Persepsi Indra Dalam Filsafat Mulla Sadra
Persepsi Indra Dalam Filsafat Mulla
Sadra
Sayyid Muhammad Khamenei
Sadra Islamic Philosophy Research
Institute (SIPRIn), Iran
Abstrak
Ada beberapa macam doktrin-doktrin filosofis tentang
persepsi indra; dan salah satu yang paling penting di antaranya adalah doktrin
Mulla Sadra. Sebelum menjelaskan doktrin Mulla Sadra, terlebih dahulu kita
harus memahami landasan doktrin tersebut seperti halnya perluasan makna (connotation) pikiran; pengkategorian
persepsi di dalam persepsi indra, persepsi imajinal dan persepsi intelektual;
klasifikasi pengetahuan ke dalam pengetahuan melalui perolehan (al-’ilm al-hushuli) dan pengetahuan
dengan kehadiran (al-‘ilm al-hushuli
dan al-‘ilm al-hudhuri); wujud mental
dan kreatifitas pikiran. Meskipun Sadra bukanlah golongan sensasionalisme,
namun dia menerima keterkaitan langsung indra di dalam pengetahuan manusia.
Sadra menganggap “perhatian” (attention)
dan “kesadaran” (awareness) sebagai
dua unsur penting dalam persepsi, dia juga percaya bahwa kedua unsur tersebut
bersifat immaterial dan menjadi bagian dari fakultas-fakultas jiwa. Indra
(misalnya indra penglihatan) memproyeksikan bentuk objek ke dalam
pembuluh-pembuluh syaraf dan organ-organ tubuh; namun, jiwa immaterial menerima
objek tersebut secara langsung (melalui pengetahuan dengan kehadiran) dan
kemudian menyimpannya di dalam memori yang disebut imajinasi. Objek tersebut
akan tersimpan seterusnya sampai manusia mencapai pengetahuan pahaman. Issu
penting lain yang dikembangkan oleh Mulla Sadra adalah persoalan evolusi persepsi
ini ke dalam persepsi imajinal dan kemudian persepsi intelektual. Pada titik
inilah Sadra membuktikan bahwa harus ada penyatuan wujud antara “yang
mengetahui dan yang diketahui”, atau seperti yang diistilahkan oleh Sadra,
antara “intelek dan inteligensi” (intellect
and intelligence) atau “indra dan yang diindra” (sense and sensible). Sambil mendiskusikan isu-isu ini, kita akan
mencoba membuktikan korespondensi antara pikiran (subjek) dan dunia eksternal
(objek).
************
D
|
oktrin persepsi Mulla Sadra – yang mencakup persepsi
indra, persepsi imajiner, persepsi intelektual – dimulai dari sesuatu yang
eksternal dan didasarkan pada apa yang disebut “yang diketahui secara
esensial.” 1)
Mulla Sadra menganggap semua tingkatan persepsi, yang
sejalan dengan fenomena ragawi dan psikis (material dan immaterial), bermula
dari sesuatu yang material eksternal (objek). Berbeda dengan beberapa filosof
idealis yang menganggap sesuatu yang bersifat mental sebagai muasal persepsi,
atau kaum rasionalis yang mempercayai adanya sesuatu yang diketahui secara a priori, atau Hegel [a]) yang menetapkan “ide”
sebagai sumber persepsi, Mulla Sadra percaya adanya korespondensi antara
pengetahuan mental (atau yang diketahui secara esensial) dan objek eksternal.
Sadra melihat adanya hubungan antara semua persepsi manusia dan bukti-bukti
eksternal kemudian mengatakan bahwa apa yang kita ketahui serta imajinasi yang
kita miliki mempunyai akar pijakan di dalam indra kita.
Kaum sensualis [b]) mempertahankan pendapat
bahwa pada titik ini persepsi indra sudah selesai. Beberapa dari mereka
menyebutkan bahwa kesadaran merupakan bagian dari prasyarat untuk menilai
kebenaran suatu persepsi. Namun menurut Mulla Sadra, refleksi objek-objek
eksternal terhadap indra adalah seperti pantulan suatu bayangan di dalam sebuah
cermin (atau hasil-hasil photografi) dan karenanya bayangan tersebut terlalu
sepele untuk bisa disebut sebagai persepsi.
Menurut Mulla Sadra, pengaruh objek-objek terhadap
indra kita hanyalah salah satu bagian dari persepsi; dan tak bisa dipungkiri,
termasuk oleh kaum sensualis yang membatasi pandangan mereka hanya berdasarkan
pengalaman dan pengindraan saja, bahwa siapapun (seharusnya) tidak bisa menolak
(adanya) proses penyempurnaan persepsi setelah tahapan pengindraan tersebut.
Pengindraan manusia (misalnya penglihatan) terlalu
lemah untuk dapat merefleksikan realitas eksternal di dalam pikiran yang
kemudian memberikan pengetahuan kepada kita. Signal-signal yang dikirimkan
melalui mata tidak menghasilkan apa-apa selain sebuah bayangan (yakni gambar
yang meragukan) dan karenanya tidak bisa disebut pengetahuan. Menurut filsafat
Mulla Sadra, pengetahuan seharusnya adalah suatu representasi eksplisit dari
realitas eksternal dan bukan bayangan dari objek-objek material. Agar bisa menjadi
representasi, pengetahuan dan persepsi haruslah sepadan dengan kuiditas dunia
eksternal. (Perbedaan antara kuiditas dan bentuk pada satu sisi, serta dan
kuiditas dengan bayangan pada sisi yang lain, adalah bahwa bentuk yang diterima
secara mental dari suatu wujud eksternal, akan sama dengan bentuk eksternalnya
sedangkan bayangan tidaklah demikian.
