Pandangan Mulla Sadra Tentang Persepsi Imajinatif dan Alam Ide
Pandangan Mulla Sadra Tentang
Persepsi Imajinatif dan Alam Ide
Oleh Latimah-Parvin Peerwani,
Al-Hidayah Academy, Fort
Worth, USA
Abstrak
Pertanyaan tentang persepsi merupakan bagian yang
sangat penting dan paling kompleks dari psikologi filosofis Islam, khususnya
pertanyaan mengenai persepsi imajinatif
(al-idrak al-khayali). Dalam tulisan ini penulis akan mendiskusikan
sifat dari persepsi imajinatif itu, fungsi-fungsinya yang beragam, serta
memberikan penjelasan tentang alam ide menurut pandangan Mulla Sadra. Tulisan
ini juga akan mencakup beberapa topik tentang bagaimana suatu persepsi
imajinatif dapat terjadi, apakah organ persepsi imajinatif itu adalah bagian
dari otak pisik yang material atau merupakan fakultas psikis yang immaterial,
serta bagaimana keberlanjutan persepsi imajinatif setelah kematian tubuh
manusia. Saya juga akan menjelaskan sedikit pandangan Mulla Sadra tentang Alam
Ide makrokosmik beserta sifat-sifatnya, juga tentang hubungannya dengan
imajinasi mikrokosmik manusia. Pembahasan pandangan Mulla Sadra dalam masalah
ini akan dibandingkan dengan pandangan para pendahulunya, baik dari mazhab
Peripatetik [a])
maupun mazhab Iluminasi. [b]) Selanjutnya, saya akan
memberikan kesimpulan di akhir tulisan ini.
************
A. Persepsi
1. Defenisi
Persepsi
D
|
i dalam kamus Islam abad pertengahan yang disusun oleh
al-Jurjani, 1) kata idrak (persepsi) mempunyai tiga
defenisi: (1) “kemencakupan menyeluruh terhadap sesuatu”; (2) “pemahaman jiwa
rasional terhadap sebuah bentuk”; (3) “konsepsi realitas sesuatu tanpa negasi
dan afirmasi terhadap sesuatu itu”. Di samping itu, istilah ‘ilm (knowledge) juga didefenisikan dalam
kamus tersebut sebagai “pemahaman akal terhadap bentuk sesuatu,” yang
sebenarnya juga menjadi defenisi idrak (seperti pada point 2 di atas, ed.).
Bagi Mulla
Sadra, idrak didefenisikan sebagai “perjumpaan (liqa’) dan
kedatangan (wusul)”. Beliau juga menjelaskan bahwa “ketika fakultas
intelektual sampai pada quiditas suatu objek pahaman dan kemudian mencapainya,
dari keadaan inilah lahir suatu persepsi”. Inilah arti terminologis persepsi
dalam filsafat Mulla Sadra. Selanjutnya Sadra mengatakan: “Tidak ada persepsi
dan perjumpaan yang berarti selain perjumpaan yang hakiki, yakni persepsi
tentang ilmu.” 2) Pada tempat yang lain Sadra mengatakan:
“Ilmu dan persepsi pada tingkat yang sama mencakup berbagai kategori persepsi
seperti proses berpikir (inteleksi), imajinasi, dan persepsi indra.” 3) Dengan demikian, dalam pandangan Mulla Sadra,
persepsi dan ilmu menunjukkan subjek yang sama, yang lebih kurang sama dengan
defenisi Al-Jurjani yang ketiga.
2. Fakultas
Bathin dan Tingkatan-Tingkatan Persepsi.
Menurut Mulla Sadra, jiwa manusia mempunyai lima fakultas batin.
Kelima fakultas tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dijelaskan oleh
filosof Peripatetik yang merujuk pada penjelasan Aristoteles, kecuali untuk
fakultas imajinatif. Kelima fakultas tersebut (dimulai dari tingkatan yang
paling bawah) adalah indra universal (sensus communis), [c]) penggambaran (representative),
penilaian (estimative, wahm), ingatan (retentive) dan
khayal (imaginative). Indra universal adalah indra bathin yang
berhubungan dengan persepsi indra luar. Selanjutnya, fakultas imajinatif
mempunyai tiga fungsi yang berbeda: (1) sebagai penggambaran atau kapasitas pasif
yang sama dengan penyimpanan gambaran-gambaran dunia luar yang diterima dan
kemudian diproyeksikan ke dalam indra universal, mirip dengan proyeksi sesuatu
ke sebuah cermin. (2) Sebagai kapasitas aktif untuk membantu fakultas penilaian
yang di dalamnya manusia membuat gambaran parsial, juga untuk memaksa manusia
membuat penilaian yang bertentangan dengan akalnya. Pada level ini, imajinasi
hanya dapat menghasilkan gambaran yang imajiner, fantastis, tidak jelas, atau
bahkan gambaran fantasi saja. (3) Sebagai kapasitas aktif ketika berhubungan
dengan akal; pada keadaan ini, fakultas imajinatif disebut mufakkirah
yang berarti fakultas kogitatif atau
meditatif (perenungan atau meditasi). Fungsi inilah yang menjadi perantara
dalam memasuki alam ide (mundus imaginalis) yang akan kita diskusikan
nanti. Gambaran-gambaran yang diperoleh dari dua kapasitas imajinasi di atas,
juga akan diproyeksikan ke sensus communis.4) Pada
bagian selanjutnya, kita akan melihat tiga kapasitas fakultas imajinatif serta
sifat-sifat persepsi imajinatif dalam hubungannya dengan ketiga kapasitas
tersebut.
Gambaran-gambaran
yang diperoleh dari dua kapasitas imajinasi yang terakhir di atas, juga
diproyeksikan ke dalam indra universal. Pada diskusi berikut, kita akan melihat
ketiga kapasitas fakultas imajinatif serta sifat-sifat persepsi imajinatif
berdasarkan pada masing-masing kapasitas tersebut.
Menurut Mulla Sadra, ada empat tingkatan persepsi,
yaitu indrawi, imajinatif, estimatif, [d]) dan intelektif. Persepsi
indra adalah persepsi tentang sesuatu yang bersifat materi, yang hadir dalam
suatu bentuk partikular sebelum ‘yang mengetahui’, yang juga dapat diukur
dengan kategori-kategori seperti ‘dimana’, ‘kapan’, ‘posisi’, ‘kualitas’,
‘kuantitas’ dan lain-lain. Persepsi imajinatif adalah persepsi tentang
bentuk-bentuk sesuatu. Fakultas ini membayangkan secara imajinatif dan indrawi
suatu objek yang telah dipahami dengan atau tanpa kehadiran objek tersebut.
Fakultas estimatif merupakan persepsi tentang ide parsial di dalam bentuk
indrawi, sedangkan fakultas intelektif terdiri dari persepsi ide universal
semisal cinta yang universal.
Namun, Mulla Sadra kemudian mereduksi empat tingkatan
persepsi ini menjadi tiga tingkatan saja: (1) indrawi; (2) imajinatif dan
estimatif; dan (3) intelektif dengan alasan bahwa imajinasi maupun estimasi
menyinggung wilayah yang sama yakni segmen di antara indra dan akal. Dalam
pandangan Mulla Sadra, level tertinggi dari ketiga persepsi tersebut adalah
persepsi intelektif. 5)
3.
Sifat-sifat Organ Persepsi Imajinatif
Fakultas imajinasi adalah kekuatan jiwa yang
menggabungkan antara benda-benda indrawi yang memiliki materi, ukuran dan
bentuk dengan objek-objek akal yang tidak mempunyai ukuran atau bentuk
tersebut. Dengan kata lain, fakultas imajinatif adalah imajinasi kognitif atau pemahaman
akal dengan ukuran, bentuk dan ekstensi yang immaterial. Mulla Sadra
mendefenisikan fakultas imajinatif sebagai “sebuah kekuatan batin yang bukan akal;
yang bukan indra eksternal; ia memiliki alam lain yang bukan alam akal yang hakiki,
juga bukan alam materi dari sifat dan gerak (yang berlaku pada tubuh pisik).
