Perbandingan Epistemologi Mulla Sadra dan Filsafat Fisika
Perbandingan Epistemologi Mulla Sadra
dan Filsafat Fisika
Caner K. Dagli
The George Washington
University, USA.
Abstrak
Dalam merespon spekulasi filosofis yang lahir
bersamaan penemuan-penemuan empiris dalam bidang fisika di abad kedua puluh
ini, seorang matematikawan dan filosof kontemporer, Wolfgang Smith, telah
memperkenalkan sebuah konsep tentang perbedaan antara – apa yang disebutnya –
alam korporeal dan alam pisik; yang pertama adalah wujud tentang apa saja yang
dapat dipahami melalui indra dan yang kedua adalah wujud yang dipahami melalui modus operandi fisika yang umumnya
mengandung konsep menyeluruh tentang apa yang telah dikenal dengan istilah
“dunia kuantum.” Konsep Smith didasarkan pada metafisika tradisional, konsep
yang dapat menggugurkan dualisme Cartesian yang selama ini dirujuk oleh
pemikiran Barat sampai hari ini.
Perbedaan antara alam korporeal dan alam pisik sudah
pernah dijelaskan oleh Mulla Sadra ketika menjelaskan tentang teori persepsi,
demikian juga Smith mengemukakan teorinya dengan cara yang sama ketika
membedakan antara alam yang dipersepsi melalui indra dan alam yang dipahami
melalui pengukuran. Untuk memahami penjelasan Mulla Sadra tentang persepsi dan
pendekatan filosofis Smith dalam memecahkan rahasia non-lokalitas [i]) dan apa yang disebut
keadaan vektor yang terlipat (vector
collapse), [ii]) kunci yang paling penting
adalah pemahaman tentang alam imajinal atau alam peralihan (‘alam mitsal). Karena itu, perujukan antara pandangan Mulla Sadra
dan pemahaman Smith tentang fisika ini sangat mungkin dapat dilakukan.
************
A
|
da perbedaan yang sangat mendasar antara pengalaman
umum kita tentang alam dengan pemahaman kita yang didapat melalui pengamatan
saintis. Sebagai contoh, seseorang melihat satu bola billiar yang berwarna merah.
Setelah mengamati objek ini melalui berbagai pengukuran dan observasi, orang
itu kemudian dapat menggambarkan atribut kuantitatif bola billiar tersebut. Dia
selanjutnya juga dapat mengatakan bahwa objek tersebut adalah sebuah benda
bulat yang keras dengan radius sekian, kepadatan (density) sekian, dan dengan berat tertentu. Perbedaan antara kedua
pengamatan ini adalah, yang pertama objek dapat dipersepsi secara langsung
sementara yang kedua objek dapat dipahami melalui metode observasi saintis. Di
dalam bukunya ‘Quantum Enigma’, ahli matematika dan filosof Wolfgang Smith, [iii]) selain mendiskusikan
tentang banyak hal, dia juga membicarakan konsep tentang persepsi terhadap
suatu objek (seperti halnya bola billiar tadi) serta membuktikan kesalahan
bifurkasi Cartesian 1)
yang menganggap bahwa semua objek di alam ini hanya mempunyai atribut
kuantitatif yang dapat diukur saja dan bahwa kualitas-kualitas yang
diassosiasikan dengan objek tersebut diturunkan derajatnya ke dalam alam
subjektif manusia atau ke status yang disebut ‘kualitas sekunder’. Dengan
menggunakan kritik Smith terhadap dualisme Cartesian sebagai titik awal,
tulisan ini akan menjadi pengantar diskusi singkat tentang alam kuantitas
seperti yang dijelaskan dalam teori Mulla Sadra tentang persepsi.
************
Bola yang kita pahami yang dalam istilah Smith disebut
sebagai objek korporeal, juga mempunyai korespondensi dengan objek pisik.
Menurut istilah ini, alam korporeal adalah alam tentang kualitas-kualitas yang
dipahami (perceived qualities) sementara
alam pisik adalah alam tentang kuantitas yang terukur atau yang dapat diukur (measured or measurable quantities).
Ketika kita memahami bahwa bola dalam contoh di atas memiliki massa tertentu, kita tidak memahami hal ini
secara langsung (meskipun tetap bisa dipahami melalui kualifikasi tertentu),
tetapi kita memahaminya melalui pembacaan petunjuk korporeal pada skala
korporeal. Kita dapat memahami melalui pembacaan ini bukan karena atribut
kuantitatif, tetapi justru, sebagai contoh, melalui petunjuk dan angka-angka
pada skala yang berwarna hitam pada latar belakang yang berwarna putih. Semua
kualitas objek ini dipertanyakan. Karenanya, adalah hal yang sia-sia jika kita
membicarakan tentang keunggulan kuantitas yang dapat diukur jika kita memahami
hasil pengukuran tanpa adanya kualitas yang dapat dipahami. Untuk menguraikan
pendapat Smith, tidak ada seorangpun, walaupun seorang ahli sains, yang pernah
melihat benda bulat yang keras dengan densitas yang sama dan dengan radius x.
