AKALAH MATA KULIAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN REMAJA
MAKALAH
MATA KULIAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN REMAJA
MATA KULIAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN REMAJA
PERKEMBANGAN EMOSI
Diampu
Oleh :
Dian Novita Siswanti, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog
Novita Maulidya Djalal, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Dian Novita Siswanti, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog
Novita Maulidya Djalal, S.Psi., M.Psi., Psikolog
KELAS
3.A
KELOMPOK 3
KELOMPOK 3
AL IKHWAN BAKKARANG (1771040044)
ANCENSIUS TOMBO BAMBA (1771041085)
AINAYYA NAHDAHUNNISA (1771042055)
ALFIRA ANDRIYANA (1771041051)
ANCENSIUS TOMBO BAMBA (1771041085)
AINAYYA NAHDAHUNNISA (1771042055)
ALFIRA ANDRIYANA (1771041051)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||

![]() |
|||
![]() |
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan manusia dapat dipahami
sebagai sebuah proses yang panjang dalam rentang kehidupan dari segi
pertumbuhan dan perubahan fisik, perilaku, kognitif, maupun emosional.
Sepanjang periode perkembangan tersebut,setiap individu akan mengembangkan
sikap dan nilai yang mengarahkan pilihan, hubungan, dan pengertian. Salah satu
periode dalam perkembangan adalah masa remaja.
Remaja adalah masa transisi dalam
periode perkembangan manusia menuju kepada kematangan
,baik secara fisik
maupun intelektual. Dalam perkembangannya, remaja diketahui mempunyai emosi yang cenderung
kurang stabil bahkan emosinya sering meluap-luap. Emosi yang dialami pada masa remaja lebih kompleks jika
dibandingkan dengan emosi yang terjadi pada bayi dan anak-anak. Emosi yang terjadi pada remaja
mempengaruhi mereka dalam bertingkah laku serta
berperan penting terhadap pola pikir remaja secara emosional ataupun rasional.
Makalah ini dibuat karena persoalan yang berkaitan dengan perkembangan
emosi pada remaja perlu untuk diketahui dan dipahami sehingga upaya pengembangan dan
pengelolaan emosi pada remaja dapat dilakukan,
entah dengan
belajar menangani suatu masalah secara mandiri maupun mempelajarinya dari suatu
kelompok atau orang lain, dengan tujuan untuk membentuk karakter emosi remaja
yang baik, cerdas dan berakal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mengenali emosi
pada masa remaja ?
2. Bagaimana ciri-ciri
kematangan emosi pada masa remaja ?
3. Bagaimana perkembangan emosi
pada masa remaja ?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat untuk memberikan
pemahaman yang mumpuni terkait dengan perkembangan emosi yang terjadi pada masa
remaja, disamping untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata
kuliah yang berkaitan.
D. Manfaat Penulisan
Makalah ini bermanfaat
untuk menambah wawasan terkait materi yang disampaikan, juga sebagai referensi
dan acuan untuk memperdalam pemahaman. Pembaca juga diharapkan dapat
mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh dari makalah ini, dan dapat lebih
memahami perkembangan emosi remaja yang labil.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Mengenal
Emosi pada Remaja
Secara umum, masa remaja adalah masa
transisi dalam perkembangan manusia dari masa anak-anak menuju kepada masa
dewasa. Papalia dan Olds mendefinisikan masa remaja sebagai masa transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umunya dimulai pada
usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua
puluhan tahun. Sedangkan, Stanley Hall mendefinisikan masa remaja sebagai
periode “badai topan dan tekanan”(storm
and stress) karena merupakan satu masa dimana ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Sementara itu, emosi secara harfiah
berasal dari bahasa Latin Emovere yang
artinya bergerak menjauh. Menurut Daniel Goleman, emosi merujuk pada suatu
perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis , dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Dapat dipahami, bahwa emosi adalah
perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu kejadian.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Stanley Hall dalam teorinya tentang storm and stress, meningginya emosi bagi
remaja laki-laki dan perempuan karena berada di bawas tekanan sosial dan
menghadapi kondisi baru dimana remaja sedang berusaha mencari jati dirinya. Di
satu sisi, remaja ingin memperoleh kebebasan namun masih dependen kepada orang
tuanya. Adapun pada masa kanak-kanak masih kurang dalam mempersiapkan diri
untuk menghadapi keadaan-keadaan seperti itu.
Sebagian besar remaja mengalami
ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian
diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Menurut Gesell dan
kawan-kawan, remaja 14 tahun sering kali mudah marah, mudah dirangsang, dan
emosinya cenderung meledak dan tidak berusaha mengendalikan perasaannya.