Otak manusia juga berfungsi seperti prosessor pada
sebuah komputer (yakni melaksanakan perintah-perintah, yang tidak mampu
melakukan tugasnya di luar batasan-batasan data yang dimilikinya. Bukanlah
kesadaran yang melaksanakan tugas-tugas otak, dan otak itupun tak melakukan
suatu pengolahan data jika sekiranya tidak ada perintah untuk melakukannya);
dan karena itu, tanpa kesadaran, tak akan ada pula pengetahuan.
Dengan demikian, meskipun benar bahwa pengindraan kita
terlibat dalam suatu persepsi dan dianggap sebagai syarat wajib, namun
pengindraan tersebut tidaklah cukup. Hasil material dari pengindraan tidak
dapat menggantikan persepsi kita; bentuk dan gambaran indrawi yang terdapat di
dalam otak tidak serta merta dapat dikirimkan ke dalam pikiran. 2)
Ketika pengindraan telah melaksanakan tugas-tugasnya
dan bentuk-bentuk indrawi telah dikirimkan ke dalam sistem syaraf dan otak,
maka pada saat itulah waktunya bagi jiwa dan pikiran untuk membuat, dengan
bantuan berbagai elemen seperti keinginan (intention)
dan kesadaran (awareness), suatu
wujud immaterial yang disebut persepsi atau pengetahuan – atau yang disebut
oleh Mulla Sadra sebagai “bentuk iluminatif”. 3) Menurut Mulla Sadra, keinginan dan kesadaran adalah
dua bagian penting dari pengetahuan dan persepsi.
“Keinginan” adalah suatu wujud psikologis dan faktor
psikis. Untuk tugas ini, tubuh dan organ-organ materialnya tidak dapat
melakukannya; tugas ini memerlukan suatu esensi “entitas tak terbagi” (basit al-haqiqah). Tak ada satupun
signal yang dikirimkan oleh indra yang dapat dianggap sebagai persepsi kecuali
ada suatu keinginan subjek yang menerima untuk terlibat dalam pengindraan
tersebut. Dan secara aktual terlihat bahwa seseorang ketika sedang menyebrangi
jalan, tidak akan memahami apa yang dilihat dan didengarnya, kecuali dia
benar-benar memperhatikan objek-objek tersebut.
Seperti halnya “keinginan”, “kesadaran” juga merupakan
wujud non materi. Kesadaran tidak berhubungan dengan materi namun merujuk pada
jiwa yang bebas dari materi. Bagi Mulla Sadra, kesadaran adalah kehadiran (atau
pengingatan kembali) kuiditas wujud-wujud eksternal atau objek atau bagian
penting aspek esensialnya, di dalam pikiran. Kesadaran hanyalah jiwa yang
sederhana dan immaterial yang di
dalamnya dapat dihadirkan diri dan objek-objek lain, karena sifat esensial
materi adalah ketidaksadaran (atau yang disebut oleh Sadra, ketidakhadiran)
jiwa terhadap segala sesuatu. Menurut mazhab Mulla Sadra serta doktrinnya
tentang “gerakan substansial,” materi itu bergerak sepanjang suatu garis
temporal dan hipotetis, dimana masa lalu dan masa depannya adalah “bukan yang
sudah ada” (non-existing) dan “bukan
yang ada” (non-existent) sehingga
dengan demikian materi itu tidak hadir. Itulah karenanya, materi itu tidak
sadar akan dirinya sendiri; kita tidak menyebutkan sesuatu yang lain. Sebagai
contoh, bagaimana retina atau sel-sel otak – yang kedalamnya dibentuk
gambar-gambar dan yang tidak menyadari bahkan dirinya sendiri – dapat menyadari
suatu bentuk eksternal? Kesadaran secara esensial adalah sesuatu yang positif
dan maujud, oleh karena itu gambaran material otak – yang terdiri dari wujud
dan non wujud – tidak dapat dianggap sebagai kesadaran dan persepsi.
Dengan demikian, kesadaran sama dengan “kehadiran”
objek eksternal (atau sesuatu yang diketahui secara aksidental) di dalam
pikiran manusia yang menjelaskan dan menyingkap segala aspek, yang oleh Mulla
Sadra dianggap sebagai prasyarat persepsi dan pengetahuan.
Seperti yang telah kita ketahui, “kesadaran”,
“kehadiran”, dan “ketersingkapan” ini merupakan syarat-syarat eksklusif bagi
kebenaran setiap persepsi yang dapat pula dianggap sebagai kriteria untuk
membedakan antara persepsi yang benar dari seseorang yang sehat dengan persepsi
yang salah dari seseorang yang syarafnya terganggu (yang mengalami halusinasi).
Demikian juga telah dikatakan sebelumnya, bahwa “ketersingkapan” hanya
ditemukan di dalam kuiditas objek-objek eksternal.
Keinginan dan kesadaran jiwa ini adalah apa yang
disebut oleh Mulla Sadra “pengetahuan fakultas jiwa melalui kehadiran” dimana
bentuk-bentuk kemudian digambarkan di dalam jiwa tersebut.
Di dalam filsafat Islam, pengetahuan dikelompokkan ke
dalam dua kategori: pengetahuan melalui perolehan (al-’ilm al-hushuli) dan pengetahuan melalui kehadiran.
Pengetahuan melalui perolehan (al-’ilm al-hushuli) diperoleh melalui perantara (misalnya dengan
lima indra) dan melalui tahapan-tahapan mental. Meskipun ada pengiriman
kuiditas objek kepada kita, namun pengetahuan ini tidak bisa menghadirkan
karakteristik-karakteristik wujud objek tersebut (misalnya panas, kelembaban)
dan dengan kata lain pengetahuan melalui perolehan (al-’ilm al-hushuli) adalah pengetahuan yang tidak produktif (unproductive).