Wilayah fakultas imajinatif meliputi seluruh tubuh, asalnya adalah bagian
pertama dari rongga (kavitas) terakhir (pada otak), instrumennya adalah bagian
vital (pneuma) otak tersebut.” 6) Dengan kata lain,
imajinasi adalah tingkatan kesadaran dan ke-ada-an jiwa yang terkondisi di
antara ruh atau akal dan tubuh. Fakultas imajinatif menerima ide-ide dalam
bentuk indrawi. Jiwa pada tingkat ini memiliki lima indra bathin: penglihatan,
pendengaran, penciuman, sentuhan, dan rasa. Menurut Mulla Sadra, fakultas
psikis imajinasi ini bersifat immateri. Mulla Sadra kemudian memberikan
beberapa alasan untuk membuktikan imaterialitasnya, seperti yang disebutkan
berikut ini:
1. Bentuk-bentuk yang disaksikan seseorang di dalam mimpi
dan segala sesuatu yang disaksikan secara mental saja, atau jika seseorang
membayangkan sesuatu, maka semua bentuk-bentuk tersebut adalah sesuatu yang
eksistensial. Tidak mungkin lokus dari bentuk-bentuk tersebut adalah otak yang
merupakan bagian dari tubuh materi, karena tubuh memiliki kondisi-kondisi pisik
(seperti tempat, ruang, kuantitas, dan lain-lain) yang tidak dimiliki oleh
bentuk-bentuk imajinatif tersebut. Di samping itu, akal intuitif telah membuktikan ketidakmungkinan sesuatu
yang berukuran besar berada di dalam sesuatu yang berukuran kecil, seperti
halnya otak.7) Walaupun demikian, bentuk-bentuk tersebut
sungguh-sungguh mewujud, yang muasalnya adalah jiwa; ‘ruang’ yang di dalamnya
bentuk-bentuk tersebut ada dengan keberadaan yang berbeda bentuk-bentuk pisik.
2. Jika bentuk-bentuk imajinatif berada di dalam bagian
otak atau organ indra tertentu seperti halnya yang dipahami oleh kebanyakan
filosof, maka bentuk-bentuk tersebut akan mengambil tempat tertentu yang tidak
bisa lagi ditempati oleh bentuk yang lain. Di samping itu, keadaan ini juga
tidak mungkin karena bentuk-bentuk tersebut akan memerlukan ruang tertentu.
Ternyata, kenyataan membuktikan bahwa seseorang dapat mengingat sekian banyak
pekerjaan, menyaksikan iklim-iklim yang berbeda, kota dan keajaibannya; padahal
bentuk-bentuk dari objek tersebut tetap tinggal di dalam memori dan imajinasi
orang tersebut. Melalui intuisi dapat pula diketahui bahwa pneuma otak tidak
mungkin memuat bentuk-bentuk di atas. Di samping itu, jika semua bentuk-bentuk
tersebut berada di dalam satu lokus, maka imajinasi akan mirip dengan lembaran
yang berisi sketsa semua bentuk yang saling tumpang tindih sehingga tidak bisa
dibedakan antara satu bentuk dengan bentuk yang lain. Tetapi jelas bahwa
imajinasi tidaklah seperti itu, imajinasi dapat membedakan satu bentuk dengan
bentuk lainnya tanpa adanya percampuran. Oleh karena itu, kita mengetahui bahwa
bentuk-bentuk imajinatif itu tidak menempati ruang di dalam pneuma otak, tetapi
bentuk-bentuk tersebut mewujud karena jiwa di dalam kekuatan imajinatifnya yang
pasti bukan bersifat material.
3. Jika fakultas imajinatif adalah tubuh material, maka
fakultas imajinatif tersebut pasti memiliki ekstensi material pula. Dalam
keadaan ini, jika seseorang membayangkan suatu ekstensi dan imajinasi
teraktualkan di dalam ekstensi itu, maka imajinasi ini akan memerlukan
integrasi kedua ekstensi dalam materi yang sama, suatu keadaan yang tidak
mungkin.
4. Jika fakultas imajinatif adalah tubuh material, maka
fakultas tersebut akan memiliki sifat seperti bagian-bagian tubuh material yang
lain, yakni lapuk dan usang atau bertambah dan berkurang karena ada tidaknya
makanan. Dalam kasus ini, bentuk-bentuk imajinatif juga akan mengalami proses
seperti dasar pijakannya, yakni fakultas imajinatif tersebut.8)
Simpulannya, fakultas imajinatif menurut Mulla Sadra
adalah suatu substansi yang terpisah dan independen dari materi tubuh pisik (jawhar
mujarrad ‘an maddat al-badan); yang berdiri sendiri melalui esensi sumbernya
yakni akal. Hubungannya dengan otak manusia bukanlah hubungan dimana fakultas
imajinatif inheren di dalamnya. Oleh karena itu bentuk-bentuk imajinatif (suwar
khayaliliyyah) tidaklah mewujud di dalam bagian otak tertentu, tidak juga
berbentuk atau mempunyai kesan (muntabi’an) di luar imajinasi.
Keistimewaannya adalah “bahwa bentuk imajinatif lahir dari jiwa, ia tidak
memerlukan materi untuk menggantungkan maujudnya, bentuk imajinatif hanya
memerlukan subjek aktif (fa’il) yang membentuknya.” Bentuk imajinatif
maujud di dalam kekuatan imajinatif jiwa seperti halnya bentuk-bentuk artistik
yang mewujud di dalam jiwa para seniman, atau suatu karya cipta yang mewujud di
dalam jiwa penciptanya (pelaku aktif, fa’il), bukan sebagai aksiden yang
bergantung kepada sumber di wadahnya yang pasif (qabil). Hal ini tidak
akan terjadi jika pelaku produktif bentuk-bentuk imajinatif itu adalah fakultas
psikis yang terhubung dengan materi pisik, juga jika terdapat kebutuhan pada
instrumen atau wadah materi yang membuat bentuk-bentuk imajinatif tersebut.
Tetapi jika pembentuknya adalah fakultas immateri (mujarrad), maka
fakultas inilah yang akan membuat bentuk dan gambar yang bukan menggunakan
suatu instrumen atau wadah yang berasal dari dunia materi. Dalam hal ini, jika
pelaku tidak membutuhkan sesuatu untuk ‘menjadi’, maka pelaku tersebut
disebut independen terhadap sesuatu ‘penyebab menjadi.’ 9)
B. Fungsi
Fakultas Imajinatif
1. Fungsi
Pasif Sebagai Penyimpanan Persepsi Imajinatif
Menurut Mulla Sadra, perspepsi atau pengetahuan
tentang dunia eksternal bermula dari sensasi dan representasi (tasawwurat)
parsial indra pisik terhadap benda-benda eksternal yang disebutnya “mata-mata
yang membawa informasi dari tempat yang berbeda-beda dan menyiapkannya sebagai
acuan persepsi.” 10) Rangkaian objek dan sensasi indra
terdiri dari objek pahaman potensial. Objek dan sensasi tersebut tersimpan di
dalam fakultas imajinasi dan menjadi pahaman primer yang umum bagi manusia.
Objek dan sensasi ini merupakan pengetahuan primer, pengalaman, data-data yang
dikirim dan diterima, 11) dan lain-lain.
Karakteristik
persepsi menurut Mulla Sadra tidak terlalu berbeda dengan apa yang disampaikan
oleh Ibn Sina dan Suhrawardi. Namun, perbedaan yang paling mendasar di antara
mereka adalah konsep bagaimana persepsi itu terjadi. Dalam hal ini, Mulla Sadra
menyebutkan teori-teori persepsi yang dijelaskan oleh filosof terdahulu yang
kemudian dibantahnya sendiri melalui berbagai pembuktian. Beberapa dari
bantahan Mulla Sadra itu adalah sebagai berikut:
1. Teori “Abstraksi” yang dikembangkan oleh Ibn Sina.
Menurut Ibn Sina: “setiap persepsi apakah bersifat indrawi, imajinatif,
estimatif maupun akliyah, semuanya terjadi melalui abstraksi bentuk-bentuk
materi. Akan tetapi persepsi tersebut bertingkat-tingkat.” Pertama-tama, semua
organ indra eksternal melakukan abstraksi terhadap bentuk-bentuk materi.