Sebaliknya, remaja berusia 16 tahun mengatakan bahwa mereka tidak punya
keprihatinan. Jadi, adanya badai dan tekanan dalam periode ini berkurang
menjelang berakhirnya awal masa remaja.
Secara umum, dikenal ada dua jenis
emosi yaitu emosi negatif dan emosi positif. Emosi negatif adalah sebuah
episode respon individu yang merupakan hasil evaluasi terhadap stimulus
internal ataupun eksternal yang bersifat tidak menyenangkan bagi individu
karena adanya stimulus yang dinilai tidak menyenangkan atau mengancam (Scherer,
2001). Sedangkan emosi positif adalah sebuah episode respon individu yang
merupakan hasil evaluasi terhadap stimulus internal ataupun eksternal yang
bersifat menyenangkan bagi individu karena adanya stimulus yang dinilai
menguntungkan(Scherer, 2001). Menurut Hurlock, ada 8 emosi yang umum pada
remaja yaitu amarah, takut, cemburu, iri hati, sedih (emosi negatif) dan ingin
tahu, gembira, kasih sayang (emosi positif). Sarlito menyatakan bahwa
sebenarnya sulit untuk mendefenisikan emosi tertentu termasuk dalam kategori
positif atau negatif karena emosi jenis yang satu seringkali menunjukkan
perubahan fisiologis yang sama dengan emosi jenis yang lain. misalnya takut dan
terkejut tampil dalam perubahan fisiologis dan ekskresi yang hampir sama.
Demikian juga perasaan sedih dan gembira yang mendalam kadang-kadang
diekspresikan dengan cara yang sama yaitu menangis, sehingga beberapa ahli
menggolongkan emosi berdasarkan jenis rangsangannya. Hal ini dapat dilihat dari
pengelompokkan emosi oleh Syamsu (2008) yang mengelompokkan emosi sebagai
berikut.
1.
Emosi sensoris, yaitu emosi yang
ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti : rasa dingin,
manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
2.
Emosi psikis , yaitu emosi yang
mempunyai alasan-alasan kejiwaan. Yang termasuk emosi ini, diantaranya adalah :
a.
Perasaan Intelektual, yaitu yang
mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan
dalam bentuk (a) rasa yakin dan tidak
yakin terhadap suatu karya ilmiah ,(b) Rasa
gembira karena mendapat suatu kebenaran, (c)Rasa
puas karena dapat menyelesaikan persoalan-persoalan ilmiah yang harus
dipecahkan.
b.
Perasaan sosial, yaitu perasaan
yang berhubungan dengan orang lain , baik bersifat perorangan maupun kelompok.
Wujud perasaan ini seperti (a) Rasa
solidaritas , (b) Persaudaraan , (c) simpati , dan (d) Kasih sayang.
c.
Perasaan susila, yaitu perasaan
yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral).
Contohnya (a) Rasa tanggung jawab , (b) Rasa bersalah apabila melanggar
norma , (c) Rasa tentram dalam
menaati norma.
Pada upaya penggolongan jenis-jenis
emosi berdasarkan sifat emosi itu sendiri, W. Wundt (1832-1920) mengemukakan
tiga pasang kutub emosi, yaitu
1.
Lust-Unlust
(senang-tidak senang)
2.
Spannung-Losung
(tegang-tidak
tegang)
3.
Erregung-Beruhigung
(semangat-tenang)
Setiap keadaan emosional, menurut Wundt, selalu merupakan kombinasi dari
kutub-kutub emosi tersebut. Seperti, seorang laki-laki melihat harimau,
misalnya harimau, keadaan emosinya adalah Unlus,
Spannung, dan Erregung.
Emosi berhubungan erat dengan
harga diri(self esteem). Emosi
negatif, seperti kesedihan, dikaitkan dengan harga diri yang rendah, sedangkan
emosi positif, seperti sukacita, terkait dengan harga diri yang tinggi.
Pengalaman emosional yang terlibat dalam peristiwa seperti pengalaman seksual
yang muncul, kencan dan pertemuan romantis, dan mengendarai mobil berkontribusi
pada perkembangan identitas remaja Remaja muda mungkin merajuk banyak, tidak
tahu bagaimana mengekspresikan perasaan mereka secara memadai. Dengan sedikit
atau tanpa provokasi, mereka mungkin meledakkan emosinya kepada orang tua atau
saudara kandung mereka, atau memproyeksikan perasaan tidak menyenangkan mereka
ke orang lain.
Pola emosi pada remaja sama dengan
pola emosi pada anak-anak. Perbedaannya terletak pada rangsangan yang
membangkitkan emosi dan derajat, khususnya pada pengendalian individu terhadap
ungkapan emosi mereka. Misalnya perlakuan sebagai “anak kecil” atau secara
“tidak adil” membuat remaja sangat marah dibandingkan dengan hal-hal lain.
Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya maupun dengan cara gerakan yang
berorientasi kepada sifat kekanak-kanakan seperti tantrum, melainkan dengan
cara menggerutu, tidak mau berbicara atau dengan keras mengkritik orang-orang
yang menyebabkan amarah. Remaja juga iri hati terhadap orang yang memiliki
benda lebih banyak. Remaja cenderung tidak mengeluh dan menyesali diri sendiri,
seperti yang dilakukan anak-anak.
B.
Kematangan
Emosi pada Remaja
1.
Definisi
& Ciri-ciri Kematangan Emosi pada Remaja
Menurut Hurlock, remaja memiliki
kematangan emosi ketika pada masa remaja akhir tidak “meledakkan” emosinya di
hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk
mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. Sementara
itu, Sartre (2002: 7) mengatakan bahwa kematangan emosi adalah keadaan
seseorang yang tidak cepat terganggu rangsang yang bersifat emosional, baik
dari dalam maupun dari luar dirinya, selain itu dengan kematangan emosi maka
individu dapat bertindak dengan tepat dan wajar sesuai dengan situasi dan
kondisi. Dari dua definisi ini, dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah
kemampuan individu dalam memberikan
tanggapan emosi dengan baik dalam menghadapi tantangan hidup yang ringan dan
berat serta mampu menyelesaikan, mampu mengendalikan luapan emosi dan mampu
mengantisipasi secara kritis situasi yang dihadapi.
Sarlito (2013 : 99)
mengatakan bahwa remaja dikenal dengan emosinya yang menggebu-gebu dan
menyulitkan bagi orang lain , termasuk orang tua dan guru dalam memahami jiwa
remaja. Namun, emosi yang menggebu ini sebenarnya memiliki manfaat dalam
mencari identitas diri bagi remaja itu sendiri. Remaja khususnya remaja awal
memang berada dalam konflik peran. Di satu sisi, dia ingin bebas namun di sisi
lain masih dependen terhadap orang tuanya. Emosi yang dialami tersebut secara
bertahap membawa remaja menuju kedewasaan. Reaksi orang-orang di sekelilingnya
menjadikan remaja belajar dari semua pengalaman itu dan remaja belajar
mengambil langkah-langkah terbaik , termasuk bagaimana mematangkan emosi ketika
menghadapi berbagai situasi yang ada.
Jika remaja tidak berhasil dalam
mematangkan emosinya, maka akan berdampak dalam penyesuaian diri terhadap
lingkungan sosialnya. Remaja akan mengalami situasi-situasi kritis jika selalu
mengikuti gejolak emosinya, dan kemungkinan terperangkap masuk ke jalan yang
salah. Berbagai kasus yang timbul seperti penyalahgunaan obat, merokok (pada
remaja laki-laki dikatakan tidak keren jika tidak merokok), penyalahgunaan
seks, dan berbagai kasus yang lain adalah sebagian kecil dari dampak yang
ditimbulkan akibat remaja tidak mengalami kematangan emosional.
Menurut Hurlock, remaja yang matang
secara emosional memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a.
Menilai situasi secara kritis
terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa
berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang. Artinya,
remaja mengabaikan banyak rangsangan yang dapat menimbulkan ledakan emosi.
b.
Dapat memberikan reaksi emosional
yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati yang lain.
c.
Remaja yang matang secara emosional
artinya mereka telah belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang
dapat menimbulkan reaksi emosional.
d.
Ketika memiliki masalah pribadi,
remaja akan cenderung membicarakan masalahnya dengan orang yang dipercaya .
Sementara itu , menurut Walgito, kematangan emosional dicirikan oleh hal-hal
sebagai berikut.
a.
Dapat menerima keadaan dirinya maupun
orang lain sesuai dengan objektifnya.
b.
Pada umumnya tidak bersifat
impulsive, dapat mengatur pikirannya dalam memberikan tanggapan terhadap
stimulus yang mengenainya.
c.
Dapat mengontrol emosinya dengan
baik dan dapat mengontrol ekspresi emosinya walaupun dalam keadaan marah dan
kemarahan itu tidak ditampakkan keluar.
d.
Dapat berpikir objektif sehingga
akan bersifat sabar, penuh pengertian dan cukup mempunyai toleransi yang baik.
e.
Mempunyai tanggung jawab yang baik,
dapat berdiri sendiri, tidak mengalami frustrasi dan mampu menghadapi masalah
dengan penuh pengertian.
2.