Pengetahuan dengan kehadiran adalah sebuah pengetahuan
yang mencapai diri batin secara langsung dan tanpa perantara, atau dengan kata
lain pengetahuan ini adalah sebuah persepsi intuitif. Berbeda dengan pengetahuan
melalui perolehan (al-’ilm al-hushuli),
persepsi intuitif atau pengetahuan dengan kehadiran ini memuat efek-efek
eksternal dan eksistensial. Melalui penyatuan dengan pengetahuan ini, jiwa
manusia yang immaterial dapat memasukinya dan menjadi sadar akan kedalaman wujudnya.
Pengetahuan dengan kehadiran manusia dapat diperoleh
dengan berbagai cara:
1. Persepsi tentang diri sendiri; pengetahuan manusia
tentang dirinya sendiri adalah suatu persepsi intuitif yang diperoleh melalui
pengetahuan dengan kehadiran. Meskipun kelima indra tidak difungsikan, manusia
tetap dapat memahami dirinya sendiri. Namun hal ini tidak bertentangan dengan
kenyataan bahwa kadang manusia juga mempersepsi dirinya melalui pengetahuan
pahaman (misalnya dengan penglihatan atau sentuhan).
2. Manusia memahami semua fakultas-fakultas batinnya,
gambaran-gambaran mental, persepsi, motivasi, keinginan, perasaan, pikiran,
perbuatan-perbuatan mental, dan ide-ide mental melalui pengetahuan dengan
kehadiran (Asfar, 155/6).
3. Persepsi terhadap apa yang direfleksikan di dalam lima
indra – yang merupakan pelapor-pelapor – juga dicapai melalui pengetahuan
dengan kehadiran. Refleksi ini dimengerti dan dianalisis secara keseluruhan di
dalam pikiran dan melalui pengetahuan dengan kehadiran. Tulisan ini ingin
menjelaskan poin yang ketiga ini.
4. Metode yang luar biasa dalam persepsi dan pencapaian
pengetahuan, yang diperoleh melalui intuisi, seperti halnya persepsi yang
diperoleh dalam latihan asketis atau dalam mimpi ketika sedang tidur.
Di dalam filsafat Mulla Sadra, hal yang paling penting
dalam suatu persepsi diperankan oleh pengetahuan dengan kehadiran. Dengan
maksud untuk menyadari hasil-hasil pengindraan serta bentuk-bentuk yang
tergambar di dalamnya, jiwa kemudian merekonstruksi kuiditas objek-objek
eksternal dari bentuk-bentuk tersebut.
Agar dapat menyadari apa yang sedang dilakukan di
dalam indra, otak dan fakultas-fakultas internal jiwa yang lain, jiwa akhirnya
mempunyai kreatifitas. Melalui kreatifitas yang merupakan aspek esensial ini,
jiwa dapat merekonstruksi setiap bentuk dan membawanya ke dalam wujud. Jiwa
manusia dianggap mampu untuk mengimajinasikan segala hal dan bentuk yang tidak
mungkin dan yang tidak meng-ada bahkan termasuk non-wujud yang ada di dalam
pikiran sekalipun, namun jiwa masih dapat mempertahankan bentuk-bentuk tersebut
dengan proposisi positif dan proposisi negatif. 4)
Dalam batas tertentu, Mulla Sadra mempersamakan
manusia dengan Tuhan karena kreatifitasnya. Sadra mengatakan bahwa
bentuk-bentuk dibawa ke dalam wujud di dalam pikiran, bukan karena
bentuk-bentuk tersebut dikirimkan ke dalam pikiran tersebut; bentuk-bentuk itu
justru dibuat di dalam pikiran, terpancar dari pikiran tempat bentuk-bentuk
tersebut dibuat. Seperti yang dikatakan Sadra: bentuk-bentuk itu terpancar dari
pikiran dan bukan dikirimkan ke dalam pikiran.
Oleh karena itu, berbeda dengan filosof Muslim
lainnya, Mulla Sadra tidak menganggap persepsi sebagai “pembuatan kesan”
gambar-gambar langsung dari objek di dalam pikiran dan sebagai proses pasif dan
reflektif, Sadra justru menganggap persepsi itu adalah penciptaan dan pembuatan
bentuk-bentuk objek melalui kreatifitas dan aktivitas pikiran. Berbeda dengan
kategorisasi Kant, kreatifitas pikiran tidak menambahkan data apa-apa kepada
indra, kreatifitas ini membuat padanan objek indra di dalam suatu wujud mental
(dan bukan eksternal). Kreatifitas tersebut tidak membuat suatu bentuk khusus
berdasarkan persepsinya sendiri. 5)
Oleh karena itu, melalui rekonstruksi
gambaran-gambaran indrawi kuiditas dan objek pengetahuan sekunder lainnya, –
seperti ide yang disebut oleh Hume – pikiran mencapai pengetahuan melalui
perolehan (al-’ilm al-hushuli). Hal
ini dikatakan ‘Allamah Thabathaba’i dengan ungkapan: “pikiran mencari ‘yang
diketahui’, tetapi ia menemukan pengetahuan.” 6)
Peranan bentuk-bentuk indrawi dan gambaran-gambaran
pengindraan di dalam proses persepsi hanyalah sebagai alat bagi jiwa dalam
mempersiapkan pencapaian pengetahuan melalui perolehan (al-’ilm al-hushuli), yakni dengan membuat bentuk dan kuiditas yang
sama dan berkorespondensi dengan realitas eksternal. Sampai disini, kita telah
menjelaskan pandangan Mulla Sadra dalam hal persepsi indra. Setelah memahami
hal ini, ada baiknya kita menjelaskan pandangan Sadra yang lain tentang
persepsi. Seperti yang telah kita ketahui, Ibn Sina dan pengikut-pengikutnya
menganggap pengetahuan sebagai ‘kualitas psikis.” Menurut mereka – yang
mengikuti pandangan Aristoteles – pikiran atau fakultas pemahaman jiwa adalah
suatu lembaran tempat ‘persepsi’ bermula, dan – di dalam istilah teknis –
menjadi tempat ‘persepsi’ tersebut disimpan. Bentuk-bentuk yang tersimpan di
dalam pikiran merupakan suatu ‘penyempurnaan sekunder’ (secondary perfection) bagi manusia yang tidak memiliki apa-apa
dalam hubungannya dengan esensi manusia. 7)
Meskipun setuju dengan Aristoteles dalam
mengelompokkan segala sesuatu dalam sepuluh kategori, dan walaupun pada bagian
awal pemikiran filsafatnya Sadra seperti para filosof lainnya juga
mengelompokkan pengetahuan di dalam kategori psikis (sub bagian dari kualitas),
pada akhirnya Sadra kelihatannya menyangkal pemahaman tersebut dan berkeyakinan
bahwa pengetahuan tidak bisa dikategorikan di dalam semua kategori Aristoteles,
pengetahuan bagi Sadra adalah sesuatu yang sama dengan “wujud” supra-kategoris.
