjadi panutan bahkan menjadi contoh bagi rakyatnya.[2]
Di Jawa proses perkaninan para wali
dan juru dakwah dengan putri-putri keturunan kerajaan, membuat status dakwah
dan penyebaran Islam mendapatkan perlindungan dan berkembang lebih cepat.
Setelah raja dan rakyat memeluk Islam, kepentingan politik dilakukan dengan
cara perluasan wilayah kerajaan, yang diikuti dengan penyebaran agama Islam.
Misalnya Sultan Demak yang mengirimkan pasukan di bawah komandi Fatahillah
untuk menguasai wilayah Jawa Barat dan menyebarkan Islam di wilayah tersebut.
4.
Pendidikan
Islamisasi jalur pendidikan dilakukan
melalui pendidikan pesantren oleh para guru agama, kiyai dan ulama. Bahkan
banyak diantara para santri itu yang mendirikan dan memiliki pondok pesantren
sendiri.
Tujuan pendidikan di pondok pesantren
adalah untuk mempermudah penyebaran dan pemahaman agama Islam. Contoh pesantren
perintis penyebaran Islam seperti pesantren yang didirikan oleh Raden Rakhmat
di Ample Denta-Surabaya, Pesantren Sunan Giti di Giri. Santri yang belajar di
pesantren tersebut bukan hanya berasal dari lingkungan sekitar, akan tetapi banyak
yang datang dari jauh bahkan dari luar pulau jawa semisal Kalimantan, Maluku,
Makasar dan Sumatera.
5.
Tasawuf
Para sufi mengajarkan tasawuf yang
diramu dengan ajaran yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Seorang sufi
biasa dikenal dengan gaya hidup yang penuh kesederhanaan. Seorang sufi biasa
menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah
masyarakat. Para sufi terbiasa membantu masyarakat, diantara mereka ada yang
ahli dalam menyembuhkan penyakit. Selain itu juga aktif menyiarkan dan
mengajarkan ajaran Islam. Diantara para sufi itu yang melakukan islamisasi
dengan pendekatan tasawuf adalah Hamzah Fansuri dari Aceh dan Ki Ageng Pengging
di Jawa.[3]
6.
Kesenian
Islamisasi jalur kesenian yang paling
terkenal adalah dengan cara mengadakan pertunjukan seni gamelan dan wayang.
Cara ini banyak ditemukan di kawasan Yogyakarta, Solo, Cirebon. Seni wayang,
adalah kesenian yang memiliki banyak penggemar pada saat itu. Dengan mengemas
cerita wayang, para ulama menyisipkan ajaran Islam ke dalamnya sehingga
masyarakat dapat dengan mudah menangkap dan memahami ajaran Islam. Contoh
pertunjukan wayang yang dilaskanakan oleh Sunan Kalijaga, dimana dalam
pertunjukannya masyarakat dapat menonton dengan karcis membaca dua kalimat
syahadat.
Kesenian lainnya yang juga berkembang dan menjadi jalur dalam penyebaran Islam adalah seni bangunan, seni rupa (kaligrafi), seni tarik suara, permainan anak-anak.
Kesenian lainnya yang juga berkembang dan menjadi jalur dalam penyebaran Islam adalah seni bangunan, seni rupa (kaligrafi), seni tarik suara, permainan anak-anak.