Setelah itu, fakultas imajinasi melakukan abstraksi tahap kedua sehingga bentuk
tersebut memasuki tingkatan tanpa materi dan ketiadaan materi. Tahap
selanjutnya adalah, fakultas estimatif melakukan abstraksi ketiga yang
memberikan makna bentuk tersebut yang tidak lagi bersifat indrawi tetapi sudah
menjadi pahaman. Akan tetapi, makna dalam tahapan ini adalah makna partikular
dan bukan universal, makna inilah yang selanjutnya diabstraksi lagi oleh
kekuatan akal menjadi bentuk universal yang akan tetap ada di dalam kehadiran
kekuatan akal tersebut.12) Bentuk-bentuk universal adalah
penyempurnaan sekunder bagi manusia yang tidak menyebabkan perubahan apa-apa di
dalam substansi esensial manusia. Dengan kata lain, menurut Ibn Sina, lima
indra manusia akan menerima dan mengabstraksi bentuk-bentuk dari eksisten
eksternal secara bebas yang tergantung kepada kapasitasnya masing-masing.
Setelah abstraksi inilah gambaran perseptif akan mewujud di dalam pneuma
fakultas imajinasi yang bersifat material dan lokusnya adalah bagian pertama
dari ventrikel terakhir di dalam otak.13)
2. Teori persepsi tentang penglihatan (vision). Menurut Mulla Sadra, ada tiga
pendapat yang berbeda tentang bagaimana proses terjadinya suatu penglihatan.
Ketiga pendapat tersebut adalah:
Pendapat pertama: Para fisikawan dan filosof Muslim
yang mengikuti pendapat Aristoteles, khususnya Ibn Sina (370 – 429/980 – 1037),
berpendapat bahwa penglihatan dapat terjadi disebabkan oleh maujudnya bentuk
dari objek indrawi di dalam satu bagian membran kristalin (al-rutubat
al-jalidiyyah) pada mata yang mirip dengan batu es yang sangat kecil.
Membran ini sama dengan cermin. Jika di depan membran ini ada suatu objek yang
mempunyai warna dan cahaya, maka gambaran bentuk objek tersebut akan mewujud di
dalam membran. Gambaran ini bukanlah sesuatu yang terpisah dari objek tadi, ia
justru harus mencapai mata agar penglihatan itu dapat terjadi. Maka syarat
terjadinya penglihatan adalah: kesalingberhadapanan antara objek dan mata,
serta adanya media udara yang tembus pandang. 14) Tetapi,
para pendukung pendapat ini tidak dapat menjelaskan bagaimana terjadinya
persepsi visual di dalam membran kristalline mata terhadap bentuk yang
berukuran besar kecuali jawaban bahwa sebuah ‘bentuk kecil’ dari bentuk besar
itu telah mewujud sebelumnya di dalam mata sehingga penglihatan itu terjadi
melalui suatu perantara pneuma yang mengalir ke dalam dua syaraf yang terhubung
dengan organ penglihatan, seperti halnya ketika seseorang melihat bayangan
wajah orang lain di dalam cermin yang ukurannya lebih kecil dari wajah yang
sebenarnya dari orang tersebut.
Pendapat kedua: para ahli matematika khususnya Ibn
Haytsam [e]) (wafat 430/1038) menyakini
bahwa, penglihatan terjadi karena adanya emisi cahaya dari dalam mata. Cahaya
ini berbentuk kerucut, puncaknya berada di dalam mata, dalam alasnya terletak
pada objek yang dilihat.15)
Pendapa ketiga: yakni pendapat yang dijelaskan oleh
Syihabuddin Suhrawardi yang digelari Syaikh
Al-Isyraq (549-587/1153-1191). Menurut Suhrawardi, penglihatan terjadi bukan karena
emisi cahaya, juga bukan karena adanya gambaran yang mewujud di dalam mata.
Tetapi, penglihatan itu terjadi ketika suatu objek yang diterangi oleh cahaya
berhadapan dengan organ penglihatan dimana terdapat kualitas terang yang cukup
(vitreous humor). Jika kedua kondisi ini terpenuhi, maka jiwa akan
memperoleh pengetahuan kehadiran iluminatif atau kesadaran terhadap objek
tersebut. Dapat pula dikatakan, ketika berhubungan dengan suatu objek, jiwa
akan menangkap realitas objek tersebut secara non-predikatif yang tidak
didasarkan pada suatu konsep tetapi pada persetujuan; jiwa menerima objek
tersebut sebagai penglihatan eksternal yang jelas. Pendapat ini menolak keharusan
adanya medium tembus pandang. Di samping itu, Suhrawardi mengatakan bahwa
fakultas imajinatif bersifat materi sehingga bentuk-bentuk imajinatif yang
besar tidak dapat tertampung di dalamnya. Lantas dimana bentuk-bentuk
imajinatif yang besar itu tersimpan? Suhrawardi mengatakan bahwa bentuk-bentuk
tersebut terdapat di alam makrokosmos objektif ide-ide (‘alam al-mitsal)
yang menjadi perantara atau penghubung (barzah) antara alam materi pisik
dan alam akal.16)
Akan tetapi, Mulla Sadra mengkritik semua pendapat di
atas yang kemudian mengemukakan pendapatnya sendiri. Menurut Mulla Sadra,
persepsi tentang dunia pisik eksternal, misalnya penglihatan, terjadi ketika
jiwa menciptakan bentuk immaterial yang sama dengan objek eksternal melalui
iluminasi yang datang dari malaikat sebagai Akal Aktif, ketika organ
penglihatan dan segala kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi. Bentuk ini
kemudian hadir dalam jiwa perceptif, dimana jiwa memahaminya melalui
pengetahuan kehadiran iluminatif yang berarti bahwa jiwa memahaminya dengan
kesadaran. Kehadirannya seperti perbuatan bagi seorang pelaku, bukan seperti
sesuatu yang diterima terhadap yang menerimanya.17) Bentuk
yang diciptakan oleh jiwa ini tidak selamanya hanya menjadi penyempurnaan
sekunder, tetapi selanjutnya justru jiwa ‘menjadi’ bentuk tersebut, jiwa
berubah dari tidak mengetahui menjadi mengetahui. Oleh karena itu, menurut
Mulla Sadra, pengetahuan adalah wujud. Hal itu karena, subjek persepsi adalah
jiwa, persepsi juga dilakukan oleh jiwa, dan objek persepsi adalah bentuk yang
diciptakan oleh jiwa melalui stimulus eksternal ketika tercapai pengetahuan
eksternal.
