MAKALAH ASPEK PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya lah sehingga
tugas Makalah yang berjudul “Aspek Pembaharuan Dalam Islam’’ ini dapat kami
selesaikan. Tidak lupa kita sampaikan shalawat pada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman islamiah.
Makalah ini kami buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas kelompok Studi
Islam 2.
Makalah ini disusun dalam rangka memberikan
perdalaman materi pembelajaran tentang pengertian Pembaharuan Dalam Islam,
perbedaannnya dengan modernisasi, reformasi, revitalisasi, rekonstruksi,
reaktualisasi, dan reinterpretasi, latar belakang lahirnya Pembaharuan Dalam
Islam, pro dan kontra, tokoh-tokoh, pembaharuan dalam islam, serta manfaat
pembaharuan islam bagi kemajuan islam.
Karena adanya keterbatasan pengetahuan dari
kami semua, mungkin makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah
ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca, kurang dan
lebihnya kami mohon maaf. Terimakasih.
Ciputat, 20 Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pembaharuan Islam
2.2 Perbedaan pembaharuan islam
dengan modernisasi, reformasi, revitalisasi, rekonstruksi, reaktualisasi, dan
reinterpretasi
A. Modernisasi
B. Reformasi
C. Revitalisasi
D. Rekonstruksi
E. Reinterpretasi
F. Reaktualisasi
2.3 Latar Belakang Pemikiran Dan
Pembaharuan Islam
A. Periode klasik (650-1250M)
B. Periode Pertengahan (1250-1800M)
C. Periode Modern (1800M-Sekarang)
D. Perkembangan Islam Pada Masa
Modern pada Berbagai Bidang
2.4
Tokoh- Tokoh Pembaharu Islam dan Manfaatnya Bagi Kemajuan Umat Islam.
A. M. Ibn Abd al-Wahhab dan Gerakan
Wahabiyah
B. Napoleon Bonaparte
C. Jamaluddin al-Afghani
D. Muhammad Rasyid Rida
E. Mustafa Kamil
BAB III PENUTUP
1.3 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembaharuan dalam islam dikenal juga
dengan modernisasi islam, yang mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran yang
terdapat dalam agama dengan ilmu pengetahuan dan Falsafah modern, tetapi perlu
diingat bahwa dalam islam ada ajaran yang tidak bersifat mutlak, yaitu
penafsiran atau interpretasi dari ajaran-ajaran yang bersifat abadi dari masa
ke masa. Dengan kata lain pembaharuan mengenai ajaran-ajaran yang bersifat
mutlak tak dapat diadakan karena sudah tidak bisa lagi diganggu gugat seperti
pada hukum- hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an. Pembaharuan dapat dilakukan
dengan meninjau kembali beberapa aspek yang memang memerlukan untuk
diperbaharui seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern sehingga
mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti sekarang ini.
Rumusan Masalah
Apakah itu pembaharuan dalam islam?
Apakah perbedaan pembaharuan islam
dengan modernisasi, reformasi, revitalisasi, rekonstruksi, reaktualisasi, dan
reinterpretasi?
Seperti apakah latar belakang
lahirnya pembaharuan dalam islam dan Seperti apakah pro dan kontra pembaharuan
dalam islam?
Siapa saja tokoh-tokoh pembaharuan
dalam islam dan apakah ada manfaatnya bagi kemajuan umat Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pembaharuan Islam
Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan
“jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Dalam
kosa kata Islam kata pembaruan digunakan kata tajdid yang berasal dari kata
jadid. Kemudian terdapat berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi
makna dengan pembaharuan yaitu modernisasi, reformisasi, revitalisasi, dan
lainnya. Selain kata tajdid ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang
kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan
sebagai “pembaharuan” dan islah sebagai “perubahan”. Kedua kata tersebut secara
bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya
menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek-prakteknya dalam komunitas
kaum muslimin.
Pembaharuan berarti proses atau
kegiatan memperbaiki supaya menjadi baru. Hans Wehr mengartikan; renewal,
creation of something new, innovation, reorganization, reform, modernization,
renovation, restoration etc. Jadi, seluruh kegiatan memperbaharui, menata
kembali, dan mengubah disebut pembaharuan. Pembaharuan dalam Islam berarti
pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.
Berkaitan dengan pengertian tersebut,
maka pembaharuan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau
fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaharuan Islam bukan dimaksudkan
untuk mengubah, memodifikasi, ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip
Islam supaya sesuai dengan selera zaman, melainkan lebih berkaitan dengan
penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar yaitu Al-Qur’an dan
Hadis agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan. Maka dapat dipahami bahwa
pembaruan merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan sosial.
Pokok- pokok pembaharuan Islam penting ditegaskan karena beberapa hal. Pertama,
di tengah situasi zaman yang kian kompleks, kita tak cukup hanya bersandar pada
pikiran-pikiran keislaman lama yang sudah tidak relevan dengan konteks zaman.
Sebab, apa yang dirumuskan ulama terdahulu mungkin telah berhasil memecahkan
masalah di masa lalu, tapi belum tentu terampil menyelesaikan masalah di masa
kini. Kedua, di tengah berbagai usaha yang mengerdilkan Al-Qur’an, kita
membutuhkan cara pandang baru terhadap Al-Qur’an. Ketiga, sejumlah orang hendak
menjadikan Islam sebagai lading persemaian diskriminasi dan dehumanisasi. Kita
menyaksikan kian tingginya diskriminasi terhadap perempuan, misalnya. Keempat,
“perang” telah mendominasi diskursus umat Islam belakangan.
Di Indonesia sebelum ide pembaharuan
atang telah terlebih dahulu masuk gera2an pemurnian wahabiah di minangkabau.
Ide wahabiah itu dibawa oleh haji-haji yang pulang dari mekah, diantaranya haji
miskin. Gerakan wahabiah di minangkabau ini dalam sejarah Indonesia dikenal
dengan gerakan padre melawan adat-istiadat minangkabau yang bertentangan dengan
ajaran islam. Kaum adat maminta bantuan belanda dan akhirnya pecahlah perang
padri dipermulaan abad ke 19.
Ide-ide pembaharuan masuk ke Indonesia
dipermulaan abad ke 20 melalui majalah al-imam yang diterbitkan di Malaysia
oleh Said Muhammad Agil, Syekh Muhammmad Al-kalali dan Syekh Taher Jalaluddin.
Yang tersebut akhir ini pernah meeruskan studi di Al-Azhar,Cairo. al-imam mengandung ide-ide pembaharuan yang terdapat
dalam majalah al-manar kepunyaan Rasyid Rida. Pengaruhnya kelihatan di padang
tempat lahirnya majalah Al-munir di tahun 1911 M, dibawah asuhan H. Abdullah
Ahmad, H. Abdul Karim Amrullah dan H. Muhammad Taib.
Di Jakarta jamiat khair yang didirikan tahun
1901 M mempunyai sekolah yang ke dalam kurikulumnya dimasukan bahasa ilmu
pengetahuan barat. Siswanya kemudian dikirim ke Istanbul untuk meneruskan
studi. Atas undangan perkumpulan ini datang ke Indonesia seorang ulama dari
sudan bernama Syekh Ahmad Surkati. Ulama ini termasuk salah satu dari
pengikut-pengikut Muhammad Abduh.
Syekh Ahmad Surkati kemudian membentuk
perkumpulan baru bernama al-islah wa al irsyad, yang juga mempunyai sekolah di
Jakarta dan majalah Al-zakhirah. Di sekolah itu ide-ide pembaharuan dijalankan
sedang Al-zakhirah menyiarkan ide-ide itu ke dalam masyarakat.