Selain beberapa cara di atas, ada
beberapa faktor yang menjadi sebab kenapa Islam mudah berkembang di tanah air,
yaitu:[4]
a. Agama Islam bersifat terbuka
sehingga penyiaran dan pengajaran agama Islam dapat dilakukan oleh setiap orang
Islam;
b. Penyebaran agama Islam
dilakukan dengan cara damai;
c. Islam tidak mengenal
diskriminasi dan tidak membedakan kedudukan seseorang dalam masyarakat;
d. Perayaan-perayaan dalam agama
Islam dilakukan dengan sederhana;
Dalam Islam dikenal adanya kewajiban bagi orang yang mampu untuk mengeluarkan zakat. Zakat ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan kepedulian hidup di masyarakat
Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan cara yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim terorganisir. Namun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa Barat dan kerajaan Majapahit di Jawa Timurditaklukkan oleh Muslim Jawa. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim di abad ke-16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang Hindu-Buddha sering berperang. Penyebaran terorganisir Islam juga terbukti dengan adanya Wali Sanga (sembilan orang suci) yang diakui mempunyai andil besar dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini.[5]
1. Malaka
Didirikan sekitar awal abad ke-15, negara perdagangan Melayu Kesultanan Malaka (sekarang bagian Malaysia) didirikan oleh Sultan Parameswara, sebagai pusat perdagangan paling penting di kepulauan Asia Tenggara, pusat kedatangan Muslim asing, dan dengan demikian muncul sebagai pendukung penyebaran Islam di Nusantara. Parameswara sendiri diketahui telah dikonversike Islam, dan mengambil nama Iskandar Shah setelah kedatanganLaksamana Cheng Ho yang merupakan Suku Hui muslim dari negeri China. Di Malaka dan di tempat lain batu-batu nisan bertahan dan menunjukkan tidak hanya penyebaran Islam di kepulauan Melayu, tetapi juga sebagai agama dari sejumlah budaya dan penguasa mereka pada akhir abad ke-15.
2. Sumatera Utara
Bukti yang lebih kuat mendokumentasikan transisi budaya yang berlanjut berasal dari dua batu nisan akhir abad ke-14 dari Minye Tujoh di Sumatera Utara, masing-masing dengan tulisan Islam tetapi dengan jenis karakter India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan di Brunei, Trengganu(timur laut Malaysia) dan Jawa Timur adalah bukti penyebaran Islam. Batu Trengganu memiliki dominasi bahasa Sansekerta atas kata-kata Arab, menunjukkan representasi pengenalan hukum Islam.
Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut di Utara pulau Sumatera didokumentasikan oleh kuburan-kuburan akhir abad ke-15 dan ke-16 termasuk sultan pertama dan kedua Kesultanan Pedir (sekarang Pidie), Muzaffar Syah, dimakamkan 902 H (1497 M) dan Ma'ruf Syah, dimakamkan 917 H (1511 M). Kesultanan Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan kemudian akan menjadi negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang paling kuat di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan Aceh adalah Ali Mughayat Syah yang nisannya bertanggal tahun 936 H (1530 M).
Buku ahli pengobatan Portugis Tome Pires yang mendokumentasikan pengamatannya atas Jawa dan Sumatera dari kunjungannya tahun 1512-1515, dianggap salah satu sumber yang paling penting tentang penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat tersebut, menurut Piers, kebanyakan raja di Sumatera adalah Muslim, dari Aceh dan ke selatan sepanjang pantai timur ke Palembang, para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatera dan ke pantai barat, sebagian besar bukan. Di kerajaan lain Sumatera, seperti Pasai dan Minangkabau penguasanya adalah Muslim meskipun pada tahap itu warga mereka dan orang-orang di daerah tetangga bukan. Bagaimanapun, dilaporkan oleh Pires bahwa agama Islam terus memperoleh penganut baru.
Setelah kedatangan rombongan kolonial Portugis dan ketegangan yang mengikuti tentang kekuasaan atas perdagangan rempah-rempah, Sultan Aceh Alauddin al-Kahar(1539-1571) mengirimkan dutanya ke Sultan Kesultanan Utsmaniyah, Suleiman I tahun 1564, meminta dukungan Utsmaniyah melawan Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian dikirim laksamana mereka, Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar dengan kekuatan 22 kapal membawa tentara, peralatan militer dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan yang ditulis oleh Laksamana Portugis Fernão Mendes Pinto, armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan Muslim dari pelabuhan Samudera Hindia.
3. Jawa Tengah dan Jawa Timur
Prasasti-prasasti dalam aksara Jawa Kuno, bukan bahasa Arab, ditemukan pada banyak serangkaian batu nisan bertanggal sampai 1369 M di Jawa Timur, menunjukkan bahwa mereka hampir pasti adalah Jawa pribumi, bukan Muslim asing. Karena dekorasi rumit dan kedekatan dengan lokasi bekas ibukota kerajaan Hindu-Buddha Majapahit,Louis-Charles Damais (peneliti dan sejarawan) menyimpulkan bahwa makam ini adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang sangat terhormat, bahkan mungkin keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa elit Kerajaan Majapahit di Jawa telah memeluk Islam pada saat Majapahit yang merupakan Kerajaan Hindu-Buddha berada di puncak kejayaannya.