Sadra selanjutnya keluar dari pemikirannya yang
pertama dengan memperkenalkan doktrin yang terkenal tentang “keunggulan wujud”
dan mengklaim bahwa pengetahuan adalah salah satu level dari level-level wujud
dan salah satu kualitas dari kualitas wujud tersebut. Karenanya, berbeda dengan
para pendahulunya, Sadra tidak menganggap “pengetahuan” sebagai suatu
penyimpanan dan pikiran adalah tempat menyimpan, Sadra juga berkeyakinan bahwa
pengetahuan tidak bisa dianggap sesuatu yang terpisah dari “yang diketahui.” 8)
Mulla Sadra mengatakan bahwa pengetahuan tidak
terpisah dengan wujud dan esensi yang mengetahui, pengetahuan justru merupakan
bagian dari wujud yang mengetahui tersebut. Itulah karenanya wujud manusia
mencapai kesempurnaan secara gradual sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan
level wujudnya, seperti halnya suatu bangunan disempurnakan dengan menyusun
batu batanya yang membentuk bangunan itu secara utuh. Dengan demikian
pengetahuan dan kesadaran adalah dua hal yang bersifat primer, bukan yang
sekunder; seperti yang dikatakan oleh Ibn Sina dan para pengikutnya bahwa
pengetahuan dan kesadaran adalah penyempurnaan bagi jiwa.
Menurut Mulla Sadra, ketika seseorang memahami
sesuatu, pada kenyataannya dia menyebabkan suatu kualitas menjadi aktual dan
merubahnya dari potensialitas yang rahasia menjadi aktualitas; sementara
aktualitas bagi jiwa adalah sebagai penyempurnaannya. Selanjutnya, melalui
setiap persepsi, jiwa manusia akan semakin sempurna serta substansi jiwanya –
yang menurut teori gerakan substansial – akan mengalami percepatan dalam penyempurnaannya;
dan dengan penyataan filosofis yang lain, materinya menerima bentuk yang lain
(dari bentuknya yang sekarang, ed.)
Harus diingat bahwa ada perbedaan penting antara
gerakan substansial jiwa dan materi, dan bahwa perbedaan itu adalah kesederhanaan
(simplicity) dan ketakterbagian (indivisibility) identitas jiwa (yang
berbeda dengan materi yang dapat dibagi dan tersusun dari partikel-partikel).
Dan kesederhanaan jiwa inilah serta bagian-bagian immaterial dan terpisah
lainnya yang sama dengan kesadaran diri seseorang, kondisi dan
keadaan-keadaannya.
Doktrin pengetahuan Mulla Sadra mencapai kulminasinya
dalam prinsip penyatuan beberapa level: persepsi, yang mempersepsi dan yang
dipersepsi.
Pertama, Sadra mengatakan bahwa persepsi bukanlah
apa-apa selain dipahaminya yang dipersepsi oleh yang mempersepsi; sementara
pemahaman itu sendiri sama dengan suatu wujud dan wujud semua eksisten pada
dasarnya sama dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu persepsi dan pengetahuan
pada hakikatnya sama dengan esensi manusia yang diketahui dan dipahami. Yaitu:
Persepsi (pengetahuan) ↔ Yang dipersepsi
(yang diketahui) 9)
Kedua, seperti yang kita ketahui bahwa persepsi atau
pengetahuan sama dengan yang mempersepsi atau yang mengetahui dan keduanya
tidak terpisah satu sama lain, hal itu karena pengetahuan sama dengan kesadaran
diri sedangkan kesadaran tentang diri adalah kedirian dan esensi diri kita
sendiri. Yaitu:
Persepsi (pengetahuan) ↔ Yang
mempersepsi 10)
Dengan membandingkan kedua ekualitas di atas kita
dapatkan:
Yang mempersepsi ↔ Yang dipersepsi (Yang
diketahui secara esensial)
Doktrin Mulla Sadra ini adalah kasus khusus dalam
teori persepsinya yang umum. Seperti yang telah kami sampaikan, para filosof
membagi persepsi ke dalam tiga kategori: persepsi indra, persepsi imajiner, dan
persepsi intelektual. Doktrin Sadra ini, yang dikenal sebagai doktrin penyatuan
pengetahuan, yang mengetahui dan yang diketahui, atau yang diistilahkan Sadra:
penyatuan antara akal, yang memahami dan yang dipahami, menganggap imajinasi
dan yang diimajinasikan adalah satu kesatuan seperti halnya indra, pengindraan
dan objek indrawi. Dalam pandangan yang membicarakan masalah akal, nilai
penting doktrin ini akan terlihat lebih jelas.
