LINGKUNGAN KERJA DAN KESEHATAN MENTAL SERTA POST-POWER SYNDROME (SINDROM PURNA-KUASA, SINDROM PENSIUN)




LINGKUNGAN KERJA DAN KESEHATAN MENTAL SERTA POST-POWER SYNDROME (SINDROM PURNA-KUASA, SINDROM PENSIUN)











                        MASITA KADIR                                             1744041007
                   HASMAWATI                                               1744041040
                   ANDI AHMAD FARID KAFRAWI AS     1744042014
                                                                       
KELAS A




JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018


A.    Lingkungan Kerja Dan Kesehatan Mental
1.      Motivasi kerja dan kesehatan mental
Motivasi kerja itu tidak hanya berwujud uang sebagai kebutuhan ekonomis yang pokok. Banyak orang dengan sukarela dan senang terus-menerus bekerja, sekalipun dia tidak lagi memerlukan tambahan kekayaan dan uang. Meskipun pribadinya dan semua anggota keluarga sudah cukup memperoleh jaminan keamanan dan finansial, namun dia tetap menyukai pekerjaannya, dan mau terus bekerja. Sebab ganjaran paling manis dari kegiatan bekerja tadi ialah nilai sosialnya: misalnya berbentuk respek dan kekaguman kawan-kawan pada dirinya, merasa senasib sepenanggungan, rasa solidaritas, esprit de corps, pemupukan jiwa juang yang sehat, dan lain-lain yang memberikan kesenangan kepada para pegawai.
Memang untuk beberapa orang yang sakit atau terganggu mentalnya atau eksentrik, bekerja merupakan penyaluran bagi dorongan pemuas egonya yang ditampilkan lewat kekuasaan dan perbuatan menguasai (bahkan juga mentiransir) orang lain. Pekerjaan jadi sumber utama bagi pencapaian kesejahteraan, status sosial, dan jaminan sosial. Karena perusahaan, organisasi, lembaga, dan jawatan merupakan sentrum sosial yang memberikan status dan  prestise sosial, ketentraman batin, kebahagiaan, dan mental yang sehat kepada pria dan wanita dalam kebudayaan modern sekarang. Sebabnya ialah, perusahaan, organisasi, lembaga dan jawatan itu memberikan:
a.       Ganjaran materiil berupa uang dan materi lain.
b.      Memberikan ganjaran sosial yang non-materiil, dalam bentuk prestise, penghargaan, dan status sosial.
c.       Semuanya itu mendukung usaha pencapaian kebahagiaan, sekuritas, ketenteraman batin, dan kesehatan mental pribadi manusianya.

2.      Insentif kerja dan mental yang sehat
Insentif ialah satu obyek eksternal yang membangkitkan motivasi dan tingkah laku untuk mencapai sasaran atau tujuan, berupa ganjaran ekstrinsik dalam pencapaian satu tujuan pokok.

Insentif-insentif lain yang non-materiil sifatnya atau yang psikologis antara lain berupa:
a.    Sekuritas emosional dan kepuasaan kerja
b.    Perolehan status sosial
c.    Relasi human yang akrab
d.   Bisa mencapai keahlian atau spesialisasi pada satu bidang
e.    Apresiasi dari kawan-kawan sejawat dan para senior, dan lain-lain.

Ganjaran dan hukuman juga bisa dipakai sebagai insentif. Dalam situasi kerja yang bagaimanapun juga, supaya diberikan kelonggaran untuk berkompetisi secara fair jujur, tanpa mengorbankan kepentingan kelompok, kepentingan orang banyak atau nasional: sehingga orang bisa berprestasi, maju, dan mendapatkan ganjaran berupa promosi. Sedangakan hukuman merupakan insentif represif/penekan sekaligus juga sebagai sanksi sosial, atau bisa berfungsi sebagai control sosial, agar orang bertingkah laku susila dan tidak melanggar norma-norma kebaikan.
Cercaan, makian, ejekan, sindirin dan sarkasme (selaku insentif negatif) bisa melukai perasaan dan harga diri seseorang: bisa menimbulkan trauma psikis dan bisa mengendorkan semangat juang atau spirit kerja. Lebih-lebih apabila cercaan dan makian itu dilontarkan dengan cara kasar dan terbuka di muka umum; pasti peristiwa sedemikian itu menimbulkan situasi yang gawat dan eksplosif.

3.      Pemimpin abnormal di tengah lingkungan kerja dan ketidaksehatan mental
Demi kelancaran jalannya perusahaan, organisasi atau jawatan, dan demi kelancaran usaha pembangunan, maka yang penting bagi kita semua ialah:
a.       Tidak menempatkan individu-individu yang egoistis dan over-ambisius yang selalu mementingkan interest sendiri dan yang gila kuasa sebagai pemimpin atau manajer.
b.      Terlebih lagi tidak mengangkat pemimpin yang tidak sanggup mengemban tanggung jawan susila.