Usaha yang dilakukan pembaharu- pembaharu
diatas pengaruhnya terbatas. Pembaharu yang kemudian besar pengaruhnya dalam
gerakan pembaharuan di Indonesia adalah
Kyai H. Ahmad Dahlan, bapak muhammadiyah yang didirikan pada di tahun 1912 M.
melalui sekolah-sekolah muhammadiyah yang terdapat di seluruh pelosok tanah
air, ide pembaharuan memasuki masyarakat umat islam Indonesia. Karena banyak
dipengaruhi aliran Rasyid Rida, dalam pembaharuan muhammadiyah terdapat
unsure-unsur dari ajaran pemurniah wahabiah. Selanjutnya pemuka-pemuka
muhammadiyah yang berasal dari minangkabau sedikit banyaknya terpengaruh juda
oleh aliran padre yang ada disana.
Dalam sejarah pembaharuan di Indonesia tidak
dapat dilupakan nama H. Agus Salim yang banyak mempunyai pengaruh pada golongan
intelejensia islam Indonesia yang berpendidikan barat. Demikian juga Said Umar
cokroaminoto dengan sarekat islamnya dan Hasan Bandung dengan persisnya.
Nahdlatul Ulama, jami’atul Washilah dan lain-lain juga tidak dapat menutup
pintunya terhadap ide-ide pembaharuan.
Indonesia lebih banyak dipengaruhi ole
hide-ide pembaharuan yang timbul di mesir daripada yang timbul di turki dan
india, ialah karena bahasa arab merupakan bahasa internasional dunia islam.
Sedang bahasa turki dan urdu tidak. Bahasa inggris yang dipakai pembaharu- pembaharu india, dimasa yang
lampau kurang dikenal di Indonesia. Disamping sebab tersebut diatas mesir
berlainan dengan turkidan india, merupakan kiblat uamat islam untuk memperdalam
ilmu pengetahuan keagamaan, Al-Azhar mempunyai pengaruh diseluruh dunia islam.
2.2 Perbedaan pembaharuan islam
dengan modernisasi, reformasi, revitalisasi, rekonstruksi, reaktualisasi, dan
reinterpretasi
Modernisasi
Modernisasi adalah pengenalan
artefak-artefak kehidupan masa kini ke dalam masyarakat, contoh : rel kereta
api, komunikasi, industri, teknologi, dan peralatan rumah tangga.5
Modernisasi merupakan proses yang
mengarah pada modernitas, yang berawal ketika suatu masyarakat mulai mengambil
sikap ingin tahu mengenai bagaimana orang membuat pilihan, baik itu pilihan
moral, pribadi, ekonomi, maupun politik.6 Modernitas (modernisme) adalah
pengertian umum mengenai proses kultural dan proses politis yang timbul dari
upaya untuk mengintegrasikan gagasan baru, sistem ekonomi, atau pendidikan ke
dalam masyarakat.7 Modernisme merupakan cara berpikir, cara hidup dalam dunia
kontemporer, dan cara menerima perubahan.
Pada akhir abad kesembilan belas,
munculah sebuah pemikiran Barat. Pemikiran Barat merupakan pemikiran
materi-naturalis di mana puncaknya ialah imperialisme Barat terhadap negara
negara Islam dan negara yang memiliki kekayaan alam di Asia dan Afrika demi kepentingan
industri Eropa. Pemikiran materialis ini dasarnya mengagung-agungkan kekuatan
materi, fenomena kemajuan dan interpretasi ekonomi terhadap sejarah manusia.
Juga mempersempit peranan spiritualisme agama, kemanusiaan yang ideal dan
moralisme religius. 8Pada abad tersebut, terdapat sebuah keyakinan bahwa modern
adalah kemajuan dan milik orang Eropa (Barat) dan yang tradisional adalah
tebelakang dan non-Eropa.9
Proses modernitas yang memuat
berbagai macam pembaharuan-pembaharuan secara mendalam akan mempengaruhi gaya
hidup masyarakat dan nilai-nila yang dianut dan dijunjung tinggi oleh
masyarakat.10 Pembaharuan – pembaharuan tersebut sedikit demi sedikit akan
mengikis nilai – nilai dalam masyarakat bahkan dapat menghilangkannya secara
keseluruhan. Namun ada juga masyarakat yang sama sekali tidak terpengaruh
dengan adanya pembaharuan – pembaharuan tersebut dan tetap mempertahankan gaya
hidup tradisional.
Pembaharuan dalam Islam sangat
Identik dengan modernisasi. Pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan oleh kaum
intelektual muslim bertujuan untuk mengembangkan pandangan islam yang sesuai
dengan pemikiran dan institusi-institusi modern, namun tetap berpijak pada
tradisi dan dasar-dasar islam, demi pemurnian islam dan ketaatan pada Syari’ah
(hukum). Persamaan Modernisasi dan Pembaharuan dalam Islam terletak pada
kesamaan dalam hal bergerak ke arah yang lebih maju. Keduanya mengusung konsep
transformasi dari keadaan yang kurang baik ke arah yang lebih baik dengan
harapan terwujudnya tatanan masyarakat yang makmur.
Jamaluddin Al-Afghani, seorang
aktivis yang merupakan guru dari Muhammad Abduh –salah satu tokoh pembaharu
Islam-, mengemukakan bahwa islam harus aktif dan bersemangat. Islam, menurut
Al-Afghani yang paling utama adalah sebuah keyakinan terhadap transendensi
Tuhan dan akal, dan tugas manusia adalah menerapkan prinsip – prinsip Al-Qu’ran
dalam cara yang baru untuk mengatasi masalah-masalah baru di zaman mereka. Kaum
muslimin harus menerima kebutuhan akan perubahan yang bersandarkan pada prinsp
– prinsip islam.11
Meskipun pembaharuan dalam Islam dan
Modernisasi adalah hal yang relatif identik, namun keduanya memiliki perbedaan
yang fundamental. Modernisasi adalah perubahan sosial yang apabila dirunut dari
sejarah, pada mulanya modernisasi berporos pada Eropa dengan industrialisasi
dan komersialisasi atau komodifikasi. Modernisasi lebih mengunggulkan kekuatan
materi dan memperkecil makna spiritualisme atau kemusiaan yang ideal. Sedangkan
pembaharuan dalam Islam adalah gerakan dari pemikiran para cendikiawan muslim
untuk merespon segala dorongan – dorongan serta aspek – aspek dari luar yang
mempengaruhi kehidupan umat muslim dengan tetap mengindahkan nilai – nilai
islam.
Modernitas merupakan salah satu
dorongan yang tidak dapat dihindari oleh umat Islam, sehingga banyak pemikiran
– pemikiran intelektual muslim dalam menyikapi hal tersebut. Dalam hal ini,
Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa Islam seyogyanya menjadi basis moral dari
masyarakat yang modern dan progesif, namun islam tidak dapat menyetujui semua
yang dilaksanakan atas nama modernisasi.12 disamping itu ada pemikiran lain
yang sangat keras menyikapi modernitas dan menolak segala hal yang berkaitan
dengan kemajuan modern serta mengupayakan mengislamkan modernitas bukan
memodernisasi Islam. Kesimpulannya, modernisasi merupakan perubahan dalam
segala segala aspek yang terus meraksasa tanpa adanya aturan spiritual
keagamaan, dan pembaharuan dalam Islam adalah perubahan dalam islam yang tetap
mengindahkan nilai – nilai ajaran islam.
Reformasi
Istilah reformasi atau pembaharuan
disini diterjemahkan dari kata ishlah atau tajdid yang biasa digunakan dalam
literatur islam modern. Namun, istilah tajdid lebih umum dipergunakan daripada
istilh ishlah untuk maksud, baik pembaharuan ataupun reformasi yang sebenarnya dalam
bahasa inggris keduanya dibedakan. Pengertiannya, memperbaharui sesuatu yang
mengalami ketidaksesuaian dengan apa yang semestinya. Misalnya sesuatu itu
tidak sesuai dengan tuntutan zaman atau dasar-dasarnya. Istilah tajdid yang
berlaku di kalangan ilmuwan muslim diambil dari hadis Rasulullah, “Sesungguhnya
Allah mengutus untuk umat ini pada satiap penghujung seratus tahun, orang yang
memperbaharui (yujaddidu) agamanya” (Abu Daud, Sunan, Kitab Al-Malahim: 109).