Dimanapun ada sesuatu yang diketahui, maka pasti ada
pula pengetahuan, dan kapanpun ada pengetahuan maka pastilah ada pula subjek yang mengetahui. Ketiga elemen
ini saling berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu, pengetahuan, yang
mengetahui dan yang diketahui adalah suatu sebutan yang menunjukkan satu ekstensi
sebab ketiga elemen tersebut mempunyai wujud yang tunggal.
Oleh karena itu pengindraan, objek indra yang
esensial, serta orang atau jiwa yang melakukan pengindraan, ketiga-tiganya
merupakan satu realitas yang dianggap sebagai tiga hal yang berbeda melalui
asumsi dan anggapan mental dalam ilmu filsafat; namun ketiganya adalah hal yang
sama dari perspektif wujud dan ketiganya sama-sama sebagai maujud yang mengada
dalam satu wujud yang sama. Mulla Sadra menyatakan hubungan ini sebagai
penyatuan antara “indra dan objek indrawi” dan penyatuan antara “akal,
pemahaman akal, dan objek akal.”
Disini kemudian dapat dimengerti mengapa pengetahuan
dan kesadaran dapat mengembangkan wujud dan meningkatkan ruh manusia; dan
mengapa sehingga wujud manusia, walaupun dalam keadaan stabil dan mempunyai
identitas eksternal, namun tetap dapat melakukan gerakan evolusi secara
konstan. Dengan penjelasan ini pula, kita bisa memahami apa yang pernah
dikatakan oleh Heraclitus, “keharuman sekuntum bunga tidak akan bisa dirasakan
dua kali.”
Penjelasan dari penyatuan antara persepsi, yang
mempersepsi, dan yang dipersepsi secara esensial; atau akal, pemahaman akal,
dan objek akal, menempati posisi yang sangat tinggi dalam filsafat Mulla Sadra.
Dan seperti yang telah disampaikannya, Sadra menjelaskan masalah ini pada saat usianya
menginjak 58 tahun, masa setelah Sadra melewati perenungan dan latihan asketis
yang cukup panjang. Doktrin ini sebenarnya sudah sangat tua, yang diturunkan
dari para pemikir-pemikir iluminasionis dari para filosof sejak zaman Persia
dan Alexandria kuno, seperti yang pernah dijelaskan secara detail oleh Porphyry
[c]) dalam sebuah bukunya. Ibn
Sina serta para pengikutnya tidak menemukan suatu bukti untuk menjelaskan
masalah ini dan karenanya mereka mengabaikannya. Namun belakangan, Mulla Sadra
yang akhirnya dapat membuktikan doktrin-doktrin ini melalui premis dan
pembuktian logis.
Dengan pembuktiannya, Sadra tidak memaksudkan “yang
dipahami” adalah objek-objek eksternal, tetapi yang dimaksud Sadra adalah
konsepsi, sesuatu yang diterima (atau dibangun) oleh pikiran, yakni “yang
diketahui secara esensial” (the essential
known). Disini, yang dimaksud dengan penyatuan antara dua hal adalah
seperti penyatuan antara gerak dan yang bergerak, atau potensialitas dan
aktualitas, atau materi dan bentuk; yang dimaksud Sadra bukanlah penyatuan
antara substansi dan aksiden.
Salah satu isu yang pernah dilontarkan oleh para
filosof yang harus dijelaskan disini adalah isu tentang korespondensi antara
konsep mental (subjek) dan objek eksternal, atau yang disebut oleh Sadra
sebagai “korespondensi antara yang diketahui secara esensial dan yang diketahui
secara aksidental”.
Para filosof realis mempercayai adanya korespondensi
antara subjek dan objek. Namun, kelompok filosof yang lain tidak menemukan
korespondensi tersebut sehingga mereka kemudian menolaknya. Kelompok kedua ini
menganggap bahwa konsep-konsep mental terpisah dari realitas eksternal, bahkan
mereka menganggap realitas eksternal (hanya) sebagai gambaran dari
konsep-konsep mental tersebut.
Di dalam “Teosofi Transenden”, korespondensi antara
objek dan subjek dianggap sebagai poros utama filsafat sehingga tidak ada lagi
isu-isu lain yang bisa didiskusikan. Sehingga pada akhirnya, filsafat
(seolah-olah) hanya merupakan permainan kata-kata saja.
Seperti yang telah kita lihat, Sadra menjelaskan
pengetahuan dan persepsi sebagai “cahaya” (yang menampakkan objek-objek) dan
menganggap persepsi dan pengetahuan sebagai penyingkapan realitas eksternal di
dalam pikiran yang kemudian disebutnya “aspek penyingkapan” (unveiling aspect). Di dalam pemikiran
Mulla Sadra, kunci dari korespondensi antara subjek dan objek serta garis
penjelas hubungan ril keduanya adalah penyatuan antara kuiditas “yang diketahui
secara esensial” dan “yang diketahui secara aksidental”; hal ini karena, kuiditas
sesuatu baik di dalam pikiran maupun di dunia eksternal adalah sama.
Di dalam pengetahuan melalui perolehan (al-’ilm al-hushuli), manusia selalu
berhubungan dengan kuiditas-kuiditas; tak ada seorangpun yang dapat mengklaim
bahwa pengetahuan melalui perolehan (al-’ilm
al-hushuli) adalah kehadiran objek-objek di dalam pikiran; yang hadir di
dalam pikiran hanyalah kuiditas dan entitas eksternal dengan segala
batasan-batasannya.