Regulasi
Emosi
Sebagian besar penelitian tentang regulasi emosi berfokus pada bayi dan
anak-anak kecil. Penelitian terkait bagaimana regulasi emosi beroperasi pada
masa remaja masih kurang diperhatikan. Meskipun kurangnya teori formal tentang
regulasi emosi pada masa remaja, kerangka regulasi emosi dapat berguna untuk
mengkonseptualisasikan dan mengintegrasikan berbagai konstruksi yang telah ada
menjadi subjek perhatian empiris dalam literatur tentang masa remaja. Misalnya,
indikator kesejahteraan psikologis remaja (harga diri, suasana hati positif)
dapat ditafsirkan dari perspektif regulasi emosi sebagai gambaran dari regulasi
emosi yang sukses, atau fungsi emosional adaptif.
Regulasi emosi dapat didefinisikan
sebagai cara dimana seseorang menggunakan pengalaman emosional untuk
menyediakan fungsi adaptif (Thompson, 1994). Pandangan regulasi emosi ini tidak
hanya berfokus pada modulasi tekanan tetapi juga pada upaya untuk merangsang
emosi positif atau meningkatkan gairah emosional untuk mencapai tujuan interpersonal
yang penting (Calkins, 1994; Thompson, 1994).
Regulasi emosi telah digunakan untuk merujuk pada hasil dan proses.
Dalam hal hasil, beberapa peneliti mendefinisikan regulasi emosi sebagai sejauh
mana seseorang menunjukkan kontrol emosional terhadap reaktivitas emosional
(Maedgen & Carlson, 2000). Dalam pandangan ini, komponen-komponen penting
dari regulasi emosi termasuk labilitas emosional, menampilkan emosi maladaptif,
dan keadaan mood negatif. Dalam hal proses, regulasi emosi dipahami sebagai
adanya strategi coping yang digunakan
individu untuk memodifikasi reaksi emosional (Contreras, Kerns, Weimer,
Gentzler, & Tomich, 2000; Rossman, 1992; Underwood, 1997). Pada masa bayi,
regulasi emosi dilakukan melalui kontrol eksternal. Sedangkan pada masa remaja,
umumnya regulasi emosi akan beralih dari kontrol eksternal menjadi kontrol
internal dan atas inisiatif sendiri. Remaja akan lebih pandai dalam mengatur
situasi serta mampu memilih cara yang efektif untuk coping ( Problem-focused coping,
emotion-focused coping, dan seeking
social support).
Berbagai
keterampilan diperlukan untuk regulasi emosi yang efektif, termasuk
fleksibilitas dan responsif terhadap perubahan tuntutan situasional (Cole et
al., 1994; Thompson, 1994). Keterampilan lain termasuk kesadaran akan keadaan
emosi seseorang, kapasitas untuk mendeteksi emosi pada orang lain, pengetahuan
tentang aturan tampilan budaya untuk emosi, dan kemampuan untuk berempati
dengan keadaan emosi orang lain (Saarni, 1990; dikutip dalam Underwood, 1997).
Ekman dan Friesen mengemukakan
beberapa cara untuk meregulasi emosi yang dikenal dengan istilah displays rules , yaitu masking, modulation, dan simulation.
a.
Masking adalah keadaan seseorang yang
dapat menyembunyikan atau dapat menutupi emosi alaminya. Emosi yang dialaminya
tidak tercetus keluar melalui ekspresi tingkah laku. Contoh dari sikap masking
tersebut adalah menutupi kesedihan, mengendalikan amarah, tidak menampakkan
kebahagiaannya.
b.
Modulation adalah keadaan dimana seseorang
tidak dapat meredam secara tuntas mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya
dapat menguranginya. Contoh dari sikap modulation adalah bersikap biasa
jika keadaan jengkel, bersikap cuek.
c.
Simulation adalah orang tidak
mengalami emosi, tetapi ia seolah-olah mengalami emosi dengan menampakkan
gejala-gejala kejasmaniannya. Contoh dari sikap simulation adalah sering
memberontak, meledakkan amarahnya, egois, bertindak kasar.
Wilayah
otak yang terkait dengan regulasi emosi (Ahmed, Bittencourt-Hewit,&
Sebastian.2015):

Daerah yang ditunjukkan (searah jarum
jam dari kiri atas) adalah medial
prefrontal cortex (mPFC), anterior
cingulate cortex (ACC), ventral
striatum (VS), dorsolateral
prefrontal cortex (dlPFC), inferior
frontal gyrus triangularis (IFGTr)/ventrolateral
prefrontal cortex (vlPFC), orbitofrontal
cortex (OFC) dan amygdala.
Daerah
subkortikal:
•
Amygdala: berbentuk almond dan
merupakan jaringan saraf yang terletak di temporal (sisi) lobus otak. Amygdala berfungsi atas persepsi emosi
(marah,takut,sedih,dll) serta pengendali agresi. Amigdala membantu untuk
menyimpan kenangan peristiwa dan emosi sehingga individu mungkin dapat
mengenali kejadian serupa di masa mendatang.