Di samping itu, ketika terjadi persepsi, terjadi pula
penyatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui (ittihad al-‘aqil wa
al-ma’qul). Artinya, yang megetahui benar-benar menyatu dan teridentifikasi
bersama-sama dengan objek persepsinya sehingga tidak ada lagi perbedaan di
antara keduanya. Inilah pengetahuan tentang wujud eksternal sebagai sebuah
objek pengetahuan yang berasal dari wujud internal ketika jiwa telah ‘menjadi’
objek pengetahuannya. Dalam keadaan ini, menjadi mungkin bahwa wujud dan
pengetahuan adalah dua hal yang sebenarnya sama. Inilah pendapat Mulla Sadra
tentang persepsi, termasuk di dalamnya persepsi imajinatif. 18)
Selanjutnya, dalam mengkritik mazhab Peripatetik,
Mulla Sadra mengatakan: Mereka berpendapat bahwa fakultas indra memisahkan
bentuk indrawi dari materi dan aksidennya. Kemudian, fakultas imajinasi
memisahkannya lagi dari materi. Inilah perpindahan maujud atau gambaran dari indrawi
menjadi imajinatif dan dari imajinatif menjadi akliyah, yang menurut mereka
adalah tidak mungkin. Justru, jiwalah yang berubah dari level wujudnya menjadi
level yang lain, dari indrawi ke imajinatif dan dari imajinatif ke akliyah,
jiwa pulalah yang memahami objek persepsi atau pengetahuannya pada level wujud
manapun ia berada. 19) Jika jiwa berada pada level indrawi,
jiwa akan memahami suatu objek sebagai indrawi; jika jiwa berada pada level
imajinatif, jiwa akan memahami objek sebagai imajinatif dan jika jiwa berada
pada level akliyah maka jiwapun akan memahami objek itu sebagai bentuk akliyah
atau bentuk universal. 20)
Terhadap objek-objek eksternal, apakah itu sesuatu
yang dapat dilihat (visible), yang
dapat didengar (audible), bersifat taktis,
atau lainnya dimana organ indra tertuju padanya, objek-objek tersebut mirip
dengan sebuah persiapan yang menyediakan ‘waktu’ bagi jiwa untuk menciptakan
gambaran pahaman ketika kondisi persepsinya sudah terpenuhi. Sebagai contoh, di
dalam pendengaran, harus dipahami bahwa suara tidak menghasilkan gerak di udara
yang ditransmisikan melalui gelombang udara sampai ke bagian dalam telinga
sehingga seseorang dapat mendengar. Tetapi, dalam proses ini, gerakan dan
gelombang udara adalah kondisi awal agar suara agar dapat didengar, gerakan dan
gelombang udara tidak dapat mentransmisikan suara.21)
Ketika jiwa menciptakan suatu gambaran yang baru,
gambaran yang lama untuk objek yang sama tidak akan hilang, gambaran lama
tersebut akan tertumpuk di atas yang baru, inilah yang diistilahkan oleh Mulla
Sadra ‘pakaian setelah pakaian’ (al-labs b’ad al-labs). Oleh karena itu
ada susunan-susunan gambaran perseptual untuk kualitas-kualitas yang berbeda
yang disimpan di dalam fakultas imajinasi. Seseorang bahkan mungkin mempunyai beberapa
lapisan untuk setiap gambaran indrawi yang sama.
Menurut Mulla Sadra, jiwa tidak mempunyai pengetahuan
atau ide bawaan ketika ia diciptakan sebagaimana yang dipahami oleh Plato. Oleh
karena itu, pengetahuan bukanlah pengumpulan ulang ide-ide yang dianggap sudah
ada sebelumnya. Tetapi, jiwa justru menciptakan pengetahuan. Sekarang, jika
objek pengetahuan adalah ‘bentuk yang diciptakan oleh jiwa’, lantas bagaimana
kita dapat mengetahui dunia luar?, atau apakah memang dunia luar itu ada? Mulla
Sadra menjawab: dunia luar diketahui secara aksidental dan tidak langsung.
Hubungan antara dunia luar dan jiwa adalah hubungan antara akibat terhadap
sebab. Sadra tidak mengatakan bahwa jiwa menciptakan bentuk objek eksternal
secara serampangan. Tetapi, Sadra berpendapat bahwa jiwa menciptakan bentuk
objek hakiki saja.22)
Simpulannya,
apa yang dipersyaratkan bagi kesempurnaan suatu persepsi indrawi adalah
persepsi psikis. Bukti bahwa organ indra yang distimulasi oleh sesuatu,
hanyalah menjadi syarat bagi gambaran pahaman sesuatu itu untuk dapat tercipta
di dalam jiwa, membuat jiwa atentif dan menyadarinya. Kreatifitas jiwa untuk
membuat gambaran tidaklah menambahkan apa-apa pada objek eksternal. Namun dalam
hal ini, jiwa hanya menciptakan suatu gambaran mental yang serupa dengan objek
eksternal tersebut. Sebagai contoh, seekor anjing dipahami sebagai seekor
anjing; sebuah segitiga hanya dipahami sebagai segitiga saja. Tetapi bagaimana
sekiranya seekor anjing dipahami sebagai lelucon? Atau jika awan dipersepsi sebagai
tentara? Atau bagaimana dengan dialog dan gambaran fiktif yang melintas di
dalam pikiran dalam keadaan sadar sebagaimana halnya ketika sedang bermimpi?
Bagi Mulla Sadra, inilah yang disebut permainan imajinasi yang melayani
fakultas estimatif, ia bukan gambaran persepsi objek eksternal yang nyata. Lalu
bagaimana hal itu dapat terjadi?
2. Pembuatan
Citra
Ketika berada dibawa kekuasaan fakultas estimatif,
kapasitas imajinatif jiwa akan menghasilkan gambaran-gambaran fantasi,
bentuk-bentuk yang buruk, permainan jahat dan gambaran yang tak wajar, delusi
dan halusinasi. Sebagai contoh, jika seekor anjing dipahami sebagai
anjing-anjingan buat lelucon, atau sebuah tongkat dianggap sebagai seekor ular,
maka inilah yang disebut citra atau gambaran (imagery). Dalam keadaan tidur, ketika kekuatan imajinatif
dipengaruhi oleh aktifitas organik yang terjadi pada tubuh pisik, maka pada
saat itulah mimpi yang sering dilihat oleh banyak orang lebih bersifat citra
dan fantasi saja. Hal ini terjadi ketika kapasitas imajinatif; apakah karena
stimuli eksternal ataupun karena ketiadaan kapasitas imajinatif itu sendiri;
yang setelah memisahkan, mengaduk,
mendistorsi, dan menggabungkan ulang bagian-bagian gambaran indrawi dari pusat
penyimpanan, lalu menciptakan gambaran-gambaran itu kembali. Gambaran ini
kemudian diproyeksikan ke indra universal (sensus
communis) dan terlihat seolah-olah terjadi ‘di luar’ bagi orang yang sedang
membayangkannya, atau bagi seseorang membayangkannya secara mental dengan
menggunakan fakultas psikisnya. Mulla Sadra menyebut keadaan ini sebagai
permainan fantasi dan desepsi (tipuan, talbis).23)
Fantasi dan desepsi ini bisa jadi memiliki nilai kognitif, tetapi bukan seperti
yang disebut dalam tradisi literatur Barat
yang menyebut keadaan ini sebagai ‘imajinasi kreatif’ yang merupakan
fakultas non-diskursif yang melahirkan banyak wawasan artistik dan kreatifitas
saintis. Fantasi dan desepsi jenis ini bukan pula “tempat” manifestasi alam ide
yang disebut dan dibuktikan oleh Mulla Sadra dan visioner-visioner lain seperti
halnya teosophis Barat Emanuel Swedenborg. [f]) Masalah ini akan kita
bahas selanjutnya.
3. Imajinasi
Kreatif dan Alam Ide
Hirarki tradisional wujud di dalam filsafat Islam yang
dirujuki oleh Mulla Sadra terdiri dari tiga alam: alam pisik indrawi (mulk),
alam peralihan supra indrawi jiwa (malakut atau barzah) yang
disebut juga alam ide (‘alam mitsal), dan alam akal murni atau malaikat
(jabarut). Tuhan sebagai wujud hakiki berada ‘di atas’ tiga maqam ini.
Ketiga alam tersebut sepadan dengan tiga serangkai antropologis: tubuh-jiwa-ruh
yang juga dipadankan dengan organ pengetahuan: indra-imajinasi dan akal.
