AKALAH MATA KULIAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN REMAJA


MAKALAH
MATA KULIAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN REMAJA








PERKEMBANGAN EMOSI
Diampu Oleh :
Dian Novita Siswanti, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog
Novita Maulidya Djalal, S.Psi., M.Psi., Psikolog
KELAS 3.A
KELOMPOK 3
AL IKHWAN BAKKARANG (1771040044)
ANCENSIUS TOMBO BAMBA (1771041085)
AINAYYA NAHDAHUNNISA (1771042055)
ALFIRA ANDRIYANA (1771041051)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018










Oval: Kecerdasan Emosi




Oval: Kompetensi
Emosi



Oval: Faktor-faktor yang Mempengarhui Perkembangan Emosi









Oval: Regulasi 
Emosi
 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
          Perkembangan manusia dapat dipahami sebagai sebuah proses yang panjang dalam rentang kehidupan dari segi pertumbuhan dan perubahan fisik, perilaku, kognitif, maupun emosional. Sepanjang periode perkembangan tersebut,setiap individu akan mengembangkan sikap dan nilai yang mengarahkan pilihan, hubungan, dan pengertian. Salah satu periode dalam perkembangan adalah masa remaja.
          Remaja adalah masa transisi dalam periode perkembangan manusia menuju kepada kematangan ,baik secara fisik maupun intelektual. Dalam perkembangannya, remaja diketahui mempunyai emosi yang cenderung kurang stabil bahkan emosinya sering meluap-luap. Emosi yang dialami pada masa remaja lebih kompleks jika dibandingkan dengan emosi yang terjadi pada bayi dan anak-anak. Emosi yang terjadi pada remaja mempengaruhi mereka dalam bertingkah laku serta berperan penting terhadap pola pikir remaja secara emosional ataupun rasional.
          Makalah ini dibuat karena persoalan yang berkaitan dengan perkembangan emosi pada remaja perlu untuk diketahui dan dipahami sehingga upaya pengembangan dan pengelolaan emosi pada remaja dapat dilakukan, entah dengan belajar menangani suatu masalah secara mandiri maupun mempelajarinya dari suatu kelompok atau orang lain, dengan tujuan untuk membentuk karakter emosi remaja yang baik, cerdas dan berakal.



B.     Rumusan Masalah
1.   Bagaimana mengenali emosi pada masa remaja ?
2.   Bagaimana ciri-ciri kematangan emosi pada masa remaja ?
3.   Bagaimana perkembangan emosi pada masa remaja ?

C.    Tujuan Penulisan
          Makalah ini dibuat untuk memberikan pemahaman yang mumpuni terkait dengan perkembangan emosi yang terjadi pada masa remaja, disamping untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah yang berkaitan.

D.    Manfaat Penulisan
          Makalah ini bermanfaat untuk menambah wawasan terkait materi yang disampaikan, juga sebagai referensi dan acuan untuk memperdalam pemahaman. Pembaca juga diharapkan dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh dari makalah ini, dan dapat lebih memahami perkembangan emosi remaja yang labil. 