•
VS: terhubung dengan struktur limbik,
seperti amigdala, hippocampus, midline thalamus, dan area tertentu dari PFC. Bagian
otak ini terkait dengan aspek-aspek perilaku emosional(kesenangan dan
ketakutan) dan motivasi dan terutama terlibat dalam pemrosesan dan antisipasi
imbalan( perilaku berorientasi pahala).
Daerah kortikal:
•
dlPFC: terkait dengan proses kontrol kognitif, yaitu mengoordinasikan pemikiran
dan tindakan sesuai dengan tujuan . Proses-proses yang terjadidalam bagian otak
ini terlibat dalam pengendalian emosi, khususnya penurunan regulasi emosi
negatif.
•
IFGTr / vlPFC: aktivitas di wilayah ini terbukti ketika mengurangi pengaruh
negatif subyektif selama regulasi yang rumit. Fungsi-fungsi ini dapat
dihasilkan dari interaksi dengan daerah saraf yang terputus, terutama amigdala
dan VS. VlPFC juga dianggap memainkan peran penting dalam kontrol penghambatan
untuk rangsangan emosional dan non-emosional.
•
Mpfc: mengintegrasikan masukan dari thalamus garis tengah, amigdala
basolateral, dan hippocampus ventral terkait dengan perhatian, kognisi, emosi,
dan memori. mPFC sangat terlibat dalam proses kognitif sosial termasuk Teori
Pikiran dan memahami emosi sosial.
•
ACC: memiliki koneksi dua arah yang luas dengan dorso-lateral, orbitofrontal,
dan daerah insuler dari korteks serebral. Aktivasi ACC meningkat selama fungsi
eksekutif emosional dan kognitif, menunjukkan struktur relay neural di mana
pengaruh-pengaruh ini mempengaruhi perilaku respon.
•
OFC: terkait dengan pemberian tanda penghargaan / hukuman yang diharapkan dari
suatu tindakan dan oleh karena itu penting untuk pembelajaran. OFC berbagi
koneksi timbal balik yang luas dengan amygdala serta striatum, terutama area
yang berhubungan dengan penghargaan ventral.
Dalam sebuah buletin edisi spesial
berjudul “emotion
regulation across the life span”
menyatakan salah satu komponen regulasi emosi yang tepat untuk remaja ialah
dengan berbagi emosi dengan orang terdekat. (Weichold.2014)
C.
Perkembangan
Emosi pada Remaja
1.
Ciri-ciri
Perkembangan Emosi pada Remaja
Zeman(2001)
mengungkapkan beberapa ciri perkembangan emosional pada remaja adalah sebagai
berikut.
a.
Memiliki kapasitas untuk mengembangkan
hubungan jangka panjang, sehat, dan berbalasan. Kemampuan ini akan diperoleh
jika remaja memiliki dasar yang telah diperoleh dari perkembangan sebelumnya,
yaitu trust, pengalaman positif di masa lalu, dan pemahaman akan cinta.
b.
Memahami perasaan sendiri dan memiliki
kemampuan untuk menganalisis mengapa mereka merasakan perasaan dengan cara
tertentu.
c.
Memiliki kemampuan untuk mengelola emosinya.
Remaja telah mengembangkan kosakata yang banyak sehingga dapat mendiskusikan ,
dan kemudian mempengaruhi keadaan emosional dirinya maupun orang lain. Faktor
lain yang berperan secara signifikan dalam pengaturan emosi yang dilakukan
remaja adalah meningkatnya sensitivitas remaja terhadap evaluasi yang diberikan
orang lain terhadap mereka , suatu sensitivitas yang dapat memunculkan
kesadaran diri.
d.
Gender berperan secara signifikan dalam
penampilan emosi remaja. Laki-laki cenderung kurang menunjukkan emosi takut selama
distres dibandingkan dengan perempuan. Hal ini didukung oleh keyakinan pada
laki-laki bahwa mereka akan kurang dimengerti dan dikecilkan/diremehkan oleh
orang lain bila menunjukkan emosi seperti takut dan mudah diserang (vulnerable).
