Kenabian dalam Filsafat Persepsi Mulla Sadra
Kenabian dalam
Filsafat Persepsi Mulla Sadra
Joseph Lumbard,
Yale
University, USA
Abstrak
Dalam pandangan Mulla Sadra, maqam [i]) dan manzil [ii]) wujud manusia
berkorespondensi dengan kualitas fakultas persepsinya. Pada bagian akhir masyhad dari asy-Syawahid al-Rububiyyah, “Tentang Kenabian dan Kewalian,” Mulla
Sadra menjelaskan empat tahapan perjalanan manusia yang sesuai dengan empat
tingkatan persepsi. Di dalam tiga tingkatan pertama, manusia memperoleh
pengetahuan hanya melalui fakultas indra, imajinasi (khayal) dan pemahaman (wahm).
Jika manusia tidak mempunyai persepsi, maka dia mirip dengan ulat, binatang
yang bodoh, atau maksimal seperti binatang yang pintar. Hanya pada tahapan
perjalanan yang keempat manusia benar-benar menjadi manusia, ketika dia mampu
melihat apa yang ada dibalik bentuk-bentuk pahaman yang dikirimkan oleh
fakultas-fakultas persepsi. Untuk bisa melihat dibalik bentuk-bentuk tersebut,
seseorang harus menyempurnakan fakultas-fakultas persepsinya. Maqam dimana fakultas-fakultas manusia
telah disempurnakan, disebut oleh Mulla Sadra sebagai “maqam malaikat.” Siapapun yang telah mencapai maqam ini berarti
telah mencapai batas penyempurnaan manusia, merekalah para Nabi dan Wali. Bagi
mereka, fakultas persepsi telah mencapai kesempurnaan yang akhirnya bisa
membantu dan bukan hijab lagi, “melihat segala sesuatu di dalam hakikatnya”
melalui akal. Mereka dapat menyaksikan realitas-realitas dasar (archetypal realities) tanpa suatu
perantara atau refleksi. Melalui kekuatan hads
(intuisi metafisik), [iii]) akal dihubungkan ke alam malakut sehingga semua objek pahaman
dapat diketahui dengan cepat dan jelas. Akhirnya, semua maqam dan manzil yang
berada di bawah batas kesempurnaan ini dianggap sebagai ketidakmampuan untuk
memahami karena kekurangan dan ketidaksempurnaan hads. Oleh karena itu, jalan penyempurnaan spiritual adalah jalan
penyempurnaan fakultas-fakultas persepsi sampai seseorang bisa melihat hakikat
di balik bentuk-bentuk yang dipahami oleh indra, imajinasi dan estimasi, sampai
pada pemahaman objek-objek oleh akal. Siapapun yang telah mencapai maqam ini, dia akan menjadi seorang wali
ataupun seorang nabi, yakni mereka yang telah memahami objek-objek akal di
dalam objek-objek indra dan mampu membawa objek-objek indra menjadi objek-objek
akal.
************
K
|
enabian (nubuwwah)
adalah sebuah persoalan filosofis, khususnya di dalam filsafat Islam. Karena
tidak adanya pengakuan tentang personifikasi kenabian di dalam pemahaman
terhadap dunia pada masa Yunani kuno, akhirnya masalah kenabian ini tidak
pernah dibahas sama sekali di dalam filsafat Yunani. Tradisi Kristiani pun
demikian, mereka lebih banyak berfokus pada usaha-usaha intelektual untuk
menjelaskan sifat-sifat (ketuhanan) Kristus dan konsep Trinitas, sehingga tentu
saja para teolog dari kalangan mereka tidak pernah mengembangkan secara khusus
penjelasan tentang kenabian, mereka lebih banyak mengembangkan Kristologi dan
Teologi Trinitas. Dengan demikian, ketika para filosof Muslim membahas masalah
ini, tentu saja mereka mencari pijakannya di dalam wilayah filosofis yang
benar-benar baru. Beberapa filosof Muslim yang awal, misalnya Ibn Sina dan
al-Farabi, lebih banyak mengacu pada pandangan Peripatetik mereka, membahas
konsep kenabian di dalam konteks pemahaman rasional fakultas kognitif manusia
yang didalamnya akal pahaman (al-‘aql
al-mustafad) diisi dengan realitas objek-objek akal (al-ma’qulat) melalui hubungan (ittisal)
dengan akal aktif (al-‘aql al-fa’al).
Dan pada akhirnya, mereka menjelaskan konsep kenabian hanya sebagai
kesempurnaan akal pasif saja.
