Tentang Empat Perjalanan (Risalat Tahqiq fi al-Asfar al-Arba’ah)


Tentang Empat Perjalanan
(Risalat Tahqiq fi al-Asfar al-Arba’ah)
Sayyid Abu al-Hasan Rafi’i Qazwini (m. 1975) [i])


Abstrak

Tulisan yang ringkas ini ingin menceritakan tentang catatan penjelas (syarah) dari salah seorang pengajar filsafat Islam yang terkenal di abad ke dua puluh, Sayyid Abu al-Hasan Rafi’i Qazwini (m. 1975), terhadap empat perjalanan ahli ‘irfan (the mystic) yang diperkenalkan oleh Mulla Sadra (m. 1641) pada bagian awal dari karya summa-nya dengan judul yang sama (judul asli kitab tersebut adalah al-Hikmah al-muta`alliyyah fi al-asfar al-arba`ah al-`aqliyyah,pent.). Dalam catatan ini, Sayyid Abu al-Hasan Rafi’i menjelaskan hubungan dan korespondensi dari tahapan-tahapan perjalanan tersebut dengan pokok materi dan penyusunan kitab al-asfar al-arba`ah, sebagai pembuka penjelasan terhadap empat perjalanan pada puncak pengenalan terhadap teks. Meskipun sudah banyak pemikir yang telah menulis catatan penjelas yang sama tentang arti empat perjalanan ini, namun penjelasan Sayyid Abu al-Hasan Rafi’i merupakan syarah yang lebih jelas dan perincian yang lebih dalam tentang filsafat Mulla Sadra. Di samping itu, Sayyid Abu al-Hasan Rafi’i melakukan pengkajian yang cukup dalam tentang kunci hubungan antara ‘irfan dan filsafat sebagai bentuk kesalingmelengkapian dari studi tentang objek-objek akal (noetic inquiry).

Pada bagian awal diskusi tentang ontologi dan onto-teologi di dalam magnum opus-nya, al-Asfar al-Arba’ah, Mulla Sadra mengatakan:

Ketahuilah bahwa para pesuluk (sullak) di antara para urafa’ (al-‘urafa’) dan para wali (al-awliya’) menempuh empat perjalanan. Perjalanan pertama adalah dari perjalanan makhluk kepada Kebenaran (min al-khalq ila al-Haqq). Perjalanan kedua adalah perjalanan bersama Kebenaran di dalam Kebenaran (bi al-Haqq fi al-Haqq). Perjalanan ketiga adalah kebalikan dari perjalanan pertama, sebab perjalanan ini dari Kebenaran menuju makhluk (min al-Haqq ila al-khalq). Perjalanan keempat adalah kebalikan dari perjalanan kedua, karena perjalanan ini adalah perjalanan bersama Kebenaran di dalam makhluk (bi al-Haqq fi al-khalq). Saya telah mengatur susunan kitab saya ini dengan berdasarkan pada perjalanan mereka melalui cahaya-cahaya dan efek-efek (yang lebih tinggi) ke dalam empat perjalanan. Saya menyebut kitab ini dengan nama Filsafat Kearifan (al-Hikmah al-Muta’aliyah) dari empat perjalanan akal; dan saya akan menjelaskan (kata-kata saya) tentang apa yang saya maksudkan dengan bantuan wujud yang mengabdi secara terus-menerus kepada Kebenaran (al-Haqq al-ma’bud al-samad al-mawjud). 1)

Inilah alasan dan prinsip dasar dalam memberikan nama terhadap teks tersebut, suatu summa filosofis yang diilhami oleh mistisisme dan filsafat intuitif, dan (karya ini dibuat) untuk memberikan suatu paradigma dan metafora irfan dalam menjelaskan peranan filsafat dalam hubungannya dengan perjalanan spiritual kepada Allah.

Kebanyakan pensyarah dari karya ini memulai dengan diskusi tentang arti perjalanan sebagai cara dalam memahami bagaimana teks tersebut memberikan penjelasan serta melihat tujuan dan metode perjalanan ini. Di antara pensyarah tersebut, terdapat tiga filosof yang terkenal dari periode Qajar. Mereka adalah Aqa Muhammad Rida Qumsyehi (m. 1889), Mirza Muhammad Hasan Nuri, dan yang paling terkenal dari ketiganya adalah Mulla Hadi Sabzawari (m. 1873). 2) Syarah dari Qumsyehi dan Sabzawari merupakan penjelasan yang sangat lengkap tentang studi filosofis di dalam bahasa sufi dan menempatkan karya-karya Sadra sebagai jalan spiritual di dalam konteks sufi teoritis. Adapun syarah Nuri, sebagai seorang ahli logika yang terkenal, lebih banyak menjelaskan masalah ini dengan metode diskursif. 3)

Terjemahan ini didasarkan pada teks berbahasa Arab yang diterbitkan di dalam suatu kumpulan risalah Sayyid Abu al-Hasan Rafi’i Qazwini yang berjudul Ghawsi dar Bahr-i Ma’rifat atau “Menyelam dalam Samudra Ma’rifat.” 4) Seorang filosof-‘irfan yang terkenal dari Qum, Ayatullah Hasan Hasanzada, menuliskan teksnya. [ii]) Tanda dalam kurung menunjukkan tempat kutipan tersebut di dalam teksnya yang berbahasa Arab. Terjemahannya akan dicetak miring, yang akan diselang-selingi dengan komentar dari kami sendiri.

(233) Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia (Mulla Sadra) telah mengatakan: Ketahuilah bahwa para pesuluk itu menempuh empat perjalanan. Ketahuilah bahwa para pesuluk kepada Allah, yang Maha Agung kemuliaan dan kebesaranNya, meninggalkan alam kejamakan (‘alam al-katsrah) ini, bukan dalam artian tempat yang dicapai oleh indra, setelah melewati tahapan-tahapan perjalanan (manazil) jiwa (al-nafs) dan setelah mensucikan jiwa dari nafsu, yakni setelah seluruh perbuatannya semata-semata untuk Allah, apakah di alam kata-kata, atau perbuatan, atau pikiran, atau keinginan. Dia akan sampai di alam penyatuan (al’-‘alam al-ahadiyyah) dan melihat segala sesuatu yang berenang dalam cahaya Kebenaran dan semua manifestasiNya (al-Haqq wa tajalliyyatihi).

Penulis (kitab ini) jelas-jelas mendekatkan kejamakan dan aspek ketergantungan kepada ruang dan waktu (spatio-temporal aspects) dari alam fenomenal kita ini dengan alam akal (the noetic world) realitas yang berada di luar batasan ruang dan waktu. Artinya, perjalanan para pesuluk terjadi di dalam alam akal dan di dalam “tempat yang tidak dapat dicapai oleh indra” (non-locative). 5) Inilah “perjalanan hati.” Inilah penyatuan yang dirindukan oleh para pesuluk. 6) Perjalanan ke alam akal ini sudah pernah disinggung oleh pengikut Plato dan NeoPlatonis, dan premis bahwa alam kejamakan lebih kecil dan lebih tidak sempurna dibandingkan dengan alam akal ketunggalan juga menjadi asumsi Platonis yang umum. Mereka juga telah mengasumsikan tentang kemampuan jiwa untuk “mengangkat” tubuh dan menaikkan alam kesadaran (nous) serta mengalami penyingkapan ilahiyyah (beatific vision). Plotinus telah menjelaskan perumpamaan “pengangkatan” (tubuh) ini di dalam Enneads IV.8.1, suatu tulisan yang menemukan jalannya ke dalam ringkasan dan uraian Enneads IV-VI yang lebih dikenal dengan nama “Theologia Aristoteles” (Utsulujiya). 7)

Karya-karya sufi yang awal juga telah menyingging masalah empat perjalanan. Ibn ‘Arabi (m. 1240) di dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyah merujuk pada empat perjalanan ini di dalam bab enam puluh sembilan tentang rahasia-rahasia shalat sebagai “perjalanan spiritual manusia”. 8) Meskipun mereka tidak merinci perjalanan ini sebagaimana yang dilakukan oleh Mulla Sadra, setidaknya mereka mempunyai tujuan yang sama. 9) Namun, dua dari pensyarah Ibn ‘Arabi mempertahankan konsep tentang perjalanan-perjalanan ini sebagai pemahaman yang mirip dengan dan mempengaruhi konsep Mulla Sadra di dalam empat perjalanannya. ‘Abd Razzaq Kasyani (m. 1330) di dalam kamus sufinya yang sangat berpengaruh, al-Istilahat al-Sufiyyah, mendiskusikan masalah empat perjalanan ini.10) Sabzavari di dalam komentarnya membuat hubungan langsung dan mengutip keseluruhan tulisan ini:

Sebuah perjalanan adalah perhatian hati kepada Kebenaran Yang Maha Tinggi. Dalam hal ini ada empat perjalanan. Perjalanan pertama adalah perjalanan kepada Allah dari tahapan-tahapan perjalanan jiwa (al-manazil al-nafs) yang kemudian tiba di “Ufuk Yang Terang” (al-ufuq al-mubin). 11) Inilah puncak capaian hati (al-maqam al-qalb) dan menjadi permulaan manifestasi diri (self-disclosure) dari nama-nama Allah (al-tajalliyat al-asma’iyyah).

Perjalanan kedua adalah perjalanan di dalam sifat-sifat Allah dan penyaksian nama-namaNya yang kemudian tiba di Ufuk Tertinggi (al-ufuq al-‘a’la) dan puncak kehadiran ketunggalan (al-hadra al-wahidiyyah).

Perjalanan ketiga adalah pendakian pada Penyatuan (al-jam’) dan kehadiran penyatuan (al-hadra al-ahadiyyah). Inilah maqam dari “panjang dua simpul” (two bows’ length), dan jika dia menuju maqam yang lebih tinggi, dia akan sampai pada maqam “atau lebih kecil” (or less) 12) dan inilah puncak kesucian (al-wilayah).

Perjalanan keempat adalah perjalanan dari Allah bersama Allah untuk mencapai kesempurnaan dan inilah maqam kehidupan setelah ketiadaan dan maqam keterpisahan setelah penyatuan (al-farq ba’da al-jam’). 13)

Sayyid Haydar Amuli (m. 1385), seorang pengikut utama mazhab Ibn ‘Arabi di dalam kalangan Syi’ah, juga membicarakan masalah empat perjalanan ini di dalam magnum opus-nya, Jami’ al-Asrar.14) Para pensyarah Asfar kemudian menghubungkan karya sufi ini dengan karya Mulla Sadra tersebut. Bahkan, hubungan antara filsafat dengan sufisme dalam metafora “perjalanan” mungkin sudah pernah dijelaskan di dalam salah satu karya pemikir abad ke enam belas, Syams al-Din Khafari. 15)

Dan sebagai bagian akhir adalah masalah istilah “manzil.” Istilah ini adalah murni istilah sufisme yang, seperti yang dikatakan oleh Qumsyehi, mempunyai makna ‘berhenti pada suatu jalan, (berhenti dalam) waktu sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.’16)

Terdapat permulaan maqam dari (perjalanan) hati dan puncak dari perjalanan pertama, yaitu perjalanan dari makhluk kepada Kebenaran. Wujud dari pesuluk menjadi “ril” (haqqani) dan menjadi kontingen (al-jiha al-imkaniyyah) yang meninggalkan dirinya. Dan ketika hati orang beriman berada “di tangan Yang Maha Pengasih dan kemudian Dia meninggikan hati tersebut sesuai dengan kehendakNya,’ maka sang pesuluk akan melihat sifat-sifat dan nama-namaNya yang Tertinggi, baik nama-nama yang menunjukkan rahmatNya  maupun nama-nama yang menunjukkan kemurkaanNya (al-lutfiyyah wa al-qahariyyah). Dari dasar wujudnya, hukum-hukum dari nama-nama Allah di dalam kejamakannya akan mewujud di dalam dirinya. Maqam ini dikenal sebagai maqam ketunggalan (maqam al-wahidiyyah). Dia berada di maqam penyusutan dan pengembangan (maqam al-qabd wa al-bast) yang mewujudkan hukum-hukum yang menunjukkan Rahmat  maupun hukum-hukum yang menunjukkan Kemurkaan. Dia kemudian mengalami rasa takut dan harapan (al-khauf wa al-raja’). Inilah perjalanan di dalam Kebenaran bersama Kebenaran.

Penulis (kitab ini) mendekatkan tingkatan penyatuan (al-ahadiyyah, unicity) dengan ketunggalan (al-wahidiyyah, singularity) yang merupakan istilah-istilah yang digunakan di dalam konteks teori kehadiran Tuhan (al-hadarat) di dalam pemikiran Ibn ‘Arabi. 17) Sabzawari kemudian menjelaskan perbedaan ini:

Tingkatan penyatuan menjelaskan esensi Allah yang dinegasikan dengan nama-nama dan sifat-sifatNya. Tetapi tingkatan ketunggalan menjelaskan esensi Allah bersama nama-nama dan sifat-sifatNya yang mewujud di dalam wujud-wujud dasar yang permanen (al-a’yan al-tsabitah). 18)

Di samping masalah istilah ini, ada dua tema yang lain juga terkenal. Pertama, di dalam bahasa sufisme, maqam digunakan untuk menjelaskan titik-titik pada perjalanan kepada Allah. Nama-nama dari maqamat tersebut adalah nama-nama yang standar yang digunakan di dalam kitab-kitab petunjuk bagi para sufi seperti al-Risalah-nya al-Qusyairi (m. 1074). 19) Mereka juga menghubungkan (maqam ini) dengan kosmologi substansi-substansi halus (lata’if) atau tingkatan-tingkatan kesadaran diri manusia yang berjalan kepada Diri Kebenaran yang Maha Tunggal. Sabzawari malah  menghubungkan masalah ini secara eksplisit di dalam pembahasan tentang tujuh substansi halus sebagai maqam dalam perjalanan spiritual. Sabzawari kemudian menghubungkan tujuh substansi ini dengan suatu penafsiran tentang tingkatan penyingkapan yang terdapat di dalam ayat cahaya QS. 24:25. 20) Kedua, perbandingan aspek yin dan yang pada Tuhan, yakni sifat jalal (mysterium tremendum) dan sifat jamal (myterium fascinans). Dalam hal ini, diperhadapkan sifat kasih dan sifat keras Allah. Ajaran teologi keseimbangan ini menyarankan bahwa semua kontradiksi dan kesimbangan di dalam kosmos merupakan pancaran dari “tao” sifat-sifat Allah. 21)

(234) Dia berada di dalam Kebenaran karena alam rububiyyah (al-‘alam al-rububiyyah) begitu luas dan sifat-sifat yang sempurna begitu banyak di dalam pahaman dan setiap dari sifat-sifat itu mengatur eksistensi sang hamba. Dia bersama Kebenaran karena ketika sang hamba terbebas dari aturan-aturan kemungkinan dan berada di dalam kekuasaan cahaya Kebenaran, maka dia akan mewujud melalui Kebenaran dan bukan melalui dirinya sendiri. Dia tidak mempunyai lagi “dirinya sendiri” (ananiyyah) pada wujud ini. Dia tiba pada perjalanan kedua menuju puncak perjalanannya dan perkembangan perjalanan tersebut dari satu keadaan ke keadaan yang lain (min halin ila hal), dia menyaksikan semua sifat-sifat Allah yang berada di dalam Ketunggalan Tak Terlihat (Unseen Unity) yang khusus bagi Esensi WajibNya (ghayb al-wahda al-mukhtassa bi dzatihi al-wajibiyyah). Dia kemudian akan mencapai ketiadaan esensial (al-fana’ al-dzati) tetapi belum melihat Kebenaran Murni (al-Haqq al-Mahd) dan penyatuan mutlak (al-ahadiyyah al-muthlaq). Baginya, rahmat dan murka serta pahala dan hukuman masih masih menyatu karena sifat-sifat tersebut adalah manifestasi dari nama khusus yakni bahwa pahala adalah aspek dari Belas KasihNya dan hukuman adalah aspek dari KemurkaanNya. Pada maqam ini sifat-sifat tadi larut di dalam EsensiNya yang Tak Terlihat. Semua yang disaksikan oleh pesuluk hanyalah Individualitas Tuhan Yang Tak Terlihat (al-Huwiyyah al-Ghaibiyyah al-Ilahiyyah).

Salah satu kunci dalam bahasa sufi adalah penggunaan coincidentia oppositorum, suatu pendekatan melalui bahasa ‘yang kelihatannya saling bertentangan’ (paradoxical) yang terlihat dengan jelas disini. Corbin memberikan perhatian pada penggunaan bahasa seperti ini di dalam sufisme dan filsafat Islam mutakhir di Iran. 22)

Hal ini merupakan peniadaan diri murni (self-effacement, al-mahw al-mahd), penafian diri yang sebenarnya (sheer obliteration, al-tamas al-sirf), puncak maqam hati, dan menjadi permulaan dari manifestasi (maqam) ruh (al-ruh) di dalam bahasa sufi. Dalam keaadan ini dia menerima karunia Tuhan (al-inayah al-ilahiyyah) dan kembali kepada kesadaran diri (al-shaw) setelah peniadaan diri.23) Dia menyaksikan penciptaan dan alam kontingen tetapi dengan mata yang lain, dengan penglihatan yang berbeda, dan dengan penyaksian yang berbeda dengan penyaksian terhadap sesuatu yang tertutupi. Dia menyaksikan kuiditas-kuiditas kontingen (al-mahiyyah al-imkaniyyah) sebagai manifestasi dari nama-nama Allah, sebagai manifestasi dari sifat-sifatNya, dan sebagai cerminan dari esensiNya. Inilah perjalanan dari Kebenaran ke makhluk. Inilah maqam kesucian (al-wilayah), 24) wilayah penyebaran (al-tasarruf) dan penyatuan (al-jam’). Penyaksian terhadap makhluk tidak menutup Kebenaran pada dirinya, demikian juga penyaksian terhadap Kebenaran tidak menutup penyaksiannya terhadap makhluk. Tetapi, dia melihat penyatuan yang mewujud di dalam kejamakan dan kejamakan ini larut di dalam Penyatuan Yang Tak Terlihat.

Maqam ruh adalah puncak penafian diri (self-negation) dan sekaligus menjadi pengukuhan diri (self-affirmation). Di dalamnya, para pesuluk mengenal bahwa kedekatan antara kesatuan dan kejamakan tidak saling bertentangan dan paradoksal. Malah diyakini bahwa ada kesatuan di dalam kejamakan.

Inilah puncak perjalanan ketiga yang menjadi derajat kesucian (al-wilayah), dan karena dia berada dalam keabadian setelah mengalami ketiadaan, maka dia sampai pada maqam kepuasan sempurna (complete contentment, al-tamkin al-tamm). “Dadanya telah dilapangkan” 25) sedemikian sehingga dia terlalu tenggelam dalam hukum-hukum alam (235) kejamakan yang dapat memaling-kannya dari penyaksian Penyatuan Murni. Dia duduk di antara dua batas dan ditempatkan pada maqam penyatuan antara ketiadaan di dalam esensi kehidupan abadi dan kehidupan abadi di dalam esensi ketiadaan. Inilah perjalanan keempat yang bersama Kebenaran di dalam makhluk.

Suatu (kata) kunci yang muncul di dalam bagian ini adalah kesucian (sanctity, al-wilayah), yakni suatu kunci di dalam konsep Sufi yang menjelaskan wilayah spiritual dan kedekatan dengan Yang Satu. Kasyani menjelaskan kesucian ini sebagai maqam ‘ketiadaan’ di dalam Yang Satu, kepuasan dan kedekatan dengan Allah. 26) Pada tempat ini juga Amuli melontarkan pertanyaan di dalam mazhab Ibn ‘Arabi dalam hal tanda kesucian dan defenisi Kutub Realitas dengan individu-individu khusus. 27) Tanda (dari kesucian itu) adalah Manusia Sempurna (al-insan al-kamil), wakil Tuhan yang sebenarnya di muka bumi ini.

Inilah derajat kenabian (al-nubuwwah) serta penetapan hukum (legislation, al-tasyri’) dan kepemimpinan atas umat manusia yang berhubungan dengan urusan-urusan mereka yang beragam dan berbeda-beda serta bagaimana mereka saling berinteraksi satu sama lain.

Kenabian menetapkan kriteria-kriteria hukum dan membedakan antara kebaikan dan keburukan. Untuk itu, Amuli menjelaskan bahwa puncak dari perjalanan keempat adalah sebagai maqam penetapan hukum dan pembedaan (kebaikan dan keburukan) tadi.28)

Jika kamu (telah) mengetahui masalah ini, maka ketahuilah bahwa karena buku ini terdiri dari empat perjalanan dalam hubungannya dengan perjalanan intelektual (al-safar al-‘ilmi) melalui penjelasan teoritis (al-bahts al-nazari) yang berhubungan dengan perjalanan para pesuluk, yakni perjalanan dari keadaan-keadaan (al-safar al-hali), perbuatan (al-‘amali), dan lain-lain; maka setiap orang harus mencari tahu secara menyeluruh hubungan antara perjalanan-perjalanan para pesuluk tersebut dengan bagian-bagian yang ada di dalam kitab ini.

Kunci yang terlihat disini adalah penekanan pada hubungan antara dua bentuk studi tentang pahaman-pahaman akal, yakni sufisme dan filsafat, serta penegasan kesalingmelengkapian antara kedua bentuk studi tersebut. Memang, sering dikatakan bahwa Mulla Sadra berhasil mempertemukan metode sufi dan cara filosof, seperti yang terlihat di dalam magnum opus-nya.

Perjalanan pertama berhubungan dengan metafisika umum (al-umur al-‘amma) dan merupakan premis yang menjadi pijakan seni pertama, yakni dia (Mulla Sadra, ed.) membuktikan Keniscayaan di dalam Keindahan dan sifat-sifatNya. Dengan pembuktian ini, seseorang dapat melanjutkan pada perjalanan kedua yang berhubungan dengan onto-teologi atau metafisika khusus (al-ilahiyyat bi al-ma’na al-khass). Masalah ini berhubungan dengan perjalanan pertama para pesuluk dari alam makhluk. Ahli hikmah (al-hakim, yaitu Mulla Sadra) ini mendiskusikan sifat-sifat Allah Yang Maha Tinggi, dari eksistensiNya Sadra menyimpulkan keEsaanNya dan dari keEsaanNya Sadra menyimpulkan keAbadianNya. Sadra juga menyimpulkan bahwa dari EksistensiNya maujud IlmuNya, KuasaNya, HidupNya dan KehendakNya. Inilah yang berhubungan dengan perjalanan kedua, yakni perjalanan di dalam Kebenaran bersama Kebenaran.

Dengan demikian perjalanan pertama menjelaskan onto-teologi atau lebih cenderung pada kajian semantik dan metafisika dasar terhadap firman Allah yang sempurna. Karena itu ia lebih cocok sebagai bukti ontologis dan kosmologis bagi wujud Allah yang pertama kali dijelaskan disini. 29)

Ahli hikmah (Mulla Sadra) menjadikan perjalanan ketiga di dalam kitabnya sebagai (diskusi) tentang substansi dan aksiden. Tetapi Mulla Sadra mendiskusikan masalah ini bukan dari sudut pandang pisik tetapi dari sudut pandang keilahian (divinalia). Bagian ini pada kitab tersebut berhubungan dengan perjalanan para pesuluk dari Kebenaran kepada makhluk karena substansi-substansi dan aksiden-aksiden merupakan esensi wujud mungkin (kuiditas kontingen) dan penetapan alam ciptaan.

Setelah mendiskusikan perihal substansi dan aksiden, penulis (Mulla Sadra) kemudian mendiskusikan masalah ruh dan fakultas-fakultas, ilham, perkembangan, pendakian (penyempurnaan), kestatisan, dan kemundurannya. Inilah perjalanan keempat dari kitab psikologi (al-’ilmu al-nafs). (236) Hal ini berhubungan dengan perjalanan (kepada) kenabian dan hukum yang menjadi perjalanan keempat para pesuluk. Nabi qua nabi di dalam hukum perintah dan panggilannya kepada Allah (al-da’wah, kerygma), memanggil jiwa yang diam serta  menyelamatkan dan melindungi jiwa tersebut dari keadaan yang menyedihkan dan neraka. Oleh karena itu perjalanan (keempat) di dalam kitab (Mulla Sadra ini) sama dengan kenabian dan penetapan hukum.

Para sufi yang telah melewati perjalanan keempat akan sama dengan para nabi karena mereka telah melihat Kebenaran dan telah mengetahui ujung (perjalanan) manusia, yakni kembali kepada Yang Esa. Oleh karena itu mereka akan dibekali untuk menyeru kepada moralitas dan kebaikan. 30) Para filosof Muslim telah sepakat bahwa kesempurnaan filsafat adalah kenabian. 31) Filosof yang tercerahkan akan sama dengan seorang nabi karena dia telah mengetahui realitas walaupun hidup di dunia ini. Oleh karena itu para filosof tersebut bertanggungjawab kepada para pengikutnya dan harus melibatkan diri di dalam masyarakat dan hubungan sosial. Dalam hal ini, kebutuhan akan kenabian akan selalu ada yang fungsinya sering diperankan oleh seorang wali. Namun, fungsi legislatif sebagaimana yang diemban oleh seorang nabi akan tetap tertutup dan berhenti setelah kehadiran Rasulullah Saww. Puncak perjalanan para sufi dan filosof terdapat di dunia ini, di dalam etika dan politik dunia dan di dalam usaha keras untuk mencapai keberhasilan spiritual di dunia melalui pengenalan pada kesatuan pokok di dalam kosmos yang merefleksikan dan mewujudkan penghambaan kepada Allah Swt.

Catatan
1.      Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta‘aliyah fi al-Asfar al-‘aqliyyah al-Arba‘ah, editor R. Lutfi dkk, edisi ketiga, Beirut: Dar ihya’ al-turath al-‘arabi 1981, vol. I, hal. 13.
2.      Mulla Sadra, al-Asfar, vol. I, hal. 13-18.
3.      Sepengetahuan kami, satu-satunya pemikir yang menjelaskan komentar ini hanyalah Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy, Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy 1977, hal. 57-61.
4.      Sayyid Abu l-Hasan Rafi‘i Qazwini, Ghawsi dar Bahr-i Ma’rifat Ghaw¥¢ dar ba¦r-i ma‘rifat, Tehran: Intisharat-i Islam 1376 syamsi, hal. 232-36.
5.      Bandingkan dengan ‘Ali al-Jurjani, Kitab al-Ta‘rifat, editor A. Sprenger, Beirut: Maktabat Lubnan 1969, hal. 124; J.W. Morris, “ ‘Dia membawamu di daratan dan di lautan…’ ” di dalam The Journey of the Heart, editor. J. Mercer, Oxford: Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society 1996, hal. 41-69.
6.      R.C. Zaehner, Mysticism sacred and profane, Oxford: Oxford University Press 1957, hal. 87, 150.
7.      Aflutin ‘ind al-‘Arab: Utsulujiya, editor ‘A. Badawi, Qum: Intisyarat - Bidar 1413 qamari, hal. 22; penerjemah G. Lewis di dalam Plotini Opera, editor P. Henry & H. Schwyzer, Brussels: Desclée de Brouwer 1951-73, vol. II, hal. 225. Sebagai bahan diskusi, lihat Fritz Zimmermann, “The origins of the Theology of Aristotle,” di dalam Pseudo-Aristotle in the Middle Ages, editor J. Kraye dkk, London: The Warburg Institute 1986, hal. 138-39. Tentang perumpamaan pengangkatan sebagai pencarian diri sejati, lihat Lloyd Gerson, Plotinus, London: Routledge 1994, hal. 271. Contoh penggunaan perumpamaan ini dan pengutipan termasuk Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyya, editor O. Yahia, Cairo: IFAO 1972, vol. II, hal. 219.
8.      Bandingkan dengan Morris, “ ‘Dia membawamu …’ ” hal. 59.
9.      Pada karya yang lain yang sesuai dengan doktrinnya, dia menegaskan bahwa hanya ada tiga perjalanan: dari Dia (min ‘indihi), kepada Dia (ilayhi) dan di dalam Dia (fihi). Lihat Ibn ‘Arabi, Kitab al-Isfar ‘an Nata’ij al-Aasfar in Rasa’il,  Beirut: Dar Sadir 1997, hal. 457.
10.  Qasyani, al-Istilahat al-Sufiyyah, editor. A. Sprenger, dengan penerjemah (ke dalam bahasa Inggris) N. Safwat menjadi A Glossary of Sufi Technical Terms, London: The Octagon Press 1991, hal. 87 (Arab), hal. 62 (Inggris). 
11.  Suatu istilah yang merujuk kepada AlQur’an QS 53: 7, “sedang dia berada di ufuk yang tinggi.”
12.  Kedua istilah ini merujuk kepada AlQuran QS 53:8, “Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi.”
13.  Mulla Sadra, al-Asfar, vol. I, hal. 18.
14.  Amuli, Jami‘ al-Asrar, editor H. Corbin & O. Yahia, Tehran: Institut Franco-Iranien 1969, hal. 147, 339-40, 494, 402.
15.  Merujuk pada suatu manuskrip di Perpustakaan Pusat Universitas Teheran 2401/2 yang disebutkan oleh Danishpazhuh, Fihrist-i Nushka-ha-yi Khatti dar Kitabkhana-yi Markazi-yi Danishgah-i Tehran, Tehran: Tehran University Press 1339- shamsi, vol. IX, hal. 1012-13.
16.  Mulla Sadra, al-Asfar, vol. I, hal. 13.
17.  Bandingkan dengan W. Chittick, The Sufi path of Knowledge: Ibn ‘Arabi’s Metaphysics of Imagination, Albany: State University of New York Press 1989, hal. 5, 122, 185, 204.
18.  Mulla Sadra, al-Asfar, vol. I, hal. 18.
19.  Al-Qusyayri, al-Risalah, editor ‘A. Mahmud, Cairo: Dar al-ma‘arif,  tanpa tahun, vol. I, hal. 153-82.
20.  Mulla Sadra, al-Asfar, vol. I, hal. 18. Tentang substansi halus, lihat Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, Chapel Hill: University of North Carolina Press 1975, hal. 174, 389.
21.  Lihat diskusi yang sangat luas dengan pembahasan yang sangat meyeluruh di dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam, Albany: State University of New York Press 1993.
22.  Bandingkan dengan Steven Wasserstrom, Religion Aafter Religion, Princeton: Princeton University Press 1999, hal. 66; M. Sells, Mystical Languages of Unsaying, Chicago: University of Chicago Press 1994, hal. 21.
23.      Bandingkan dengan Qumsyehi di dalam Mulla Sadra, al-Asfar, vol. I, hal. 14.
24.  Amuli, Jami‘ al-Asrar, hal. 394 menjelaskan bahwa (maqam) kesucian dimulai pada puncak perjalanan pertama karena seseorang (pesuluk) sudah menjelajahi manazil serta tingkatan-tingkatan dan akhirnya menjadi tiada di dalam Kebenaran.
25.  Merujuk kepada AlQuran QS. 94: 1, “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?”
26.  Qasyani, al-Istilahat, hal. 23 (Arab), 24 (Inggris).
27.  Amuli, Jami‘ al-Asrar, hal. 402.
28.  Amuli, Jami‘ al-Asrar, hal. 546.
29.  Mulla Sadra, al-Asfar, vol. I, hal. 92.
30.  Bandingkan dengan Qumsyehi di dalam Mulla Sadra, al-Asfar, vol. I, hal. 16.
31.  Bandingkan dengan D. Black, “al-Farabi,” di dalam History of Islamic Philosophy, editor S.H. Nasr & O. Leaman, London: Routledge 1996, vol. I, hal. 190-92.






[i]) Tulisan ini ditulis oleh Sayyid Abu al-Hasan Rafi’i Qazwini yang meninggal 1975. Naskahnya yang berbahasa Arab kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yang sekalian diberi penjelasan oleh Sayyid Sajjad Rizvi, Pembroke College, UK. Terjemahan dalam bahasa Indonesia ini diambil dari bahasa Inggrisnya dengan judul “On The Four Journeys” (Ed.)
[ii] Kami tidak memuat teks bahasa Arab dari tulisan Sayyid Abu al-Hasan Rafi’i Qazwini ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH " THAHARAH"

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

MAKALAH Perkembangan Moral