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mengenal Emosi pada Remaja
          Secara umum, masa remaja adalah masa transisi dalam perkembangan manusia dari masa anak-anak menuju kepada masa dewasa. Papalia dan Olds mendefinisikan masa remaja sebagai masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umunya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Sedangkan, Stanley Hall mendefinisikan masa remaja sebagai periode “badai topan dan tekanan”(storm and stress) karena merupakan satu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
          Sementara itu, emosi secara harfiah berasal dari bahasa Latin Emovere yang artinya bergerak menjauh. Menurut Daniel Goleman, emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis , dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Dapat dipahami, bahwa emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu kejadian. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Stanley Hall dalam teorinya tentang storm and stress, meningginya emosi bagi remaja laki-laki dan perempuan karena berada di bawas tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru dimana remaja sedang berusaha mencari jati dirinya. Di satu sisi, remaja ingin memperoleh kebebasan namun masih dependen kepada orang tuanya. Adapun pada masa kanak-kanak masih kurang dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan seperti itu.
          Sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Menurut Gesell dan kawan-kawan, remaja 14 tahun sering kali mudah marah, mudah dirangsang, dan emosinya cenderung meledak dan tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Sebaliknya, remaja berusia 16 tahun mengatakan bahwa mereka tidak punya keprihatinan. Jadi, adanya badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa remaja.
          Secara umum, dikenal ada dua jenis emosi yaitu emosi negatif dan emosi positif. Emosi negatif adalah sebuah episode respon individu yang merupakan hasil evaluasi terhadap stimulus internal ataupun eksternal yang bersifat tidak menyenangkan bagi individu karena adanya stimulus yang dinilai tidak menyenangkan atau mengancam (Scherer, 2001). Sedangkan emosi positif adalah sebuah episode respon individu yang merupakan hasil evaluasi terhadap stimulus internal ataupun eksternal yang bersifat menyenangkan bagi individu karena adanya stimulus yang dinilai menguntungkan(Scherer, 2001). Menurut Hurlock, ada 8 emosi yang umum pada remaja yaitu amarah, takut, cemburu, iri hati, sedih (emosi negatif) dan ingin tahu, gembira, kasih sayang (emosi positif). Sarlito menyatakan bahwa sebenarnya sulit untuk mendefenisikan emosi tertentu termasuk dalam kategori positif atau negatif karena emosi jenis yang satu seringkali menunjukkan perubahan fisiologis yang sama dengan emosi jenis yang lain. misalnya takut dan terkejut tampil dalam perubahan fisiologis dan ekskresi yang hampir sama. Demikian juga perasaan sedih dan gembira yang mendalam kadang-kadang diekspresikan dengan cara yang sama yaitu menangis, sehingga beberapa ahli menggolongkan emosi berdasarkan jenis rangsangannya. Hal ini dapat dilihat dari pengelompokkan emosi oleh Syamsu (2008) yang mengelompokkan emosi sebagai berikut.

1.      Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti : rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
2.      Emosi psikis , yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan. Yang termasuk emosi ini, diantaranya adalah :
a.      Perasaan Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk (a) rasa yakin dan tidak yakin terhadap suatu karya ilmiah ,(b) Rasa gembira karena mendapat suatu kebenaran, (c)Rasa puas karena dapat menyelesaikan persoalan-persoalan ilmiah yang harus dipecahkan.
b.      Perasaan sosial, yaitu perasaan yang berhubungan dengan orang lain , baik bersifat perorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini seperti (a) Rasa solidaritas , (b) Persaudaraan , (c) simpati , dan (d) Kasih sayang.
c.       Perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral). Contohnya (a) Rasa tanggung jawab , (b) Rasa bersalah apabila melanggar norma , (c) Rasa tentram dalam menaati norma.  

          Pada upaya penggolongan jenis-jenis emosi berdasarkan sifat emosi itu sendiri, W. Wundt (1832-1920) mengemukakan tiga pasang kutub emosi, yaitu
1.      Lust-Unlust (senang-tidak senang)
2.      Spannung-Losung (tegang-tidak tegang)
3.      Erregung-Beruhigung (semangat-tenang)
          Setiap keadaan emosional, menurut Wundt, selalu merupakan kombinasi dari kutub-kutub emosi tersebut. Seperti, seorang laki-laki melihat harimau, misalnya harimau, keadaan emosinya adalah Unlus, Spannung, dan Erregung.
          Emosi berhubungan erat dengan harga diri(self esteem). Emosi negatif, seperti kesedihan, dikaitkan dengan harga diri yang rendah, sedangkan emosi positif, seperti sukacita, terkait dengan harga diri yang tinggi. Pengalaman emosional yang terlibat dalam peristiwa seperti pengalaman seksual yang muncul, kencan dan pertemuan romantis, dan mengendarai mobil berkontribusi pada perkembangan identitas remaja Remaja muda mungkin merajuk banyak, tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan mereka secara memadai. Dengan sedikit atau tanpa provokasi, mereka mungkin meledakkan emosinya kepada orang tua atau saudara kandung mereka, atau memproyeksikan perasaan tidak menyenangkan mereka ke orang lain.
          Pola emosi pada remaja sama dengan pola emosi pada anak-anak. Perbedaannya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, khususnya pada pengendalian individu terhadap ungkapan emosi mereka. Misalnya perlakuan sebagai “anak kecil” atau secara “tidak adil” membuat remaja sangat marah dibandingkan dengan hal-hal lain. Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya maupun dengan cara gerakan yang berorientasi kepada sifat kekanak-kanakan seperti tantrum, melainkan dengan cara menggerutu, tidak mau berbicara atau dengan keras mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarah. Remaja juga iri hati terhadap orang yang memiliki benda lebih banyak. Remaja cenderung tidak mengeluh dan menyesali diri sendiri, seperti yang dilakukan anak-anak.
         