Penglihatan kita adalah alam tentang bola merah tanpa pengukuran yang dibuat
oleh sains modern. Dalam hal ini, alam korporeal hanyalah pintu menuju alam
pisik, dan jika seseorang menginginkan pengetahuan tentang atribut pisik, harus
diterima bahwa kita telah memiliki kualitas-kualitas semua objek dan itulah
hubungan ril yang dibuat antara subjek dan objek tersebut. Penjelasan ini
menggugurkan keunggulan ekstensi dan memfokuskan ulang perhatian kita terhadap
kualitas, dan pada tingkat tertentu mengambil klaim monopoli pengetahuan tentang
sesuatu “sebagaimana adanya” dari tangan para ahli sains.
Di dalam teori persepsi Mulla Sadra, 2) ketika seseorang melihat
alam, apa yang dipersepsinya dapat dikelompokkan dalam dua kategori: bentuk (suwar) dan makna (ma’ani). Fakultas yang memahami bentuk-bentuk adalah indra
universal (sensus communis, al-hiss
al-mushtarak) yang mengumpulkan informasi kemudian membawanya ke lima indra eksternal.
Melalui fakultas ini, kita dapat memahami semua bentuk atau impressi.
Bentuk-bentuk yang dipahami melalui sensus
communis disimpan di dalam imajinasi (al-khayal),
disebut juga fakultas pembuat bentuk (form-making-faculty,
al-musawwirah).
Adapun yang memahami kategori makna (ma’ani) adalah fakultas aprehensi (al-wahm). Aprehensi memahami makna-makna
yang bukan kandungan langsung persepsi indra. Sadra memberikan contoh masalah
ini seperti srigala yang memahami kebencian seekor domba, atau pemahaman
seseorang yang merasa dicintai oleh seseorang yang lain. Kesemua makna-makna
ini tersimpan di dalam memori (al-hifz).
Fakultas pemisah (faculty-of-disposal,
al-mutasarrifah) adalah kekuatan manusia yang memisahkan dan menggabungkan
bentuk-bentuk dan makna-makna yang berada di dalam imajinasi dan memori. Dengan
kekuatan ini, seseorang dapat secara bathin memberikan sepasang sayap pada kuda
atau melihat seekor kuda tanpa ekor. “Ketika jiwa menggunakan fakultas pemisah
melalui intermediasi fakultas aprehensi, inilah yang disebut fakultas imajinasi
(imaginal-faculty, al-mutakhayyilah);
dan ketika jiwa menggunakan fakultas pemisah melalui intermediasi fakultas
intelektual (intellectual-faculty),
inilah yang disebut fakultas pemikiran (faculty-of-thought,
al-mufakkirah).” 3)
Bagi Sadra, fakultas aprehensi tak lebih dari “esensi fakultas intelektual yang
dihubungkan dengan individu partikular, hubungan dengannya, dan pengaturan
fakultas intelektual terhadapnya. Fakultas intelektual yang dihubungkan dengan
imajinasi (al-khayal) adalah
aprehensi, seperti halnya objeknya yang mempunyai makna universal dihubungkan
dengan bentuk-bentuk entitas individual yang ada di dalam imajinasi.” 4) Secara defenisi,
aprehensi berhubungan dengan makna-makna pada ekstensi partikular, sementara
fakultas intelektual (al-‘aqilah)
berhubungan dengan makna-makna yang sama. 5)
Seperti yang akan kita lihat, penempatan fakultas pemisah, yang terbagi dalam
fakultas imajinasi dan fakultas pemikiran, harus dijelaskan jika seseorang
ingin mengerti sains praktis dengan benar.
***********
Kita telah menjelaskan tentang pengamatan manusia,
yang dalam hubungannya dengan pengamatan saintis, hanya dapat memahami alam
korporeal kualitas, sementara alam pisik hanya dapat dipahami dengan adanya
efek pada alam korporeal tersebut. Adapun persepsi menurut epistemologi Mulla
Sadra, adalah domain dari kelima indra eksternal dan sensus communis. Ketika seseorang membicarakan kualitas yang dapat
dipersepsi dan kuantitas yang dapat diukur dalam hubungannya dengan pembedaan
antara alam korporeal dan alam pisik, maka itu berarti bahwa orang tersebut
membicarakan tentang efek yang dapat dicapai oleh persepsi indra (al-hiss) terhadap alam korporeal, bukan
pada alam pisik. Dengan cara inilah persepsi indra manusia dapat memahami
segala sesuatu di alam eksternal, terhadap dunia objek-objek yang
dipelajarinya.
Untuk dapat mengerti bagaimana manusia dapat menemukan
atribut-atribut suatu objek, maka perlu untuk memahami fakultas aprehensi.
Seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, menurut Mulla Sadra, aprehensi
adalah fakultas pada manusia yang dapat memahami makna di dalam bentuk-bentuk
yang diterima oleh sensus communis
atau oleh imajinasi. Rasa benci dan cinta bukanlah kualitas yang mewujud dalam
bentuk korporeal qua bentuk
korporeal, namun keberadaan keduanya dalam bentuk korporeal dapat dipahami di
melalui fakultas aprehensi.