Ricklefs (1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur ini, berlokasi dan bertanggal di wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan pandangan lama bahwa Islam di Jawa berasal dari pantai dan mewakili oposisi politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan dengan kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun kemungkinan adanya abdi dalem keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta pedagang masih sebatas dugaan. Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi mistisisme dan mungkin mengklaim mempunyai kekuatan gaib, lebih mungkin untuk diduga sebagai agen konversi agama para elit istana Jawa yang sudah lama akrab dengan aspek mistisisme Hindu dan Buddha.
Pada awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku Jawahidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di pedalaman Jawa Timur di Daha (sekarang Kediri). Namun daerah pesisir seperti Surabaya, telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan daerah pedalaman, kecuali Tuban, yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah di pesisir tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke Islam, atau wilayah Tionghoa Muslim, India, Arab dan Melayu yang menetap dan mendirikan negara perdagangan mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan mereka tersebut begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya tersebut dan dengan demikian mereka menjadi "Jawa". Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman ini juga terus berlanjut lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan permusuhan ini juga terus berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.
Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas. Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa lima puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin memang telah diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum orang Jawa pesisir.
Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik, pelabuhan di Jawa Timur dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun bagaimanapun, dia adalah orang asing non-Jawa, dan batu nisannya tidak memberikan bukti konversi pesisir Jawa. Namun Malik Ibrahim, menurut tradisi Jawa adalah salah satu dari sembilan rasul Islam di Jawa (disebut Wali Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang tradisi ini. Pada abad ke-15-an, Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa berada di penurunan. Setelah dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan Demak pada tahun 1520.
4. Jawa Barat
Suma Oriental ("Dunia Timur") yang ditulis Tome Pires melaporkan juga bahwa Suku Sunda di Jawa Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan memang memusuhi Islam.Sebuah penaklukan oleh Muslim di daerah ini terjadi pada abad ke 16. Dalam studinya tentangKesultanan Banten,Martin van Bruinessen berfokus pada hubungan antara mistik dan keluarga kerajaan, mengkontraskan bahwa proses Islamisasi dengan yang yang berlaku di tempat lain di Pulau Jawa: "Dalam kasus Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan "tarekat" tidak dengan perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan magis dan legitimasi politik." Ia menyajikan bukti bahwa Sunan Gunungjatidiinisiasi ke dalam aliran "Kubra", "Shattari", dan "Naqsyabandiyah" dari sufisme.
5. Daerah lain
Tidak ada bukti dari penerapan Islam oleh orang Nusantara sebelum abad ke-16 di daerahluarPulauJawa,PulauSumatera,Kesultanan Ternatedan Tidore di Maluku, dan Kesultanan Brunei dan Semenanjung Melayu.
B. Corak Islam di Nusantara
Islam datang
ke Nusantara diperkirakan sekitar abad ke-7, kemudian mengalami perkembangan
dan mengislamisasi diperkirakan pada abad ke-13. Awal kedatangannya diduga
akibat hubungan dagang antara pedagang-pedagang Arab dari Timur Tengah atau
dari wilayah sekitar India, dengan kerjaan-kerajaan di Nusantara.