2.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi pada Remaja
Mohammad Asrori (dalam jurnal pendidikan sosial hal. 40-43) menyebutkan
sejumlah faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi pada remaja sebagai
berikut.
a. Perubahan Jasmani
Perubahan
jasmani yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari
anggota tubuh. Pada taraf permulaan pertumbuhan ini hanya terbatas pada
bagian-bagian tertentu saja yang mengakibatkan postur tubuh menjadi tidak
seimbang. Ketidakseimbangan tubuh ini sering mempunyai akibat yang tidak
terduga pada perkembangan emosi remaja. Tidak setiap remaja dapat menerima
perubahan kondisi tubuh seperti itu, lebih-lebih jika perubahan tersebut
menyangkut perubahan kulit yang manjadi kasar dan penuh jerawat. Hormon-hormon
tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga
dapat menyebabkan rangsangan didalam tubuh remaja dan seringkali menimbulkan
masalah dalam perkembangan emosinya.
b. Perubahan Pola Interaksi dengan Orang Tua
Pola asuh orang tua terhadap anak,
termasuk remaja, sangat bervariasi. Ada yang pola asuhnya menurut apa yang
dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja sehingga ada yang bersifat otoriter,
memanjakan anak, acuh tak acuh, tetapi ada juga yang dengan penuh cinta kasih.
Perbedaan pola asuh orang tua yang seperti ini dapat berpengaruh terhadap
perbedaan perkembangan emosi remaja. Cara memberikan hukuman mislnya, jika
dahulu anak dipukul karena nakal, pada remaja cara semacam itu justru dapat menimbulkan
ketegangan yang lebih berat antara remaja dengan orang tuanya.
Pemberontakan terhadap orang tua
menunjukkan bahwa mereka berada dalam konflik dan ingin melepaskan diri dari
pengawasan orang tua. Mereka tidak merasa puas kalau tidak pernah sama sekali
menunjukkan perlawanan terhadap orang tua karena ingin menunjukkan seberapa
jauh dirinya telah berhasil menjadi orang yang lebih dewasa. Jika mereka
berhasil dalam perlawanan terhadap orang tua sehingga menjadi marah, mereka pun
belum merasa puas karena orang tua tidak menunjukkan pengertian yang mereka
inginkan. Keadaan semacam ini sangat berpengaruh terhadap perkembaangan emosi
remaja.
c. Perubahan Interaksi dengan Teman Sebaya
Remaja seringkali membangun interaksi
sesama teman sebayanya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan
aktivitas bersama dengan membentuk semacam geng. Interaksi antar anggota dalam
suatu kelompok geng biasanya sangat intens serta memiliki kohesivitas dan
solidaritas sangat tinggi. Pembentukan kelompok dalam bentuk geng seperti ini
sebaiknya diusahakan terjadi pada masa remaja awal saja karena biasanya
bertujuan positif, yaitu untuk memenuhi minat mereka bersama. Usahakan dapat
menghindarkan membentuk kelompok secara geng ketika sudah memasuki masa remaja
tengah atau remaja akhir. Pada masa ini para anggotanya biasanya membutuhkan
teman-teman untuk melawan otoritas atau melakukan perbuatan yang tidak baik
atau bahkan kejahatan bersama.
Faktor yang sering menimbulkan
masalah emosi pada masa ini adalah hubungan cinta dengan lawan jenis. Pada masa
remaja tengah, biasanya remaja benar-benar mulai jatuh cinta dengan teman lawan
jenisnya. Gejala ini sebenarnya sehat bagi remaja, tetapi tidak jarang juga
menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada remaja jika tidak diikuti
bimbingan dari orang tua atau orang lebih dewasa. Oleh sebab itu, tidak jarang
orang tua justru merasa tidak gembira atau bahkan cemas ketika anak remajanya
jatuh cinta. Gangguan emosional yang mendalam dapat terjadi ketika cinta remaja
tidak terjawab atau karena pemutusan hubungan cinta dari satu pihak sehingga
dapat menimbulkan kecemasan bagi orang tua dan bagi remaja itu sendiri.
d. Perubahan Pandangan Luar
Faktor penting yang dapat
mempengaruhi perkembangan emosi remaja selain perubahan-perubahan yang terjadi
dalam diri remaja itu sendiri adalah pandangan dunia luar dirinya. Ada sejumlah
perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosional
dalam diri remaja, yaitu sikap dunia luar terhadap remaja yang tidak konsisten.
Kadang-kadang mereka dianggap sudah dewasa, tetapi mereka tidak mendapat
kebebasan penuh atau peran yang wajar sebagaimana orang dewasa. Seringkali
mereka masih dianggap anak kecil sehingga berakibat timbulnya kejengkelan pada
diri remaja. Kejengkelan yang mendalam dapat berubah menjadi tingkah laku
emosional. Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nilai-nilai yang berbeda
untuk remaja laki-laki dan perempuan. Kalau remaja laki-laki memiliki teman
banyak perempuan, mereka mendapat predikat “ popular “ dan mendatangkan
kebanggaan. Sebaliknya apabila remaja putri mempunyai banyak teman laki-laki
sering dianggap tidak baik atau bahkan mendapat predikat yang kurang baik juga.
Penerapan nilai yang berbeda semacam ini jika tidak disertai dengan pemberian
pengertian secara bijaksana dapat menyebabkan remaja bertingkah laku emosional.
Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh
pihak luar yang tidak bertanggung jawab yaitu dengan cara melibatkan remaja
tersebut ke dalam kegiatan-kegiatan yang merusak dirinya dan melanggar
nilai-nilai moral seperti penyalahgunaaan obat terlarang, minum-minuman keras,
atau tindak kriminal dan kekerasan. Perlakuan dunia luar semacam ini akan
sangat merugikan bagi perkembangan emosi remaja.
e. Perubahan Interaksi dengan Sekolah
Pada masa anak-anak, sebelum menginjak
remaja, sekolah merupakan suatu tempat pendidikan yang amat diidealkan oleh
mereka. Para guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan karena
selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta
didiknya. Oleh karena itu tidak jarang naka-anak lebih percaya, lebh patuh,
bahkak lebuh takut kepada guru dibandingkan kepada orang tuanya. Posisi guru
semacam ini sangat strategis bila digunakan untuk pengembangan emosi anak
melalui penyampaian niai-nilai luhur, positif dan kontsruktif.
Dalam menuju pembaharuan, para remaja
sering terbentur pada nilai-nilai yang tidak dapat mereka terima atau yang sama
sekali bertentangan dengan nilai-nilai yang menarik bagi mereka. Pada saat ini
timbullah idealisme untuk mengubah lingkungannya. Idealisme seperti ini
tentunya tidak boleh diremehkan dengan anggapan bahwa semuanya akan muncul ketika
mereka sudah dewasa. Sebab, idealisme yang dikecewakan dapat berkembang menjadi
tingkah laku emosional yang destruktif. Sebaliknya, apabila remaja berhasil
diberikan penyaluran yang positif untuk mengembangkan idealismenya akan sangat
bermanfaat bagi pengembangan lebih lanjut sampai mereka memasuki masa dewasa.
3.
Kompetensi
Emosi
Di masa remaja, individu cenderung
lebih menyadari siklus emosionalnya, seperti perasaan bersalah karena marah.
Kesadaran yang baru ini dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatai
emosi-emosinya. Remaja juga lebih terampil dalam menampilkan emosi-emosinya ke
orang lain. Meskipun meningkatnya kemampuan kognitif dan kesadaran dari remaja
dapat mempersiapkan mereka untuk dapat mengatasi stres dan fluktuasi emosional
secara lebih efektif, banyak remaja
tidak dapat mengelola emosinya secara lebih efektif. Sebagai akibatnya mereka
rentan untuk mengalami depresi, kemarahan, kurang mampu meregulasi emosinya,
yang selanjutnya dapat memicu munculnya berbagai masalah sperti kesulitan akademis,
penyalahgunaan obat, kenakalan remaja atau gangguan makan.
(Saarni, 1999) menyebutkan kompetensi
emosional yang penting untuk dikembangkan remaja meliputi:
a. Memiliki kesadaran akan kondisi
emosionalnya
Contoh : Seseorang
mampu membedakan emosi sedih dan cemas.
b. Mendeteksi
kondisi emosi orang lain
Contoh : dapat
membedakan apakah orang lain itu merasa sedih atau takut.
c. Menggunakan kosakata emosi yang
tepat secara social dan kultural
Contoh : mampu
menyatakan jika ia sedih, dengan latar belakang budaya dimana ia berada.
d. Memiliki sensitivitas dan empati
pada pengalaman, emosional orang lain
Contoh : peka terhadap
orang lain ketika orang tersebut mengalami kondisi distress.
e. Menyadari bahwa kondisi emosi
internal tidak selalu sama dengan ekspresi luarnya
Contoh : mengenali
bahwa seseorang dapat merasa sangat marah di dalam hatinya, namun ia bisa
mengelola agar ekspresi emosinya tampak normal.
f.
Secara
adaptif melakukan coping tethadap emosi negative dengan cara self-regulatory
Contoh : mengurangi rasa
marah dengan cara menghindari situasi menekan.
g. Menyadari bahwa pengungkapan emosi
memiliki peran yang penting dalam hubungan
Contoh
: mengungkapkan kemarahan secara kasar kepada teman dapat mengubah secara kasar
kepada teman dapat mengubah hubungan pertemanan menjadi tidak harmonis
h. Menerima bahwa seseorang mengalami
emosi tertentu sebagaimananya yang ingin ia rasakan
Contoh : secara sadar mengahadapi kondisi emosinya
dan mencari cara yang tepat mengatasinya.
4.
Kecerdasan
Emosi
Menurut Goleman (1995) dalam
Sarlito, dikatakan bahwa keberhasilan
atau kegagalam seseorang dalam mengelola emosinya tergantung pada kecerdasan
emosi (Emotional Intelegence). makin
tinggi kecerdasan emosional seseorang, makin bisa ia mengatasi berbagai
masalah, khususnya yang memerlukan kendali emosi yang kuat. Untuk mencapai
kecerdasan emosi, seseorang disyaratkan untuk menguasai kompetensi emosional.
Kecerdasan emosi terdiri atas empat kemampuan, yaitu :
a.
Kemampuan mempersepsi emosi, yaitu
mengidentifikasi ekspresi emosi yang ada pada wajah, lukisan, suara, artifak
budaya dan ssebagainya, yang termasuk emosi diri sendiri.
b.
Kemampuan memanfaatkan emosi untuk
mencapai prestasi-prestasi yang optimal. Orang dengan kecerdasan emosi yang
tinggi, justru makin bersemangat dal keadaan emosi bukan makin depresi.
c.
Memahami emosi, yaitu bisa membaca
bahasa emosi, mengerti bagaimana terjadinya emosi dalm interaksi antarindividu
yang sangat rumit dan bias mendeteksi emosi-emosi yang mungkin terjadi dan
bagaimana mengantisipasinya.
d.
Mengelola emosi, yaitu mengatur
emosi sedemikian rupa, baik untuk diri sendiri maupun terhadap orang lain
sehingga bisa menjaga hubungan baik dan mencapai prrestasi tinggi.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masa remaja sering ditandai dengan
periode “badai topan dan stres”(storm and
stress) dimana remaja merasakan fluktuasi emosi. Hal ini terjadi karena
remaja sedang bersiap dan memulai penyesuaian diri untuk tahap perkembangan
berikutnya. Selain itu, pola emosi yang terjadi pada masa remaja sama dengan
pola emosi pada masa anak-anak, perbedaannya hanya terletak pada rangsangan
yang membangkitkan emosi dan derajat, khususnya pada pengendalian individu
terhadap ungkapan emosi mereka. Menurut Hurlock, remaja memiliki kematangan
emosi ketika pada masa remaja akhir tidak “meledakkan” emosinya di hadapan
orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk
mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima.
Regulasi emosi dapat didefinisikan
sebagai cara dimana seseorang menggunakan pengalaman emosional untuk
menyediakan fungsi adaptif (Thompson, 1994). Zeman(2001) mengungkapkan beberapa ciri
perkembangan emosional pada remaja yaitu, memiliki kapasitas untuk
mengembangkan hubungan jangka panjang, sehat, dan berbalasan. Remaja diharapkan
mampu mengembangkan kompetensi emosi untuk bisa mencapai kecerdasan emosional
dan bisa melangkah ke tahap perkembangan selanjutnya.
B.
Saran
Terkait studi perkembangan emosi pada
remaja, jumlah penelitian yang dilakukan masih belum membahas keseluruhan hal –
hal yang terkait pada periode masa remaja. Contohnya saja pada regulasi emosi.
Penelitian masih kurang yang membahas mengenai dasar – dasar teori dari
regulasi emosi.
DAFTAR
PUSTAKA
Azmi, N. (2015). Potensi Emosi Remaja dan Pengembangannya.
Jurnal
Pendidikan Sosial. Vol. 2, 36-46
Pendidikan Sosial. Vol. 2, 36-46
Gusti, A.Y., Pratiwi, M.M.S. (2010). Perilaku Prososial Ditinjau Dari Empati
dan Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi Universitas Muria Kudus. Vol. 1,
No. 1, 33-42.
Hurlock, E. (1999). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Lerner, R.M., dkk. (2003). Handbook of Psychology : Volume 6 Developmental
Psychology. Canada : John Wiley & Sons, Inc.
Putro, K.Z.
(2017). Memahami Ciri dan Tugas
Perkembangan Masa Remaja.
Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama. Vol. 17, 25-32.
Jurnal Aplikasi Ilmu-Ilmu Agama. Vol. 17, 25-32.
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.
Sarwono, S.W. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Saz P, A.,
dkk. (2015). Neurocognitive Bases of Emotion Regulation
Development in Adolescences. Developmental Cognitive Neuroscience, 11-
25.
Development in Adolescences. Developmental Cognitive Neuroscience, 11-
25.
Walgito, B.
(2004). Pengantar Psikologi Umum.
Yogyakarta : Andi
Weichold, K. (n.d.). Emotion Regulation Across the Life Span. Supplement to
International Journal of Behavioral Development Volume 38 Issue 3 May,
2014 .
Zeman, J. (2001).
Emotional Development. University of
Maine. Tersedia :
http :// findarticles.com/p/articles/mi_g2602/ is_0002/ai_2602000223 (14
Februari 2012)
http :// findarticles.com/p/articles/mi_g2602/ is_0002/ai_2602000223 (14
Februari 2012)
Komentar
Posting Komentar