Kuiditas adalah realitas eksternal yang nampak sebagai
suatu “eksisten mental”. Ketika dikatakan bahwa pengetahuan memiliki aspek
penyingkapan, hal itu berarti bahwa pengetahuan menampakkan realitas eksternal:
segitiga sebagai sebuah segitiga dan bukan segiempat, baik di dalam pikiran
maupun di dunia eksternal. Oleh karena itu, kuiditas merupakan pengetahuan
sekaligus sesuatu yang diketahui.
Semua kualitas primer dan sekunder, kuantitas dan
posisi segala sesuatu – yang merupakan manifestasi dari kuiditas-kuiditas
segala sesuatu – dapat dipahami melalui indra dan karenanya kuiditas dapat pula
dipahami. Karena itulah pemikiran Mulla Sadra menyebutkan hubungan ini sebagai
“penyimpanan sifat-sifat esensial” (inhifaz
e dzatiyat) di dalam kuiditas subjektif maupun kuiditas objektif.
Menurut Mulla Sadra, satu-satunya perbedaan antara objek
eksternal dan objek mental adalah derajat wujudnya. Sesuatu yang maujud secara eksternal
mempunyai wujud yang yang lebih kuat dan pengaruh yang lebih besar terhadap
objek-objek yang lain (misalnya api yang bisa membakar dan air yang bisa
membasahi); sedangkan eksisten mental memiliki wujud dan pengaruh yang lemah
dan bersifat bayang-bayang saja, eksisten mental ini tidak mempunyai kekuatan
yang dimiliki eksisten eksternal. Itulah karenanya kaum mistis mempercayai
bahwa orang yang serius dan bersungguh-sungguh pasti dapat mempunyai suatu
kekuatan dan pengaruh terhadap eksisten-eksisten mental dan kemudian dapat
mewujudkannya di dalam dunia eksternal.
Dari sudut pandang lain yang mengikuti pandangan para
sufi, Mulla Sadra menganggap bahwa alam eksisten-eksisten terdiri dari tiga
bagian: alam indrawi, alam imajiner, dan alam akal. Pada kesempatan yang lain,
Sadra membagi tiga alam ini menjadi empat bagian: alam korporeal (corporeal world), alam jiwa-jiwa yang
terindrai serta semua bentuk-bentuk indrawi (the world of sensible souls and all sensible forms), alam bagi
jiwa-jiwa yang terpisah (the world of
separate souls), dan alam akal (the
world of intellects).
Di dalam tiga atau empat alam ini, kuiditas-kuiditas
eksisten-eksisten material adalah satu dan saling berkorespondensi. Di dalam
alam-alam ini, setiap kuiditas yang dapat dilihat di alam korporal dan dapat
juga dilihat di alam yang lain, namun derajat wujud kuiditas-kuiditas tersebut
berbeda-beda di ketiga atau keempat alam tersebut.11)
Disini terlihat bahwa ada kejelasan tentang
korespondensi antara yang terindrai secara material aksidental (the material accidental sensible) dengan
yang terindrai secara mental dan ideal (the
ideal and mental essential), serta
suatu hubungan dalam penyatuan antara kuiditas sesuatu di dalam dunia eksternal
dan kuiditasnya di dalam alam jiwa dan pikiran. Bahkan, kejelasan hubungan ini
dapat pula dicari di dalam level akal esensial. 12)
Tambahan
Studi menyeluruh terhadap pikiran-pikiran Mulla Sadra
memerlukan waktu yang lebih banyak. Untuk membuat penjelasan yang lebih
singkat, kami sertakan beberapa poin-poin penting berikut ini:
Pertama. Poin pertama yang sangat penting untuk disebutkan
adalah tentang ilusi (illusion) yang
dapat mengaburkan bentuk-bentuk yang dipahami oleh indra.
Tidak bisa dipungkiri bahwa panca indra sering tertipu
oleh ilusi; misalnya mata yang melihat suatu batang lurus namun seolah-olah
melengkung ketika dimasukkan ke dalam air. Kadang-kadang pula indra yang lain,
misalnya pendengaran, penciuman atau rasa, memberikan informasi yang salah.
Dalam kasus ini, beberapa filosof menganggapnya sebagai persepsi manusia di
luar dunia eksternal, semuanya hanyalah bayang-bayang yang dibuat oleh pikiran.
Subjek ilusi atau kesalahan dalam suatu persepsi telah dibahas secara
terperinci dalam filsafat Islam. Dikatakan bahwa kesalahan tidak pernah
disebabkan oleh indra, kesalahan itu sendiri adalah kesalahan yang dibuat oleh
pikiran manusia dalam penilaiannya. Secara teknis, di dalam filsafat keadaan
ini dinyatakan bahwa: fakultas imajinasi manusia ikut terlibat dalam pengenalan
objek-objek. Ibn ‘Arabi mengatakan: “panca indra yang menyaksikan dan
penilainya adalah argumentasi.” 13)
Sebaliknya, halusinasi seorang yang sedang sakit
disebabkan oleh faktor yang lain. Orang yang sedang murung akan mendengar dan
melihat sesuatu yang tidak mewujud secara eksternal. Seperti yang sering
terlihat, kenyataan banyak menunjukkan bahwa fakultas imajinasi atau pikiran
seseorang yang sedang sakit dapat menciptakan objek-objek yang justru tidak
mempunyai wujud eksternal.