B.     Kematangan Emosi pada Remaja
1.      Definisi & Ciri-ciri Kematangan Emosi pada Remaja
               Menurut Hurlock, remaja memiliki kematangan emosi ketika pada masa remaja akhir tidak “meledakkan” emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Sementara itu, Sartre (2002: 7) mengatakan bahwa kematangan emosi adalah keadaan seseorang yang tidak cepat terganggu rangsang yang bersifat emosional, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, selain itu dengan kematangan emosi maka individu dapat bertindak dengan tepat dan wajar sesuai dengan situasi dan kondisi. Dari dua definisi ini, dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah kemampuan individu dalam  memberikan tanggapan emosi dengan baik dalam menghadapi tantangan hidup yang ringan dan berat serta mampu menyelesaikan, mampu mengendalikan luapan emosi dan mampu mengantisipasi secara kritis situasi yang dihadapi.
                 Sarlito (2013 : 99) mengatakan bahwa remaja dikenal dengan emosinya yang menggebu-gebu dan menyulitkan bagi orang lain , termasuk orang tua dan guru dalam memahami jiwa remaja. Namun, emosi yang menggebu ini sebenarnya memiliki manfaat dalam mencari identitas diri bagi remaja itu sendiri. Remaja khususnya remaja awal memang berada dalam konflik peran. Di satu sisi, dia ingin bebas namun di sisi lain masih dependen terhadap orang tuanya. Emosi yang dialami tersebut secara bertahap membawa remaja menuju kedewasaan. Reaksi orang-orang di sekelilingnya menjadikan remaja belajar dari semua pengalaman itu dan remaja belajar mengambil langkah-langkah terbaik , termasuk bagaimana mematangkan emosi ketika menghadapi berbagai situasi yang ada.
          Jika remaja tidak berhasil dalam mematangkan emosinya, maka akan berdampak dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan sosialnya. Remaja akan mengalami situasi-situasi kritis jika selalu mengikuti gejolak emosinya, dan kemungkinan terperangkap masuk ke jalan yang salah. Berbagai kasus yang timbul seperti penyalahgunaan obat, merokok (pada remaja laki-laki dikatakan tidak keren jika tidak merokok), penyalahgunaan seks, dan berbagai kasus yang lain adalah sebagian kecil dari dampak yang ditimbulkan akibat remaja tidak mengalami kematangan emosional.
          Menurut Hurlock, remaja yang matang secara emosional memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a.   Menilai situasi secara kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang. Artinya, remaja mengabaikan banyak rangsangan yang dapat menimbulkan ledakan emosi.
b.   Dapat memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati yang lain.
c.    Remaja yang matang secara emosional artinya mereka telah belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional.
d.   Ketika memiliki masalah pribadi, remaja akan cenderung membicarakan masalahnya dengan orang yang dipercaya .
          Sementara itu , menurut Walgito,  kematangan emosional dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut.
a.   Dapat menerima keadaan dirinya maupun orang lain sesuai dengan objektifnya.
b.   Pada umumnya tidak bersifat impulsive, dapat mengatur pikirannya dalam memberikan tanggapan terhadap stimulus yang mengenainya.
c.    Dapat mengontrol emosinya dengan baik dan dapat mengontrol ekspresi emosinya walaupun dalam keadaan marah dan kemarahan itu tidak ditampakkan keluar.
d.   Dapat berpikir objektif sehingga akan bersifat sabar, penuh pengertian dan cukup mempunyai toleransi yang baik.
e.    Mempunyai tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mengalami frustrasi dan mampu menghadapi masalah dengan penuh pengertian.