Perkembangannya pada abad ke-13 sampai awal abad ke-15 ditandai dengan
banyaknya pemukiman muslim baik di Sumatera maupun di Jawa seperti
dipesisir-pesisirpantai.Pada awal penyebarannya Islam tampak berkembang pesat
di wilayah-wilayah yang tidak banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha, seperti
Aceh, Minangkabau, Banten, Makassar, Maluku, serta wilayah-wilayah lain yang
para penguasa lokalnya memiliki akses langsung kepada peradaban kosmopolitan
berkat maraknya perdagangan antar bangsa ketika itu. Menurut penulis pendapat
ini kurang kuat karena bertolak belakang dengan pendapat yang menyatakan bahwa
Nusantara sebelum kedatangan Islam dipengaruhi oleh budaya Hindu Budha. Selain
itu, pendapat ini tidak memiliki bukti yang cukup kuat. Kemunculan dan
perkembangan Islam di kawasan Nusantara menimbulkan transformasi kebudayaan
(peradaban) lokal.[6]
Tranformasi
melalui pergantian agama dimungkinkan karena Islam selain menekankan keimanan
yang benar, juga mementingkan tingkah laku dan pengamalan yang baik, yang
diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Terjadinya
transformasi kebudayaan (peradaban) dari sistem keagamaan lokal kepada sistem
keagamaan Islam bisa disebut revolusi agama. Transformasi masyarakat kepada
Islam terjadi bersamaan dengan “masa perdagangan,” masa ketika Asia Tenggara mengalami
peningkatan posisi dalam perdagangan Timur-Barat. Kota-kota wilayah pesisir
muncul dan berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan, kekayaan dan kekuasaan.
Masa ini mengantarkan wilayah Nusantara ke dalam internasionalisasi perdagangan
dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan
ini pada masa-masa sebelumnya. Konversi massal masyarakat Nusantara kepada
Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab sebagai berikut:[7]
1. Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
1. Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
Sebelum
Islam datang, sistem kepercayaan lokal berpusat kepada penyembahan arwah nenek
moyang yang tidak siap pakai. Oleh karena itu, sistem kepercayaan kepada Tuhan
yang berada di mana-mana dan siap memberikan perlindungan di manapun mereka
berada, mereka temukan di dalam Islam.
2. Asosiasi Islam dengan kekayaan.
Ketika
penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan pedagang Muslim yang
kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peran
penting dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatik.
3. Kejayaan militer.
Orang Muslim
dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa pertempuran yang dialami dan dimenangkan oleh kaum Muslim.
4. Memperkenalkan tulisan.
Agama Islam
memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara (Nusantara) yang
sebagian belum mengenal tulisan, dan sebagian sudah mengenal tulisan sanskerta.
Tulisan yang diperkenalkan adalah tulisan Arab.
5. Mengajarkan penghapalan.
Para penyebar Islam menyandarkan otoritas
sakral. Ajaran Islam yang mengandung kebenaran dirancang dalam bentuk –bentuk
yang mudah dipahami dan dihafalkan oleh penganut baru. Karena itulah, hafalan
menjadi sangat penting bagi para penganut baru yang semakin banyak jumlahnya.
6. Kepandaian dalam penyembuhan.
6. Kepandaian dalam penyembuhan.
Karena
penyakit selalu dikaitkan dengan sebab-sebab spiritual, maka agama dipandang
mempunyai jawaban terhadap berbagai penyakit dan ini menjadi jalan untuk
pengembang sebuah agama yang baru (Islam). Contohnya, Raja Patani menjadi
muslim setelah disembuhkan penyakitnya oleh seorang ulama dari Pasai.
7. Pengajaran tentang moral.
Islam
menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat. Ini terangkum dalam moral
dunia yang diprediksi bahwa orang-orang yang taat akan dilindungi Tuhan dari
segala kekuatan jahat dan akan diberi imbalan surga di akhirat. Melalui
sebab-sebab itu, Islam cepat mendapat pengikut yang banyak. Menurut Azra, semua
daya tarik tersebut mendorong terjadinya “Revolusi keagamaan”. Adapun corak awal
Islam dipengaruhi oleh tasawuf, antara lain terlihat dalam berbagai aspek
berikut:
a). Aspek Politik
Dengan cara
perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural
masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat.
Ditambah lagi kalangan pedagang yang mempunyai orientasi kosmopolitan,
panggilan Islam ini kemudian menjadi dorongan untuk mengambil alih kekuasaan
politik dari tangan penguasa yang masih kafir.
Menurut
penulis, pengambil alihan kekuasaan dari penguasa yang masih kafir ini
merupakan konflik yang terjadi antara rakyat dengan penguasa. Karena, rakyat
yang sudah memeluk agama Islam, menginginkan kehidupan yang adil di bawah
pimpinan yang adil pula. Maka dalam hal ini, keadilan tersebut akan sangat
mungkin didapatkan apabila pemimpin sudah memeluk Islam dan melaksanakan
ajarannya.