Suhrawardi adalah filosof Muslim pertama yang
mendefenisikan dengan menggunakan terminologi filsafat fungsi dari alam
peralihan atau alam ide yang mempunyai realitas kebenaran, yang menurutnya,
dipahami oleh imajinasi aktif dengan bantuan akal. Suhrawardi, yang setelahnya
adalah Ibn ‘Arabi (wafat 638/1240), telah memberikan landasan bagi alam ide ini
di dalam alam objektif dan menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari struktur kosmologi dan eskatologi. Akan tetapi, Mulla Sadra-lah yang telah
pertama kali memberikan penjelasan sistematis dan filosofis tentang alam ide
ini. Alam ide adalah alam bagi bentuk dan citra substansial dan swatantra yang
dijelaskan sebagai wujud ‘dalam ketegangan’ (mu’allaqah). Dengan istilah
teknis ini, dapat diartikan bahwa bentuk dan citra tersebut tidak memiliki
dasar materi (la fi mahall) yang di dalamnya bentuk dan citra dapat
mewujud dengan aksiden yang imanen; misalnya warna hijau di dalam materi yang
hijau. Tetapi, bentuk dan citra ini mewujud seperti bayangan di dalam suatu
cermin dimana substansi cermin bukanlah tempat mewujud objek yang terpantul
itu.
Alam ide merupakan perantara antara alam akal dan
dunia pisik, yang berpengaruh terhadap wujud indrawi dan akliyah di kedua alam
tersebut tanpa harus butuh kepada materi pisik. Oleh karena itu alam ide
disebut alam barzah, alam penghubung antara dua alam dimana karena ke-barzah-annya
alam ide kemudian memiliki sifat-sifat kedua alam yang dihubungkannya. Alam ide
berkaitan dengan bentuk atau gambaran kognitif, karena itu pula ia disebut
sebagai ‘alam al-mitsal yang berarti alam ide (Imaginal World, mundus
imaginalis). Alam ide ini adalah alam yang benar-benar ril menurut
orang-orang kasyaf (visionaries)
dan teosof termasuk Mulla Sadra. Ia adalah dunia yang memiliki kota, pemukiman,
pasar, sungai, pepohonan, dan lain-lain. Semua bentuk dan badan di alam ide ini
adalah ‘perumpamaan’ dan sangat halus. Beberapa di antara makhluk di alam ide
adalah jin dan syaitan. Para penghuni alam ide adalah wujud ruhiyyah yang
memiliki ukuran, warna, bentuk, ekstensi, gerak, tanpa adanya materi pisik.
Menurut Mulla Sadra, inilah alam yang eksistensinya telah disebut-sebut oleh
para filosof dan teosof terdahulu seperti Empedocles, [g]) Phytagoras, [h]) Socrates, [i]) Plato, [j]) dan lainnya; juga yang
telah disebut-sebut oleh para pejalan spiritual dari berbagai belahan bumi ini.
Kata Mulla Sadra: “Saya adalah salah satu di antara orang yang berkeyakinan
bahwa alam ide sebagai pillar filsafat benar-benar ada, seperti yang telah
dicapai oleh orang-orang yang mempunyai intuisi…dan seperti yang disampaikan
oleh Suhrawardi.” Namun, alam ide ini
bukanlah Ide-ide Platonis (mutsul iflatuniyyah). Yang dimaksud dengan
Ide-ide Platonis adalah entitas-entitas pemahaman akal iluminatif (luminous
intelligence) yang stabil, sementara bentuk-bentuk di alam ide adalah
‘bentuk dalam ketegangan’ yang beberapa di antaranya tidak memiliki cahaya. [k]) Bentuk-bentuk di alam ide
adalah kegelapan sebagai neraka yang menjadi tempat tinggal syaitan, namun ada
juga yang memiliki cahaya sebagai surga yang menjadi tempat tinggal jiwa-jiwa
tenang yang memiliki pemahaman akal yang sederhana.24)
Menurut Mulla Sadra, ide-ide Platonis adalah
bentuk-bentuk ilahiyyah, atau malaikat-malaikat, yang ‘dekat’ kepada Tuhan dan
menjadi ejawantah ilmuNya yang khusus. Salah satu dari bentuk-bentuk ilahiyyah
itu adalah Akal Aktif yang di dalam tradisi teologis disebut Bapak Suci, Jibril
Sang Ruhul Qudus pembawa wahyu. Para bijak Persia menyebut akal aktif ini
sebagai Ravan Bakhsh (dator
spiritis, Pemberi Ruh), sementara mistikus Persia secara simbolis
menyebutnya ‘unqa’, seekor burung
mitos dalam epik Persia.25) Organ penglihatan yang dapat
menyaksikan ide-ide Platonis adalah imajinasi aktif yang melayani akal. Setelah
itu ada sela dimana imajinasi aktif kemudian memproyeksikan penglihatan
terhadap Ide-ide Platonis ini ke sensus
communis yang caranya sama dengan cermin, 26) setelah
itulah jiwa baru dapat memahaminya pada level imajinatifnya. Ide-ide Platonis
itu bukanlah gambaran imitatif (muhakat)
persepsi indra, bukan pula suatu penggambaran-penggambaran, ia adalah gambaran
kognitif yang ril dari alam supra-indrawi.
Menurut Mulla Sadra, penyaksian (mukasyafah, visionary
event) terjadi melalui beragam cara. Ia dapat melalui persepsi penyaksian
seperti misalnya penyaksian terhadap wujud ruhiyyah dan cahaya spiritual, atau
misalnya Jibril ketika menjelma menjadi seorang Arab yang bernama Dihya Kalbi
di hadapan Rasulullah Saww. Mukasyafah dapat pula terjadi melalui
persepsi pendengaran, dan Rasulullah Saww diriwayatkan telah bersabda bahwa
beliau mendengarkan wahyu yang disampaikan oleh Jibril dalam bentuk suara yang
nyaring dan merdu, atau seperti dentingan lonceng, atau menyerupai dengungan
lebah yang setelah itu Rasulullah Saww dapat memahami maknanya. Mukasyafah
dapat pula terjadi melalui persepsi penciuman, seperti yang diriwayatkan bahwa
Rasulullah Saww bersabda: “Saya menghirup nafas Yang Maha Penyayang di sisi
kananku”; atau melalui sentuhan yang merupakan persentuhan antara dua cahaya
atau dua tubuh mitsali (antara subjek dan objek) seperti yang
diriwayatkan bahwa Rasulullah Saww bersabda: “Aku melihat Tuhanku dalam bentuk
yang paling indah. Allah meletakkan telapak tanganNya di atas kedua pundakku,
lalu kurasakan rasa dingin mengalir ke dadaku, demikianlah aku memahami apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”; atau dapat pula melalui rasa,
seperti yang diriwayatkan bahwa Rasulullah Saww bersabda: “Aku melihat bahwa
aku sedang meminum susu sampai tumpahannya mengenai kuku jariku. Aku memahami
hal itu sebagai ilmu.”
Dalam beberapa kasus, menurut Mulla Sadra, penampakan
Ruh Kudus dalam bentuk mitsali merupakan peringatan bagi orang-orang
yang lupa agar mengingat tanda-tanda Allah. Orang yang mengidap sakit
gembur-gembur, sakit pembengkakan empedu, merasa murung atau penyakit-penyakit
lainnya, mereka dapat disembuhkan melalui bayangan Ruh Suci. Dari Ruh Suci ini
mengejawantah warna-warna yang merupakan esensi-esensi warna tetapi sebenarnya dia
tidak berwarna. Demikian pula dengan rasa dan penciuman. Sains dan seni kreatif
dapat dinikmati melalui keindahannya. Suara musik yang merdu, lagu-lagu yang
indah, suara piano, suara yang menyejukkan dan lain-lain, semuanya dinikmati
juga melalui keindahannya. 27) Demikianlah bentuk-bentuk
supranatural dapat dipahami, apakah dalam keadaan sadar, antara sadar dan
tidur, atau bahkan ketika sedang bermimpi.
Dalam menjelaskan perihal adanya beberapa orang yang
melihat tubuh mitsali (dan bukan fiksional) syaitan dan jin di tempat
yang sunyi, senyap, tak berpenghuni, Mulla Sadra memberikan alasan berikut:
fakultas imajinatif secara normal biasanya disibukkan oleh persepsi indrawi.