2.      Regulasi Emosi
          Sebagian besar penelitian tentang regulasi emosi berfokus pada bayi dan anak-anak kecil. Penelitian terkait bagaimana regulasi emosi beroperasi pada masa remaja masih kurang diperhatikan. Meskipun kurangnya teori formal tentang regulasi emosi pada masa remaja, kerangka regulasi emosi dapat berguna untuk mengkonseptualisasikan dan mengintegrasikan berbagai konstruksi yang telah ada menjadi subjek perhatian empiris dalam literatur tentang masa remaja. Misalnya, indikator kesejahteraan psikologis remaja (harga diri, suasana hati positif) dapat ditafsirkan dari perspektif regulasi emosi sebagai gambaran dari regulasi emosi yang sukses, atau fungsi emosional adaptif.
          Regulasi emosi dapat didefinisikan sebagai cara dimana seseorang menggunakan pengalaman emosional untuk menyediakan fungsi adaptif (Thompson, 1994). Pandangan regulasi emosi ini tidak hanya berfokus pada modulasi tekanan tetapi juga pada upaya untuk merangsang emosi positif atau meningkatkan gairah emosional untuk mencapai tujuan interpersonal yang penting (Calkins, 1994; Thompson, 1994).
                Regulasi emosi telah digunakan untuk merujuk pada hasil dan proses. Dalam hal hasil, beberapa peneliti mendefinisikan regulasi emosi sebagai sejauh mana seseorang menunjukkan kontrol emosional terhadap reaktivitas emosional (Maedgen & Carlson, 2000). Dalam pandangan ini, komponen-komponen penting dari regulasi emosi termasuk labilitas emosional, menampilkan emosi maladaptif, dan keadaan mood negatif. Dalam hal proses, regulasi emosi dipahami sebagai adanya  strategi coping yang digunakan individu untuk memodifikasi reaksi emosional (Contreras, Kerns, Weimer, Gentzler, & Tomich, 2000; Rossman, 1992; Underwood, 1997). Pada masa bayi, regulasi emosi dilakukan melalui kontrol eksternal. Sedangkan pada masa remaja, umumnya regulasi emosi akan beralih dari kontrol eksternal menjadi kontrol internal dan atas inisiatif sendiri. Remaja akan lebih pandai dalam mengatur situasi serta mampu memilih cara yang efektif untuk coping ( Problem-focused coping, emotion-focused coping, dan seeking social support).
          Berbagai keterampilan diperlukan untuk regulasi emosi yang efektif, termasuk fleksibilitas dan responsif terhadap perubahan tuntutan situasional (Cole et al., 1994; Thompson, 1994). Keterampilan lain termasuk kesadaran akan keadaan emosi seseorang, kapasitas untuk mendeteksi emosi pada orang lain, pengetahuan tentang aturan tampilan budaya untuk emosi, dan kemampuan untuk berempati dengan keadaan emosi orang lain (Saarni, 1990; dikutip dalam Underwood, 1997).
          Ekman dan Friesen mengemukakan beberapa cara untuk meregulasi emosi yang dikenal dengan istilah displays rules , yaitu masking, modulation, dan simulation.
a.      Masking adalah keadaan seseorang yang dapat menyembunyikan atau dapat menutupi emosi alaminya. Emosi yang dialaminya tidak tercetus keluar melalui ekspresi tingkah laku. Contoh dari sikap masking tersebut adalah menutupi kesedihan, mengendalikan amarah, tidak menampakkan kebahagiaannya.
b.      Modulation adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat meredam secara tuntas mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya dapat menguranginya. Contoh dari sikap modulation adalah bersikap biasa jika keadaan jengkel, bersikap cuek.
c.       Simulation adalah orang tidak mengalami emosi, tetapi ia seolah-olah mengalami emosi dengan menampakkan gejala-gejala kejasmaniannya. Contoh dari sikap simulation adalah sering memberontak, meledakkan amarahnya, egois, bertindak kasar.