Islam
semakin tersosialisasi dalam masyarakat Nusantara dengan mulai terbentuknya
pusat kekuasaan Islam. Kerajaan Samudera Pasai diyakini sebagai kerajaan Islam
pertama di Indonesia. Bukti paling kuat yang menjelaskan tentang itu adalah
ditemukannya makam Malik al-Shaleh yang terletak di kecamatan Samudera di Aceh
Utara. Makam tersebut menyebutkan bahwa, Malik al-Shaleh wafat pada bulan
Ramadhan 696 H/ 1297 M. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu Malik,
Malik al-Shaleh digambarkan sebagai penguasa pertama kerajaan Samudera Pasai.
Pada tahap-tahap selanjutnya, banyak kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di
wilayah Nusantara, seperti kerajaan Aceh, Demak, Pajang, Mataram, Ternate,
Tidore, dan sebagainya.
Menurut
penulis, banyaknya kerajaan Islam yang berdiri di wilayah Nusantara tidak
terlepas dari adanya peran para ulama yang dekat dengan Raja. Dengan demikian,
terjadi kontak antara Raja dengan ulama, yang selanjutnya mengislamkan raja
kemudian diikuti oleh rakyatnya. Pada tahap berikutnya, raja yang muslimpun akan
membantu penyebaran dan pengembangan agama Islam ke wilayah-wilayah di
Nusantara, dan diikuti dengan banyaknya kerajaan Islam yang berdiri.
b). Aspek Hukum
Adanya
sebuah kerajaan, akan melahirkan undang-undang untuk mengatur jalannya
kehidupan di sebuah kerajaan. Karena dengan undang-undang inilah masyarakat
akan diatur.
Sebelum
masuknya Nusantara, telah ada sistem hukum yang bersumber dari hukum Hindu dan
tradisi lokal (hukum adat). Berbagai perkara dalam masyarakat diselesaikan
dengan kedua hukum tersebut. Setelah agama Islam masuk, terjadi perubahan tata
hukum. Hukum Islam berhasil menggantikan hukum Hindu di samping berusaha
memasukkan pengaruh ke dalam masyarakat dengan mendesak hukum adat, meskipun
dalam batas-batas tertentu hukum adat masih tetap bertahan. Pengaruh hukum
Islam tampak jelas dalam beberapa segi kehidupan dan berhasil mengambil
kedudukan yang tetap bagi penganutnya.
Berbagai
kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara yang
menjadi panduan hukum bagi negara dan masyarakat, memang bersumber dari
kitab-kitab karya ulama Sunni di berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di
Timur Tengah. Kitab undang-undang Melayu menunjukkan ajaran-ajaran syari’ah
sebagai bagian integral dalam pembinaan tradisi politik di kawasan ini.
Sebagai
contoh, yaitu kitab Undang-Undang Melaka. Kitab undang-undang ini menunjukkan
kuatnya pengaruh unsur-unsur hukum Islam, khususnya yang berasal dari Mazhab
Syafi’i. Undang-Undang Melaka pada intinya meletakkan beberapa prinsip
pertemuan antara hukum Islam dan adat setempat. Pertama, gagasan tentang
kekuasaan dan dan sifat daulat ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Kedua, pemeliharaan ketertiban umum dan penyelesaian perkara hukum didasarkan
pada ketentuan-ketentuan Islam dan adat. Ketiga, hukum kekeluargaan pada
umumnya didasarkan pada ketentuan-ketentuan fiqh Islam. Keempat, hukum dagang
dirumuskan berdasarkan praktek perdagangan kaum Muslimin. Kelima, hukum yang
berkaitan dengan kepemilikan tanah umumnya berdasarkan adat.
Dengan
demikian, dalam perkembangan tradisi politik Melayu di Nusantara, pembinaan
hukum dilakukan dengan mengambil prinsip-prinsip hukum Islam, dan
mempertahankan ketentuan-ketentuan adat yang dipandang tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
c). Aspek Bahasa
Kedalaman
pengaruh bahasa Arab dalam politik Islam di Asia Tenggara (nusantara) tidak
diragukan lagi banyak berkaitan dengan sifat penyebaran Islam di kawasan,
khususnya pada masa-masa awal. Hal ini berbeda dengan Islamisasi di wilayah
Persia dan Turki yang melibatkan penggunaan militer, Islamisasi di Nusantara pada
umumnya berlangsung damai.