Maksudnya, mempengaruhi pemahaman yang tidak cocok dan praktik keagamaan yang
menyimpang. Dengan demikian, pembaharuan merupakan hal dalam kehidupan
keagamaandan didasarkan syari’at. Di samping landasan syari’ah, usaha
reformasi atau bembaharuan tersebut dilakukan
karena beberapa alasan. Sesuatu yang lama dinilai tidak lagi sejalan dengan
perkembangan zaman. Kemungkinan lain karena faham-faham yang ada dianggap
keluar dari maksud teks yang sebenarnya. Karena itu, faham tersebut perlu
diperbaharui, dalam arti dimurnikan. Sementara itu, ijtihad diartikan sebagai
upaya keras untuk menggali hukum-hukum yang ada dalam teks agama, apakah upaya
tersebut disebabkan oleh kedua kemungkinan di atas atau sebab munculnya suatu
masalah baru yang belum ada status hukumnya secara implisit dalam teks. Dengan
demikian, tujuan ijtihad adalah menentukan hukum-hukum untuk masalah-masalah
yang baru muncul yang tidak terdapat dalam teks agama secara langsung. Dalam
realitas sejarah, konsep dasar diaras mengalami perkembangan dan perbedaan.
Untuk melihat perkembang dan perbedaan tersebut, ditampilkan tiga model
pembaharuan dalam sejarah Islam yang masing-masing mempunyai konsep yang
berbeda-beda.
Kelompok pertama, mengartikan bahwa
tajdid adalah mengembalikan pemahaman-pemahaman dan praktik-praktik agama yang
tidak sesuai dengan dasarnya yang otentik, kepada faham serta ajaran Islam yang
benar sebagaimana zaman Rasulullah dan sahabatny (Busthami, 1984: 10-19).
Metode yang dipakai dalam memahami teks-teks agama menggunakan metode tekstual
atau literal, di mana lafadz-lafadznya diartiakan apa adanya meskipun hasilnya
menurut kebanyakan orang bertentangan dengan kenyataan serta kebutuhan suatu
zaman.
Kelompok kedua, mengartikan bahwa
tajdid adalah reformasi (ishlah) atau modernoisasi (tahdits). Maksudnya,
memperbaharui atau mengembangkan suatu pemahaman dan pelaksanaan ajaran-ajaran
Islam sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan suatu zaman. Metode yang
dipakai adalah metode rasional, di mana teks-teks agama dipahami secara
rasional untuk diambil inti pesan-pesannya dan tidak terikat kepada
lafadz-lafadznya, khususnya dalam aspek muamalah. Sedangkan untuk aspek ibadah,
mereka menggunakan metode tekstual sebagaimana kaum salafi.
Adapun kelompok ketiga, memahami
tajdid sebagai upaya atau usaha memperbaharui faham-faham lama yang dianggap
lemah dengan cara memasukkan unsur-unsur baru tanpa merusak bangunan,
ciri-ciri, dan inti yang lama (Qardlawy, 1986: 28). Konsep itu tampaknya
berusaha menawarkan sesuatu yang baru dengan memkompromikannya dengan yang lama
atau menarima dan menolak yang baru maupun yang lama secara kritis dan selektif
Berdasarkan perspektif di atas, kita
melihat tiga model pembaharuan. Pertama, pembaharuan berati menghidupkan
kembali tradisi pada masa Rasulullah secara totalitas. Teks wahyu dipahami
secara tekstual. Sebagai konsekuensinya, rasio dalam kelompok ini kurang
memperoleh tempat. Kedua, pembaharuan berarti menggantikan yang lama dengan
yang baru (modern). Yang lama ditinggalkan karena tidak sejalan dengan zaman
modern. Namun, yang ditinggalkan mereka bukan teks wahyu, tetapi pemahaman
orang terhadap teks. Disamping itu, jika teks dalam Islam ada dua macam, yaitu
qath’i dan zanny maka mereka hanya meninggalkan pemahaman lama teks-teks yang
kedua. Sementara itu, terdapat jenis teks pertama, mereka tetap sepakat dengan
pemahaman umum yang ada. Ketiga, pembaharuan berarti menyintesiskan antara yang
lama dan yang baru (antara tradisi dan modernitas). Unsur lama yang baik
dipertahankan dan unsur baru yang lebih baik dihadirkan. Teks diwahyukan
dipahami secara tekstual dan konstektual. Rasio dan wahyu memperoleh tempat
yang seimbang.
Revitalisasi
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) Revitalisasi Merupakan cara, proses, perbuatan menghidupkan kembali
atau menggiatkan kembali14 . Lebih jelasnya, Revitalisasi berarti suatu
perbuatan untuk kembali menghidupkan suatu hal yang dulunya hidup pada suatu masyarakat namun seiring dengan
berjalannya waktu hal tersebut mulai terkikis dan bahkan menghilang.
Revitalisasi merupakan salah satu
konsep yang terdapat pada pembaharuan dalam Islam. Revitalisasi yang merupakan
perbuatan menghidupkan kembali segala sesuatau yang mulai meredup sangat
relevan dengan pembaharuan dalam islam, melihat bahwa pembaharuan dalam islam
(salah satunya) dilakukan akibat dari kondisi Islam sekarang yang sangat jauh
dari konsep Islam yang sebenarnya. Maka para mujahid merasa bahwa perlu adanya
menghadirkan nilai – nilai islam yang pada era ini telah terkesampingkan, tentu
saja hal ini merupakan tantangan yang berat. Pada zaman ini, proses menghadirkan
nilai – nilai Islam yang sesungguhnya di kalangan kaum muslimin harus
memperhatikan aspek – aspek budaya global yang telah bersatu dengan masyarakat
saat ini.
Dalam agama islam, revitalisasi telah
dipraktekkan sejak zaman dahulu. Pada masa Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali
(w.505/111) sekitar seribu tahun yang lalu, revitalisasi telah dilakukan. Pada
saat itu terdapat ancaman yang membahayakan eksistensi ilmu – ilmu agama
(naqli) oleh ilmu – ilmu rasional (‘aqli) akibat dari munculnya aliran teologi
rasional Mu’tazilah, maka dari itu Al-Ghazali melakukan revitalisasi ilmu –
ilmu agama yang dirasa telah terkesampingkan oleh ilmu – ilmu rasional. Upaya
yang dilakukan Al-Ghazali berhasil mengembalikan “titik tekan” ilmu kepada ilmu
– ilmu agama dan mendegradasi disiplin ilmu filsafat dan ilmu – ilmu lainnya
Pada zaman sekarang, para cendikiawan
serta intelektual muslim dituntut untuk segera melakukan Revitalisasi cahaya
islam yang mulai memudar. Berbeda dengan tantangan filosofi yang dihadapi
Al-Ghazali ratusan tahun yang lalu, kali ini kaum muslimin dihadapkan pada
tantangan filsafat yang jauh lebih serius dan radikal. Tantangan filosofi yang
dihadapi Al-Ghazali berasal dari para filsuf yang masih mempercayai hal-hal
ghaib, sedangkan tantangan filosofi yang dihadapi kaum muslimin saat ini
berasal dari para filsuf yang tidak mempercayai adanya hal-hal yang metafisik.
Hal ini disebabkan oleh munculnya pandangan Positivisme Barat (ketidakpercayaan
pada hal metafisik) dan terus merajalela
karena didukung oleh para ilmuwan di berbagai bidang, seperti astronomi,
kesokteran, dan lain-lain, yang sangat diagung-agungkan umat pada saat ini,
contohnya Darwin dengan teori evolusinya, Freud, dan Emile Durkhim. Para
ilmuwan tersebut sangat mengagungkan akal dan rasionalitas sebagai satu-satunya
kepercayaan mutlak. Freud, salah satu Ilmuwan dunia, mengatakan bahwa agama
adalah ilusi dan agama berasal dari ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi
daya-daya dari luar dan daya imajinatif dari dalam dirinya.