Meskipun filsafat Mulla Sadra menggunakan model dan
beberapa istilah teknis yang sama, namun Mulla Sadra berbeda dengan para
pendahulunya; dalam hal ini, Sadra menjelaskan filsafat bukan hanya sebagai
penyempurnaan persepsi, tetapi juga sebagai penyempurnaan wujud – dan bahwa
wujud Nabi adalah ciptaan yang paling sempurna yang melaluinya semua ciptaan
diatur dan dijaga. Dengan demikian, para nabi adalah puncak penciptaan sehingga
dengan memahami fungsi kenabian manusia dapat memahami dirinya. Hal ini
terungkap dalam tradisi filsafat Islam yang mengatakan bahwa “tema-tema
filsafat berasal dari cahaya kenabian.” Di dalam filsafat Mulla Sadra, filsafat
dan kenabian mempunyai tujuan fundamental yang sama: “(yakni) untuk mengetahui
sesuatu dalam hakikatnya.” Di dalam bagian awal kitab al-Asfar Mulla Sadra menulis, “Ketahuilah bahwa filsafat adalah
kesempurnaan jiwa manusia untuk mengembangkan kemungkinan kemanusiaannya
melalui persepsi terhadap realitas-realitas maujud sebagaimana hakikat dan
nilai wujudnya, pengetahuan yang diperoleh melalui pembuktian, bukan melalui
pendapat dan riwayat (saja).” 1)
Sadra kemudian menghubungkan pendapatnya ini dengan doa Rasulullah Saww yang
sangat terkenal, “Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku segala sesuatu sebagaimana
adanya!” dan doa Nabi Ibrahim as “Ya Allah, berikanlah aku hikmah!.” 2)
Dengan demikian, kenabian dan filsafat mempunyai titik
akhir yang sama dalam pencapaian tingkatan tertinggi, yakni akal (al-‘aql); nabi dan filosof memahami
realitas-realitas akal tanpa perlu perantara lagi. Di samping itu, di dalam asy-Syawahid al-Rububiyyah, Mulla Sadra juga
memberikan informasi penting lainnya tentang dimensi kenabian yang menunjukkan
garis pemisah yang jelas antara kenabian dan filsafat. Filosof yang benar
berperan di dalam penyempurnaan akal, namun berbeda dengan nabi, fakultas
imajinasi (khayal) mereka tidak
sempurna. Melalui kesempurnaan akal dan fakultas imajinasinya, para nabi
mentransformasikan realitas-realitas akal ke dalam representasi imajinal yang
dapat menyingkap hakikat realitas manusia. Namun para filosof, mereka hanya
mempunyai akal yang sempurna yang dengan itu mereka bisa menyaksikan hakikat
realitas. Oleh karena itu, meskipun filosof tersebut dapat mengetahui hakikat
segala sesuatu, namun tanpa adanya bimbingan wahyu, mereka tidak akan bisa
mengetahui bagaimana harus hidup sesuai dengan realitas-realitas tersebut.
Dalam keadaan ini, nabi hadir sebagai perantara wahyu, sementara para filosof
hanya bisa mengambil bagian di dalamnya melalui inspirasi (ilham).
***********
Perhatian Mulla Sadra yang paling besar (terhadap tema
kenabian) dapat ditemukan di dalam bab terakhir asy-Syawahid al-Rububiyyah fi al-Manahij al-Sulukiyyah
(Penyaksian-penyaksian Rububiyyah di dalam Tahapan-tahapan Perjalanan Spiritual)
yang berjudul “Tentang Kenabian dan Kewalian.” Karya ini, yang lebih dikenal
dengan sebutan Syawahid saja,
dianggap sebagai karya filosofis Mulla Sadra yang terakhir sehingga memuat
pemahaman filosofisnya yang sudah sangat matang. Karya ini dibagi dalam lima
bagian panjang yang berjudul “Loci-Loci Penyaksian” (masyahid, bentuk jamak dari masyhad)
yang dijelaskan di dalam syarah
Sabzawari sebagai “titik pertemuan penyingkapan diri dan tempat manifestasi
yang membagi hati menjadi lokus manifestasi, lokus penyaksian dan lokus bagi
penyingkapan diri cahaya wujud, bahkan untuk penyingkapan pengetahuan, karena
subjek bagi hikmah ilahiyyah adalah realitas wujud….” 3) Setiap lokus dibagi lagi menjadi beberapa “peyaksian”
yang lebih kecil, sebagai petunjuk dan penjelasan. Dan setiap penyaksian
disusun dari beberapa “iluminasi” (isyraqat)
yang “sebanyak penyingkapan-penyingkapan diri dan cabang-cabang ilham.” 4)
Lokus penyaksian terakhir diberikan khusus untuk
(fungsi) kenabian. Lokus ini dibagi menjadi dua penyaksian dan sembilan belas
iluminasi sesuai dengan tema-tema yang terbentang dari derajat-derajat manusia
sampai penetapan kenabian, juga sampai kepada rahasia-rahasia hukum agama dan
aspek-aspek lahir (zahir) dan
batinnya (bathin). Inti dari teori
kenabian Mulla Sadra dimuat di dalam tiga iluminasi pertama dari penyaksian
pertama, tempat dimana Mulla Sadra memberikan penjelasan tentang kenabian dalam
hubungannya dengan capaian-capaian (maqamat)
dan tingkatan-tingkatan (darajat)
kemanusiaan. Karenanya, bagian lanjutan bab ini tidak akan bisa dipahami tanpa
adanya pemahaman yang jelas tentang prinsip-prinsip yang dijelaskan pada bagian
ini (tiga iluminasi pertama dari penyaksian pertama, ed.) yang juga
diringkaskan pada “petunjuk dari ‘arsy”
(footnote from the throne) yang
menjadi penutup penjelasan iluminasi ketiga.