Ketika seseorang memandang pada bola billiar yang
berwarna merah, dia akan melihat bahwa bola tersebut berbentuk bundar. Bola itu
bukanlah sebuah bundaran di dalam indra, sebagaimana sebuah bundaran hakiki
tidak mungkin mewujud di dalam indra karena sifat alam korporeal. Ketika kita
menggambar sebuah segitiga pada secarik kertas, pada hakikatnya kita tidak
sedang menggambar segitiga yang hakiki, tak perduli kehalusan dan ketepatan
garis serta ketelitian ukuran segitiga yang kita buat itu. Garis yang kita buat
mungkin mempunyai ukuran yang sama dan dalam pengamatan kita temukan bahwa
garis tersebut sangat halus dan teratur. Akan tetapi, gambar yang kita buat
adalah bentuk segitiga, yang sekali lagi kita katakan bahwa kita hanya
mempersepsi sebuah segitiga, seperti halnya kita mempersepsi bola billiar tadi.
Di dalam kedua kasus ini, persepsi tentang bentuk geometris bukanlah fungsi
fakultas indra, tetapi merupakan tugas fakultas aprehensi. Segitiga dan
bundaran adalah dua hal yang berada di alam makna, bukan bentuk yang dapat
dipersepsi secara indrawi. Prinsip ini juga berlaku pada bentuk-bentuk
geometris lain yang berada di alam korporeal yang dapat kita amati. Kita hanya
mempersepsi segiempat, kerucut, garis, dan titik-titik di dalam bentuk
korporeal melalui kehadiran bentuk-bentuk tersebut di dalam akal, yang kemudian
ketika dihubungkan dengan suatu individu, inilah yang akan menjadi fakultas
aprehensi.
Dalam membicarakan perihal bentuk-bentuk benda,
anggaplah bahwa kita melemparkan bola billiar dalam contoh ini untuk mengamati
efeknya. Setelah mengulangi percobaan ini beberapa kali dengan bola-bola
billiar yang berbeda, kita menemukan bahwa bentuk lintasan bola-bola tersebut
mengikuti suatu formula matematika yang sama. Dengan berdiri pada suatu tempat
yang dapat melihat dengan jelas lintasan lemparan tersebut, seorang pengamat
akan dapat melihat secara langsung bentuk lintasan parabolis yang dilalui
bola-bola tersebut pada setiap lemparan. Bentuk lintasan parabolis itu dipahami
melalui fakultas aprehensi; kita dapat melihatnya di alam korporeal, tetapi
bukan dalam entitas korporeal. Mulla Sadra menyebutkan contoh yang sama tentang
lintasan benda jatuh bebas dari ketinggian yang tampak sebagai garis lurus bagi
pengamat, yang kemudian digunakan oleh Mulla Sadra untuk membuktikan eksistensi
sensus communis. Hal yang ingin
dibuktikan oleh Mulla Sadra adalah bahwa fakultas penglihatan hanya dapat
melihat gerak jatuh bebas tadi, dan bahwa kemampuan untuk melihat benda yang
jatuh bebas secara keseluruhan merupakan fungsi sensus communis. Pengertian ini tidak boleh disalahpahami bahwa
melalui sensus communis-lah kita
dapat memahami sebuah garis sebagai suatu garis geometris hakiki. Yang harus
dipahami adalah, bahwa fakultas aprehensi-lah yang dapat memahami makna lintasan
gerak jatuh bebas tersebut. Argumen ini juga berlaku pada lintasan parabolis
bola yang dilemparkan tadi, walaupun lintasan parabolis tersebut mengikuti
formula matematis yang sedikit lebih sulit. Tentu saja, masih banyak lagi
“makna” matematis lain yang dapat diformulasikan dari pengamatan terhadap
lintasan bola yang dilemparkan, tetapi tanpa mempertimbangkan jenis percobaan
pelemparan apapun yang kita lakukan, pada setiap kasus tersebut, kita akan
dapat melihat maksud tertentu dalam pemahaman terhadap objek-objek korporeal
yang berhubungan dengan ide-ide matematis. Dalam semua kasus tersebut, fakultas
aprehensi-lah yang memahami makna dari bentuk-bentuk indrawi, yang memahaminya
melalui persepsi indra dan melalui imajinasi. Harus dipahami bahwa kemampuan untuk
mematematiskan segala yang diamati di alam ini serta kemampuan untuk membuat
formula matematis lanjutan dari domain pengetahuan matematika yang sudah kita
pahami sebelumnya bukanlah berasal dari fakultas aprehensi, kemampuan itu
adalah fakultas pikiran yang kita ketahui sebagai fakultas pemisah yang
digabungkan dengan fakultas intelektual. Dengan fakultas pikiran itulah, yang
wujudnya menyerupai “akal yang jatuh dari kedudukannya yang sebenarnya,” 6) fakultas aprehensi dapat
memahami ide-ide matematika universal di dalam objek-objek partikular di dunia
ini.