Tantangan filosofis yang begitu
serius dan berbahaya terhadap bangunan metafisik, epistemologis, dan etis islam
tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa respons, hal ini karena sebuah
pemikiran akan dianggap benar selama tidak ada yang membantahnya. Maka
kewajiban moral bagi cendikiawan muslim saat ini adalah untuk sedapat mungkin
memberikan jawaban – jawaban yang seimbang atau kritis logis terhadap pendirian
filosofis mereka. Tujuannya adalah agar keyakinan kita pada yang ghaib dapat
terpelihara dengan baik dalam hati kita, dibawah naungan benteng filosofis yang
tangguh dan tahan serangan16
Pembaharuan pemikiran Islam, dalam
hal ini mengarah pada Revitalisasi nilai-nilai Islam yang semakin terkikis dan
, dapat dilakukan dengan cara revitalisasi ilmu – ilmu rasional. Mengingat bahwa
pada masa lalu ilmu-ilmu rasional pernah hilang eksistensinya dalam dunia
Islam, maka di era ini revitalisasi ilmu-ilmu rasional perlu dilakukan untuk melindungi kepercayaan agama dengan dan
dalam sebuah benteng filosofis yang dibangun atas dasar – dasar logika yang
handal. Berbeda dengan tujuan al-Ghazali dalam menghidupkan kembali ilmu-ilmu
agama (yaitu menghantam ilmu-ilmu rasional), revitalisasi ilmu-ilmu rasional
kali ini justru bertujuan untuk
menguatkan dan melindungi kepercayaan agama dari serangan – serangan filosofis
dan ilmiah yang dilancarkan pendukung filsafat positif-sekuler. Karena
tantangan filosofis seperti hanya dapat dihadapi secara filosofis dengan
argumen-argumen rasional yang solid dan sistematik, dan bukan dengan
dogma-dogma religius17.
Penjelasan diatas merupakan bukti
relevansi antara pembaharuan dalam islam dan revitalisasi, sementara perbedaan
mendasar dari konsep revitalisasi dan pembaharuan Islam adalah terletak pada
alasan dan tujuan daripada konsep tersebut. Lebih jelasnya, konsep
revitalisasi, yang mengandung makna “menghidupkan kembali”, berlaku untuk
seluruh aspek kehidupan tergantung dari sudut pandang mana pelaku relativitas
ini memandang. Tidak menutup kemungkinan bahwa konsep revitalisasi sekuler
(non-islam) dapat muncul menjadi bumerang, dan mengacaukan eksistensi agama
Islam. Sedangkan pembaharuan dalam Islam adalah pemikiran – pemikiran
berdasarkan dalil-dalil wahyu ilahi yang bertujuan untuk menghadirkan nilai –
nilai Islam yang sesungguhnya dalam kehidupan umat manusia di seluruh alam.
Rekonstruksi
Di era globalisasi sekarang ini,
melakukan rekonstruksi pemikiran Islam akan sulit dilakukan. Namun bukan
berarti tidak mungkin dilakukan, bahkan sangat mungkin dilakukan. Hal ini
karena nilai-nilai Islam yang universal tidak bertentangan dengan nilai-nilai
universal yang lahir dari rahim peradaban Barat. Yang harus dilakukan adalah
bagaimana agar umat Islam secara mayoritas menyadari pentingnya rekonstruksi
pemikirannya, sehingga proyek rekonstruksi ini tidak dilakukan hanya oleh
individu-individu tertentu. Ia harus dilakukan secara bersinergi, simultan dan
berkesinambungan oleh seluruh lapisan masyarakat Islam, bahkan oleh pihak
penguasa (pemerintah), sebagaimana yang terjadi pada jaman kejayaan Islam di
Baghdad dahulu di mana pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan bukan secara
sporadis dan individual, tapi juga didukung oleh kalangan penguasa seperti para
khalifah. Dalam hal ini diperlukan
upaya-upaya penyadaran kepada umat Islam secara keseluruhan akan pentingnya menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang dan maju.
Kepada umat Islam harus diberikan pemahaman yang komprehensif tentang perhatian
Islam yang begitu dalam akan pandangan keduniawian, khususnya iptek ini. Bahwa
akhirat itu lebih kekal, dan oleh karenanya lebih penting untuk diperhatikan,
tidak berarti harus menafikan dunia. Pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam penerapan Islam perlu disosialisasikan lebih intens kepada umat Islam
sehingga umat Islam tidak hanya fasih dalam ibadah saja, tapi juga mendalami
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh Sardar, hal ini diungkapkannya dengan istilah
perluasan syari’ah ke dalam domain-domain kontemporer, seperti perencanaan
lingkungan dan perkotaan, kebijaksanaan sains dan penaksiran teoknologi,
partisipasi masyarakat dan pembangunan pedesaan18. Di sini, peran para da’i dan
aktivis pendidikan sangat strategis di mana merekalah ujung tombak bagi
sosialisasinya ide-ide rekonstruksi peradaban ini di tengah-tengah masyarkat
luas.
Dalam melakukan upaya rekonstruksi
peradaban Islam, ada enam hal penting yang perlu diperhatikan sebagai
bahan pertimbangan. Keenam hal ini
secara ringkas adalah:
1.
Pembangunan peradaban dengan melihat pertumbuhan ekonomi masyarakat.
2.
Pembangunan yang mencakup partisipasi masyarakat dalam pembangunan
ekonomi.
3.
Pembangunan ini tidak semata-mata peniruan terhadap struktur dan
kebijaksanaan negera-negara maju.
4.
Proses industrialisasi tidak boleh hanya mencangkok aktivitas-aktivitas
industrial tertentu dari negara-negara maju. Ia harus disertai dengan
penguasaan teknologi.
5. Tidak semata-mata alih teknologi,
tetapi juga dengan membangun infrasktruktur sains dan teknologi yang berupa
sumber daya manusia (SDM), ilmu pengetahuan, keahlian dan kemampuan inovatif
dan produktif untuk menyerap dan mengadaptasi teknologi impor.
6.
Memiliki kemampuan dasar untuk riset dan tidak puas hanya dengan
literatur sains negara-negar.19
Adapun persamaan antara pembaharuan
dengan rekonstruksi adalah sama sama mengacu pada perubahan menjadi lebih maju
yang signifikan tidak hanya dalam satu bidang tetapi dalam banyak bidang,
perubahan yang tentunya diharapkan tidak hanya segenpa lapisan umat Islam
tetapi segenap lapisan dan bahkan sampai kepada pemerinthan. Perbedaannya
sendiri hanya terdapat pada konteks kalimanya saja karena sangat sulit
membedakan antara keduanya.
Reinterpretasi
Reinterpretasi adalah penafsirkan
kembali (ulang); proses, cara, perbuatan menafsirkan kembali terhadap
interpretasi yang sudah ada20
Reinterpretasi dapat dinilai sebagai
kegiatan penafsiran kembali terhadap hukum hukum Islam atau ketentuan-ketentuan
yang telah diterapkan sebelumnya. Penafsiran yang atau penelaahan kembali ini
dilakukan dengan tujuan kembalinya pemahaman-pemahaman tentang islam yang belum
berbur dengan budaya. Memurnikan ajaran-ajaran keislaman yang telah melebur
kepada kulturisasi budaya masyarakat setempat.