Konsekuensi
dari sifat proses penyebaran itu sudah jelas. Wilayah Muslim Asia Tenggara
(Nusantara) menerima Islam secara berangsur-angsur. Dengan demikian, Muslim Melayu
tidak mengadopsi budaya Arab secara keseluruhan, bahkan warna lokal cukup
menonjol dalam perjalanan Islam di kawasan ini.
Walaupun kurang terarabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan sosial keagamaan kaum Muslim. Berbagai suku bangsa Melayu tidak hanya mengadopsi peristilahan Arab, tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikit banyak disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal.
Walaupun kurang terarabisasi, bahasa Arab memainkan peran penting dalam kehidupan sosial keagamaan kaum Muslim. Berbagai suku bangsa Melayu tidak hanya mengadopsi peristilahan Arab, tetapi juga aksara Arab yang kemudian sedikit banyak disesuaikan dengan kebutuhan lidah lokal.
Dari aspek
tersebut, kemunculan Islam dan penerimaan aksara Arab merupakan langkah
signifikan bagi sebagian penduduk di Nusantara untuk masuk ke dalam kebudayaan
tulisan. Selanjutnya, hal tersebut melahirkan tulisan yang dikenal dengan
akasara Arab Melayu atau aksara Arab Jawi.
Ketiga aspek
tersebut yang dipengaruhi oleh Islam, hal tersebut menjadi corak Islam yang
terus berkembang hingga abad ke 17. Hal ini menunjukkan kehidupan beragama
Islam sangat terasa pada masa tersebut.
BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Islam datang ke Nusantara
melalui perdagangan, perkawinan, pendidikan, politik, tasawuf dan kesenian. Proses penyebaran Islam di
Indonesia berjalan secara damai. Hal ini terjadi karena penyebaran Islam di
Nusantara dilaksanakan melalui penyesuaian diri dengan adat istiadat pendidikan
tanpa paksaan dan kekerasan. Itulah penyebab utama agama Islam mudah diterima
oleh masyarakat Indonesia. Penyebaran menurut wilayah antara lain: Malaka,
Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta Jawa Barat.
2. Kedatangan Islam ke Nusantara
telah memberikan pencerahan dan membawa dampak yang positif bagi masyarakat
pribumi Nusantara. Hal ini telah memunculkan sebuah peradaban baru bagi dunia
Islam. Peradaban baru tersebut tidak terlepas dari corak dan karakteristik yang
dimiliki oleh budaya masyarakat di Nusantara. Tasawuf falsafi memang merupakan
salah satu bentuk ajaran tasawuf yang pernah berkembang di wilayah Nusantara.
Hal ini disebabkan karena tasawuf falsafi merupakan ajaran tasawuf yang pertama
dibawa ke wilayah Nusantara. Walaupun terjadi perdebatan mengenai ajaran
tasawuf tersebut, tetapi tasawuf tersebut telah menambah khazanah intelektual
di Nusantara.
B. SARAN
Masih banyak
hal yang perlu dipelajari untuk lebih memahami sejarah dan corak Islam di
Nusantara. Sebagai seorang mahasiswa/i
sudah seharusnya kita memahami sejarah dan corak Islam di Nusantara ini yang
merupakan agama yang kita terapkan.
DAFTAR PUSTAKA
http://umarohsiti80.blogspot.com/2012/12/sejarah-perkembangan-islam-di-nusantara.html
(13 Maret 2018)
Simuh, Tasawuf Dan
Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Thohir,
Ajid, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-Akar
Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004, cet. I.
Umar. (2012). Sejarah Perkembangan Islam
di Nusantara
[1] Umar. (2012). Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara
[3]Simuh,
Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1997.
[4]http://umarohsiti80.blogspot.com/2012/12/sejarah-perkembangan-islam-di-nusantara.html
(13 Maret 2018)
[5]Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005.
[7]Thohir,
Ajid, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-Akar
Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam.
Komentar
Posting Komentar