Di dalam penjelasan umum, kesalahan persepsi indra itu
juga bisa disebabkan oleh keterlibatan fakultas imajinasi (dalam persepsi indra
tersebut). Mengikuti pandangan Ibn ‘Arabi dan para sufi, Mulla Sadra juga menganggap
kesalahan persepsi ini, yang timbul di dalam pikiran dan menyebabkan seseorang
menjadi ragu dan tersesat, sebagai gangguan setan ataupun kejadian yang
berhubungan dengan setan. 14)
Memang, filsafat Islam tidak menganggap bahwa semua
persepsi manusia berkorespondensi dengan realitas; namun secara umum dikatakan
bahwa persepsi tersebut dapat berkorespondensi dengan objektifitas
eksternal, suatu anggapan yang juga
pahami oleh kebanyakan orang secara umum.
Kedua. Persepsi manusia tidak dibatasi hanya dalam persepsi
indra saja. Tetapi, sebagai pelengkap persepsi indra ini, ada dua jenis
persepsi lain yang kemudian saling berkaitan dalam membentuk persepsi manusia
(secara utuh). 15)
Persepsi indra didefenisikan sebagai kehadiran setiap
bentuk yang partikular dan material, yang mempunyai aksiden-aksiden, terhadap
subjek yang mempersepsi tanpa adanya keterikatan pada materi dan korporealitas.
Persepsi imajinasi adalah kehadiran setiap partikular yang immaterial. Persepsi
akal adalah kehadiran bentuk universal setiap bentuk yang indrawi ataupun
bentuk imajinatif, yang dalam hal ini disebut “yang dipahami” (intelligible),
sedangkan yang memahami disebut “akal” (intellect) dan persepsi
universal itu sendiri disebut “pemahaman akal” (intelligence).
Mulla Sadra mengelompokkan intelligible ini ke
dalam intelligible filosofis “pertama” dan “kedua” serta intelligible
logis “kedua”. Secara umum, tingkatan-tingkatan persepsi adalah: persepsi
indra, persepsi imajinasi, dan persepsi
akal (termasuk intelligible filosofis “pertama” dan “kedua” serta intelligible
logis yang “kedua”). Ketiga persepsi ini mempunyai keterkaitan satu sama lain,
seperti perubahan suhu pada air (yang merupakan
proses yang bersambung tanpa batas pemisahan), dan bukan seperti
batas-batas ukuran jarak pada suatu penggaris, disamping itu ketiga persepsi
ini sama-sama bermula dari eksisten dan objek indrawi eksternal.
Ketiga. Menurut Mulla Sadra dan filsafat Islam pada umumnya,
istilah bahasa Arab “dzihn” yang kadang-kadang diartikan sebagai “pikiran”
dan kadang-kadang diartikan “pemahaman,” menunjukkan suatu fakultas jiwa yang
dapat memahami entitas-entitas eksternal sama halnya dalam pemahaman terhadap
bagian-bagian tubuh. Istilah ini sama dengan “kekuatan pemahaman” (understanding
power) jiwa, yang dibedakan dengan “understanding” dalam bahasa Inggris, “verstand” dalam bahasa Jerman, atau “entedement” dalam bahasa Perancis.
Istilah ini juga berbeda dengan apa yang diistilahkan oleh pengikut Kant,
istilah yang maknanya tidak terbatas hanya dalam arti “kekuatan pemahaman”
saja.
Menurut Sadra, dzihn tidak sama dengan otak
atau organ tubuh lainnya. Seperti yang telah kami katakan, istilah ini juga
tidak bisa dianggap sebagai suatu tempat bagi yang mempersepsi dan yang
diketahui, istilah ini adalah yang mempersepsi itu sendiri, (sesuatu) yang
dicapai oleh manusia dan kemudian menyatu dengan manusia itu sendiri. 16)
Keempat. Sampai sekarang ini, para filosof menterjemahkan
filsafat sebagai “proses kemenjadian manusia menuju alam akal, serta proses menuju
kesamaan dan keterkaitan dengan alam eksternal dan alam indrawi”. Di bagian
akhir teori persepsinya, Mulla Sadra akhirnya berkesimpulan bahwa menurut
prinsip penyatuan antara indra dengan yang terindrai dan penyatuan antara akal
dengan yang dipahami oleh akal, seperti juga penyatuan antara pengetahuan dan wujud,
maka manusia adalah eksisten sadar yang di dalam seluruh tahapan hidupnya serta
di dalam setiap tingkatan-tingkatan wujudnya (indra, imajinasi dan akal) akan
menyatu dengan semua eksisten di dalam kehidupan dan tingkatan wujudnya melalui
persepsi dan kesadarannya.
Dengan demikian, melalui persepsinya terhadap alam
material dan melalui transformasi kuiditas eksisten eksternal ke dalam pikiran
dan ruhnya, manusia akan menjadi (bagian dari) alam akal dan alam mental,
manusia akan mengalami keadaan yang baginya sama dengan keadaan di alam
material ini. Di dalam istilah mazhab Plotinus, keadaan ini dijelaskan dengan
suatu ungkapan bahwa dengan menerima kebenaran dari alam ini, maka mikrokosmos
manusia menjadi sama dengan alam makrokosmos. Oleh karena itu, persepsi akal
tentang kebenaran dan entitas-entitas, yakni filsafat itu sendiri, akan
berhubungan dengan alam eksternal yang merupakan hubungan realistis, bukan
hubungan idealistis seperti yang dikatakan oleh Hegel dan pengikut-pengikutnya.
Kelima. Ada
beberapa macam perbedaan antara persepsi manusia dengan persepsi yang dimiliki
oleh binatang yang juga mempunyai persepsi indra dan bahkan persepsi imajinasi.
Di antara perbedaan-perbedaan ini, perbedaan yang paling mendasar adalah adanya
persepsi akal pada manusia yang dengan instrumen ini manusia dapat memahami
bentuk-bentuk universal. Dari persepsi akal ini pulalah bersumber ilmu filsafat
dan semua ilmu pengetahuan yang pernah dikembangkan oleh manusia dalam
perjalanan hidupnya.
Perbedaan yang lain antara persepsi manusia dan
persepsi binatang adalah bahwa pada manusia dimungkinkan adanya pemahaman
terhadap pemahaman orang lain, atau pengetahuan terhadap pengetahuan yang
disebut sebagai appersepsi (apperception)
[d]) oleh Leibniz. [e]) Pemahaman seperti ini juga
sering disebut pengetahuan gabungan (the
compound knowledge).
Abstraksi, generalisasi, klasifikasi konsep-konsep
menjadi konsep yang uiversal dan partikular, imajinasi, dan penilaian merupakan
ciri-ciri persepsi pada manusia. Tulisan ini lebih banyak menjelaskan masalah
“imajinasi.” Lebih dari itu, kita memerlukan studi yang lebih lanjut untuk
membahas jenis persepsi-persepsi lain yang pernah dijelaskan oleh Mulla Sadra
dengan kecemerlangan pikiran-pikirannnya.
Catatan
1. Asfar,
vol. 8, hal. 202
2. ibid., hal.181
3. ibid.
4. ibid. 1/264; al Shawahid al-Rububiyyah, hal.
31-32
5. Asfar,
vol.1, hal. 265
6. Rawish e Realism ( Metode Realisme), vol.-, p.-
7. Asfar,
3/327-328
8. Asfar,
6/136
9. Asfar-
2/227
10. Asfar,
vol.8, hal.181
11. Asfar,
vol.3, hal.363 dan hal.506
12. Korespondensi antara alam material, alam imajiner dan
alam akal. Bandingkan dengan Asfar; vol. 6; hal. 277; vol.7;
hal.18; dan pada bagian-bagian lain.
13. Ibn ‘Arabi; Futuhat al-Makkiyah (Pembukaan
Makkah); vol. 2; hal. 395.
14. ibid.
15. Asfar;
vol. 3; hal. 360-362 dan vol. 2; hal. 293.
16. Asfar;,
vol. 1, hal. 264

[a])
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, lahir tahun 1770
di Stuttgart
dan meninggal di Berlin
pada tahun 1831. Salah seorang komentator Hegel paruh pertama abad 20, Hermann
Glockner, dia mengatakan bahwa Hegel mempercayai semua entitas adalah
pikiran-pikiran, pernyataan-pernyataan, atau bentuk-bentuk substansi mental
yang dikembangkan dan kemudian ditempatkan oleh pikiran bersama dengan
konsep-konsep niscaya yang disebut panlogicism.
Lihat Robert
Audi (editor), The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University
Press, edisi kedua, hal. 365 - 370.
[b]) Atau sensasionalis, yakni kelompok yang mempercayai bahwa
pengetahuan adalah kumpulan data-data indrawi, bahwa pengetahuan dapat dinilai
kebenarannya melalui kebenaran persepsi indra. Itulah karenanya kelompok ini
biasa juga disebut empiris radikal.
[c]) Porphyry adalah seorang Neo Platonis yang mempunyai
pengaruh besar kedua setelah Plotinus. Dia dilahirkan di Tyre pada tahun 232
dan meninggal pada tahun 304. Beberapa karyanya yang terkenal adalah Against the Christians dan Isagoge (Pendahuluan) yang ditulisnya
selama dia berada di Sisilia, serta sebuah kompilasi tulisan-tulisan Plotinus
yang dia susun sendiri dalam enam bagian dari sembilan tulisan yang kemudian
disebut Enneads. Di dalam buku Isagoge-lah, Porphyry memberikan
penjelasan-penjelasan dasar dari konsep-konsep penting yang diperlukan dalam
memahami Sepuluh Kategori Aristoteles. Lihat Robert Audi (editor), The
Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press, edisi kedua,
hal. 722-723.
[d]) Istilah ini pada awalnya berarti kesadaran diri sebagai
lawan dari kesadaran atau persepsi langsung, namun kemudian Imanuel Kant (1724
– 1804) yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Leibniz mengartikannya sebagai
bagian dari penilaian yang mencakup kesatuan pikiran yang dapat dimulai dengan
kalimat “Saya pikir...,” suatu istilah yang menjadi kebalikan dari “indra
batin” (inner sense) yang muncul di
dalam pikiran sebagai pemahaman awal (precognitive).
Lihat Robert Audi (editor), The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge
University Press, edisi kedua, hal. 463.
[e]) Gottfried Wilhelm Leibniz, lahir di Leipzig pada tahun
1646 dan meninggal pada tahun 1716 di Hannover. Selain sebagai seorang filosof,
dia juga dikenal sebagai pemikir di berbagai disiplin ilmu, geologi,
linguistik, matematika, dan lain-lain. Salah satu rasionalisme Leibniz yang
terkenal adalah pemahamannya tentang pengetahuan a priori manusia yang inheren di dalam pikiran. Leibniz mengatakan
bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang kontingen partikular mempunyai dasar
pada persepsi indra. Dia banyak mengkritik John Locke (1632 – 1704) tentang
empirisme, terutama tentang sumber pengetahuan. Semasa hidupnya, Leibniz banyak
menulis di berbagai jurnal serta aktif berkoresponden dengan seorang guru besar
filsafat di Universitas Leiden, Burcher De Volder (1698 – 1706), yang kemudian
mematangkan pandangan filsafatnya. Buku yang pernah ditulis dan diterbitkannya
adalah Theodicy pada tahun 1710.
Lihat Robert Audi (editor), The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge
University Press, edisi kedua, hal. 491 - 494.
Komentar
Posting Komentar