Perbincangan menjadi lebih sulit ketika kita mulai
membahas entitas pisik yang tidak memiliki kesepadanan korporeal. [iv])
Maksudnya, jika kita berpikir tentang suatu bundaran dengan densitas homogen yang
mempunyai ruang dan waktu, dengan mudah dapat kita asosiasikan dengan bola
billiar yang berwarna merah. Meskipun tidak ada orang yang mempersepsi bundaran
dengan sifat seperti tadi pada waktu tertentu, namun kesepadanan korporeal
dengan bola billiar secara pisik tadi akan dapat dipahami di setiap kondisi apa
saja. Akan tetapi, kita akan menemukan perbedaan terhadap pemahaman ini jika
kita berhubungan dengan entitas yang dipelajari dalam fisika modern: seperti
elektron, photon, medan
(energi), dan setiap objek yang oleh fisika kuantum dianggap sebagai objek
pisik namun tidak mempunyai kesepadanan korporeal sama sekali. Apapun
kondisinya, elektron adalah suatu entitas yang tidak akan pernah dapat
dipersepsi oleh manusia (sebagaimana sifatnya), elektron adalah suatu objek
yang hanya bisa dipahami melalui modus operandi fisika dan sains.
Bagi Smith, pemahaman ini tidak mempunyai kesulitan
khusus karena baik bundaran dengan densitas homogen maupun elektron tadi,
keduanya merupakan objek alam pisik. Kenyataannya, semua objek di alam pisik
tak lebih dari aggregat entitas sub-mikroskopik yang diyakini oleh fisika
kuantum. Namun, titik krusial yang harus diingat adalah bahwa objek korporeal
bukanlah suatu aggregat partikel-partikel. Objek korporeal adalah objek yang
dipersepsi oleh manusia; objek korporeal tersebut hanyalah kesepadanan pisik
yang dapat dianggap sebagai aggregat dari proton, netron, elektron dan
lain-lain.
Sekarang, mulai dapat dibedakan antara alam korporeal
dan alam pisik. Namun, walaupun dengan cara ini kita dapat memecahkan masalah
bifurkasi Cartesian, tetapi justru muncul masalah baru bahwa sekarang ada dua
objek yang menempati ruang-waktu yang sama, yang keduanya mempunyai
kualitas-kualitas yang sangat tidak seimbang antara satu dengan yang lainnya,
tetapi keduanya dihubungkan melalui persepsi kita. Kedengarannya pemahaman ini
hanyalah bifurkasi baru yang merupakan bentuk baru dari bifurkasi sebelumnya.
Akan tetapi, keadaannya tidaklah seekstrim ini, yakni ketika kita mendapatkan
kejelasan tentang apa yang dimaksud dengan alam pisik dari perspektif
pengamatan manusia.
Para ahli sains melakukan pemodelan ketika mereka
berhubungan dengan data-data yang tidak dapat dipersepsi secara langsung, atau
ketika mereka mengamati objek-objek yang dapat dipersepsi dalam skala besar.
Pemodelan seperti ini memberikan bentuk-bentuk data kuantitatif tertentu.
Sebagai contoh, pemodelan awan elektron pada atom yang pada hakikatnya bukanlah
gambaran yang sebenarnya tentang atom. Pemodelan awan elektron tersebut hanyalah
suatu perangkat yang digunakan untuk memahami data-data dalam pengamatan
kuantitatif terhadap sesuatu yang disebut ‘atom’; suatu alat yang tidak murni
matematis tetapi sudah mencakup penggunaan gambar-gambar dari alam persepsi
(dalam contoh awan) agar kita dapat memahami makna dari bentuk-bentuk melalui
formulasi matematisnya.
Sekarang mari kita kembali ke contoh bola bundar tadi.
Kita tidak mungkin menggambarkan atau membayangkan suatu bundaran di dalam
pikiran kita tanpa adanya aksiden-aksiden tertentu yang oleh Mulla Sadra
disebut hay’at, yang berarti “frame”
atau “bentuk”. Bagaimanapun kita mencobanya, pada level imajinasi dan aprehensi
kita tidak dapat menggambarkan suatu bundaran bola tanpa bantuan sama sekali,
karena justru bentuk-bentuk indrawi itu diambil dari penyimpanan di dalam
imajinasi. Memang, kita dapat mempersepsi bentuk bundar yang kita gambarkan,
tetapi bentuk tersebut berbeda dengan bundaran partikular itu sendiri yang
berada di bawah level intellijibilitas karena ia adalah objek bundar dan bukan
yang lain; bahwa ia hanya memiliki eksistensi mental yang tidak berbeda dengan
sebuah partikular.7)
Ketika kita membayangkan lintasan suatu bola yang dilemparkan, kita tidak
membayangkan suatu (lintasan yang berbentuk) parabola dengan melepaskan
bayangan kita tentang bola itu sendiri. Paling mungkin adalah, kita hanya bisa
membayangkan suatu garis hitam tipis pada kertas putih, tetapi saat itu kita
telah melewati tingkat pemaknaan murni dan telah menisbatkan garis tersebut
dengan aksiden-aksiden.