Sepuluh iluminasi dari penyaksian pertama memaparkan
tentang sifat manusia dan hirarki tingkatan manusia dengan kenabian yang berada
di puncak tertinggi. Adapun sembilan iluminasi pada penyaksian kedua mencakup
pembahasan yang lebih luas (dispersif), berhubungan dengan topik-topik lain
yang tetap mempunyai keterkaitan dengan topik utama pada penyaksian pertama.
Tulisan ini akan lebih berfokus pada penyaksian pertama tadi, tempat dimana
inti filsafat kenabian Mulla Sadra dijelaskan dengan panjang lebar.
Iluminasi pertama, “Derajat Nabi Dibandingkan Dengan
Derajat Manusia,” menjelaskan empat manazil
manusia. Pada manzil pertama,
manusia berada pada derajat objek indrawi dan sifat hukumnya (hukm) sama dengan seekor ulat yang hanya
berbuat berdasarkan apa yang lahir dari persepsi indranya saja. Pada manzil kedua, manusia berbuat
berdasarkan gambaran-gambaran yang diterimanya setelah mereka tidak menggunakan
indranya lagi. Di sini, sifat hukumnya sama dengan binatang bodoh yang bereaksi
bukan hanya terhadap pengaruh indranya, tetapi juga terhadap gambaran-gambaran
indrawi yang dipikirkannya namun tidak mampu melihatnya, sehingga mereka
akhirnya melarikan diri dari binatang, apakah binatang tersebut mereka anggap
berbahaya atau tidak. Pada manzil
ketiga, manusia berada pada tingkatan objek-objek yang dipahami melalui
fakultas penilaian (wahm) yang sama
dengan “akal yang jatuh,” dimana fakultas penilaiannya mengatur semua
fakultas-fakultas dan memfungsikannya seperti akal namun tidak dapat memahami
objek-objek yang diterima oleh akal kecuali objek-objek tersebut terikat pada
partikularitas. Karenanya, fakultas penilaian pada binatang sama dengan akal
pada manusia. Dengan demikian, inilah manzil
dari manusia yang kasar, mirip dengan binatang-binatang cerdas, misalnya kuda,
yang berbeda dengan binatang bodoh, kuda tersebut mampu membedakan antara
sesuatu yang berbahaya dan yang tidak.
Manzil keempat adalah alam manusia. Pada tingkatan ini,
manusia dapat memahami segala sesuatu yang tak tampak pada indra dan yang
tersembunyi pada imajinasi (khayal)
dan fakultas penilaian. Inilah alam ruh yang disebutkan di dalam Alquran, “dan
telah aku tiupkan ke dalamnya ruhKu” (QS. 15:29). Walaupun tiga manazil
pertama secara teknis merupakan bagian dari alam manusia, namun hanya pada manzil keempatlah manusia bisa menjadi
makhluk spiritual dan bisa disebut sebagai “manusia” (al-insan). Dalam menjelaskan kualitas manusia yang telah mencapai manzil ini, Mulla Sadra mengatakan,
Di dunia ini, pintu-pintu
langit terbuka baginya sehingga dia bisa menyaksikan ruh-ruh tersingkap (mujarrad) dari hijab
wadah-wadahnya……(yakni) realitas-realitas yang sangat halus tersingkap dari
pakaian yang menutupi dan dari hijab gambaran-gambaran yang berbeda-beda, yang
telah disaksikan oleh para pemimpin-pemimpin tertinggi jalan spiritual pada
malam mi’raj. 5)
Mulla Sadra percaya bahwa manzil ini telah dicapai oleh para filosof seperti Plato, Socrates,
Phytagoras, Empedocles, dan Aristoteles. Ketika keluar masuk ke dalam alam
indrawi yang lebih sering dialami oleh mereka yang berada pada tiga manazil pertama dapat dimisalkan dengan
berjalan di atas tanah, maka (memasuki) realitas rahasia (sirr) alam manusia sama dengan berjalan di atas air. Di atas ini,
masih ada lagi satu tingkatan yang sama dengan berjalan di atas udara, inilah
alam para malaikat.
Mulla Sadra kemudian melihat bahwa tiga alam – indra,
manusia, malaikat – yang terdiri dari beberapa tingkatan, maqamat dan manazil
manusia, bersesuaian dengan fakultas-fakultas indra, imajinasi, dan akal. Di
antara alam-alam ini, terdapat alam setan yang bersesuaian dengan sesuatu yang
dipahami oleh fakultas penilaian (al-mawhumat).