Wilayah otak yang terkait dengan regulasi emosi (Ahmed, Bittencourt-Hewit,& Sebastian.2015):
          Daerah yang ditunjukkan (searah jarum jam dari kiri atas) adalah medial prefrontal cortex (mPFC), anterior cingulate cortex (ACC), ventral striatum (VS), dorsolateral prefrontal cortex (dlPFC), inferior frontal gyrus triangularis (IFGTr)/ventrolateral prefrontal cortex (vlPFC), orbitofrontal cortex (OFC) dan amygdala.
Daerah subkortikal:
Amygdala: berbentuk almond dan merupakan jaringan saraf yang terletak di temporal (sisi) lobus otak. Amygdala berfungsi atas persepsi emosi (marah,takut,sedih,dll) serta pengendali agresi. Amigdala membantu untuk menyimpan kenangan peristiwa dan emosi sehingga individu mungkin dapat mengenali kejadian serupa di masa mendatang.
• VS: terhubung  dengan struktur limbik, seperti amigdala, hippocampus, midline thalamus, dan area tertentu dari PFC. Bagian otak ini terkait dengan aspek-aspek perilaku emosional(kesenangan dan ketakutan) dan motivasi dan terutama terlibat dalam pemrosesan dan antisipasi imbalan( perilaku berorientasi pahala).
Daerah kortikal:
• dlPFC: terkait dengan proses kontrol kognitif, yaitu mengoordinasikan pemikiran dan tindakan sesuai dengan tujuan . Proses-proses yang terjadidalam bagian otak ini terlibat dalam pengendalian emosi, khususnya penurunan regulasi emosi negatif.
• IFGTr / vlPFC: aktivitas di wilayah ini terbukti ketika mengurangi pengaruh negatif subyektif selama regulasi yang rumit. Fungsi-fungsi ini dapat dihasilkan dari interaksi dengan daerah saraf yang terputus, terutama amigdala dan VS. VlPFC juga dianggap memainkan peran penting dalam kontrol penghambatan untuk rangsangan emosional dan non-emosional.
• Mpfc: mengintegrasikan masukan dari thalamus garis tengah, amigdala basolateral, dan hippocampus ventral terkait dengan perhatian, kognisi, emosi, dan memori. mPFC sangat terlibat dalam proses kognitif sosial termasuk Teori Pikiran dan memahami emosi sosial.
• ACC: memiliki koneksi dua arah yang luas dengan dorso-lateral, orbitofrontal, dan daerah insuler dari korteks serebral. Aktivasi ACC meningkat selama fungsi eksekutif emosional dan kognitif, menunjukkan struktur relay neural di mana pengaruh-pengaruh ini mempengaruhi perilaku respon.
• OFC: terkait dengan pemberian tanda penghargaan / hukuman yang diharapkan dari suatu tindakan dan oleh karena itu penting untuk pembelajaran. OFC berbagi koneksi timbal balik yang luas dengan amygdala serta striatum, terutama area yang berhubungan dengan penghargaan ventral.
          Dalam sebuah buletin edisi spesial berjudul “emotion regulation across the life span” menyatakan salah satu komponen regulasi emosi yang tepat untuk remaja ialah dengan berbagi emosi dengan orang terdekat. (Weichold.2014)
C.    Perkembangan Emosi pada Remaja
1.      Ciri-ciri Perkembangan Emosi pada Remaja
Zeman(2001) mengungkapkan beberapa ciri perkembangan emosional pada remaja adalah sebagai berikut.
a.   Memiliki kapasitas untuk mengembangkan hubungan jangka panjang, sehat, dan berbalasan. Kemampuan ini akan diperoleh jika remaja memiliki dasar yang telah diperoleh dari perkembangan sebelumnya, yaitu trust, pengalaman positif di masa lalu, dan pemahaman akan cinta.
b.   Memahami perasaan sendiri dan memiliki kemampuan untuk menganalisis mengapa mereka merasakan perasaan dengan cara tertentu.
c.    Memiliki kemampuan untuk mengelola emosinya. Remaja telah mengembangkan kosakata yang banyak sehingga dapat mendiskusikan , dan kemudian mempengaruhi keadaan emosional dirinya maupun orang lain. Faktor lain yang berperan secara signifikan dalam pengaturan emosi yang dilakukan remaja adalah meningkatnya sensitivitas remaja terhadap evaluasi yang diberikan orang lain terhadap mereka , suatu sensitivitas yang dapat memunculkan kesadaran diri.
d.   Gender berperan secara signifikan dalam penampilan emosi remaja. Laki-laki cenderung kurang menunjukkan emosi takut selama distres dibandingkan dengan perempuan. Hal ini didukung oleh keyakinan pada laki-laki bahwa mereka akan kurang dimengerti dan dikecilkan/diremehkan oleh orang lain bila menunjukkan emosi seperti takut dan mudah diserang (vulnerable).