Menurut Fazlur Rahman dalam jurnalnya yang berjudul Reinterpretasi
Sumber Hukum Islam, dalam Abstrak dituliskan bahwa; membiarkan dua dimensi
hukum Islam yakni teks dalil hukum dan fenomena hukum (waqi’at) dalam sifat dan
konteksnya masing-masing, jelasakan menimbulkan kesenjangan atau perbedaan
antara hukum dengan kenyataan hukum yang dihukumi; oleh karena itu Rahman
dengan ijtihadnya menganggap perlu perubahan cara pandang dan penafsiran
(reinterpretasi) atas sumber hukum Islam. Rahman membedakan antara Islam
historis dan Islam normatif. Islam normatif adalah Islam par excellence, dalam
kitab suci dan Sunnah Nabi sedang Islam historis adalah sebagaimana dipahami
dan dipraktekan kaum Muslim. Islam historis inilah yang sering disebut Rahman
sebagai tradisi Islam atau tradisi kaum muslim yang memungkinkan dilakukannya
Revitalisasi21
Ide pemikiran pembaharuan Fazlur
Rahman tentang perlunya metodologi baru dalam memahami teks Alquran dimulai
dengan penelitian historisnya mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar
(Alquran, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), yang diungkapkannya dalam buku Islamic
Methodology in History (1965). Pandangan Fazlur Rahman ini dilatarbelakangi
oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, yang
kemudian mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi; yaitu perumusan
kembali penafsiran Alquran. Dalam kajian historisnya, Fazlur Rahman menemukan
adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi Saw. dan aktifitas
ijtihad-ijma’. Bagi Fazlur Rahman, sunnah kaum Muslim awal merupakan hasil
ijtihad personal, melalui instrumen qiyâs, terhadap sunnah ideal Nabi Saw. yang
kemudian menjelma menjadi ijma atau sunnah yang hidup.
Akan tetapi, persoalannya terletak
pada kemampuan kaum Muslim untuk mengkonsepsi Alquran secara benar. Fazlur
Rahman menegaskan: “..bukan hanya kembali kepada Alquran dan sunnah sebagaimana
yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang
akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara
sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada
generasi Muslim awal, pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Alquran
dan sunnah22
Adapun persamaan reinterpretasi
dengan pembaharuan adalah terletak pada acuan kepada penyegaran atau
peningkatan pemahaman terhadap pemahaman-pemahaman Islam baik subjektif maupun
objektif, sama sama mengandung maksud untuk membawa Islam menuju peradaban yang
lebih maju seperti dengan merujuk kepada perkembangan bangsa eropa.
Reinterpretasi sendiri lahir karena adanya keinginan umat manusia pada umumnya
dan umat islam pada khususnya untuk melakukan pembaharuan. Perdedaannya sendiri
sulit untuk diidentifikasi karena sangat eratnya kesamaan redaksi kalimat
antara reinterpretasi dan pembaharuan, perbedaan yang dapat ditangkap oleh
penulis adalah bahwa pembaharuan adalah hal yang sudah ada kemudian dibuat
menjadi lebih mengikuti zaman atau lebih terbaru sedangkan rainterpretasi
adalah dilakukannya penafsiran kembali terhadap pandangan-pandangan tentang
keislaman sehingga lahir definisi yang baru.
Reaktualisasi
Menurut KBBI, reaktualisasi adalah
proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali, penyegaran dan pembaruan
nilai-nilai kehidupan masyarakat. Reaktualisasi merupakan salah satu metode
yang diusung dalam pembaharuan Islam.
Sejak kemunculan Renaissance pada
abad pertengahan, cara hidup dan cara pikir umat manusia mulai berubah.
Sehingga berdampak pada terciptanya kehidupan yang hanya mementingkan
kepentingan dunia.Renaissance juga merupakan gerbang baru lahirnya peradaban
modern. Hadirnya sains modern telah memberikan pengaruh yang luar biasa
terhadap umat manusia, bukan hanya bukan bidang ekonomi, politik, sosial, namun
juga dalam bidang filsafat dan agama. Umat islam pun tidak luput dari pengaruh
renaissance tersebut. Menghadapi rasionalitas ilmiah modern dan
permasalahan-permasalahan yang bersifat universal, berbagai khazanah pemikiran
islam sudah saatnya untuk disegarkan dan dibangun kembali, dengan kata lain
perlu diadakannya reaktualisasi khazanah islam yang telah semakin terpendam
oleh nilai-nilai baru yang muncul dalam masyarakat.
Contoh diatas merupakan gambaran
tentang relevansi antara pembaharuan dalam islam dan gerakan reaktualisasi.
Sedangkan perbedaan mendasarnya terletak pada penggunaan konsep reaktualisasi
itu sendiri, mengingat reaktualisasi bukanlah konsep yang berasal dari ajaran
Islam. Konsep “reaktualisasi” pernah dilakukan oleh orang non-muslim terdahulu
untuk menyegarkan nilai-nilai kehidupan mereka dan bangkit dari lingkar
kemunduran yang disebabkan oleh dominansi gereja, yaitu pada abad ke-15 hingga
abad ke-16. Akhirnya, reaktualisasi nilai-nilai kehidupan yang dilakukan pada
zaman tersebut melahirkan sebuah pemikiran baru yang secara umum berisi tentang
keutamaan kehendak manusia, manusia berhak merubah nasib dengan ikhtiar yang maksimal
dan satu-satunya pembimbing yang sempurna dan mutlak untuk menuju kearifan dan
kebijaksanaan adalah akal manusia. Namun akibat dari pembaharuan nilai
tersebut, hal-hal yang berhubungan dengan ketuhanan menjadi tersingkirkan dan
tidak dianggap sesuatu yang sakral. Tentunya hal ini sangat bertentangan dengan
ajaran Islam yang berpegang teguh pada keyakinan Tuhan Yang Maha Esa, Allah
SWT.
2.3 Latar Belakang Pemikiran Dan
Pembaharuan Islam
Pembaharuan dalam Islam mempunyai
tujuan dan latarbelakan berbeda-beda dalam setiap periode sejarah Islam.
Sejarah Islam dapat dibagi ke dalam 3 periode, yaitu:
Periode klasik (650-1250M)
Periode ini dimulai dari masa
Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, sampai Bani Abbasiyah. Pada periode ini
pembaharuan dalam Islam sudah nampak, yaitu pemikiran para sahabat mengenai
hukum-hukum dalam Islam yang belum terdapat pada Al-Quran dan As-Sunnah.
Contohnya : ijtihad para sahabat dalam pembukuan Al-Quran pada masa Khalifah
Abu Bakar dan pembukuan Hadits.
Periode Pertengahan (1250-1800M)
Kerajaan Utsmani
Pada periode pertengahan, telah
muncul pemikiran dan usaha pembaharuan Islam dikerajaan Usmani di Turki. Akan
tetapi usaha itu gagal karena ditentang golongan militer dan ulama. Pada abad
ke-17, kerajaan Usmani mulai mengalami kekalahan dalam peperangan dengan Negara
Eropa. Kekalahan itu mendorong raja dan pemuka kerajaan Usmani untuk
menyelidiki sebab-sebabnya. Kemudian diketahui bahwa penyebabnya adalah
ketertinggalan mereka dalam teknologi militer. Orang-orang Eropa yang dahulu dianggap
sebagai kafir dan rendah sekarang mulai
di hargai. Mereka selidiki pula rahasia keunggulan Barat. Mereka temukan bahwa
rahasianya adalah karena Barat memiliki sains dan teknologi tinggi yang
diterapkan dalam kemiliteran.
Karena itulah, pada 1720, kerajaan
Usmani mengangkat Celebi Mehmed sebagai utusan kerajaan untuk berangkat menuju
ke Paris. Dia bertugas mempelajari benteng-benteng pertahanan, pabrik-pabrik,
serta institusi-institusi Perancis lainnya. Laporan Celebi Mehmed tertuang
dalam bukunya, seferetname. Di tahun 1741 said mehmed dikirim pula ke
Perancis sehingga laporan tersebut
menarik perhatian Sultan Ahmad III untuk memulai Pembaharuan di Kerajaan
Usmani.