Gila kuasa itu erat kaitannya dengan delinquency/kejahatan: sebab delinquency itu condong untuk memaksakan kemauan sendiri, agar dipatuhi oleh orang lain: dan sama sekali tidak bisa menerima kritik dan sanggahan. Sebab dengan posisi tinggi dan kekuasaan dia pasti akan mendapatkan banyak fasilitas dan lisiensi khusus. Semau perbuatan itu dilakukan untuk memuaskan ambisi-ambisi pribadi, dan keinginan menonjolkan diri sendiri secara ekstrim, yang banyak mengakibatkan kerugian dan kesengsaraan lahir batin pada orang lain (bawahan, buruh dan karyawan), serta bermacam-macam gangguan mental.
Bimbingan dan penyuluhan modern terhadap anak-anak muda delinquent yang bermasalah itu harus selalu dikaitkan denagn treatment khusus terhadap orang dewasa, orang tua, para pemimpin termasuk para guru, pemimpin organisasi, manajer pabrik serta perusahaan, dan pemimpin formal pada eselon atas. Sebab ialah: orang tua dan orang dewasa yang tengah terganggu mentalnya itu menjadi panutan buruk menyebabkan timbulnya banyak masalah sosial, kerusakan akhlak, dan penyakit mental pada anak-anak muda. Jika orang tua, orang dewasa dan para pemimpin tidak menolak memberikan  bantuan, menolak kerja sama secara kooperatif dengan para konselor, dan tidak mau mengubah perilaku sendiri yang tidak baik dan tidak terpuji, pasti tidak ada satu terapi atau obat yang bisa menyembuhkan anak-anak remaja yang sakit batin dan mentalnya.

B.     Post-Power Syndrome (Sindrom Purna-Kuasa: Sindrom Pensiun)
1.    Post-power syndrome dan tidak bekerja
Post-power syndrome adalah reaksi somatisasi dalam bentuk sekumpulan symptom penyakit, luka-luka, dan kerusakan-kerusakan fungsi-fungsi jasmani dan mental yang progresif, kare orang yang bersangkutan sudah tidak bekerja pensiun, tidak menjabat, atau tidak berkuasa lagi.
Symptom-simptom penyakit ini pada intinya disebabkan oleh banyaknya stress (ketegangan, tekanan batin), rasa kekecewaan, kecemasan dan ketakutan yang mengganggu fungsi-fungsi organic dan psikis sehingga mengakibatkan macam-macam penyakit, luka-luka dan kerusakan yang progresif (terus berkembang/meluas). Gejala psikis dan fisik yang sering tampil antara lain ialah: layu, sayu, lemas, apatis, depresif, semuanya serba salah, tidak pernah puas, dan berputus asa. Kondisi fisik dan psikis sedemikian ini jika tidak bisa dikendalikan oleh si pelaku sendiri, bahkan juga tidak bisa diperingan dengan bantuan medis dan psikiatris, maka menjadi semakin gawat, dan pasti akan memperpendek umur penderitanya.
Dengan bekerja, orang mengharapkan bahkan bisa mendapatkan pangkat, jabatan, penghormatan, dan simbol-simbol kebesaran lainnya: semua ini menajdi insentif kuat untuk meminati dan mencintai pekerjaan. Sedang tidak bekerja (menganggur, pensiun, tidak menjabat lagi, dan lain-lain) oleh banyak orang dilihat sebagai insentif negatif paling parah dan paling tidak diinginkan. Sebabnya ialah:
a.    Mereka merasa terpotong/tersisih dari orbit resmi yang sebenarnya ingin dimiliki dan dikuasai terus-menerus.
b.    Mereka merasa sangat kecewa, sedih, sengsara berkepanjangan, seolah-olah dunianya menjadi lorong-lorong buntu yang tidak bisa ditembus lagi.
c.    Emosi-emosi negatif yang sangat kuat dan kecemasan-kecemasan hebat yang berkelanjutan itu langsung menjadi reaksi somatisme yang mengenai sistem peredaran darah, jantung, dan sistem syaraf yang sifatnya serius yang bisa menyebabkan kematian.

2.    Terapi mengatasi post-power syndrome
Terapi untuk meringankan gejala-gejala sindrom pensiun ini, dan untuk memperoleh kembali kesehatan jasmani serta kesejahteraan jiwa mengarah pada integrasi struktur kepribadian, antara lain dapat disarankan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a.    Mau menerima semua kondisi baru yaitu masa pensiun/purnakarya tersebut dengan perasaan rela, ikhlas, lega, bahagia karena semua tugas-tugas pokok selaku manusia dan pejabat sudah selesai.
b.    Masa purnakarya diantisipasikan sebagai pengalaman baru, atau sebagai satu periode hidup baru, yang mungkin masih akan memberikan kesan-kesan indah dan menakjubkan di masa mendatang.
c.    Segala kebahagiaan dan puncak kehidupan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa juga semua ujian dan derita nestapa sudah dilalui dengan hati yang pasrah.
d.   Peristiwa kepurnakaryaan ini supaya diterima dengan kemantapan hati sebagai anugerah Ilahi dan sebagai kebahagiaan yang diberikan oleh lingkungan masyarakat manusia sebagai edisi hidup baru yang harus diisi dengan darmabakti dan kebaikan.
e.    Pada usia magribi para mantan harus lebih sabar, saleg, sumarah, sumeleh hati dan tidak lagi bermimpi dan berfantasi ngayawara yang bukan-bukan namun hendaknya masih mau giat berbuat.
f.     Dia tidak melakukan pembandingan dengan siapa atau apapun juga sebab  usaha sedemikian itu akan sia-sia dan menjadikan hatinya nelangsa serta meratap sedih, ngresula/kecewa.
g.    Setiap harinya dia bisa merasa semurni, seindah dan seringan dambaan bayi yang baru lahir dan dilahirkan kembali di dunia dalam kedamaian spiritual.
h.    Dia bisa membebaskan diri dari nafsu-nafsu, ambisi-ambisi, keinginan berkuasa atau nafsu untuk memiliki.
i.      Dia sudah terbebas dari segala bentuk ambivalensi (kemajemukan).
j.      Kini telah ada keseimbangan dan keserasian total dalam dirinya; yaitu dengan dunia pribadi atau jagat kecil (diri sendiri) , dan jagat besar/kosmos.















SUMBER RUJUKAN

Kartono, K. (2000). Hygiene Mental. MANDAR MAJU: Bandung.





























Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH " THAHARAH"

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

MAKALAH Perkembangan Moral