2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi pada Remaja
          Mohammad Asrori (dalam jurnal pendidikan sosial hal. 40-43) menyebutkan sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi pada remaja sebagai berikut.
a.      Perubahan Jasmani
                Perubahan jasmani yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Pada taraf permulaan pertumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu saja yang mengakibatkan postur tubuh menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan tubuh ini sering mempunyai akibat yang tidak terduga pada perkembangan emosi remaja. Tidak setiap remaja dapat menerima perubahan kondisi tubuh seperti itu, lebih-lebih jika perubahan tersebut menyangkut perubahan kulit yang manjadi kasar dan penuh jerawat. Hormon-hormon tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan rangsangan didalam tubuh remaja dan seringkali menimbulkan masalah dalam perkembangan emosinya.

b.   Perubahan Pola Interaksi dengan Orang Tua
                Pola asuh orang tua terhadap anak, termasuk remaja, sangat bervariasi. Ada yang pola asuhnya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja sehingga ada yang bersifat otoriter, memanjakan anak, acuh tak acuh, tetapi ada juga yang dengan penuh cinta kasih. Perbedaan pola asuh orang tua yang seperti ini dapat berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi remaja. Cara memberikan hukuman mislnya, jika dahulu anak dipukul karena nakal, pada remaja cara semacam itu justru dapat menimbulkan ketegangan yang lebih berat antara remaja dengan orang tuanya.
                Pemberontakan terhadap orang tua menunjukkan bahwa mereka berada dalam konflik dan ingin melepaskan diri dari pengawasan orang tua. Mereka tidak merasa puas kalau tidak pernah sama sekali menunjukkan perlawanan terhadap orang tua karena ingin menunjukkan seberapa jauh dirinya telah berhasil menjadi orang yang lebih dewasa. Jika mereka berhasil dalam perlawanan terhadap orang tua sehingga menjadi marah, mereka pun belum merasa puas karena orang tua tidak menunjukkan pengertian yang mereka inginkan. Keadaan semacam ini sangat berpengaruh terhadap perkembaangan emosi remaja.

c.       Perubahan Interaksi dengan Teman Sebaya
          Remaja seringkali membangun interaksi sesama teman sebayanya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan membentuk semacam geng. Interaksi antar anggota dalam suatu kelompok geng biasanya sangat intens serta memiliki kohesivitas dan solidaritas sangat tinggi. Pembentukan kelompok dalam bentuk geng seperti ini sebaiknya diusahakan terjadi pada masa remaja awal saja karena biasanya bertujuan positif, yaitu untuk memenuhi minat mereka bersama. Usahakan dapat menghindarkan membentuk kelompok secara geng ketika sudah memasuki masa remaja tengah atau remaja akhir. Pada masa ini para anggotanya biasanya membutuhkan teman-teman untuk melawan otoritas atau melakukan perbuatan yang tidak baik atau bahkan kejahatan bersama.
          Faktor yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungan cinta dengan lawan jenis. Pada masa remaja tengah, biasanya remaja benar-benar mulai jatuh cinta dengan teman lawan jenisnya. Gejala ini sebenarnya sehat bagi remaja, tetapi tidak jarang juga menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada remaja jika tidak diikuti bimbingan dari orang tua atau orang lebih dewasa. Oleh sebab itu, tidak jarang orang tua justru merasa tidak gembira atau bahkan cemas ketika anak remajanya jatuh cinta. Gangguan emosional yang mendalam dapat terjadi ketika cinta remaja tidak terjawab atau karena pemutusan hubungan cinta dari satu pihak sehingga dapat menimbulkan kecemasan bagi orang tua dan bagi remaja itu sendiri.

d.      Perubahan Pandangan Luar
          Faktor penting yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi remaja selain perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja itu sendiri adalah pandangan dunia luar dirinya. Ada sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosional dalam diri remaja, yaitu sikap dunia luar terhadap remaja yang tidak konsisten. Kadang-kadang mereka dianggap sudah dewasa, tetapi mereka tidak mendapat kebebasan penuh atau peran yang wajar sebagaimana orang dewasa. Seringkali mereka masih dianggap anak kecil sehingga berakibat timbulnya kejengkelan pada diri remaja. Kejengkelan yang mendalam dapat berubah menjadi tingkah laku emosional. Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nilai-nilai yang berbeda untuk remaja laki-laki dan perempuan. Kalau remaja laki-laki memiliki teman banyak perempuan, mereka mendapat predikat “ popular “ dan mendatangkan kebanggaan. Sebaliknya apabila remaja putri mempunyai banyak teman laki-laki sering dianggap tidak baik atau bahkan mendapat predikat yang kurang baik juga. Penerapan nilai yang berbeda semacam ini jika tidak disertai dengan pemberian pengertian secara bijaksana dapat menyebabkan remaja bertingkah laku emosional.
                Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab yaitu dengan cara melibatkan remaja tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan yang merusak dirinya dan melanggar nilai-nilai moral seperti penyalahgunaaan obat terlarang, minum-minuman keras, atau tindak kriminal dan kekerasan. Perlakuan dunia luar semacam ini akan sangat merugikan bagi perkembangan emosi remaja.