Usaha pembaharuan itu mendapat
tantangan dari dua golongan. Tantangan pertama datang dari tentara tetap yang
disebut Yanissary (Pasukan Baru). Yanissary mempunyai hubungan erat dengan
Tarekat Bektasyi yang berpengaruh besar dalam masyarakat. Tantangan selanjutnya
datang dari pihak ulama. Ide-ide baru yang didatangkan dari Eropa itu dianggap
bertentangan dengan paham tradisional yang dianut masyarakat Islam ketika itu.
Karena itu, usaha pembaharuan pertama di Kerajaan Usmani tidak berhasil seperti
yang diharapkan.
India
Sebelum periode modernisasi, muncul
juga ide dan usaha pembaharuan. Pada awal abad ke-18, kerajaan mogul memasuki
zaman kemunduran. Perang saudara untuk merebut kekuasaan sering terjadi.
Golongan hindu yang merupakan mayoritas masyarakat dalam negara tersebut, ingin
melepaskan diri dari kekuasaan mogul. Selain itu, inggris juga telah mulai
memperbesar usahanya untuk memperoleh daerah kekuasaan di India pada tahun
1757.
Suasana itu menyadarkan para pemimpin
Islam India akan kelemahan umat Islam. Salah seorang yang menyadari hal itu
ialah Syah Waliyullah (1703-1762) dari Delhi. Ia berpendapat Salah satu
penyebab kelemahan umat Islam ialah perubahan system pemerintahan dari system
khilafah ke system kerajaan. System pertama bersifat demokratis, sedang system
kedua bersifat otokratis. Karena itu system ke Khalifahan seperti pada masa al-
Khulafa al-Rasyidun perlu dihidupkan kembali.
Perpecahan semakin panjang di
kalangan umat Islam bebrapa faktor yang membuat kekacauan tersebut ialah
perbedaan Madzhab antara Islam Sunny dan Syiah selain perbedaan antara madzhab,
masuknya adat istiadat dan ajaran-ajaran yang bukan dari islam ke dalam
keyakinan umat Islam.
Arab
Pembaharuan islam di Arab bisa
dikatakan pelopornya adalah Mohammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Menurut
Wahab, penyebab kelemahan umat Islam saat itu ialah tauhid umat Islam yang
tidak lagi murni bukan masalah politik yang ada di dalam kerajaan Utsmani dan
Mughol. Kemurnian tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran tarekat. Tarekat
menurut Muhammad bin Abdul Wahab, mengajarkan pemujaan kepada syekh dan wali.
Umat Islam menunaikan haji dan meminta pertolongan kekuburan-kuburan syekh dan
wali itu. Karenanya, semua hal itu harus dihilangkan karena tidak sesuai dengan
ajaran-ajaran yang berlaku dalam agama islam. Ia juga menganjurkan ijtihad.
Inti pemikirannya adalah al-Quran dan hadislah sumber ajaran Islam, taqlid
kepada ulama tidak dibenarkan dan pintu ijtihad tidak tertutup.
Periode Modern (1800M-Sekarang)
Usaha pembaharuan dalam periode ini dimulai oleh Muhammad Ali Pasya, seorang perwira Turki. Muhammad Ali
Pasya berkeyakinan bahwa ketinggian dan kemajuan Eropa didasarkan atas kekuatan
militernya dan dibelakang kekuatan militer pasti ada kekuatan ekonomi yang
sanggup mempelajari biaya pembaharuan dalam lapangan militer. Untuk mendapatkan
para ahli-ahli yang mumpuni pada bidang militer dan ekonomi, maka ia
mendatangkan para ahli dari Eropa, mendirikan sekolah-sekolah, dan mengirimkan
pemuda-pemuda Mesir belajar ke Eropa.
Hal ini mempercepat perkembangan dan gerakan
pembaharuan di Mesir. Salah satu pemikir pembaharuan islam di zama ini adalah
At-Tahtawi. Salah satu pemikiran Al-Tahtawi adalah Ajaran Islam bukan hanya
mementingkan soal akhirat tetapi juga soal hidup di dunia. Umat Islam harus
mementingkan hidup duniawinya.
Pemikir pembaharuan Islam pada periode modern
ini selanjutnya adalah Muhammad Abduh (1849-1905M). Ia berpendapat bahwa islam
yang dianut umat bukan lagi Islam yang sebenarnya. Inilah salah satu kemunduran
umat Islam. Untuk dapat maju lagi umat Islam harus kembali kepada Islam sejati,
Islam dipraktekkan di Zaman Klasik. Ia berpendapat bahwa Islam adalah agama
yang rasional. Wahyu tidak membawa hal-hal yang bertentangan dengan pendapat
akal. Ia juga menentang sifat jumud atau statis yang terdapat dalam kalangan
umat Islam. Sifat jumud membuat mereka berhenti berpikir dan berusaha. Umat
Islam harus memiliki sifat dinamis.
Pemikir pembaharuan Islam selanjutnya aalah
Rasyid Ridha (1865-1935M). Ia merupakan murid dan pengikut Muhammad Abduh. Ia
berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan karena umat muslim tidak
lagi menganut Islam yang murni dan untuk mengetahui Islam murni, orang harus
kembali kepada Al-Quran dan hadits. Ajaran Islam tidak membawa kepada
kepasifan, tetapi sebaliknya kepada dinamisme. Pembaharuan harus juga memasuki
lapangan fikih.
Perkembangan Islam Pada Masa Modern
pada Berbagai Bidang
Pada Bidang Akidah
Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu
aliran haruan g bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19.
Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M) yang berasal dari Nejed,
Saudi Arabia. Pemikiran yang di kemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab adalah
upaya memperbaiki kedudukan umat Islam dan merupakan reaksi terhadap paham
tauhidyang terdapat di kalangan umat Islam pada saat itu. Paham tauhid mereka telah
bercampur aduk oleh ajaran-ajaran tarikat yang sejak abad ke-13 tersebar luas
didunia Islam
ah tauhid memang merupakan ajaran
yang paling dasar dalam Islam.Oleh
karena itu, tidak
mengherankan apabila Muhammad
Abdul Wahabmemusatkan
perhatiannya pada persoalan ini. Ia memiliki pokok-pokok pemikiransebagai
berikut :
a.
Yang harus disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang
menyembah selaindari Nya telah dinyatakan sebagai musrik
b. Kebanyakan orang Islam bukan lagi
penganut paham tauhid yang
sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan kepada
Allah, melainkan kepada syekh, wali atau kekuatan gaib. Orang
Islam yang berperilaku demikian jugadinyatakanj sebagai musyrik
c. Mendekatkan syirik
d.
Meminta syafaat selain kepada Allah juga perbuatan syirik
e.
Bernazar kepada selain Allah juga merupakan syirik
f.
Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Allah merupakan kekufuran
Pada Bidang Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah salah satu
hal yang sangat penting bagi ummat islam . Oleh karena itu, Islam menghendaki
manusia menjalankan kehidupan yang didasarkan rasionalitas atau akal dan iman.
Ayat-ayat Al-Qur’an banyak memberi tempat yang lebih tinggi kepada orang yang
memiliki ilmu pengetahuan, Islam pun menganjurkan agar manusia jangan pernah
merasa puas dengan ilmu yang telah dimilikinya karena berapa pun ilmu dan
pengetahuan yang dimiliki itu masih belum cukup untuk dapat menjawab pertanyaan
atau maslah yang ada di dunia ini.
Seperti dalam Firman Allah SWT,
“ Dan seandainya pohon-pohon di bumi
menjadi pena dan laut menjadi tinta,ditambahkan kepada tujuh laut (lagi)
sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi MahaBijaksana ” (QS Luqman : 27)
Pada Bidang Kebudayaan
Didunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai
menjadi tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak Napoleon
Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1798dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia Islam
menjadi wilayah jajahan atau dibawah pengaruh Eropa.akhirnya serangkaian
kekalahan berjalan hingga memuncak dengan jatuhnya dinasti Usmani di Turki.