Sekarang mari kita berbicara tentang cahaya. Sebagai
suatu entitas pisik yang terukur, cahaya dapat dianggap sebagai gelombang; akan
tetapi, anggapan ini bukan karena cahaya adalah suatu gelombang, tetapi asumsi
itu didasarkan pada sifat cahaya yang menyerupai gelombang. Ketika kita
mengatakan bahwa sifat cahaya menyerupai gelombang, yang dimaksud dalam amsal
ini adalah kemiripan dengan suatu objek pahaman korporeal yang disebut
“gelombang”. Cahaya juga dapat dianggap sebagai wujud yang tersusun dari
partikel-partikel, namun sekali lagi bukan karena cahaya adalah partikel itu
sendiri, tetapi karena dalam pengukuran tertentu, ternyata cahaya itu
menunjukkan sifat-sifat partikel korporeal. Kedua pandangan ini mewakili
dualitas gelombang/partikel yang terkenal dalam fisika kuantum, yang bukan
hanya terbatas pada sifat cahaya saja, tetapi juga digunakan untuk
menggambarkan fungsi fakultas imajinasi dalam hubungannya dengan penerapan ilmu
fisika.
Ketika suatu entitas pisik berkorespondensi dengan
suatu objek indrawi dengan cara yang mudah dipahami, proses “menganggap
abstraksi sama dengan wujud eksternal (reifying)”
suatu makna matematis tidak menimbulkan masalah yang berarti karena kesepadanan
korporeal dapat dilihat secara jelas. Namun, pada kasus cahaya sebagai
“gelombang” dan cahaya sebagai “partikel”, keduanya adalah dua hal yang
benar-benar berbeda dengan proses ini. Makna matematis yang menganggap cahaya
sebagai gelombang tidak mempunyai rujukan korporeal, atau mungkin akan lebih
jelas jika dikatakan bahwa tidak ada satupun objek korporeal yang
berkorespondensi dengan objek pisik yang secara tegas semakna dengan gelombang
atau partikel cahaya (yakni photon).
Oleh karena itu, para fisikawan tidak dapat menganggap
photon sebagai suatu partikel sebagaimana anggapan bahwa pasir adalah partikel.
Dalam kasus pertama, para ahli sains menerapkan suatu formula matematis
terhadap bentuk suatu partikel yang diperoleh dari imajinasinya. “Partikel” ini
mempunyai kesamaan status ontologis dengan garis busur parabolis pada sebuah
kertas di dalam imajinasi kita yang semuanya tidak mempunyai eksistensi
eksternal yang kongkrit. Sekarang, butir pasir adalah suatu partikel yang
memiliki eksistensi eksternal yang dengannya para ahli sains dapat
mengimajinasikan suatu gambaran yang sesuai dengan butir-butir pasir tersebut,
juga untuk objek-objek lain yang dapat disebut “partikel”. Akan tetapi, photon
(pada cahaya) tidak dapat disebut partikel yang sebenarnya ketika cahaya tidak
selamanya bersifat seperti partikel-partikel, cahaya juga kadang-kadang
bersifat sebagai gelombang. Ketika para ahli sains menyebut cahaya sebagai
“gelombang”, mereka juga menempuh cara yang sama, yakni menggunakan
imajinasinya untuk membuat formulasi matematis tentang sifat-sifat gelombang
yang diterapkan pada cahaya. Namun yang harus dipahami adalah, pada dasarnya
cahaya bukanlah sebuah partikel dan bukan pula sebagai gelombang. Dengan
pemahaman ini, paradoks dualitas partikel-gelombang pada cahaya akan dapat
dihilangkan, karena kita tidak pernah benar-benar lepas dari dunia matematis
dalam menjelaskan kasus-kasus seperti ini. 8)
Di dalam sains, proses pemakaian model imajinal di
luar data matematis merupakan suatu hal penting namun legitimatif. Masalah yang
timbul kemudian adalah dalam ruang lingkup filsafat, bukan metode sains itu
sendiri. Hanya dengan perspektif bahwa
kualitas dianggap bersifat sekunder terhadap sains “ril” praktis, seseorang
dapat memahami bahwa hanya alam korporeal-lah yang memiliki keunggulan dan
dominasi, yang menjadi pintu untuk memasuki alam pisik. Dan lebih dari itu,
alam korporeal juga memberikan bahan dasar – berupa gambaran-gambaran semisal
“partikel” dan “gelombang” – yang dapat memudahkan kita dalam mengolah
formalisme matematis yang kita peroleh dari pengamatan terhadap alam korporeal
itu sendiri.
***********
Sebagai kesimpulan, meskipun konsep mekanistis alam
yang kaku telah terbukti salah di atas bayang-bayang keraguan melalui
penemuan-penemuan ilmu fisika pada abad terakhir ini, penting untuk ditekankan
kembali bahwa pandangan dunia saintis yang umum, yang sudah banyak diadopsi
oleh masyarakat saat ini, telah
mengajarkan bahwa sebenarnya para ahli fisika sedang bekerja keras untuk
menemukan “penyusun bangunan materi yang fundamental (fundamental building blocks
of matter)”. Seperti yang telah kita lihat, penggunaan istilah semisal
“penyusun bangunan” pun sudah cukup menimbulkan masalah. Tetapi apakah materi
itu? Ternyata materi yang dipahami di dalam ilmu modern adalah bagian dari
pandangan dunia kelompok bifurkasionis, mereka yang memandang dunia ini sebagai
ekstensi murni dari “apa yang tampak secara eksternal” yang justru tersusun
dari entitas elusif. Di dalam sains modern, tidak ada seorangpun yang dapat
mengetahui hakikat materi yang sebenarnya. Materi hanyalah kuantitas tak
terukur, juga tidak berarti apa-apa selain hanya sebagai simbol dari pemahaman
konsep kuantitas yang dipahami oleh kehidupan modern; “materi” adalah wacana
dalam wilayah filsafat dan bukan bahasan dalam dunia sains.
Mulla Sadra telah mengajarkan bahwa kita hanya dapat
mengetahui bentuk, tetapi yang dimaksud dalam hal ini adalah bentuk yang
diperlawankan dengan materi, bukan yang dipertentangkan dengan makna; bentuk
itulah yang karenanya sesuatu itu menjadi dirinya sendiri. 9) “Materi” (al-maddah)
dalam metafisika Mulla Sadra dan juga dalam filsafat Barat pra-modern bukanlah
“materi” yang tak terjelaskan dalam sains modern; materi dalam hal ini adalah
potensial murni yang mewujud dalam bentuk-bentuk tadi. Kita hanya dapat
mengetahui bentuk-bentuk sesuatu dan bukan materinya. Dalam pengertian ini kita
dapat mengatakan bahwa matematika juga terdiri dari bentuk-bentuk, tetapi
bentuk yang terpisah dari materi. Selama ratusan tahun, apa yang telah
dilakukan oleh fisikawan hanyalah menemukan bentuk dan struktur matematis;
penelitian tentang materi hanya menemukan kegagalan ketika para ahli sains
hanya keluar dari lautan bentuk-bentuk matematis; alih-alih menemukan hakikat
materi yang sebenarnya, yang mereka temukan justru daratan kering alam
korporeal yang ternyata di atasnya tidak ada materi, mereka menemukan pulau
yang hanya memuat bentuk-bentuk bersama kualitas-kualitasnya.
Karenanya, pada tingkatan realitas ini, alam korporeal
adalah alam bentuk-bentuk, tetapi itu bukan berarti bahwa alam pisik adalah
alam materi. Ketika kita menyebut alam pisik, yang kita maksud adalah bentuk
matematis di dalam alam korporeal. Atribut-atribut kuantitatif alam pisik tidak
berarti apa-apa selain deskripsi matematis dari prilaku objek-objek korporeal.
Dengan demikian, bola billiar pisikal yang kita pahami, yang ternyata adalah
aggregat partikel-partikel, hanyalah penjumlahan dari entitas-entitas matematis
yang diperoleh dengan cara yang hampir sama dengan jika seseorang menambahkan
rumus-rumus aljabar untuk mendapatkan
formula yang lain. 10)
Perspektif metafisis ini akan mengembalikan manusia
pada pusat alam persepsinya, yakni alam yang dalam pandangan Sadra adalah
tempat yang telah diciptakan oleh Tuhan
sebagai tempat manusia untuk hidup. Perspektif ini pada dasarnya sama
dengan pemahaman fisika matematis, kecuali bahwa ia telah menjelaskan
kebingungan ontologis yang berhubungan dengan fisika matematis tersebut. Dalam
hal ini, matematika tetap dianggap sebagai deskripsi hukum-hukum abadi yang
tampak dalam Akal Ilahiyyah yang mengatur alam korporeal. Akhirnya menjadi
jelas bahwa seseorang tidak harus menjadi seorang fisikawan untuk dapat
memahami apa yang dilakukan oleh ahli fisika. Orang-orang awam dan ahli fisika
hidup bersama-sama di dunia yang tidak akan dapat direduksi menjadi
angka-angka, dunia yang tidak mungkin sukar dipahami kecuali jika seseorang
melalui jalan filsafat yang menyesatkan.
Catatan
1. Smith, Wolfgang, “The Quantum Enigma,” Peru, Illinois 1995. Lihat juga bukunya “Cosmos
and Transcendence,” bab. 1-2, demikian juga “Bell’s Theorem and the Perennial Ontology,” Sophia, musim
panas 1997, hal. 19-38, dan “The
Extrapolated Universe,” Sophia. Untuk kritik terhadap karya Smith,
lihat S. H. Nasr, “Perennial Ontology and
Quantum Mechanics: A Review Essay of The Quantum Enigma," Sophia
(Musim Panas 1997) hal. 135-157.
2. Tulisan ini lebih banyak menyinggung fakultas batin
persepsi, atau al-madarik al-batiniyyah. Lihat Mulla Sadra, al-Syawahid
al-Rububiyyah fi‘l-Manahij al-Sulukiyyah (Masyhad 1981) hal. 193-195, al-Mabda‘
wa’l-ma‘ad (Tehran,
1976) hal. 242-252, al-Hikmat al-Muta‘aliyah fi’l-Al-Asfar al-‘Aqliyyat al-Arba‘ah
(Beirut 1981) Vol.
8. hal. 205-220. See also J.W. Morris, The Wisdom of the Throne
(Princeton 1981) hal. 136-137, and F. Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra
(Albany, New York 1975) hal. 221-229
3. Al-Mabda’ wa’l-Ma‘ad, hal 249
4. Al-Asfar, Vol.
8 hal. 216-217
5. Lihat Al-Asfar, Vol. 8, hal 216-218
6. Lihat catatan berikutnya.
7. Di dalam bab berjudul “Jenis-jenis Persepsi” yang
menjelaskan masalah ini serta masalah-masalah lainnya, Mulla Sadra menulis,
“Ketahuilah bahwa ada empat jenis persepsi: persepsi indra, imajinasi,
pemahaman, dan inteleksi. Persepsi indra adalah persepsi tentang sesuatu yang
mewujud di dalam materi yang hadir bersama sesuatu yang dipahami sebagai
gambaran-gambaran (hay’at) partikular
serta dapat terukur dengan paramater misalnya tempat, waktu, posisi, kualitas,
kuantitas, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan kualitas, sesuatu ini tidak
terpisah dengan sesuatu yang mirip dengannya pada wujud eksternal dan tidak
sesuatu yang lainpun yang memiliki kualitas tersebut……dan dengan cara apa
persepsi indra dapat terjadi dan apa yang secara esensial dapat dipersepsi oleh
indra serta apa yang secara esensial dapat hadir sebagai objek yang dipahami, semuanya
hanyalah bentuk (surah) saja, bukan objek itu sendiri…..Penting (untuk
diketahui) bahwa apa yang kita bisa pahami melalui indra adalah bentuk suatu
objek yang terpisah (mutajarradah)
dari materinya, namun persepsi indra tidak memisahkan bentuk dari materinya ini
dengan sempurna. Adapun persepsi imajinasi adalah persepsi terhadap sesuatu
tadi melalui gambaran seperti yang disebutkan sebelumnya, karena imajinasi
tidak akan pernah berimajinasi kecuali setelah adanya persepsi indra….Pemahaman
adalah persepsi terhadap makna non-indrawi – yang dalam hal ini adalah objek
akal – namun belum dalam makna universal, yakni masih berhubungan dengan objek
indra partikular; dan untuk alasan ini, tidak ada satupun sesuatu yang lain
yang sama dengannya karena ia hanya berhubungan dengan suatu individu khusus.
Inteleksi adalah persepsi terhadap kuiditas dan defenisi logis sesuatu, tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang
lain, dengan mengabaikan apakah sesuatu yang dimaksud dipahami dalam dirinya
sendiri ataupun dipahami dengan kualitas-kualitas pahaman yang lain….
Setiap persepsi Pasti
mengandung persyaratan di dalamnya; persepsi-persepsi ini mempunyai derajat
berdasarkan persyaratan tersebut. Persepsi pertama mempunyai tiga kondisi:
kehadiran materi terhadap organ persepsi, “gambaran” yang dipahami selalu
menyatu dengan sifatnya, dan objek yang dipersepsi merupakan wujud partikular.
Tahapan persepsi imajinasi tidak
memerlukan kondisi yang pertama sedangkan tahapan persepsi pemahaman tidak
tergantung kepada syarat kedua. Dan di dalam tahapan persepsi akal, ketiga
kondisi di atas tidak dipersyaratkan.
Ketahuilah bahwa perbedaan antara persepsi pemahaman
dan inteleksi bukanlah merupakan perbedaan yang esensial tetapi perbedaan
karena faktor eksternal saja seperti halnya keterikatan dan keterhubungan
dengan issu-issu partikular dan ketiadaan partikularitas tersebut. Di dalam
realitas, persepsi hanya terbagi dalam
tiga bagian saja, sebagaimana tiga bagian alam. Persepsi pemahaman seolah-olah
adalah akal yang jatuh dari tempatnya.” Al-Asfar, Vol.3 hal. 360-362.
8. Hal ini jauh dari dugaan paradoks di dalam fisika.
Masalah-masalah ini muncul dari prinsip ketidakjelasan serta dari teorema Bell yang mengatakan
bahwa ada hubungan-hubungan simultan terhadap jarak-jarak pisik yang besar.
Sebagai pengantar terhadap fisika modern dan juga tema tentang implikasi
filosofis penemuan-penemuan fisika yang baru, silahkan lihat The Quantum
Enigma, hal 115-136, D. Bohm and B. Hiley, The Undivided Universe: An
Ontological Interpretation of Quantum Theory (London 1993); G. Zukav, The
Dancing Wu Li Masters, (Quill Marrow 1979); S. Hawking, A Brief History
of Time (New York 1988); D. Mermin, “Is
the Moon there When Nobody Looks? Reality and Quantum Theory,” dan A.
Shimony “Metaphysical Problems in the
Foundations of Quantum Mechanics,” in The Philosophy of Science,
Boyd, Gaspar, dan Trout (editor) (Cambridge, MA 1991)
9. Sebagai contoh tentang diskusi Mulla Sadra dalam
membahas persepsi terhadap bentuk, silahkan lihat Al-Asfar, Vol. 3 hal
300-321, dan juga Risalat ittihad al-‘aql wa’l-ma‘qul di dalam The
Complete Philosophical Treatises of Mulla Sadra (Tehran 1999)
khusunya hal 75-76, dan The Philosophy of Mulla Sadra, hal 221-225
10. “Tema tentang makrosistem……merupakan wilayah pragmatis
atau praktis; masalah ini berhubungan dengan tingkat pendekatan dan kemungkinan
terjadinya model-model tertentu yang sederhana. Namun, di dalam realitas,
setiap objek pisik merupakan suatu mikrosistem – yakni bahwa objek tersebut
tersusun dari atom dan partikel-partikel penting. Dengan demikian, dunia mikro
merupakan susunan suatu sub domain, yang secara aktual sama dengan alam pisik
di dalam totalitasnya…. Artinya….sesuatu yang disebut objek-objek pisik yang
besar di dalam realitasnya hanya sesuatu yang kekuatannya sama dengan elektro
atau quark….”The Quantum Enigma, hal. 47-48.

[i])
Di dalam mekanika
kuantum, ada dua istilah penting yang
muncul ketika para saintis membicarakan hubungan antara partikel-partikel dalam
suatu sistem mekanika kuantum. Yang pertama adalah lokalitas, yakni bahwa
bagian-bagian yang terisolasi dalam suatu sistem mekanika kuantum di luar
kecepatan cahaya akan berhubungan dengan bagian-bagian lainnya dimana sistem
tersebut akan tetap mempertahankan hubungan atau korelasi hanya dengan melalui
memori dari hubungan sebelumnya. Yang kedua adalah non-lokalitas, yakni bahwa
di dalam sistem mekanika kuantum, hubungan atau korelasi tidak mungkin terjadi
melalui memori sederhana yang dipaksakan melintasi ruang dan waktu dengan
kecepatan lebih besar daripada kecepatan cahaya. Non-lokalitas inilah yang
membuat Einstein tidak mempercayai mekanika kuantum dalam bagian-bagian
tertentu.
[ii]) Vektor yang di-collapse-kan
(direduksi) menjadi keadaan tertentu sebagai hasil pengukuran pada suatu sistem
kuantum, pertama kali diperkenalkan oleh John von Neumann (1932) dalam suatu
prosedur operasional formalisme mekanika kuantum. Dalam membicarakan state vector collapse, ada banyak
interpretasi yang muncul. Menurut Interpretasi Semiotic dan Interpretasi
Copenhagen, keadaan vector collapse
dalam mekanika kuantum bukanlah suatu fenomena pisik, atau bahwa suatu vektor
tidak dapat menjelaskan secara pisik suatu gelombang yang bergerak dalam ruang;
bagi mereka, vektor hanyalah representasi matematis dari apa yang diketahui
oleh pengamat. Akan tetapi, sebuah teori formalisme mekanika kuantum yang
menggambarkan kejadian-kejadian kuantum sebagai “jabat tangan” yang terjadi
melalui pertukaran gelombang yang cepat (advanced)
dan gelombang yang lambat (retarded),
yang kemudian disebut Interpretasi Transaksional, mempunyai pendapat lain.
Mereka mengatakan bahwa formalisme mekanika kuantum menunjukkan secara pisik
suatu gelombang yang bergerak dalam ruang. Untuk memperbandingkan kedua
interpretasi ini, silahkan lihat J.G. Cramer, “An Overview of The Transactional Interpretation” yang dimuat di
dalam International Journal of Theoritical Physics, 1988; dan Jean Schneider, “The Now, Relativity Theory and Quantum
Mechanics” yang dimuat di dalam “Time,
Now, and Quantum Mechanics,” editor M. Bitbol dan E. Ruhnau, edition
frontieres, BP 33, 91192 Gif/Yvette Cedex, France.
[iii]) Wolfgang Smith, selain seorang ahli matematika dan
fisika, dia juga seorang filosof yang cenderung pada pemikiran Plato. Dia
bahkan pernah ke India untuk belajar tradisi Vedantik. Smith menyelesaikan
studinya dari Cornell University pada umur 18 tahun dengan gelar B.A.,
mengambil magister dalam bidang fisika teoritis di Purdue University, dan
memperoleh gelar Ph.D dari Columbia University dalam bidang matematika. Pernah
bekerja di Bell Aircraft Corporation, memegang jabatan struktural di MIT dan
UCLA, kemudian menjadi guru besar matematika di Oregon State University. Dia
kemudian mengkhususkan diri dalam menulis, selain masalah teologi dan
metafisika Katolik, dia juga menulis artikel tentang perbandingan kebenaran
saintis dan keyakinan saintis. Buku-bukunya yang terkenal adalah Cosmos and Transcendence (1984), Teilhardism and The New Religion (1988),
dan Quantum Enigma sendiri ditulisnya
pada tahun 1995. (Peru, Illinois: Sherwood Sugden, 1995).
[iv]) Kesepadanan korporeal adalah kesamaan objek yang dipahami
dengan objek tertentu di alam eksternal dalam semua sifat-sifat dan
atribut-atributnya. Jika seseorang menyebutkan satu buah berbentuk bulat yang
berwarna merah, rasanya manis, diameternya sekitar 5 cm, buahnya berasal dari
pohon yang hidup di tempat yang sejuk dan tidak panas, maka kita akan dengan
mudah menyebut bahwa buah yang dimaksud adalah apel yang berwarna merah.
Pengertian ini dengan mudah kita pahami, tentu saja, karena sebelumnya kita
sudah mengenal apel di dalam bentuk dan sifat-sifat eksternalnya. Atau, kita
dengan mudah dapat menebak gambaran orang tersebut karena apa yang
disebutkannya mempunyai kesepadan korporeal, yakni apel merah tadi.
Komentar
Posting Komentar