e.    Perubahan Interaksi dengan Sekolah
                Pada masa anak-anak, sebelum menginjak remaja, sekolah merupakan suatu tempat pendidikan yang amat diidealkan oleh mereka. Para guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan karena selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta didiknya. Oleh karena itu tidak jarang naka-anak lebih percaya, lebh patuh, bahkak lebuh takut kepada guru dibandingkan kepada orang tuanya. Posisi guru semacam ini sangat strategis bila digunakan untuk pengembangan emosi anak melalui penyampaian niai-nilai luhur, positif dan kontsruktif.
          Dalam menuju pembaharuan, para remaja sering terbentur pada nilai-nilai yang tidak dapat mereka terima atau yang sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai yang menarik bagi mereka. Pada saat ini timbullah idealisme untuk mengubah lingkungannya. Idealisme seperti ini tentunya tidak boleh diremehkan dengan anggapan bahwa semuanya akan muncul ketika mereka sudah dewasa. Sebab, idealisme yang dikecewakan dapat berkembang menjadi tingkah laku emosional yang destruktif. Sebaliknya, apabila remaja berhasil diberikan penyaluran yang positif untuk mengembangkan idealismenya akan sangat bermanfaat bagi pengembangan lebih lanjut sampai mereka memasuki masa dewasa.

3.      Kompetensi Emosi
          Di masa remaja, individu cenderung lebih menyadari siklus emosionalnya, seperti perasaan bersalah karena marah. Kesadaran yang baru ini dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatai emosi-emosinya. Remaja juga lebih terampil dalam menampilkan emosi-emosinya ke orang lain. Meskipun meningkatnya kemampuan kognitif dan kesadaran dari remaja dapat mempersiapkan mereka untuk dapat mengatasi stres dan fluktuasi emosional secara lebih  efektif, banyak remaja tidak dapat mengelola emosinya secara lebih efektif. Sebagai akibatnya mereka rentan untuk mengalami depresi, kemarahan, kurang mampu meregulasi emosinya, yang selanjutnya dapat memicu munculnya berbagai masalah sperti kesulitan akademis, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja atau gangguan makan.
          (Saarni, 1999) menyebutkan kompetensi emosional yang penting untuk dikembangkan remaja meliputi:
a.      Memiliki kesadaran akan kondisi emosionalnya
Contoh : Seseorang mampu membedakan emosi sedih dan cemas.
b.       Mendeteksi kondisi emosi orang lain
Contoh : dapat membedakan apakah orang lain itu merasa sedih atau takut.
c.       Menggunakan kosakata emosi yang tepat secara social dan kultural
Contoh : mampu menyatakan jika ia sedih, dengan latar belakang budaya dimana ia berada.
d.      Memiliki sensitivitas dan empati pada pengalaman, emosional orang lain
Contoh : peka terhadap orang lain ketika orang tersebut mengalami kondisi distress.
e.       Menyadari bahwa kondisi emosi internal tidak selalu sama dengan ekspresi luarnya
Contoh : mengenali bahwa seseorang dapat merasa sangat marah di dalam hatinya, namun ia bisa mengelola agar ekspresi emosinya tampak normal.
f.        Secara adaptif melakukan coping tethadap emosi negative dengan cara self-regulatory
Contoh : mengurangi rasa marah dengan cara menghindari situasi menekan.
g.      Menyadari bahwa pengungkapan emosi memiliki peran yang penting dalam hubungan
Contoh : mengungkapkan kemarahan secara kasar kepada teman dapat mengubah secara kasar kepada teman dapat mengubah hubungan pertemanan menjadi tidak harmonis
h.      Menerima bahwa seseorang mengalami emosi tertentu sebagaimananya yang ingin ia rasakan
Contoh  : secara sadar mengahadapi kondisi emosinya dan mencari cara yang tepat mengatasinya.
4.      Kecerdasan Emosi
          Menurut  Goleman (1995) dalam Sarlito,  dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalam seseorang dalam mengelola emosinya tergantung pada kecerdasan emosi (Emotional Intelegence). makin tinggi kecerdasan emosional seseorang, makin bisa ia mengatasi berbagai masalah, khususnya yang memerlukan kendali emosi yang kuat. Untuk mencapai kecerdasan emosi, seseorang disyaratkan untuk menguasai kompetensi emosional. Kecerdasan emosi terdiri atas empat kemampuan, yaitu :
a.      Kemampuan mempersepsi emosi, yaitu mengidentifikasi ekspresi emosi yang ada pada wajah, lukisan, suara, artifak budaya dan ssebagainya, yang termasuk emosi diri sendiri.
b.      Kemampuan memanfaatkan emosi untuk mencapai prestasi-prestasi yang optimal. Orang dengan kecerdasan emosi yang tinggi, justru makin bersemangat dal keadaan emosi bukan makin depresi.
c.       Memahami emosi, yaitu bisa membaca bahasa emosi, mengerti bagaimana terjadinya emosi dalm interaksi antarindividu yang sangat rumit dan bias mendeteksi emosi-emosi yang mungkin terjadi dan bagaimana mengantisipasinya.
d.      Mengelola emosi, yaitu mengatur emosi sedemikian rupa, baik untuk diri sendiri maupun terhadap orang lain sehingga bisa menjaga hubungan baik dan mencapai prrestasi tinggi.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
          Masa remaja sering ditandai dengan periode “badai topan dan stres”(storm and stress) dimana remaja merasakan fluktuasi emosi. Hal ini terjadi karena remaja sedang bersiap dan memulai penyesuaian diri untuk tahap perkembangan berikutnya. Selain itu, pola emosi yang terjadi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa anak-anak, perbedaannya hanya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, khususnya pada pengendalian individu terhadap ungkapan emosi mereka. Menurut Hurlock, remaja memiliki kematangan emosi ketika pada masa remaja akhir tidak “meledakkan” emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima.
          Regulasi emosi dapat didefinisikan sebagai cara dimana seseorang menggunakan pengalaman emosional untuk menyediakan fungsi adaptif (Thompson, 1994). Zeman(2001) mengungkapkan beberapa ciri perkembangan emosional pada remaja yaitu, memiliki kapasitas untuk mengembangkan hubungan jangka panjang, sehat, dan berbalasan. Remaja diharapkan mampu mengembangkan kompetensi emosi untuk bisa mencapai kecerdasan emosional dan bisa melangkah ke tahap perkembangan selanjutnya.