Kebudayaan Turki
merupakan perpaduan antara
kebudayaan Persia, Bizantium, dan
Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak menerima ajaran-ajaran tentang
etika dan tata krama
kehidupan kerajaan atau
organisasi pemerintahan. Prinsip kemiliteran mereka dapatkan dari
Bizantium, sedangkan dariArab, mereka mendapat ajaran ajaran tentang prinsip
ekonomi, kemasyarakatan, dan ilmu pengetahuan.
2.4
Tokoh- Tokoh Pembaharu Islam dan Manfaatnya Bagi Kemajuan Umat Islam.
M. Ibn Abd al-Wahhab dan Gerakan
Wahabiyah
Muhammad ibn Abd al-Wahhab lahir di
Uyaynah, Nejd, pada tahun 1703 M (1115 H). Sejak kecil ia telah belajar
Al-Qur’an pada ayahnya, dan sebelum berusia 10 tahun ia sudah hafal seluruh isi
Al-Qur’an. Pengetahuan dasar diperolehnya di kampungnya sendiri dari
tokoh-tokoh mahzab Hambali.23 Sebagian usianya ia habiskan untuk mencari ilmu.
Pada saat masa pencarian ilmu ia menyadari ada perbedaan mencolok antara apa
yang diajarkan oleh hadis dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. 24
Semenjak abad ke 13 umat Islam banyak
mengalami kemunduran di berbagai bidang, seperti bidang agama, sosial, dan
intelektual. Pengaruh tarekat dan animisme berkembang semakin pekat. Di
kalangan tarekat terdapat keyakinan bahwa guru, syaikh dan wali dianggap
pempimpin yang bukan saja mengawasi kehidupan lahir murid-muridnya tetapi ia
juga merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi25. Hal ini membuat penghormatan
kepada syaikh dan wali menjadi sangat berlebihan. Makam wali dianggap sebagai
tempat keramat untuk mereka meminta pertolongan sebagai perantara dari Allah
SWT. Selain pengaruh tarekat, terdapat pula pengaruh animisme pada umat Islam
dengan menyembah benda mati pada abad ke 13. Dalam karyanya Kasyf al-Syuhbat
dikatakan bahwa tauhid adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lidah,
dan dilakukan dengan perbuatan. Jika kurang dari satu saja dari unsur di atas,
maka seseorang tidaklah termasuk orang Islam.26
Dalam keadaan masyarakat seperti ini,
pada pertengahan abad ke 18, di Jazirah Arab muncul suatu gerakan yang berusaha
memurnikan ajaran Islam dengan semboyan kembali kepada Islam yang asli seperti
yang dianut dan dipraktikan di zaman nabi, sahabat, serta tabi’in sampai abad
ketiga hijiriah.27 Gerakan ini terkenal dengan nama “Gerakan Wahabi” yang
dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab.Gerakan Wahabi kemudian disebarkan
keseluruh pelosok dunia dengan mayoritas penduduk muslim. Pemikiran Muhammad ibn
Abd al-Wahhab mempunyai pengaruh yang besar pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke
Sembilan belas. Pemikirannnya yang berpengaruh tersebut adalah :
Hanya Al-Qur’an dan hadislah yang
merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan
sumber.
Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
Pintu ijtidah terbuka dan tidak
tertutup.28
Napoleon Bonaparte
Napoleon Bonaparte adalah seorang
tokoh dunia yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Hingga Michael H. Hart
menempatkan namanya pada urutan ke -34 dalam jajaran tokoh-tokoh dunia yang
paling berpengaruh dalam sejarah.29 Napoleon Bonaparte, seorang jenderal
berkebangsaan Perancis, sebagai konsul yang pertama kemudian bertahta sebagai
seorang Kaisar Perancis, telah melakukan berbagai reformasi yang sampai
sekarang masig menjadi kenangan di institusi-institusi di Perancis dan juga
Eropa Barat.
Setelah masuk abad ke-18, dunia Islam
benar-benar mengalami kemunduran yang sangat parah dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan agama. Ketika dunia Islam mundur, Eropa mulai menata
dirinya. IPTEK dan perekonomian semakin maju hingga pengembangan ekonomi
berubah menjadi penetrasi politik. Dunia Timur yang mengalami kemunduran,
dengan mudah ditaklukan oleh Eropa pada saat itu. Hingga pada tahun 1798, Napolen Bonaparte mengadakan eskpansi
ke Mesir. Mesir, kota yang sangat strategis itu berhasil dikuasainya meskipun
dalam waktu yang singkat. Ekspedisi ini menghasilkan suatu dampak bagi umat
Islam di Mesir dengan menyadarkan kemunduran yang dialami umat Islam dan
berusaha merebut kembali kejayaan yang pernah dicapai. Ekspedisi ini
meninggalkan peninggalan yang merubah pemikiran umat Islam. Contoh adanya
lembaga ilmiah yang diberi nama institute d’Egypte dan percetakan dan
penerbitan Bulaq (Mathba’ al-Bulaq) yang didirikan Napoleon di Mesir yang
membuka mata para penduduk Mesir tentang dunia penerbitan.30 Selain bentuk fisik dari peninggalan Napoleon
Bonaparte terdapat pula ide-ide yang berkembang dan membuka fikiran umat Islam,
seperti pengenalan sistem pemerintahan republik yang diperkenalkan olehnya.
Hasil ekspedisi ini pada akhirnya memunculkan tokoh-tokoh pembaharu Islam yang
ingin memajukan kembali Islam seperti masa kejayaannya seperti Muhammad Ali dan
Rifa’ah al-Tahtawi.
Jamaluddin al-Afghani
Sejak abad ke XVII umat Islam berada
pada masa kemunduran. Kondisi ini meminta para raja dan pemuka agama untuk
membangkitkan Islam yang dahulu pernah berjaya. Salah satu cendekiawan itu
adalah Jamaluddin al-Afghani. Dia merupakan seorang pemimpin pembaharuan dan
pemimpin politik di masanya. Tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari
satu Negara Islam ke Negara Islam lainnya, sehingga pemikiran dan pembaharuan
politik yang dibawanya cepat merambah hampir ke seluruh dunia Islam. Jamaluddin
al-Afghani berkeyakinan untuk memajukan umat Islam haruslah terlebih dahulu
menghapus pengertian-pengertian salah yang dianut umat Islam diluruskan kembali
pada ajaran yang sebenarnya. Untuk itu menurut Afghani umat Islam harus
menyesuaikan dengan perkembangan yang ada dengan tetap berpedoman pada
Al-Qur’an. Maka dari itu ia berfikiran bahwa ijtihad masih tetap terbuka.31
Afghani yang berkecimpung di bidang politik juga mengubah sisstem pemerintahan
yang bersifat absolut menjadi sistem demokrasi.
Ia juga melontarkan ide pan-islamisme untuk mengeluarkan rasa
solidaritas umat Islam yang mempunyai rasa tanggung jawab di mana setiap
anggotanya memiliki rasa kebersatuan sehingga dapat hidup berdampingan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bekerja sama untuk mencapai kesejahteraanm
kemajuan, dan kemakmuran. 32 Afghani mendirikan Al-Urwah Al-Wutsqa pada saat ia
di Paris yang bertujuan untuk memperkuat rasa persaudaraan antar sesama muslim
yang beranggotakan Muslim dari berbagai macam Negara.
Muhammad Rasyid Rida
Rasyid Rida lahir pada tanggal 23
september 1865 M di suatu desa di Lebanon. Menurut keterangan, ia berasal dari
keturunan Husain, cucu Nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, ia memakai gelar
Sayyid di depan namanya. Pemikiran – pemikirannya banyak dipengaruhi oleh
ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwah
al-Wutsqa. Ide-ide yang dilontarkan Rasyid Rida mencakup system pemerintahan,
system pendidikan dan agama. Tahun 1898, Rasyid Rida pindah ke Mesir karena ide
pembaharuannya di negeri kelahirannya, Suria, mendapat tentangan dari kerajaan
Utsmani. Kemudian ia menerbitkan majalah al-Manar yang bertujuan sama dengan
majalah al-Urwat al-Wutsqa dan menyebarkan artikel-artikel yang dikarang oleh
Muhammad Abduh dan orang lain.Pada tahun 1912 setelah sebelumnya ia gagal
mendirikan sekolah Instambul, Rasyid Rida berhasil mendirikan sekolah yang
diberi nama Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyad. Menurutnya membangun sekolah lebih
bermanfaat dibanding membangun masjid namun hanya diisi orang-orang tak
berilmu. Karena dengan membangun madrasah, kebodohan dapat dihapus dan akan
memberikan kemajuan duniawi dan ukhrawi bagi uma, satu-satunya jalan menuju
kemakmuran adalah perluasan pendidikan secara merata.
Pembaharuan Rasyid Rida dalam dunia
politik sama dengan Jamaluddin-al-Afhgani, ia juga melihat perihal dihidupkan
kembali kesatuan umat Islam. Kesatuan yang dimaksudkannya bukan kesatuan
didasarkan atas kesatuan bangsa atau bahasa, tetapi kesatuan atas dasar
keyakinan yang sama. Negara yang dianjurkan oleh Rasyid Rida ialah dalam bentuk
kekhalifahan. Khalifah adalah kepala khilafah tetapi tidak memerintah, dia
berfungsi menciptakan undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Khalifah
haruslah mujtahid dan dengan bantuan ulama menerapkan prinsip-prinsip Islam
sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri dan mampu
memberlakukan undang-undang yang dihasilkan tersebut. Ia menganjurkan membentuk
organisasi al-Jami’iyah al-Islamiyah di bawah
naungan khalifah, berdasarkan prindip persaudaraan Islam yang menghapusb
ikatan-ikatan rasial dan menyusun persatuan segenap kesatuan muslimin dalam
satu komunitas.
Mustafa Kamil
Mustafa Kamil adalah anak seorang
insinyur kaya yang lahir pada tanggal 14 Agustus 1874 di Kairo. Ia memasuki
Fakultas Hukum di Prancis tahun 1981 dan memperoleh ijazah Sarjana Hukum dari
Universitas Toulouse. Setelah menyelesaikan pendidikannya ia mengadakan
perjalanan yang luas sekali di Eropa untuk mensosialisasikan gagasan mengenai
perjuangan kemerdekaan Mesir.
BAB III
PENUTUP
1.3 Kesimpulan
Pembaharuan dalam islam memiliki
banyak pengertian dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan beragama,
aspek-aspek kehidupan sehari-hari dan juga pandangan terhadap berbangsa dan
beragama dengan tidak melulu berfikir itu-itu saja karena ada yang disebut
dengan pembaharuan. Pembaharuan islam menyebar dengan cepat dan juga
menyebabkan banyak terbentuk gerakan-gerakan yang tentunya memiliki tujuan
masing-masing, maka kita sebagai umat muslim sebaiknya menghargai usaha
pendahulu kita dan terus mengembangkan kemampuan sebagai umat Islam baik dalam
segi keagamaan dan juga ilmu pengetahuan, serta tidak membeda-bedakan beberapa
golongan atau sekte semata dengan berkaca pada Islam secara universal atau
menyeluruh, agar islam dapat kembali bergerak maju dan kembali kepada kejayaan
seperti yang telah diperjuangkan oleh para pemuka agama terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
-Nasution, Harun, 1985. Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya cetakan 5.UI Press. Jakarta.
-Kartanegara,
mulyadhi.2007.Mengislamkan nalar : sebuah respon terhadap modernitas. Jakarta :
Penerbit Erlangga
-http://badanbahasa.kemendikbud.go.id/kbbi/index.php,
diakses pada tanggal 17 maret 2016, pukul 22:42
-Al Bahiy, Dr.
Muhammad.1986.Pemikiran Islam Modern.1986. Jakarta : Pustaka Panjimas
-Cooper, John, dkk.2002.Pemikiran
Islam.Jakarta : Penerbit Erlangga
-Beling dan Totten.1985.Modernisasi :
Masalah Model Pembangunan.Jakarta : CV. Rajawali
-Husein, Drs. Machnun.1955.
Aliran-Aliran Modern Dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
-Nurhakim, Moh. 2003. Islam, Tradisi,
dan Reformasi “Pragmatisme” Agama dalam Pemikiran Hassan Hanafi. Malang :
Bayumedia Publishing
-Nasution, Prof.Dr.Harun. Pembaharuan
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : PT. Bulan Bintang
-Depdikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990
-Hans Wehr, Arabic-English
Dictionary, Ithaca: Spoken Languange Service Inc, 1976.
- Amin, ahmad, Zu’ama al-Islah fi
–Ashr al-Hadits, Cairo: Maktabah al-Nadhah al-Misriyah, 1979.
- Rusli, Ris’an, Pembaharuan
Pemikiran Modern dalam Islam, Jakarta, 2013
-Ali al-Hafidzah, Al-Ittijahat
al-Fikriyah ‘Inda al-‘Arab, fi ‘Ashr al-Nahda, Beirut 1798-1914,
-Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
- M. Dawam Rahardjo, Kautsar
Azhari-Noer, Zuly Qodir, Ihsan Ali-Fauzi, Akhmad Sahal, Moh. Shofan, Taufik
Adnan Amal, Suaidi Asyari, Neng Dara Affiah, A.D Kusumaningtyas, Atun Wardatun,
Budhy Munawar-Rachman, Djohan Effendi, Tedi Kholiludin, Syamsul Arifin dan Sunaryo,
Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia, Jakarta: Komunitas Epistemik Muslim
Indonesia (KEMI)
-Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang
Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Terj.) Mahbub, Junaidi, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1990), hlm. 193.
- Hitti, Phillip K. History of Arabs,
London: The Macmillan Press, 1970
-Ibid., hlm. 49. H.A.R. Gibb dan
Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, E.J. Brill, Leiden, 1974, hlm. 618.
-John Obert Voll, Islam Continuity
and Change in the Modern World, Westview, Colorado, 1982, hlm. 82
-Rusli, Ris’an, Pembaharuan Pemikiran
Modern dalam Islam, Jakarta, 2013
- Ali al-Hafidzah, Al-Ittijahat
al-Fikriyah ‘Inda al-‘Arab, fi ‘Ashr al-Nahda, Beirut 1798-1914, hlm. 41.
-Al-Syibasi, Ahmad, Rasyid Rida:
Shahibu al-Manar, Mesir: Lajnah al-Ta’rif bi al-Islam, 1970.
-C. Adam, Charles, Al-Islam wa
al-Tajdid fi al-Misr, (terj. Abbas M aqqod), Lajnah Dairah al-Ma’rifah
al-Islamiyah, Kairo,tt.
-Charles C. Adams, Islam and Moderism
in Egypt, (London: Oxford University Press, 1993),
-Ahmad Athiyah Allah, Al-Kamus
as-Siyasyi, Dar al-Nahdlah al-Arabiyah, 1978.
-Skripsi.Rahman,
ma’tufathu,2010.Gerakan Reaktualisasi Pemikiran Islam Hasan
Hanafi.hhtp://digilib.uin-suka.ac.id/4323/1/BAB%20I,V.pdf.diakses.pada pukul
8:13 tanggal 17 Maret 2016.
- Nasution,Harun.2012.Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya Jilid I. Jakarta. UI-Press
- Nasution,Harun.2012.Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Jakarta. UI-Press
Komentar
Posting Komentar