Pada tempat yang sunyi dan senyap itu, kesibukan fakultas imajinatif terhadap
indra eksternal menjadi kurang. “Dan hal itu juga disebabkan oleh kebingungan
jiwa ketika ia mempersepsikan sesuatu yang asing; sehingga apa saja yang
berhubungan dengan keadaan, intensi dan keinginannya, akan terlihat di dunia
yang lain melalui imajinasi yang merupakan salah satu loci manifestasi sesuatu
yang asing itu Selanjutnya, proyeksi imajinasi dalam keadaan ini kemudian
terjadi di dalam sensus communis.” 28)
Mulla Sadra tak memperdulikan objektifitas pemahaman
indra eksternal atau indra internal jiwa yang mencapai mukasyafah,
persepsi imajinal, wujud imajinal, membayangkan orang-orang yang sudah
meninggal dan hidup di alam selanjutnya dengan tubuh yang ‘halus’, atau bahkan
melihat orang yang masih hidup tetapi di dalam bentuk tubuh imajinal. Alasannya
adalah, bagi Mulla Sadra, bentuk-bentuk seperti itu adalah fakta objektif
meskipun berbeda dengan fakta objektif empiris. Mulla Sadra sendiri pernah
mengalami banyak mukasyafah kognitif. Menurutnya, pemahaman
bentuk-bentuk imajinal itu datang secara tiba-tiba dan mewujud ketika imajinasi
aktif tidak terganggu oleh persepsi indra eksternal dan imajinasi internal.
Penglihatan dan bentuk-bentuk imajinal ini kemudian diproyeksikan dari imajinasi
aktif ke dalam sensus communis yang
selanjutnya dipahami oleh jiwa.
Meskipun manifestasi persepsi dan wujud imajinal tidak
kondisional, tetapi banyak orang yang dapat mengalaminya. Hal ini disebabkan
oleh keasyikan kekuatan imajinatif terhadap persepsi indrawi dan imajinasi
internal. Oleh karena itu, agar manifestasi persepsi imajinal ini bersesuaian
dengan realitas, maka diperlukan beberapa bimbingan spiritual supaya imajinasi
tersebut tidak sia-sia. Disiplin ini mencakup pemutusan terhadap urusan-urusan
dunia, serta kesenangan dan fantasi dunia yang sia-sia. Menurut Mulla Sadra,
pengetahuan tentang aturan-aturan dan hukum-hukum diskursif tentang konsep dan
pemahaman aksidental, tidaklah cukup untuk dapat membuat persepsi imajinal ini
menjadi berarti dan bermakna.29)
C. Imajinasi
sebagai Tubuh Yang Dibangkitkan Setelah
Kematian Tubuh Pisik.
Menurut Mulla Sadra, karena fakultas imajinatif
bukanlah fakultas organik yang terhubung dengan tubuh material, maka ia tidak
akan mati bersama tubuh tubuh tersebut. Bahkan, ketika fakultas imajinatif
dipisahkan dari alam materi ini melalui kematian manusia, jiwa justru masih
memiliki persepsi individual dan kesadaran indrawi yang meliputi pendengaran,
penglihatan, penciuman, rasa dan sentuhan. Fakultas imajinatif juga masih
memiliki kekuatan untuk menyebabkan gerak. Namun, seluruh kemampuan ini
terkumpul hanya pada satu fakultas yang masih hidup yakni imajinasi itu
sendiri. Karena fakultas imajinatif itu tidak berhubungan lagi dengan segala
keterbatasan lima indra tubuh pisik, juga karena fakultas imajinatif tidak
berkaitan lagi dengan kebutuhan tubuh pisik yang tergantung kepada
perubahan-perubahan dunia eksternal, maka persepsi imajinatif akhirnya dapat
menunujukkan superioritas esensialnya terhadap persepsi indra. Di dalamnya
tersimpan “efek semantik.” Maksud saya, apapun yang telah dikatakan seseorang
semasa hidupnya, baik internal maupun eksternal, akan tetap tersimpan di dalam
persepsi imajinatif. Ia menjadi tubuh ‘halus’ dan imajinal bagi jiwa, seperti “tenunan”
dari perbuatan manusia ketika masih hidup. Ia identik dengan tubuh pisik dalam
bentuknya. Maka ketika jiwa terpisah dari tubuh pisik, ia tidak kehilangan
wujudnya, justru ia mewujud melalui tubuh imajinal dan kemudian berjalan ke
alam peralihan (barzakh), yaitu dunia ide, yang selanjutnya memasuki
wilayah yang sesuai dengan sifatnya yang hakiki.
Di dunia ini, tidak ada perbedaan antara persepsi
visual dan persepsi imajinatif kecuali hal-hal berikut: bahwa ada kebutuhan
terhadap persepsi yang terus menerus bagi organ korporeal dan materi pisik.
Tetapi ketika jiwa meninggalkan dunia ini dan terpisah dari tubuh material,
maka seluruh aspek potensialitas, defisiensi dan ketaksempurnaan fakultas
imajinatif akan hilang. Melalui satu-satunya kekuatan mencipta (bi mujarrad
ikhtira’ mutakhayyilah), fakultas imajinatif kemudian menciptakan
bentuk-bentuk dan memetik panenan dari ‘efek semantik’ yang telah ditaburkan,
yaitu ketika fakultas imajinatif masih berhubungan dengan tubuh pisik di dunia
materi semasa hidupnya.
Bentuk-bentuk imajinatif ini memiliki wujud yang kuat
dan kekuatannya melebihi bentuk-bentuk yang ada di dunia ini. Hal ini karena
bentuk imajinatif tersebut lebih sederhana yang sempurna, juga karena ia bukan
lagi wujud yang tersebar di antara ekstensi-ekstensi material. Oleh karena itu,
eksistensinya yang kongkrit identik dengan eksistensinya sebagai persepsi
representatif (wujud suri idraki). Karenanya, kebahagiaan yang
diperolehnya akan terasa lebih nikmat, sementara nestapa yang dideritanya terasa
akan lebih menyakitkan.30)
Dalam mendiskusikan posisi terhormat para filosof
seperti Alexander dari Aphridisias, Themisteus dan Ibn Sina ketika mereka
menginterpretasikan pandangan Aristoteles bahwa hanya jiwa yang telah mencapai
alam akal secara aktual yang akan tetap hidup dan lainnya akan musnah setelah
kematian manusia, Mulla Sadra berkomentar: “Ada jiwa tak sempurna yang tidak
sanggup mencapai penyempurnaan akliyah. Juga ada jiwa yang mengambil pemahaman
yang keliru. Menetapkan bahwa kesemua jiwa-jiwa seperti ini akan binasa
(setelah kematian) adalah suatu tesis yang muncul dari ketidakpahaman terhadap,
(a) bahwa kekuatan imajinatif adalah murni immaterial (tajjarud al-quwwat
al-mutakhayyilah), (b) bahwa ada suatu Alam Peralihan antara dua alam yaitu
alam pisik dan alam akal” yang disebut ‘alam al-mitsal atau alam ide (mundus
imaginalis).31)
Dengan demikian, filasafat persepsi imajinatif dan
filsafat hari kebangkitan adalah dua aspek dari satu isu yang pada hakikatnya
sama. Tanpa ontologi alam-perantara, yakni alam ide, seseorang pasti terjatuh
ke dalam pemahaman: apakah mematerialkan Bentuk-bentuk penglihatan (mukasyafah)
kognitif dengan caranya sendiri, atau cara lain yang telah dilakukan oleh para
teolog dan kaum literal; atau meninggalkan paham pematerialan itu dengan
melakukan rasionalisasi seperti yang telah dilakukan oleh para filosof.
Simpulan
Akhir
Sebagai kesimpulan, dalam pandangan Mulla Sadra,
persepsi imajinatif adalah kapasitas awal kekuatan imajinatif jiwa untuk
membentuk gambaran-gambaran dan persepsi. Oleh karena itu, di dalam indra
primer, terdapat Pelaku Pertama (the prime agent) dari persepsi manusia.
Pelaku Pertama ini memiliki kapasitas untuk mensintesiskan bentuk-bentuk
indrawi ke dalam bentuk koheren yang bermakna secara luas. Ia bukan hanya
sebagai persepsi negatif yang berhadapan dengan argimentasi, tetapi ia juga
memiliki karakteristik persepsi positif. Ia adalah fakultas tunggal jiwa yang
bertanggungjawab terhadap penciptaan gambaran indrawi, citra, dan fantasi
ketika berada di bawah pengaruh fakultas estimatif; sebagai gambaran-gambaran
kreatif kognitif ketika ia melayani akal; serta memahami alam ide dengan semua
penghuni dan wujud supra-indrawinya ketika ia tidak terganggu oleh fantasi
segala permainannya serta tidak terpengaruh oleh gambaran-gambaran indra
eksternal.
Di dalam salah satu artikelnya, Toshihiko Izutsu
mengatakan: “Mazhab Aristotelian atau kelompok-kelompok skolastik terdahulu
yang mendefenisikan manusia sebagai ‘hewan yang berakal’ kelihatannya mulai kehilangan
akar pijakannya setelah digantikan oleh pandangan baru yang didasarkan pada
ide-ide simbolisme seperti ‘manusia adalah hewan pembuat mitos’ (man is a myth-making animal) dan
lain-lain.” Untuk menjelaskan kecenderungan pengikut simbolisme di dalam pemikiran
sains dan filsafat kontemporer, Izutsu memberikan defenisi yang lebih luas dan
umum bahwa manusia adalah ‘hewan pembuat dan pengguna gambaran-gambaran’ (image-producing and image-using animal)
karena ‘simbol’ dan ‘mitos’ sendiri adalah bentuk-bentuk khusus dari
gambaran-gambaran tersebut.32) Pandangan ini dalam wilayah
tertentu sama dengan pendapat Mulla Sadra. Pikiran manusia membuat
gambaran-gambaran dan citra; menciptakan pengetahuan, dan kemudian ‘menjadi’
pengetahuan itu sendiri. Dan seperti pengikut aliran romantisme dalam tradisi
Barat, Sadra juga memahami bahwa imajinasi kreatif yang melayani akal-lah yang
melahirkan seni-seni kreatif dan wawasan saintis yang luas. Tetapi Sadra
kemudian melewati pandangan ini dengan memberikan pijakan ontologis terhadap
Alam Ide dan telah menunjukkan fungsi imajinasi kreatif yang melayani akal
sebagai lokus manifestasi mukasyafah. Hal ini juga telah dilakukan oleh
pendahulunya di dalam tradisi filsafat Islam, yakni Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi.
Pun di dalam tradisi teosof Barat, Swedenborg juga memberikan wawasannya
terhadap persepsi alam ide ini. 33) Tetapi, perbedaan antara
Mulla Sadra dan para pendahulunya adalah bahwa Sadra menggabungkan antara
wawasan intuitif dengan demonstrasi filosofis yang tidak pernah dilakukan oleh
pendahulunya secara sistematis dan menyeluruh.
Catatan
1. Al-Jurjânî, Sharîf ‘Alî. Kitâb al-Ta‘rîfât.
(Beirut), hal. 6, 67.
2. Mullâ Sadrâ (Sadr al-Dîn Muhammad ibn Ibrâhim
al-Shîrâzî). Asfâr al-Arba’ah
3. Hikmah al-Muta‘âlîyah fî al-Asfâr al-‘Aqliyah al-Arba‘, (Beirut, 1981), vol. 3:507.
4. Ibid,
hal.293.
5. Beberapa catatan berharga tentang topik ini adalah: H.
Corbin. "The Theory of Visionary Knowledge in Islamic Philosophy"
diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh L. Sherrard yang dimuat di Temenos,
vol. 8: 224-237; Ibid. Terre Célestial et Corps de Résurrection De
l‘Iran Mazdéen á l‘Iran Shi‘ite (Paris, 1960); Terjemahan Bahasa Inggris Spiritual
Body and Celestial earth from Mazdeen Iran to Shi‘ite Iran, oleh N.
Pearson, (Bollingen Series XCI:2, Princeton, 1977); W. Chittick, Imaginal
World: Ibn al-‘Arabî and The Problem of Religious Diversity, (New York,
1994).
6. Mullâ Sadrâ. Asfâr, vol. 3:360
7. Ibid, vol.
8:214.
8. Ibid, hal.
226-227.
9. Ibid, hal.
227-228.
10. Catatan pinggir Mullâ Sadrâ’s untuk Sharh Hikmat al-Isyrâq
oleh Dâ’ûd Qaysarî, edisi litograf (1313H), hal. 493, 509, 513. Juga lihat
analisis H. Corbin terhadap beberapa komentar tentang isu-isu saat ini di dalam
bukunya En Islam iranien, vol. IV (Paris, 1972), hal. 54-122.
11. Asfâr, vol.
3:381.
12. Al-Shawâhid
al-Rubûbiyah, ed. S. J. Âshtiyânî, (Mashhad, 1346 Tahun Iran), hal. 205.
13. Ibn Sînâ, Abû ‘Alî. Al-Mabd’ wa al-Ma‘âd (Tehran,
1363 Tahun Iran), hal. 102-103. Juga Al-Ishârât wa al-Tanbîhât yang
dikomentari oleh Nasîr al-Dîn Tûsî, (Tehran, 1378H.), vol. 2:342
14. Al-Najât
(Qum, 1357H/1938), hal. 160.
15. Mullâ Sadrâ. Asfâr, vol. 8:179.
16. Mafâtih al-Ghayb. Diedit oleh Muhammad Khwâjû’i (Tehran, 1363 Tahun Iran), hal. 103; Asfâr,
vol. 8:179; juga Suhrawardî, Shihâb al-Dîn, “Kitâb Hikmat al-Isyrâq” di dalam Majmu‘a Dovvum, diedit
dengan kata pengantar oleh H. Corbin (Tehran: 1952), hal. 215-216.
17. Asfâr, vol.
8:178-180.
18. Nasr, S. H. “Mullâ
Sadrâ: His Teachings” di dalam History of Islamic Philosophy, Bagian
1, diedit oleh S. H. Nasr dan O. Leaman (London, 1996) hal. 643-662. Artikel
ini adalah simpulan penting tentang doktrin-doktrin umum filsafat Mullâ Sadrâ.
19. Mullâ Sadrâ. Asfâr, vol. 8:237-238.
20. Pandangan ini didasarkan pada doktrinnya tentang gerak
intra-substansial. Seperti yang diketahui oleh tokoh-tokoh Filsafat Islam bahwa
beberapa filosof Muslim khususnya Ibn Sina yang mengikuti pandangan filsafat
Aristoteles, bahwa Ibn Sina menerima pendapat tentang adanya gerak dalam
kategori kuantitas, kualitas, posisi dan tempat, serta menolak gerak di dalam
substansi yang mencakup substansi jiwa. Mulla Sadra justru berpendapat bahwa
ada gerak konstan atau ‘proses menjadi’ di dalam tubuh pisik, jiwa, di dalam
seluruh bentuk-bentuk pisik dan bahkan di dalam alam psikis ataupun alam ide.
21. Mullâ Sadrâ. Asfâr, vol. 8:160, 165, 172,
180-181; juga F. Rahman, Philosophy of Mullâ Sadrâ (Albay, 1975), hal.
222.
22. Mullâ Sadrâ. Asfâr, vol. 3:299; vol. 8:237;
juga F. Rahman, op.cit., hal. 224.
23. Ibid, vol.
9:126; Sharh Usûl min al-Kâfî. Diedit oleh M. Khwâjû’i (Tehran, 1367
Tahun Iran), hal. 448.
24. Asfâr, vol.
1:302.
25. Ibid, vol.
9:73, 142, 144.
26. Mafâtih, op.cit.
hal. 229.
27. Sharh Usûl, op.cit. pp. 453-458; Asfâr, vol. 9:144.
28. Mafâtih,
hal. 229-230.
29. Ibid. vol.
9:108.
30. Komentar Mullâ Sadra, op.cit. hal. 509; dalam
tafsirnya Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, diedit oleh M. Khwâjû’i, (Qum, 1366
Tahun Iran), vol. 1:298; Asfâr, vol. 9:372.
31. Komentar Mullâ Sadrâ’, hal. 493.
32. T. Izutsu. “Between
Image and No-Image: Far Eastern Ways of Thinking” di dalam Eranos,
vol. 48 (1979), hal. 434-435.
33. Lihat misalnya tulisan Swedenborg, Heaven and Hell (London, 1966).

[a])
Artinya yang berjalan-jalan. Istilah ini
diberikan kepada Aristoteles yang katanya pernah mengajar murid-muridnya sambil
berjalan di taman Lyceum, Athena. Di dalam filsafat Islam, pemikiran
Aristoteles banyak mempengaruhi pandangan filosof besar Islam seperti al-Farabi
(m. 339/950), Ibn Sina (m. 428/ 1037), Ibn Rusyd (m. 595/1198) dan lain-lain.
Mereka inilah yang disebut mazhab Peripatetik atau al-Masysya’iyyun. Lihat (Dictionary of Islamic Philosophical Terms,
Agustus 2002). Kecenderungan pemikiran mereka didasarkan pada spekulasi abstrak
dan rasionalisme.
[b]) Berbeda dengan mazhab
Peripetatik, mazhab iluminasi atau al-Isyraqiyyun
lebih menekankan pandangan mereka pada intuisi yang dapat diperoleh melalui
pensucian hati dibanding rasionalitas akal. Pertama kali diperkenalkan oleh
Suhrawardi, mazhab ini menggabungkan antara filsafat Plato dan Aristoteles
dengan pemahaman Zoroasterian tentang cahaya dan kegelapan yang kemudian
dijelaskan dalam pembahasan tasawwuf. Inilah kemudian yang dikembangkan oleh
Mir Damad (m. 1041/1631), Mulla Sadra dan Haji Hadi Sabzawari (m.
1295/1878). Lihat (Dictionary of Islamic
Philosophical Terms, Agustus 2002).
[c]) Sensus communis atau al-hiss al-musytarik adalah suatu fakultas pikiran yang kepadanya
“melapor” kelima indra pada manusia, istilah yang pertama kali disebutkan oleh
Aristoteles di dalam On The Soul
II.1-2. Menurut Aristoteles, untuk mengenal objek-objek indra yang umum, kita
harus mempunyai fakultas pikiran yang tunggal untuk dapat membandingkan
kualitas-kualitas tertentu yang diterima oleh indra.
[d]) Bandingkan dengan istilah-istilah persepsi pada bagian
sebelumnya. Pada bagian ini, tawahhum
atau al-wahm diterjemahkan sebagai
persepsi estimatif.
[e]) Seorang matematikawan yang lahir di Basrah, Persia pada
tahun 965, namun mengembangkan karirnya di Kairo. Karyanya yang masih tersimpan
sampai saat ini hanyalah tentang optik, astronomi dan matematika. Di dalam
bukunya, Optics, Haytsam memperkenalkan sebuah gagasan yang diperolehnya dari hasil
percobaan bahwa cahaya memancar dari setiap titik pada suatu benda bercahaya
melalui suatu garis lurus ke semua arah. Terjemahan Latin buku ini, yang ada
sejak abad 13, telah mempengaruhi Kepler dan Descartes. Lihat Columbia
Ensiclopedia, edisi keenam.
[f])
Seorang filosof dan
penginjil dari Swedia, lahir tahun 1688 dan meninggal pada tahun 1772. Di dalam
bukunya, A Hieroglyphic Key yang
ditulis pada tahun 1741, dia menjelaskan suatu doktrin korespondensi untuk
menggambarkan suatu hubungan antara tubuh dan jiwa serta antara alam lahiriah
dan alam spiritual. Juga, dengan merujuk kepada kitab Injil, dia menggabungkan
antara rasionalisme Cartesian dan empirisme Locke menjadi filsafat alam yang
terlihat di dalam keharmonisan mekanisme alam, seperti yang ditulisnya di dalam
Principia Rerum Naturalium pada tahun
1734.
[g]) Hidup antara 495 – 435 SM. Dia adalah seorang filosof
sebelum Socrates yang menyebutkan empat unsur (rizomata) untuk menjelaskan setiap perubahan, yakni tanah, air, udara dan api. Terhadap elemen-elemen
ini, ada dua kekuatan yang bekerja, Cinta yang menggabungkan dan Kebencian yang
menguraikannya. Di dalam istilah Aristoteles, Cinta ini disebut sebab efisien.
The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press, edisi
kedua, hal. 261-262.
[h]) Hidup antara 570 – 495 SM (?) Sejarah memperlihatkan
bahwa ajaran Plato justru berkembang pada abad ketiga SM atas usaha
pengikut-pengikutnya. Beberapa pengikut modern menunjukkan bahwa dia bukanlah
seorang saintis, bahkan bukan filosof sistematik. Dia bahkan tidak menulis
apa-apa, walaupun dia banyak mengajar secara lisan sehingga banyak istilah yang
lahir dari pemikirannya. Plato menyebutnya sebagai pendiri suatu pandangan
hidup, Republik. The Cambridge
Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press, edisi kedua, hal.
760-761.
[i]) Hidup antara 469 – 399 SM. Meskipun dia tidak menulis
apa-apa, namun banyak ajarannya menjadi rujukan bagi filosof setelahnya.
Pandangan dan sikap hidupnya banyak ditulis setelahnya, misalnya oleh
Aristhopanes, Plato dll. Di dalam Apology
yang ditulis oleh Plato, Socrates mengatakan bahwa satu-satunya pengetahuan
yang dimilikinya adalah bahwa dia tidak mengetahui sesuatu. Dia mengajarkan
bahwa lebih baik ditidakadili daripada berbuat tidak adil, bahwa semua bentuk-bentuk
pengetahuan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, bahwa kematian bukanlah
keburukan, dan lain-lain. Sayang, dia harus dihukum mati dengan minum racun
melalui keputusan para juri dalam suatu pengadilan karena dianggap mempengaruhi
kalangan muda dalam menolak Penguasa Kota (the
gods of the city). The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge
University Press, edisi kedua, hal. 859-860.
[j]) Lahir di Athena pada tahun 427 dan meninggal pada tahun 347 SM. Dia berguru
kepada Socrates. Pada tahun 387 SM, dia mendirikan suatu akademi yang murid
terbesarnya adalah Aristoteles. Dia banyak menulis, dan karya-karyanya yang
sangat terkenal adalah Republic
dimana dia menjelaskan secara panjang lebar teori metafisik dan moral
berdasarkan Ide-Ide-nya, Phaedo dimana
dia memperkenalkan pertama kali Idea
atau Eidos, Apology Plato, dan lain-lain. Lihat penjelasan singkat karya-karya
ini dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press,
edisi kedua, hal. 709-713.
[k]) Menurut Plato, idea
atau eidos (jamaknya ideas) adalah wujud objek-objek abstrak
tidak dibuat oleh pikiran, tetapi justru meng-ada secara bebas di luar pikiran.
Wujud objek-objek ini bersifat abadi, tidak berubah, dan bukan korporeal; dan
karena objek-objek ini tidak dapat dipersepsi, kita hanya dapat mengetahuinya
melalui pikiran. Lihat Robert Audi (editor), The Cambridge Dictionary of
Philosophy, Cambridge University Press, edisi kedua, hal. 710. Karenanya,
menurut Plato, ide-ide tersebut, yang dikenal dengan istilah al-mutsul al-Aflatuniyyah dalam filsafat
Islam, selain sebagai bentuk-bentuk wujud, ia juga menjadi objek kerinduan (eros) manusia terhadap nilai-nilai yang
lebih tinggi. (Dictionary of Islamic Philosophical Terms, Agustus 2002)
Komentar
Posting Komentar