B.     Saran
          Terkait studi perkembangan emosi pada remaja, jumlah penelitian yang dilakukan masih belum membahas keseluruhan hal – hal yang terkait pada periode masa remaja. Contohnya saja pada regulasi emosi. Penelitian masih kurang yang membahas mengenai dasar – dasar teori dari regulasi emosi.
DAFTAR PUSTAKA

Azmi, N. (2015). Potensi Emosi Remaja dan Pengembangannya. Jurnal
        Pendidikan Sosial. Vol. 2, 36-46

Gusti, A.Y., Pratiwi, M.M.S. (2010). Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati
        dan Kematangan Emosi.
Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus. Vol. 1,
        No. 1, 33-42.

Hurlock, E. (1999). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang  
        Rentang Kehidupan
. Jakarta : Erlangga.                                                      

Lerner, R.M., dkk. (2003). Handbook of Psychology : Volume 6 Developmental   
        Psychology
. Canada : John Wiley & Sons, Inc. 
Putro, K.Z. (2017). Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Remaja.
             Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama. Vol. 17, 25-32.

Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.                               
Sarwono, S.W. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Saz P, A., dkk.  (2015). Neurocognitive Bases of Emotion Regulation   
       Development in Adolescences
. Developmental Cognitive Neuroscience, 11-
       25.
Walgito, B. (2004). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi

Weichold, K. (n.d.). Emotion Regulation Across the Life Span. Supplement to  
       International Journal of Behavioral Development Volume 38 Issue 3 May,
       2014
.                                                                                                                                    
Zeman, J. (2001). Emotional Development. University of Maine. Tersedia :      
        http :// findarticles.com/p/articles/mi_g2602/ is_0002/ai_2602000223 (14
        Februari 2012)


    



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH PERMASALAHAN POKOK PENDIDIKAN DAN PENANGGULANGANNYA

MAKALAH " THAHARAH"

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA