TEORI-TEORI KONSELING BEHAVIORAL
A. PENGANTAR
Terapi
tingkah laku adalah penerapan aneka ragam tehnik dan prosedur yang berakar pada
berbagai teori tentang belajar.Terapi ini menyertakan penerapan yang sistematis
prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku kearah cara-cara yang
lebih adaptif.Pendekatan ini, telah memberikan sumbangan-sumbangan yang
berarti, baik pada bidang-bidang klinis maupun pendidikan.
Berlandaskan
teori belajar, modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan
terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah
laku. Penting untuk dicatat bahwa tidak ada teori tunggal tentang belajar yang
mendominasi praktek terapi tingkah laku
sebagai pendekatan terapi yang dipersatukan dan tunggal, lebih tepat
menganggapnya sebagai terapi-terapi laku yang mencakup berbabagi prinsip dan
metode yang belum dipadukan kedalam suatu sistem yang dipersatukan.
Perkembangan
terapi-terapi tingkah laku oleh suatu pertumbuhan yang fenomenal sejak akhir
tahun 1950-an. Pada awal tahun 1960-an, laporan-laporan tentang penggunaan
tehnik-tehnik terapi tingkah laku sekali-kali muncul dalam kepustakaan
professional.Kini, modifikasi tingakh laku dan terapi menduduki tempat yang
penting dalam lapangan psikoterapi dalam banyak area pendidikan.Kepustakaan
profesional, baik berupa berkala maupun berupa buku, mebuktikan peningkatan
popularitas pendekatan ini.Peningkatan pengaruh terapi tingkah laku juga
dimanifestasikan dalam sejumlah besar depertemen psikologi yang melaksanakan
pendidikan psikologis klinis dan konseling dalam metode-metode behavioral
dewasa ini, banyak program latiahn yang dengan jelas menitikberatkan orientasi
behavioral. Kecenderungan ini akan lebih mengesankan apabila kita mengingat
bahwa selama akhir tahun 1950-an dan awal tahun1960-an hanya sedikit dapertemen
psikologi dan psikiatri ataupun program latihan kesehatan mental yang dengan
segala cara subtansial melibatkan terapi tingkah laku. Modifikasi tingkah laku
memberikan pengaruh yang besar kepada lapangan pendidikan, terutama pada area
pendidikan khusunya yang menangani anak-anak yang memiliki masalah-masalah
belajar dan tingkah laku.
Salah
satu aspek yang paling penting dari gerakan modifikasi tingkah laku adalah
penekannya pada tingkah laku yang bisa didefinisikan secara operasional,
diamati, dan diukur.Tingkah laku, bukan konstruk-konstruk yang tak bisa diukur
yang vital bagi pendekatan-pendekatan psikodinamik, adalah focus perhatian
terapeutik.Para tokoh terapi tingkah laku lelah menyajikan suatu indikasi
objektif tentang aktivitas-aktivitas mereka sendiri.perubahan tingkah laku
sebagai kriteria yang spesifik memberikan kemungkinan bagi evaluasi langsung
atas kebrhasilan kerja dan kecepatan bergerak kearah tujuan-tujuan terapeutik.
Yang bisa dispesifikasi dengan jelas. Bahwa pertumbuhan terapi tingkah laku
ditunjukkan oleh banyaknya penelitian yang dilaksanakan adalah ciri lain dari
gerakan ini. Prosedur-prosedur secara sinambungan diperbaharui disebabkan oleh
adanya komitmen untuk menjadikan prosedur-prosedur tersebut bisa bekerja dengan
baik.Karena terapi tingkah laku bersandar pada hasil-hasil eksperimen tentang
pernyataan-pernyataan teoretisnya, konsep-konsep utama terapi tingkah laku teus
menurus diperkuat dan dikembangkan.
B.
KONSEP-KONSEP UTAMA
Pandangan Tentang Sifat Manusia
Behaviorisme
adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya
adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan
dengan cermat akan menyingkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku.
Behaviorisme ditandai oleh sikap oleh sikap membatasi metode-metode dan
prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati.
Pendekatan behavioristik tidak
menguraikan asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung.
Setiap orang dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negative yang sama. Manusia pada
dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya.Segenap tingkah
laku manusia dipelajari.Meskipun berkeyakinan bahwa segenap tingkah laku pada
dasarnya merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan lingkungan dan faktor-faktor
genetic, para behavioris memasukkan pembuatan putusan sebagai salah satu bentuk
tingkah laku.Pandangan para behavioris tentang manusia seringkali didistori
oleh penguraian yang terlampau menyederhanakan tentang individu sebagai bidak
nasib yang tak berdaya yang semata-mata ditentukan oleh pengaruh-pengaruh
lingkungan dan keturunan dan dikerdilkan menjadi sekedar organism pemberi
respons.Terapi tingkah laku kontemporer bukanlah suatu pendekatan yang
sepenuhnya deterministic dan mekanistik, yang menyingkirkan potensi para klien
untuk memilih.Hanya “para behavioris yang radikal” yang menyingkirkan
kemungkinan menentukan diri dari individu.
Nye(1975), dalam pembahasannya
tentang behaviorisme radikal-nya B.F Skinner, menyebutkan bahwa para behavioris
radikal menekan manusia sebagai dikendalikan oleh kondisi-kondisi lingkungan.
Pendirian deterministic mereka yang kuat berkaitan erat dengan komitmen
terhadap pencarian pola-pola tingkah laku yang dapat diamati. Mereka
menjabarkan melalui rincian spesifik sebagai faktor yang dapat diamati yang
mempegaruhi belajar serta membuat argument bahwa manusia dikendalikan oleh
kekuatan-kekuatan eksternal
Pandangan “behaviorisme radikal”
tidak member tempat kepada asumsi yang menyebutkan bahwa tingkah laku manusia
dipengaruhi oleh pilihan dan kebebasan. Filsafat behavioristik radikal menolak
konsep tentang individiu sebagai agen
bebas yang membentuk nasibnya sendiri. Situasi-situasi dalam dunia objektif
masa lampau dan hari ini menentukan tingkah laku.Lingkungan adalah pembentuk
utama keberadaan manusia.
John Watson, pendiri behaviorisme,
adalah seorang behavioris radikal yang pernah menyatakan bahwa ia bisa mengambil
sejumlah bayi yang sehat dan menjadikan bayi-bayi itu apa saja yang
diinginkannya –dokter, ahli hukum, seniman, perampok, pencopet- melalui
bentukan lingkungan. Jadi, Watson menyingkirkan dari psikolog konsep-konsep
seperti kesadaran, determinasi diri, dan berbagai fenomena subyektif lainnya.ia
mendirikan suatu psikolog tentang kondisi-kondisi tingkah laku yang dapat
diamati. Marquis (1974) menyatakan bahwa terapi tingkah laku itu mirip keahlian
teknik dalam arti ia menerapkan informasi-informasi ilmiah guna menemukan
pemecahan-pemecahan teknis atas masalah-masalah manusia. Jadi, behaviorisme
berfokus pada bagaimana orang-orang belajar dna kondisi-kodisi apa saja yang
menentukan tingkah laku mereka.
Ciri-ciri
terapi tingkah laku
Terapi
tingkah laku, berbeda dengan sebagian besar pendekatan terapi lainnya, ditandai
oleh : (a) pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik,
(b) kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatmen, (c) perumusan prosedur
treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah, dan (d) penaksiran objektif
atas hasil-hasil terapi.
Terapi tingkah laku tidak
berlandaskan sekumpulan konsep yang
sistematik, juga tidak berakar pada suatu teori yang dikembangkan dengan baik.
Sekalipun memiliki banyak teknik, terapi
tingkah laku hanya memiliki sedikit konsep. Terapi ini merupakan suatu
pendekatan induktif yang berlandaskan eksperimen-eksperimen dan menerapkan
metode eksperimental pada proses terapeutik. Pertanyaan terapis boleh jadi,
“Tingkah laku spesifik apa yang oleh individu ini ingin diubah dan tingkah laku
baru yang bagaimana yang ingin dipelajarinya?”.Kekhususan ini membutuhkan suatu
pengamatan yang cermat atas tingkah laku klien.Penjabaran-penjabaran yang kabur
dan umum tidak bisa diterima; tingkah laku yang oleh klien diinginkan berubah,
dispesifikasi.Yang juga penting adalah bahwa kondisi-kondisi yang menjadi
penyebab timbulnya tingkah laku masalah diidentifikasi sehingga kondisi-kondisi
baru bisa diciptakan guna memodifikasi tingkah laku.Urusan terapeutik utama
adalah mengisolasi tingkah laku masalah dan kemudianmenciptakan cara-cara untuk
mengubahnya.
Pada dasarnya, terapi tingkah laku
diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah
laku yang maladaptil, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang
diinginkan.Pernyataan yang tepat tentang tujuan-tujuan treatment dispesifikasi,
sedangkan pernyataan yang bersifat umum tentang tujuan ditolak.Klien diminta
untuk menyatakan dengan cara-cara yang kongkret jenis-jenis tingkah laku
masalah yang dia ingin mengubahnya. Setelah mengembangkan pernyataan yang tepat
tentang tujuan-tujuan treatment, terapis harus memilih prosedur-prosedur yang
paling sesuai untuk mencapai
tujuan-tujuan itu. Berbagai teknik tersedia, yang keefektifannya bervariasi
dalam menangani masalah-masalah tertentu. Misalnya teknik-teknik aversi
tampaknya paling berguna sebagai cara-cara untuk mengembangkan kendali
dorongan; orang yang mengalami hambatan
dalam menampilkan diri dan dalam bergaul bisa mengambil manfaat dari
latihan asertif; pengulangan tingkah
laku berguna untuk memperkuat tingkah laku yang baru diperoleh; desensitisasi
tampaknya paling berguna bagi penanganan-penanganan fobia-fobia; percontohan
yang digabungkan dengan perkuatan positif tampak cocok bagi perolehan tingkah
laku sosial yang kompleks.
Karena tingkah laku yang dituju dispesifikasi dengan jelas,
tujuan-tujuan treatment dirinci dan metode-metode terapeutik diterangkan, maka
hasil-hasil terapi menjadi dapat dievaluasi. Terapi tingkah laku memasukkan
criteria yang didefenisikan dengan baik bagi perbaikan atau penyembuhan. Karena
terapi tingkah laku menekankan evaluasi atas keefektifan teknik-teknik yang
digunakan, maka evolusi dan perbaikan yang berkesinambungan atas
prosedur-prosedur treatment menandai proses terapeutik.
Pengondisian Klasik Versus
Pengondisian Operan
Dua
aliran membentuk esensi metode-metode dan teknik-teknik pendekatan terapi yang
berlandaskan teori belajar, pengondisian klasik dan pengondisian
operan.Pengondisian klasik, atau disebut pengondisian responden. Pengondisian
klasik atau disebut pengondisian responden ,berasal dari karya Pavlov. Pada
dasarnya pengondisian klasik itu melibatkan stimulus tak berkondisi (UCS) yang
secara otomatis membangkitkan respons berkondisi (CR) yang sama dengan respons
tak berkondisi (UCR) apabila diasosiasikan dengan stimulus tak berkondisi.
Jikam UCS dipasangkan dengan suatu stimulus berkondisi (CS), lambat laun CS
mengarahkan kemunculan CR. Dalam contoh diperlihatkan pada gambar UCS (makanan
kucing) membangkitkan UCR , pengeluaran air liur kucing. Pembukaan kaleng
makanan dengan pembuka listrik menjadi CS karena dipasangkan dengan makanan dan
memnbangkitkan CR, pengeluaran air liur kucing.
(makanan
kucing) (pengeluaran air liur kucing)
(menjalankan
pembuka kaleng listrik) (pengeluaran air liur kucing
Baik karya Salter maupun karya Wolpe
sebagian besar berasal dari model
pengondisian klasik. Teknik-teknik yang spesifik seperti desensitisasi sistematik dan terapi aversi berlandaskan
pengondisian klasik. Teknik-teknik tersebut akan dijabarkandalam pembahasan
tentang penerapan teknik-teknik dan
prosedur-prosedur.
Pengondisian operan, satu aliran
utama lainnya dari pendekatan terapi
yang berlandaskan teori belajar, melibatkan pemberian ganjaran kepada
individu atas pemunculan tingkah lakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah
laku itu muncul. Pengondisian operan ini dikenal juga dengan sebutan
pengondisian instrumental bahwa tingkah
laku instrumental bisa dimunculkan oleh organism yang aktif sebelum perkuatan diberikan untuk tingkah
laku tersebut. Skinner, yang dianggap sebagai pencetus gagasan pengondisian
operan, telah mengembangkan prinsip-prinsip perkuatan yang digunakan pada upaya
memperoleh pola-pola tingkah laku tertentu yang dipelajari.Dalam pengondisian
operan, pemberian perkuatan positif bisa memperkuat tingkah laku, sedangkan
pemberian perkuatan negative bisa memperlemah tingkah laku. Tingkah laku
berkondisi muncul di lingkungan dan instrumental bagi perolehan ganjaran.
Banyak teknik dan prosedur
modifikasi tingkah laku yang berasal dari model pengondisian
operan.Contoh-contoh prosedur yang spesifik yang berasal dari pengondisian
operan adalah perkuatan positif, penghapusan, hukuman, pencontohan, dan
penggunaan token economy.
C.
PROSES TERAPEUTIK
Tujuan-Tujuan Terapeutik
Tujuan-tujuan
konseling dan psikoterapi menduduki suatu tempat yang sangat penting dalam
terapi tingkah laku. Klien menyeleksi tujuan-tujuan terapi yang secara spesifik
ditentukan pada permulaan proses terapeutik. Penaksiran terus-menerus dilakukan
sepanjang terapi untuk menentukan sejauh mana tujuan-tujuan terapeutik itu
secara efektif tercapai.
Tujuan umum terapi tingkah laku
adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya
ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah
laku yang maladaptive. Jika tingkah laku neurotic learned, maka ia bisa
unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa
diperoleh. Terapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan
hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar
yang di dalamnya terdapat respons-respons yang layak, namun belum dipelajari.
Ada beberapa kesalahpahaman yang
menyangkut masalah tentang tujuan-tujuan dalam terapi tingkah laku. Salah satu
kesalahpahaman yang umum adalah bahwa tujuan terapi semata-mata menghilangkan
gejala-gejala suatu gangguan tingkah laku dan bahwa setelah gejala-gejala itu
terhapus, gejala-gejala batu akan muncul karena penyebab-penyebab yang
mendasarinya tidak ditangani. Hampir semua terapis tingkah laku akan menolak
anggapan yang menyebutkan bahwa pendekatan mereka hanya menangani
gejala-gejala, sebab mereka melihat terapis sebagai pemikul tugas menghapus
tingkah laku yang maladaptive dan membantu klien untuk menggantikannya dengan tingkah
laku yang lebih adjustive (dapat disesuaikan)
Kesalahpahaman umum lainnya adalah
bahwa tujuan-tujuan klien ditentukan dan dipaksakan oleh terapis tingkah
laku.Tampaknya ada unsure kebenaran dengan anggapan tersebut, terutama jika
menyinggung beberapa situasi, misalnya situasi di rumah sakit jiwa.
Bagaimanapun, kecenderungan yang ada dalam terapi tingkah laku modern bergerak
kearah pelibatan klien dalam menyeleksi tujuan-tujuan dan memandang hubungan
kerja yang baik antara terapis dan klien sebagai diperlukan (meski dipandang
belum cukup) guna memperjelas tujua-tujuan terapeutik dan bagi kerja yag
kooperatif ke arah pencapaian tujuan-tujuan terapeutik tersebut.
Jika para tokoh perintis terapi
tingkah laku tampaknya menitikberatkan
kecakapan terapi dalam menetapkan tujuan-tujuan dan tingkah laku, para
pemraktek kontemporer memberikan memberikan penekanan pada keaktifan klien
dalam memilih tujuan-tujuan dan pada keterlibatan aktif klien dalam terapi.
Mereka menjelaskan bahwa terapi tidak bisa dipaksakan pada klien yang tidak
berkesediaan dan bahwa terapis dan klien perlu bekerja sama untuk mencapai
sasaran-sasaran bersama. Dalam membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan
praktek terapi tingkah laku yang mutakhir ini, Goldstein mengajukan komentar
sebagai berikut :
Tak
pelak lagi, proses terapi tingkah laku bukan pengondisian ulang yang
terang-terangan atas pasien. Terapis tidak bisa memaksakan pengondisian atau
belajar ulang kepada siapapun sebab
teknik-teknik yang paling manjur pun akan tidak berguna tanpa kerja sama dan
motivasi pasien. Teknik-teknik terapeutik apa pun yang digunakan harus
diletakkan dalan konteks suatu “hubungan kerja” antara pasien dan terapis.
Hubungan kerja adalah suatu hubungan dimana terapis dan pasien bekerja sama kea
rah tujuan yang telah disepakati bersama. Jika ini tidak dilakukan, maka
sebagaimana ditunjukkan oleh banyak kasus, terapi akan menjadi tidak efektif.
Goldstein.
Tujuan-tujuan yang luas dan umum
tidak dapat diterima oleh para terapis tingkah laku.Contohnya, seorang klien
mendatangi terapi dengan tujuan mengaktualkan diri. Tujuan umum semacam itu
perlu diterjemahkan ke dalam perubahan tingkah laku yang spesifik yang
diinginkan klien sarta dianalisis ke
dalam tindakan-tindakan spesifik yang
diharapkan oleh klien sehingga baik terapis maupun klien mampu menaksir secara
lebih konkret ke mana dan bagaimana mereka bergerak. Misalnya, tujuan
mengaktualkan diri bisa dipecah ke dalam beberapa subtujuan yang lebih konkret
sebagai berikut ; (1) membantu klien untuk menjadi lebih asertif dan
mengekspresikan pemikiran-pemikiran dan hasrat-hasratnya dalam situasi yang
membangkitkan tingkah laku asertif , (2) membantu klien dalam menghapus
kekuatan-kekuatan yang tidak realistis yang menghambat dirinya dari keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa
sosial, dan (3) konflik batin yang menghambat klien dari perbuatan
putusan-putusan penting bagi kehidupannya
Krumboltz dan Thorense telah
mengembangkan tiga criteria bagi perusuman tujuan yang bisa diterima dalam
konseling tingkah laku sebagai berikut ; (1) tujuan yang dirumuskan haruslah
tujuan yang diinginkan oleh klien, (2) konselor harus bersedia membantu klien
dalam mencapai tujuan, dan (3) harus terdapat kemungkinan untuk menaksir sejauh
mana klien bisa mencapai tujuaanya. Akan tetapi, bagaimana jika klien tidak
bisa mendefenisikan masalahnya dengan jelas dan hanya bisa menghadirkan
tujuan-tujuan yang sama? Krumboltz dan Thorensen sepakat bahwa pada umumnya
klien tidak menjabarkan masalah-masalah
dalam bahasa sederhana dan jelas. Tugas terapis adalah mendengarkan kesulitan
klien secara aktif dan empatik. Terapis memantulkan kembali apa yang
dipahaminya untuk memastikan apakah persepsinya tentang pemikiran-pemikiran dan
perasaan-perasaan klien benar. Lebih dari itu, terapis membantu klien
menjabarkan bagaimana dia akan bertindakdi luar cara-cara yang ditempuh
sebelumnya. Dengan berfokus pada tingkah laku yang spesifik yang ada pada
kehidupan klien sekarang, terapis
membantu klien menerjemahkan
kebingungan yang dialaminya ke dalam suatu tujuan kongkret yang mugkin untuk
dicapai.
Fungsi dan Peran Terapis
Terapis
tingkah laku harus memainkan peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis menerapkan
pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah manusia, para
kliennya.Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah dan
ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladpatif dan dalam menemukan
prosedur-prosedur peneybuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang
baru dan adjustive.
Sebagai
hasil tinjauaanya yang saksama atas keputusan psikoterapi Krasner (1967) mengajukan argument bahwa peran seorang
terapis, terlepas dari aliansi teoritisnya, sesungguhnya adalah “mesin
perkuatan”. Apapun yang dilakukannya, terapis pada dasarnya terlibat dalam
pemberian perkuatan-perkuatan sosial, baik yang positif maupun yang
negatife.Bahkan meskipun memperspsikan dririnya sebagai pihak yang netral
sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk tingkah
laku klien, baik melalui cara-cara langusng maupun melalu cara-cara tidak
langsung. Kranser (1967, hlm 202) menandaskan bahwa “terapis atau pemberi
pengaruh adalah suatu “mesin perkuatan” yang dengan kehadirannya memasok
perkuatan yang digeneralisasikan pada setiap kesempatan dalam situasi terapi,
terlepas drai tehnik atau kepribadian yang terlibat ia menyatakan bahwa tingkah
laku klien tunduk pada manipulasi yang halus oleh tingkah laku terapis yang
memperkuat. Hal itu acap kali terjadi tanpa disadari, baik oleh mupun oleh terapis,
Krasner (1967), dengan pengetauan dan menegedalialkan psikoterapi dengan
pengetahuan dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar dalam situasi
perkuatan sosail. Krasner lebih lanjut menyatakan bahwa, meskipun sebagian
besar terapis tidak senang dengan peran “pengendali” atau “manipulator” tingkah
laku, istilah-istilah tersebut menerangkan secara cermat apa sesunguhnya peran terapis itu. Ia mengutip bukti untuk
menunjukkan bahwa atas dasar perannya, terapis memilki kekuatan untuk
mempengaruhi dan mengendlikan tingkah laku dan nilai-nilai manisia lain.
Ketidaksediaan terapis untuk menerima situasi ini dan terus-menerus tidak
menyadari efek-efek tingkah lakunya atas para pasiennya itu pun ‘tidak etis’
(Krasner, 1967, hlm 204)
Goodstien
(1972) juga meneyebut peran terapis sebagai pemberi perkuatan. Menurut
Goodstien (hlm. 274) “ peran konselor menunjangperkembangan tingkah laku yang
secara sosial layak dengan secara sistematis perkembangan tingkah laku klien
semacam itu”. Minat, perhatian, dan persetujuan (ataupun ketidak berminaatandan
ketidak setujuan) terapis adalah penguat-penguat yang hebat bagi tangkah laku
klien.Penguat – penguat tersebut bersifat interpersonal dan melibatkan bhasa,
baik verbal maupun nonverbal, serta acap kali tanpa disertai kesadaran yang
penuh dari terapis.Goodstien menyatukan bhawa peran mengendalikan tingkah laku
klien yang dimainkan oleh terapis melalui perkuatan mengjangkau situasi diluar
konseling serta dimasukkan kedalam situasi – situasi kehidupan nyatan dan
menghukum respons-respons yang lainnya. Ganjaran-ganjaran itu adalah
persetujuan, minat, dan keprhatian… perkuatan semacam itu penting terutama pada
periode ketika klien mencoba respons-respons atau tingkah laku baru yang belum
secara tetap diberi perkuataan oleh orang lain dalam kehidupan klien”
(Goodstein, hlm. 275). Salah satu penyebab munculnya hasil yang tidak memuaskan
adalah bahwa terapis tidak cukup memperkuat tingkah laku yang baru dikembangkan
oleh klien.
Salah
fungsi penting lainnya adalah peran terpis sebagai model bagi klien. Bandura
(19(9) menunjukkan bahwa peran terapis sebagai besar proses belajar yang mucul
melalui pengalaman langsung juga bias diperoleh melalui pengamatan terhadap
tingkah laku orang lain. Ia mengungkapkan bahwa salah satu proses fundamental
yang memungkinkan klien bias mempelajari tingkah baru adalah imitasi atau
penecotohan sosial yang disajikan oleh terapis. Terapis sebagai pribadi menjadi
model yang penting bagi klien. Karna klien sering memandang terapis sebagai
orang yang padat diteladani , klien kecap kali meniru sikap-sikap, nilai-nilai,
kerpecayaan – kepercayaan, dan tingkah laku trapis. Jadi, terapis harus
menyadari peranan penting yang dimainkannya yang dimilikinya dalam mempengaruhi
da membentuk cara berpikir dan bertindak kliennya, berarti mengabakan arti
penting kepribadiannya sendiri dalam proses terapi.
Pengalam Klien dan Terapi
Sslah
satu sumbagan yang unik dari terapi tingkah laku adalah suatu system prosedur
yang ditentukan dnegan baik yang digunakan oleh terapi dalam hubngan dengan
peran yang juga ditentukan denngan baik. Terapi tingkah laku juga memberikan
kepada klien peran yang ditentukan dengan baik, dan menekankan pentingnya
kesadaran dan pasrtisipasi klien dalam proses terapeutik. Carlhuff dan Berenson
(1967) menunjukkan bahwa sekalipun klien boleh jadi berada dalam peran sebagai
“penerima teknik-teknik yang pasif”, ia diberi keterangan yang cukup tentang
teknik-teknikyang digunakan mereka menatakan bahwa “sementara terapis memiliki
tanggung jawab utama, klien adalah focus perhatian disertai sedikit perhatian
pada nilai-nilai sosial, pengaruh orang tua, dan proses-proses tak sdar. Para
terapis modifikasi tingkah laku pertama-tama harus memberikan keterangan rinci
mengenai apa yang ada dan akan dilakukan pada setiap tahap proses “ (Carkhuff dan Berenson, 1967, hlm 92).
Keterlibatan
klien dalam proses terapeutik karenaya harus dianggap sebagai kenyataan bahwa
klien menjadi lebih aktif alih-alih menjadi penerimateknik-teknik yang pasif
seperti diinsyaratkan oleh Carkhuff dan Berenson. Jelas, klien harus secara
aktif terlibat dalam pemilihan dan penentuan tujuan-tujuan, harus memiliki
motivasi untuk berubah, dan bersedia bekerja sama dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan terapetik, baik selama pertemuan-pertemuan terapi maupun
diluar terapi, dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Jika klien tidak secara
aktif terlibat dalam proses terapeutik, maka terapi tidak akan membawa
hasil-hasil yang memuaskan.
Marquis
(1974), yang menggunakan prinsip-prinsip penedekatan behavioral untuk menunjang
pengubahn kepribadian yang efektif, memandang perlunya peran aktif klien dalam
proses terapi. Melaui model terapi tingkah laku, Marquis mrnguraikan tiga fase
yang melibatkan partisipasi klien secacra penuh dan aktif. Pertama, tingkah laku klien
sekarang dianalisis dan pemaham yang jelas mengjangkau tingkah laku akhir
dengan partisipasi aktif dank lien dalam setiap bagian dari proses pemasangan
tujuan-tujuan. Kedua, cara-cara
alternative yang bisa diambil oleh klien dalam upaya mencapai tujuan-tujuan,
dieksplorasi.Ketiga, suatu program treatment direncanakan, yang biasanya dilandaskan
langkah-langkah kecil yang bertahap dari tingkah laku klien yang sekarang
menujuu tingkah laku yang diharapkan membantu klien dalam mecapai tujuannya.
Satu
aspek yang penting dari peran klien dalam terapi tingkah laku adalah klien
didorong untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru dengan maksud memperluas
perbendaharaan tingkah laku adaptifnya.Dalam terapi, klien dibantu untuk
menggerealisasi dan mentransfer belajar yang diperoleh, didalm situasi terapi
ke dalam situasi diluar terapi.Lagi – lagi, pendekatan ini menggarisbawahi
pentingnya keterlibatan aktif dan kesediaan klien untuk memperluas dan
menerpakan tingkah laku barunya ada situasi-situasi kehidupan nyata.
Terapi
ini belum lengkap apabila verbalisai-verbalisai tidak atau belum diikuti oleh
tindakan-tindakan.Klien harus berbuat lebih dari sekedar memperoleh
pemahaman-pemahaman sebab, dalam terapi tingkah laku, klien harus bersedia
mengambil resiko. Bahwa masalah –masalh kehidupan nyata harus dipecahkan dengan
tingkah laku baru di luar terapi, berate
fase tindakan merupakan hal yang esensial. Keberhasilan dan kegagalan
usaha-usaha menjalankan tingkah laku baru adalah bagian yang vital dari
perjalanan terapi.
Hubungan antara Terapis dan Klien
Ada suatu kecenderungn yang menjadi
bagia dari sejumlah kritik untuk menggolongkan hubugan antara terapis dank lien
dalam terapis tingkah laku sebagai hubungan yang mekanis, manipulative, dan
sangat impersonal. Bagaimanapun, sebagian besar penulis dibidang terapi tingkah
laku khususnya Wolpe (1958, 1969), menyatakan bahwa pembentukan hubungan
pribadi yang lebih baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses
terapeutik. Sebagaiman disinggung dimuka, peran terapis yang esensial adalah
peran sebagai agen pemberi perkuatan.Para terapis tingkah laku tidak divetak
untuk memainkan mereka menjadi mesin-mesin yang di program yang mekasakan
teknik-teknik kepada para klien yang mirip robot.
Bagaimanapun, tampak bahwa pada
umumnya terapis tingkah laku tidak memberikan peran utama kepada
variable-variabel hubungan terapis-klien. Sekalipun demikian, sebagian besar
mereka mengakui bahwa factor-faktor seperti kehangatan, empati, keontentikan,
sikap permisif, dan penerimaan kondisi-kondisi
yang diperlukan tetapi tidak cukup, bagi kemunculan perubahan tingkah
laku dalam proses terapeutik. Tentang persoalan ini, Goldstien (1973, hlm. 220)
menyatakan bahwa pengembangan hubungan kerja memmbentuk tahap bagi kelangsungan
terapi. Ia mencata bahwa “ hubungan semacam itu dalam dan oleh dirinya sendiri
tidak cukup sebagai pemaksimal terapi yang efektif”. Sebelum inteverensi
terapeutik tertentu bisa dimunuclkan dengan suatu derajat ke efektifan, terapis
terlebih harus mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa.
1. Ia
memahami dan menerima pasien
2. Kedua
orang diantara mereka bekerja sama
3. Terapis
memiliki alat yang berguna dalam membantu kearah yang dikehendaki oleh pasien
D. PENERAPAN: TEKNIK-TEKNIK DAN
PROSEDUR-PROSEDUR TERAPUTIK
Salah satu sumbangan terapi adalah
pengembangan prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki
kemnungkinan untuk diperbaiki melalui metode ilmiah.Teknik-teknik tingkah laku
harus menunjukkan keefektifannya memlaui alat-alat yang objektif dan ada usaha
yang konstan memperbaikinya. Krumboltz dan Thorensen menyatakan bahwa “
konseling tingkah laku adalah suatu system yang mengoreksi dirinya sendiri”.
Meskipun para terapis tinggakah laku boleh jadi membuat kekeliruan-kekeliruan
dalam mendiagnosisnatau dalam menerapkan teknik-teknik akibat kekeliruan-kekeliruan
itu akan jelas bag mereka .mereka menerima umpan balik langsung dari kliennya.,
baik kliennya itu sembuh maupun tidak. Sebagiaman dinyatakan oleh Krumboltz dan
Thorensen, “ Teknik-teknik yang tidak berfungsi akan selalu disisihkan dan teknik-teknik
baru bisa di coba”. Mereka mengaskan bahwa teknik-teknik harus disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan individual klien dan bahwa tidak pernah ada teknik yang diterapkan secra
rutin pada setiap klien tanpa disertai metode-metode alternative untuk mencapai
tujuan-tujuan klien. Tambahan pula, mereka mengimbau pengavaluasian atas
prosedur-prosedur terapeuitk dan perbaikan prosedur-prosedur di atas landasan
pembuktian yang relevan.
Krumboltz dan Thronsen mendorong
eksperimen tentang prosedur terapeutik: “ Tidak ada pembatasan-pembatasan atas
teknik-teknik yang bisa di coba oleh para konselor kecuali, tentunya,
pembatasan etis. Eksperimentasi adalah bagian yang esensial dari tugas
konselor”.Jadi, tidak terdapat daftra tentang teknik-teknik yang disetujuti
yang bisa digunakan oleh konselor tingkah laku. Sebaliknya, “ pintu harus
selalu terbuka bagi segenap prosedur yang bisa membantu sampai taraf mendorong
siapa saja yang ingin mencoba teknik yang baru atau ‘menyimpang’ bahkan jika
teknik itu tidak sesuai dengan pola teknik yang ada”. Agaknya, Krasner (1967,
hlm. 206) mneyepakapati titik pandang: “Terapis memiliki sesuatu spectrum
teknik-teknik yang luas yang tersedia baginya, yang dibatasi hanya oleh
kecerdikannya dalam mengubah setting dan tingkah lakunya”.
Dalam terpai tingkah laku,
teknik-teknik spesifik yang beragam bisa digunakan sceara sistematis dan
hasil-hasilnya bisa dievakuasi. Teknik – teknik ini bisa digunakan jika saatnya
tepat untuk menggunakannya, dan banyak di antaranya yang bisa dimasukkan
kedalam praktek psikoterapi yang berlandasan model-model lain. Teknik – teknik
spesifik yang akan di uraikan di bawah ini bisa diterapkan pada terapi dan
konesling individual maupun kelompok.
Tehnik-Teknik Utama Terapi Tingkah
Laku
Desentisisasi
Sistematis
Desentisasi
sistematis adalah suatu tehnik yang paling luas digunakan dm terapi tingkah
laku.Desentisisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang
diperkuat secaranegatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau
respons yang yang berlawanandengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu.
Desentisisasi diarahkan pada mengajar klien untuk menampilkan suatu respons
yang tidak konsisten dengar kecemasan.
Wolpe
(1958, 1969) pengembang tehnik desentisisasi, mengajukan argument bahwa segenap
tingkah laku neurotik adalah ungkapan dari kecemasan dan bahwa respons
kecemasan bisa dihapus oleh penemuan respons-respons yang secara inheren
berlawanan dengan respons tersebut.Dengan pengondisian klasik, kekuatan
stimulus penghasil kecemasan bisa dilemahkan, dan gejala kecemasan bisa
dikehendalikan dan dihapus melalui penggantian stimulus.
Prosedur
model pengondisian balik ini adalah sebagai berikut:
1. Desentisisasi
sistematik dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas stimulus-stimulus
yang bisa membangkitkan kecemasan dalam suatu wilayah tertentu seperti
penolakan, rasa iri, ketidaksesuaian, atau suatu fobia.
2. Selama
pertemuan-pertemuan terapeutik pertama klien diberi latihan relaksasi yang
terdiri atas kontraksi dan lambat laun pengenduran otot-otot yang berbeda
sampai tercapai suatu keadaan santai penuh.
3. Proses
desentisisasi melibatkan keadaan di mana klien sepenuhnya santai dengan mata
tertutup. Terapis menceritakan serangkaian situasi dan meminta klien untuk
membayangkan dirinya berada dalam setiap situasi yang diceritakan oleh terapis
itu.
Desentisisasi
sistematik adalah tehnik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, terapi keliru
apabila menganggap tehnik ini hanya bisa diterapkan pada penanganan
ketakutan-ketakutan.Desentisisasi sitematis bisa diterapkan secara efektif pada
berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan
menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan
neurotic, serta impotensi dan frigiditas seksual.
Terapi Implosive dan
Pembanjiran
Tehnik-tehnik
pembanjiran berlandaskan paradigm mengenai penghapusan eksperimental.Tehnik ini
terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa
pemberian perkuatan.Tehnik pembanjiran berbeda dengan tehnik desentisisasi
sistematik sistematis dalam arti tehnik pembanjiran tidak menggunkan agen
pengondisian balik maupun tingkatan kecemasan.
Stampfl (1975)
mengembangkan tehnik yang berhubungan dengan tehnik pembanjiran, yang disebut
”terapi implosif” : seperti halnya dengan desentisisasi sistematik, terapi
implosif berasumsi bahwa tingkah laku neoritik melibatkan penghindaran
terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan.
Latihan Asertif
Pendekatan
behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif yang
bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu
mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau mengaskan
diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi
orang-orang yang (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan
tersinggung. (2) menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu
mendorongorang lain untuk mendahuluinya, (3)memiliki kesulitan untuk mengatakan
tidak (4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon
positif lainnya. (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan
dan pikiran-pikiran sendiri.
Terapi Aversi
Tehnik-tehnik
pengondisian aversi yang digunakan secara luas untuk meredakan
gangguan-gangguan behavioral yang spesifik,
melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus
yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat
kemunculannya. Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan
listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual.
Dalam setting yang lebih formal dan
terpeutik, tehnik-tehnik aversif sering digunakan dalam penangan dalam berbagai
tingkah laku yang maladaptive, mencakup minum alcohol secara berlebihan,
kebergantungan pada obat, bius, merokok,, obsesi-obsesi, kompulsi-kompulsi,
fatisisme, berjudi, homoseksual, dan penyimpangan seksual seperti pedofilia.
Tehnik ini merupakan metode yang utama dalam penanganan alkoholisme.Seorang
alkoholitik tidak dipaksa untuk menjauhkan diri dari alcohol, tetapi justru
disuruh minum alkohol.akan tetapi, setiap tegukan alkohol disertai pemberian
ramuan yang membuat si alkoholik merasa mual, dan kemudian muntah. Si
alkoholitik lambat laun akan merasa sakit bahkan meskipun hanya melihat botol
alkohol. Pengetahuan tentang pengaruh-pengaruh buruk dari alkohol kembali pada
kebiasaan semula setelah periode penahanan diri yang singkat.Selain pada
penanganan alkoholisme, tetapi terdapat kemunkinan bahwa alkoholik kembali pada
kebiasaan semula setelah periode penahanan diri yang singkat.Selain pada
penanganan alkoholisme, prosedue-prosedur aversi telah digunakan secara
berhasil pada penanganan peyimpangan-penyimpangan seksual dengan mengasosiakan
stimulus yang menyakitkan dengan objek atau tindakan seksual yang tidak layak.
Butir yang penting adalah bahwa maksud
prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respon-respon
maladaptive dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh
tingkah laku alternative yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya
sendiri. Satu kesalahpahaman yang popular adalah bahwa tehnik-tehnik yang
berlandaskan hukuman merupakan perangkat yang paling penting bagi para terapis
tingkah laku.Hukuman jangan sering digunakan meskipun mungkin para klien
sendiri menginginkan penggunaan hukuman. Apabila cara-cara yang merupakan
alternatif bagi hukuman tersedia, maka hukuman jangan digunakan: cara-cara yang
positif yang mengarah pada tingkah laku yang baru dan lebih layak harus dicari
dan digunakan sebelum terpaksa menggunakan pemerkuat-pemerkuat negatif. Acap
kali, tingkah laku bisa diubah hanya dengan menggunakan perkuatan positif yang
mengurangi kemungkinan terbentuknya efek-efek samping yang merusak dari
hukuman. Disamping itu, jika hukuman digunakan, bentuk-bentuk tingkah laku
adaptif yang merupakan alternative secara jelas dan secara spesifik digambarkan
serta hukuman harus digunakan dengan cara-cara yang tidak mengakibatkan klien
merasa ditolak sebagai pribadi yang juga penting adalah klien dibantu agar ia
mengetahui bahwa konsekuensi-konsekuensi aversif diasosiakan hanya dengan
tingkah laku maladaptive yang spesifik.
Skinner (1948 1971) adalah sa;ah seorang
tokoh yang terang-terangan menentang pengguanaan hukuman sebagai cara untuk
mengendalikan hubungan-hubungan manusia ataupun untuk mencapaiu maksud-maksud lembaga
masyarakat. Menurut Skinner, perbuatan positif jauh lebih efektif dalam
mengendalikan tingkah laku karena karena hasilnya lebih dapat diramalkan serta
kemungkinan timbulnya tingkah laku yang tidak diingkan akan lebih kecil.
Skinner (1948) berpendapat bahwa hukuman adalah sesuatu yang buruk meskipun
bisa menkan tingkah laku yang diinginkan, namun tidak melemahkan kecenderungan
untuk merespons bahkan kalaupun untuk sementara menekan tingkah laku
tertentu.Akibat-akibat yang tidak diginkan, menurut skinner, berkaitan dengan
penggunaan pengendalian aversif maupun penggunaan hukuman.
Apabila hukuman digunakan, maka terdapat
kemungkinan terbentuknya efek-efek samping emosional tambahan seperti: (1)
tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi akan ditekan hanya
apabila penghukum hadir, (2) jika tidak ada tingkah laku yang menjadi
alternative bagi tingkah laku yang dihukum, maka individu ada kemungkinan
menarik diri secara berlebihan, (3) pengaruh hukuman boleh jadi
digeneralisasikan kepada tingkah laku lain yang berkaitan dengan tingkah laku
yang dihukum. Jadi seorang anak yang dihukum karena kegagalannya disekolah
boleh jadi akan membenci semua pelajaran, sekolah, semua guru, dan barangkali
bahkan membenci belajar pada umumnya.
Pengondisian
operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku
yang memancarkan yang menjadi ciri organisme aktif.Ia adalah tingkah laku
beroperasi dilingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan
merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang
mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dengan alat-alat makan, minum, bermain,
dan sebagainya. Menurut Skinner (1971), jika suatu tingkah laku tersebut dimasa
medatang akan tinggi. Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan,
pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan inti dari
pengondisian operan yang mencakup perkuatan positif, pembentukan respons,
perkuatan intermiten, penghapusan, percontohan, dan token economy.
Perkuatan
positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku yang
diharapakan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat,
baik primer maupun sekunder, diberikan untuk rentang tingkah laku yang
luas.Pemerkuat-pemerkuat primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis.Contoh
pemerkuat primer adalah makanan dan tidur atau istirahat.Pemerkuat-pemerkuat
sekunder, yang memuaskan kebutuhan kebutuhan psikologis dan sosial, memiliki
nilai karena berasosiasi dengan pemerkuat-pemerkuat primer.Contoh-contoh
pemerkuat sekunder yang bisa menjadi alat yang ampuh untuk membentuk tingkah
laku yang diharapakan antara lain adalah seyuman, persetujuan, pujian,
bintang-bintang emas, mendali atau tanda penghargaan, uang, dan hadiah-hadiah.
Penerapan pemberian perkuatan positif pada psikoterapi membutuhakn spesifikasi
tingkah laku yang diharapkan, penemuan tentang apa agen yang memperkuat bagi
individu, dan peggunaan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah laku
yang diinginkan.
Pembentukan
respons
Dalam pembentukan respons, tingkah laku
sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur kecil dari
tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mendekati
tingkah laku akhir. Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yag
ada pada mulanya tidak terdapat dalam perbendaharaan tingkah laku individu.
Perkuatan sering digunakan dalam proses pembentukan respons ini. Jadi,
mislanya, jika seorang guru ingin membentuk tingkah laku kooperatif sebagai
ganti laku kompetitif, dia bisa memberikan perhatian dan persetujuan kepada
tingkah laku yang dinginkannya itu.Pada anak autistic yang tingkah laku motoric,
verbal, emosional, dan sosialnya kurang adaptif, terapis bisa membentuk tingkah
laku yang lebih adaptif dengan memberikan pemerkuat-pemerkuat primer maupun
sekunder.
Perkuatan
intermiten
Disamping membentuk perkuatan-perkuatan
bisa juga digunakan untuk memelihara tingkah laku yang telah terbentuk.Untuk
memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat, terapis harus memahami kondisi-kondisi
umum dimana perkuatan-perkuatan muncul oleh karenanya, jadwal-jadwal perkuatan
merupakan hal yang penting. Perkuatan terus-menerus mengaganjar tingkah laku
setiap kali ia muncul. Sedangkan perkuatan intermiten diberikan secara
bervariasi kepada tingkah yang spesifik.Tingkah laku yang dikondisikan oleh
perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap pengahpusan disbanding
dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang
terus-menerus.
Dalam
menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-tahap
permulaan terapis haus mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang
diinginkan jika mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan secara segara setelah
tingkah laku yang diinginkan itu muncul dengan cara ini, penerima perkuatan
akan belajar, tingkah laku spesifik apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah
tingkah laku yang diinginkan meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi
pemberian perkuatan bisa dikurangi seorang anak yang diberi pujian setipa
berhasil menyelesaikan soal-soal matematika, misalnya, memiliki kecenderungan
yang lebih kuat untuk berputus asa ketika mengahadapi kegagalan disbanding
dengan apabila si anak hanya diberi pujian sekali-kali. Prinsip perkuatan
intermiten bisa menerangkan, mengapa ornga-orang bisa tahan dalam bermain judi
atau dalam memesang taruhan pada pacuan kuda.Mereka cukup terganjar untuk
bertahan meskipun mereka lebih banyak kalah daripada menang.
Penghapusan
Apabila
suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut
cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang
dipelajari cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk
menghapus tingkah laku yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah
laku yang maladaptive itu. Pengapusan dalam kasus semacam ini boleh jadi
berlangsung lambat karena tingkah laku yang kan dihapus telah dipelihara oleh
perkuatan intermiten dalam jangka waktu lama. Wolpe (1969) menekankan bahwa
penghentian pembarian perkuatan harus serentak dan penuh. Misalnya, jka
seseorang anak menujukkan kebandelan di rumah dan disekolah, orang tua dan guru
si anak bisa menghindari pemberian perhatian sebagai cara untul menghapus
kebandelan anak tersebut. pada saat yang sama perkuatan positif bisa diberikan
kepada si anak agar belajar tingkah laku yang diiginkan.
Terapis,
guru, dan orang tua yang menggunakan pengahapusan sebagai tehnik utama dalam
menghapus tingkah laku yang diinginkan harus mencacat bahwa tingkah laku yang
tidak diinginkan itu pada mulanya bisa menjadi lebih buruk sebelum akhirnya
terhapus atau terkurangi. Contohnya, seorang anak yang telah belajar bahwa dia
dengan mengomel biasanya memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan
memperhebat omelannya ketika permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi,
kesabaran mengahadapi periode peralihan sangat diperlukan.
Percontohan
Dalam
percontohan, individu mengamati seorang model kemudian diperkuat untuk
mencontoh tingkah laku sang model. Bandura (1969) menyatakan bahwa belajar yang
bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa juga diperoleh secara tidak
langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya.
Jadi kecakapan-kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan
mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Juga reaksi-reaksi emosional yang
terganggu yang dimiliki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati
orang lain yang mendekati objek-objek atau situasi yang ditakuti tanpa
mengalami akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya.
Pengendalian diri pun bisa dipelajari melalui pengamatan atas model yang
dikenai hukuman.Status dan kehormatan model amat berarti dan ornag-orang pada
umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku model-model yang menempati status yang
tinggi dan terhormat dimata mereka sebagai pengamat.
Token
economy
Metode
token ekonomi dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuari
dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan
pengaruh dalam token economy, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan
perkuatan-perkuatan yang bisa diraba (tanda-tanda seperti kepingan logam) yang
nantiinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diingini.
Metode token economy sangat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata,
misalnya, para pekerja dibayar untuk hasil pekerjaan mereka penggunaan
tanda-tanda sebagai pemerkuat-pemerkuat bagi tingkah laku yang layak memiliki
beberapa keuntungan, yaitu: (1) tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya.
(2) tanda-tanda bisa mengurangi penundaan yang ada diantara tingkah laku yang
layak dengan ganjarannya, (3) tanda-tanda bisa digunakan sebagai pengukur yang
konkret bagi motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu, (4)
tanda-tanda adalah bentuk perkuatan yang positif, (5) individu memilki
kesempatan untuk memutuskan bagaimana menggunakan tanda-tanda yang
diperolehnya, dan (6) tanda-tanda cenderung menjembatani kesengjangan yang
sering muncul diantara lembaga dan kehidupan sehari-hari.
Token
economy merupakan slah satu contoh dari perkuatan yang ekstrinsik, yang
menjadikan orang0orang melakukan sesuatu untuk meraih “pemikat diujung tongkat”.Tujuan
prosedur ini adalah mengubah motivasi yang ekstrinsik menjadi motivasi yang
intrinsic. Diharapkan bahwa perolehan tingkah laku yang dinginkan akhirnya
dengan sendirnya akan menjadi cukup mengganjar untuk memelihara tingkah laku
yang baru.
TEORI
KONSELING BEHAVIORAL

DISUSUN
OLEH
NURFADILLAH (1744040016)
NADIAH
AHRAJABANUR (1744041016)
NURFAJRIANI
TAHIR (1744042011)
SUCI
SARIDEWI (1744042032)
KELAS
A
PSIKOLOGI
PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2018
Komentar
Posting Komentar