Namun, alam ini bukanlah alam yang memiliki sifat-sifat yang sama dengan yang
lainnya, sebab fakultas penilaian yang dengannya alam ini berkorespondensi
tetap tergantung pada fakultas imajinasi dan akal sehingga tidak mempunyai
realitas yang terpisah dari kedua fakultas tersebut. Mulla Sadra menulis,
…..Fakultas penilaian tidak mempunyai
alam di luar dari tiga alam (alam indra, manusia, dan malaikat, pent.) sebab
apa yang dipahami oleh fakultas penilaian bukanlah sesuatu yang berbeda dengan
apa yang dipahami oleh imajinasi dan akal. (Yang dipahami oleh fakultas
penilaian) hanyalah sesuatu yang berjalan maju dan mundur di kedua fakultas ini
tanpa adanya posisi yang jelas. Karena itu, alam fakultas penilaian sifatnya
juga seperti itu. Kecenderungan dari setan, anak keturunan dan bala tentaranya
adalah membuat kerusakan dan mengikuti hawa nafsu – membawa kepada api
kejahatan. 6)
Dengan demikian, karakteristik wujud manusia adalah
kualitas persepsinya yang dalam hal ini hanya ada di alam terakhir, yakni alam
akal, dimana manusia dapat mencapai pemahaman (tentang kebenaran) dan bimbingan
yang benar, tempat dimana manusia bisa menjadi manusia yang sebenarnya. Mulla
Sadra menulis,
Semua alam tersebut merupakan manazil bimbingan, tetapi bimbingan
kepada Allah hanya bisa diperoleh di alam terakhir, yakni alam ruh……Dengan
demikian, maqam dan manzil manusia, baik yang tinggi maupun
yang rendah, sangat tergantung kepada persepsinya……sehingga manusia berada di
antara wujud seekor ulat, seekor binatang, seekor kuda dan setan. Tetapi ketika
dia melewati wujud-wujud ini, dia akan menjadi malaikat. 7)
Pada alam malaikat, terdapat beberapa maqamat dan derajat. Tiga maqamat yang
pertama adalah:
1. Malaikat dunia
2. Malikat langit
3. Malaikat yang didekatkan (al-muqarrab), yang tidak mempunyai lagi keterhubungan dengan langit
dan dunia, yang “telah dianugrahi berada di dalam kehadiran Tuhan dan abadi
dalam kehidupan (baqa’)” sementara
yang lain berjalan kepada kehancuran (fana’).
8) Menurut Mulla Sadra,
inilah salah satu makna ayat Alquran “Semua yang ada di bumi itu akan binasa,
Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS
55:26-27)
Disini Mulla Sadra menjelaskan maqamat kaum sufi yang terkenal tentang ketiadaan (annihilation) dan keabadiaan (subsistence) yang bagi banyak sufi
merupakan dua maqamat terakhir pada
perjalanan spiritual. Namun dalam pandangan Mulla Sadra, maqamat ini bukanlah dua maqamat
yang terpisah, tetapi justru menunjukkan dua aspek dari maqam yang sama. Juga bagi Mulla Sadra, alih-alih menganggap bahwa
keabadian merupakan maqam tertinggi, Sadra justru melihat satu maqam yang melebihi kedua maqamat tadi. Inilah maqam dari para malaikat yang terpilih.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mulla Sadra, “dari derajat para malaikat,
seseorang naik ke derajat para pecinta, yakni mereka yang menginginkan
kedekatan dengan Yang MahaMulia, yang dianugrahi keindahan dalam kehadiran
Tuhan, (mereka) yang terus menerus bertasbih dan memuji Allah.” 9) “Inilah puncak dari
kesempurnaan manusia, yakni maqam
para Nabi dan para Wali.” 10)
Karena maqamat dan
manazil manusia berhubungan dengan
kapasitas persepsinya, maka pencapaian puncak kesempurnaan manusia harus
menggabungkan tiga fakultas persepsi: akal, imajinasi dan indra. Setiap bentuk
yang dipahami (al-surah al-idrakiyyah)
merupakan salah satu jenis eksistensi (wujud),
dan pada setiap wujud tersebut terdapat satu fakultas, suatu persiapan (isti’dad) dan suatu persepsi. Oleh
karena itu terdapat hubungan antara penyempurnaan dan fakultas-fakultas
persepsi. Kesempurnaan akal manusia adalah untuk menyaksikan para malaikat yang
telah didekatkan kepada Allah. Alih-alih menggunakan imajinasi untuk
mendiskusikan tingkatan berikutnya, Mulla Sadra justru membicarakan fakultas
pemisah bentuk (al-musawwar) yang
merupakan imajinasi dalam fungsinya untuk menyimpan bentuk-bentuk pahaman.
Penyempurnaan fakultas pemisah bentuk adalah untuk menyaksikan bentuk-bentuk
dasar (al-asybah al-mitsaliyyah) dan
melihat sesuatu yang tak tampak. Pada tingkatan yang paling rendah, yakni pada
fakultas indra, kesempurnaan mensyaratkan intensitas pengaruh terhadap materi
pisik, ketundukan fakultas-fakultas dasar kepada fakultas indra, dan pemenuhan
komponen-komponen tubuh dengan fakultas indra. Kesempurnaan dari ketiga
fakultas persepsi ini merupakan tanda kenabian,
Barangsiapa yang telah mencapai
kesempurnaan ketiga fakultas ini, maka dia telah mencapai derajat orang yang
dipilih oleh Allah dan layak memimpin ummat manusia. Dia adalah seorang pesuruh
Allah yang kepadanya wahyu diturunkan, yang diberikan mukjizat sebagai penolong
dalam melawan musuh, dan dialah yang telah memiliki tiga anugrah. 11)
Tiga anugrah (khasa’is)
dalam penjelasan Sadra ini adalah tiga tingkatan persepsi. Anugrah pertama
adalah jiwa yang suci dalam kapasitas pemahamannya, yang memiliki kesamaan yang
kuat dengan “Ruh Agung,” yakni ia dapat berhubungan dengan Ruh Agung tersebut
tanpa usaha maupun refleksi (tafakkur)
yang keras. Inilah anugrah terbaik dari kenabian, karena ia mengantarkan (para
nabi) kepada “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya.” 12) Di dalam tafsir puitis
ayat cahaya 13) yang dipinjam dari al-Isyarat-nya Ibn Sina, Sadra menyebutkan anugrah pertama ini,
“Minyak dari akal pasifnya hampir memancarkan cahaya karena tingkat
persiapannya terhadap cahaya akal aktif…..meskipun api bimbingan manusia tidak
menyentuhnya dengan pemantik pikiran dan besi api pengujian.” 14) Bagi Mulla Sadra,
sebagaimana Ibn Sina, kapasitas ini adalah “intuisi metafisik” (hads). Mengikuti Ibn Sina, Mulla Sadra
mengatakan bahwa nabi ditandai oleh kekuatan dan kecepatan hads yang dimilikinya, “Dengan intensitas hads yang besar, baik secara kuantitas maupun kualitas, maka
kecepatan penyatuan dengan alam malakut akan semakin besar pula. Di dalam
rentang waktu yang singkat, nabi (dapat) memahami hampir semua pahaman-pahaman
akal melalui hads bersama cahaya pemahaman
yang agung yang disebut sebagai ruh-nya yang suci.” 15) Semua maqamat
dan manazil manusia mempunyai
kekurangan dan ketidaksempurnaan hanya karena lemahnya kekuatan hads ini.
Seseorang yang telah melewati tingkatan hads yang paling rendah dan sampai di
puncak penyempurnaan akan mencapai jiwa suci dan akan memahami pahaman-pahaman
akal terakhir dengan cepat tanpa perlu adanya perantara petunjuk. Dia kemudian
akan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi yang tidak diketahui oleh orang
kebanyakan. Inilah tingkatan para nabi dan wali.
Walaupun para wali mempunyai persamaan dengan para
nabi dalam kesempurnaan akalnya, namun mereka berbeda dalam kesempurnaan
imajinasinya. Dengan kesempurnaan fakultas imajinasi ini, para nabi dapat
menyaksikan bentuk-bentuk Platonis yang tak tampak dan mereka juga dapat
mendengar suara-suara dari malaikat penghubung. Penglihatan (mereka) adalah
wahyu yang diantarkan oleh para malaikat, sementara pendengarannya adalah
petunjuk dari Allah. Dengan anugrah kedua ini, para nabi (dapat) mengalami
kesadaran puncak di alam tak tampak, ketika orang-orang lain mengalamiya hanya
dalam mimpi.
Meskipun Mulla Sadra tidak menjelaskannya secara
eksplisit, namun terlihat bahwa dalam pandangan Mulla Sadra para nabi dan wali
dapat mencapai kesempurnaan indra yang sama. Alasannya adalah, bahwa melalui
fakultas inilah mu’jizat nabi dan karamah wali dapat terwujud. Ketika
seseorang mempunyai anugrah seperti ini, maka fakultas gerak jiwanya akan
terkuatkan sedemikian rupa sampai mereka bisa mempengaruhi materi pertama (hayula) alam dunia ini. Dengan kekuatan
yang sama, mereka bisa pula menghilangkan bentuk partikular dan membungkus
materi dengan bentuk yang baru. Bagi Mulla Sadra, kekuatan para nabi dan wali
dalam mempengaruhi alam ini merupakan bagian dari setiap kekuatan jiwa terhadap
alamnya sendiri. Sebagaimana setiap orang mempunyai pengaruh tertentu terhadap
alam ini, maka ada di antara jiwa yang mampu menguasai prinsip-prinsip alam
secara sempurna sehingga jiwanya menjadi jiwa alam itu sendiri. Inilah
karakteristik khusus kenabian, yakni kemampuan seorang nabi untuk menggabungkan
“susunan-susunan” (configurations)
dari tiga kekuatan di dalam dirinya, yakni akal, ruh dan indra. Mulla Sadra
menyimpulkan iluminasi ketiga dengan “petunjuk dari arsy” yang menjelaskan
sifat-sifat hubungan ketiga kekuatan ini. Akhirnya simpulan inipun menjadi
semacam ringkasan pemahaman Mulla Sadra terhadap konsep kenabian itu sendiri.
Substansi kenabian adalah
seperti tempat perpaduan cahaya-cahaya dari akal, jiwa dan persepsi indra.
Sehingga melalui ruh dan akalnya, seorang nabi adalah malaikat yang didekatkan
(kepada Allah), dan melalui penglihatan jiwa dan pikirannya, dia adalah bintang
di langit (heavenly body) yang
diangkat dari kenistaan yang dimiliki oleh binatang, dia adalah lembaran yang
dilindungi dari sentuhan setan. Melalui indranya, dia adalah malaikat, dia juga
adalah bintang di langit, dan dia adalah seorang raja. Semua itu dapat
dicapainya karena dia memadukan tiga susunan dengan kesempurnaannya masing-masing.
Ruhnya datang dari langit tertinggi, jiwanya datang dari langit pertengahan,
dan sifat-sifatnya datang dari langit paling bawah. Karenanya dia adalah
pilihan Allah dan menjadi lokus yang di dalamnya disatukan semua wujud
nama-nama Allah dan kalimat Allah yang sempurna. 17)
Dalam pengertian ini, setiap anugrah harus dilihat
sebagai perpaduan dan aktualisasi semua potensialitas dari fakultas tertentu
dan karenanya menjadi wujud kesempurnaan fakultas tersebut. Melalui
penyempurnaan setiap fakultas persepsi, nabi memiliki semua yang berhubungan
dengan persepsinya di alam ini. Melalui ruhnya, nabi memiliki semua yang
dipahami oleh akal, melalui jiwanya nabi memiliki semua yang ada di alam
imajinasi, dan melalui indranya nabi memiliki semua objek indra dari alam pisik
ini. Pemahaman ini berdasarkan pada penyatuan (ittihad) antara yang memahami dan yang dipahami yang menjadi teori
pokok di dalam epistemologi Mulla Sadra. Sebagaimana yang ditulis oleh Mulla
Sadra di dalam Kitab al-Masya’ir,
“setiap bentuk yang dipahami, apakah itu bentuk akal ataupun bentuk indra,
adalah penyatuan wujud tersebut dengan wujud orang yang mempersepsinya….setiap
bentuk yang dipahami – katakanlah bentuk akal – maka wujudnya di dalam dirinya
sendiri dan wujud orang yang memahaminya dengan akal merupakan satu wujud tanpa
adanya perbedaan sama sekali.” 18)
Dengan demikian, kesempurnaan fakultas-fakultas persepsi bukanlah kesempurnaan
akal semata, namun yang lebih penting adalah kesempurnaan ontologis; bahwa
“pengetahuan semata-mata adalah kehadiran wujud tanpa adanya hijab.” 19) Kehadiran nabi (terhadap
realitas Wujud) lebih kuat dibandingkan dengan yang lain, dan kehadiran
wujudnya akan lebih menguatkan kehadiran wujud-wujud lain terhadap realitas
Wujud di dalam wujud itu sendiri dan di dalam penyingkapan wujud tersebut
terhadap wujud-wujud empiris (contingent
beings). [iv]) Melalui kesempurnaan dan
kekuatan fakultas imajinasinya, nabi membawa objek-objek imajinasi yang murni
refleksi dari objek-objek akal bagi mereka yang tidak mempunyai akal yang
sempurna, sehingga merekapun dapat menyaksikan realitas akal. Melalui
hukum-hukum agama, nabi menunjukkan jalan kepada manusia untuk mengaktualkan
potensialitas jiwanya dengan membimbing mereka di jalan yang sesuai dengan
realitas-realitas akal.
Untuk mendiskusikan hubungan antara alam dan
fakultas-fakultas persepsi yang sesuai dengan alam tersebut, Mulla Sadra
menggunakan perumpamaan Alquran, melukiskan jiwa sebagai lembaran-lembaran yang
terjaga (lauh) dan akal sebagai pena
Allah (al-qalam al-ilahi). Dengan
perumpamaan ini, kita dapat mengerti hubungan antara wujud-wujud akibat dengan
realitas dasarnya. Wujud-wujud akibat adalah semua yang mewujud di dunia ini
yang datang dari “lembaran-lembaran suci” tempat dimana mereka dilindungi sebelumnya.
Bentuk-bentuk wujud tersebut mewujud di alam “doa bijak” (wise invocation) dan ditulis oleh Kebenaran Pertama (al-haqq al-awwal) pada lembaran-lembaran
jiwa-jiwa di langit (heavenly souls).
Dengan cara ini, bentuk-bentuk tersebut tidak datang dari prinsip pertama
secara langsung, tetapi melalui “kesamaan-kesamaan tersembunyi” (mutsulun ghaybiyyatun) yang bagi Mulla
Sadra adalah bentuk-bentuk Platonis.
Penjelasan ini memberikan hirarki metafisik dari semua
wujud yang sangat penting di dalam espistemologi Mulla Sadra. Sesungguhnya,
manusia mengetahui bukan melalui pikirannya, tetapi melalui jiwa dan ruhnya.
Dalam hal ini, ruh pada hakikatnya sama dengan akal itu sendiri. Hubungan
antara ruh dan jiwa menjadi syarat dalam setiap persepsi. Tetapi kebanyakan
manusia mengalami kekeliruan karena mereka tidak menyadari sepenuhnya masalah
ini, mereka tidak menggunakan kekuatan ruh dan jwanya secara langsung. Bagi
Mulla Sadra, persepsi terhadap segala yang maujud melalui indra pada dasarnya
adalah persepsi terhadap bentuk-bentuk dasar yang terefleksikan di dalam jiwa.
Seseorang yang telah mencapai maqam
yang lebih tinggi, dia akan mampu mencerap segala sesuatu di dalam realitas
dasarnya melalui jiwa dan ruh. Pencapaian wujud pengetahuan inilah yang merupakan pendakian bagi jiwa.
Mulla Sadra menulis,
Pencapaian padanya (yakni maqam yang lebih tinggi dimana manusia
dapat memahami realitas dasar melalui jiwa dan ruh, ed.) adalah karena
penyatuan jiwa-jiwa kita dengan substansi-substansi mulia jiwa yang mengandung
(bentuk-bentuk) partikular temporal dari berasal dari (bentuk-bentuk) universal
sebagai refleksi dari persepsi manusia. Dengan demikian, jiwa-jiwa tersebut
mempunyai pelaku-pelaku pengontrol universal yang menyusun (bentuk-bentuk)
partikular sedemikian sehingga (bentuk-bentuk tersebut) mengalir dari
prinsip-prinsip akal di atas lembaran-lembaran jiwa-jiwa mulia sebagai contoh
bentuk; dan dengan cara inilah, jiwa akan terbimbing oleh fakultas
imajinasinya. 21)
Melalui penyatuan seperti ini, pandangan dan nasehat
jiwa menjadi sempurna dan dapat melihat wujud di alam yang tak tampak.
Penyatuan ini dapat terjadi melalui dua cara. Pertama, sensasi-sensasi yang
lebih rendah tidak mengalihkan jiwa dari persepsi-persepsi yang lebih tinggi
dan imajinasinya mempunyai kekuatan tertentu sehingga ia mampu menyaksikan
sesuatu yang tampak maupun tidak. Di antara bentuk dari penyatuan pertama ini
adalah wahyu murni dan (wahyu) yang lebih lemah sehingga lebih dekat kepada
penglihatan di dalam mimpi. Yang kedua adalah, penyatuan yang dicapai oleh
fakultas-fakultas yang, walaupun lebih lemah,
tetapi mempunyai kemampuan untuk mencapai penyatuan karena kapasitasnya dalam belajar
dan kerelatifan tantangan yang mereka hadapi.
Bagi Mulla Sadra, jiwa manusia secara alami diarahkan
untuk menyatu dengan realitas-realitas akal. Dalam masalah ini, Mulla Sadra
menulis di bagian awal iluminasi keenam, “Tentang Perbedaan Antara Wahyu, Ilham
dan Bimbingan” (On the difference between
revelation, inspiration and instruction) bahwa,
…Jiwa manusia disiapkan untuk
mencerap penyingkapan realitas semua wujud – baik wujud wajib maupun wujud
mungkin. Jiwa hanya tertutupi dari wujud-wujud tersebut melalui sebab-sebab
eksternal…..misalnya pembatas antara jiwa dan lembaran yang terjaga, yang
merupakan substansi dari apa yang telah digariskan oleh Allah sampai hari
kebangkitan.22)
Dengan demikian, secara defenisi, nabi adalah
seseorang yang memadukan kesempurnaan tiga alam di dalam dirinya dan karenanya
dia mampu memahami segala sesuatu di ketiga alam tersebut sebagaimana adanya.
Dia adalah sebenar-benar manusia, sehingga seluruh kualitas kemanusiaan
merupakan refleksi dari kualitasnya. Dalam pengertian ini, pemenuhan kualitas
manusia merupakan proses peyingkapan atau pelepasan, bukan pencapaian atribut-atribut
yang meningkatkan kualitas seseorang. Hijab yang menutupi kebenaran hakiki akan
tersingkap ketika seseorang telah terlepas dari satu wujud menuju wujud yang
lain, ketika seseorang bergerak dari satu alam ke alam yang lain sampai jiwanya
menjadi akal, yang memahami dan yang dipahami. 23) Ketika hijab antara jiwa dan akal telah hilang,
“realitas-realitas pengetahuan dari cermin-cermin lembaran akal akan
disingkapkan kepada lembaran jiwa.” 24)
Penyingkapan ini terjadi melalui dua proses, apakah melalui usaha dan tafakkur ataupun melalui pemberian. Yang
pertama berhubungan dengan pelajaran dan bimbingan yang disebut oleh Mulla
Sadra sebagai “jalan perolehan” (iktisab),
sementara yang kedua merupakan sumber wahyu dan ilham. Di dalam al-Syawahid, Mulla Sadra memperjelas
sumber dan tujuan umum dari kedua jalan ini, serta memberikan sedikit evaluasi
komparatif bentuk-bentuk bimbingan dan karunia; tetapi pada tulisan yang lain,
Mulla Sadra mempercayai bahwa pengetahuan yang benar hanya datang melalui
karunia dari Allah. Pada bagian tentang kenabian di dalam Mafatih al-Ghaib, Mulla Sadra menjelaskan secara rinci metode yang
harus ditempuh agar seseorang dapat mencapai realitas “yang esensinya adalah
kesederhanaan realitas,” melalui penggunaan pikiran yang bebas, yang merupakan
alat utama pada jalan bimbingan dan perolehan. Akan tetapi, Sadra juga
memberikan catatan bahwa, metode seperti ini “hanyalah benih dari penyaksian –
yang tidak mempunyai hubungan (wusul)
dengan akar dari segala akar.” 25)
Oleh karena itu, meskipun Mulla Sadra mengakui kedua bentuk (penyingkapan)
tersebut, namun dia lebih mempercayai karunia yang dengannya “angin dari berkah
Allah berhembus sehingga hijabpun tersingkap dan penutup terangkat dari
penglihatannya, dan apa yang ada di lembaran tertinggi akan terbuka
(baginya)….” 26)
“Tiupan ruh,” sebagaimana Mulla Sadra menyebutnya,
terdiri dari dua jenis: ilham yang berhubungan dengan para wali dan wahyu untuk
para nabi. Kedua hal tersebut adalah “untuk menyaksikan malaikat yang
memberikan ilham yang datang dari Tuhan kepada realitas-realitas, dimana
malaikat ini adalah akal aktif yang mengilhamkan pengetahuan di dalam akal
pasif…..” 27)
Kadang-kadang hal itu terjadi melalui peleburan hijab-hijab dan kadang-kadang
terjadi seperti cahaya kilat.
Jalan “ilham” berhubungan dengan (jalan) “perolehan”
di dalam sifat-sifat penerimaannya, lokus, dan cara keberlanjutannya, tetapi
ilham ini terpisah di dalam cara penyingkapan hijab dan arahnya. Sebaliknya,
“wahyu” tidak terpisah dengan ilham dalam segala hal kecuali “intensitas
kejelasan, cahaya, dan penyaksian terhadap malaikat yang membuat bentuk-bentuk
akal.” 28) Akhirnya,
ketiga jalan ini adalah sama dalam prosesnya, “karena pengetahuan… tidak datang
kepada kita kecuali melalui perantaraan malaikat-malaikat akal – yakni
akal-akal aktif…” 29)
Nilai penting dari sumber-sumber (pengetahuan) umum ini adalah bahwa ia
memberikan suatu epistemologi yang memuat legitimasi terhadap semua bentuk
pengetahuan agama dan intelektual, atau sebagaimana yang diistilahkan oleh
Mulla Sadra, ia memberikan “pengetahuan-pengetahuan instruksional” (al-’ulum al-ta’limiyyah) [v]) dan
“pengetahuan-pengetahuan presensial” (al-‘ulum
al-laduniyyah). [vi])
Inti permasalahan dari diskusi ini adalah kepercayaan
Mulla Sadra bahwa persepsi (idrak)
sama dengan penyatuan (ittihad),
sehingga pencapaian setiap jenis pengetahuan berhubungan dengan transformasi
ontologis yang di dalamnya baik “yang memahami” maupun “yang dipahami” akan
melewati jalan yang dilalui oleh semua ciptaan yang diturunkan ke dunia ini.
Alam akal sama dengan pena Allah, sementara jiwa
memuat lembaran yang terjaga (al-lawh
al-mahfuz) dan lembaran-lembaran penghapusan dan penetapan hukum-hukum
Allah yang tertulis. Semua wujud datang dari apa yang telah dituliskan oleh
pena Allah pada lembaran-lembaran ini. Dengan demikian, setiap wujud merupakan
tulisan akal pada lembaran jiwa yang daripadanya tercipta semua bentuk-bentuk
material. Sebagaimana yang ditulis oleh Mulla Sadra, “eksistensi adalah ciptaan
akal yang pertama, kemudian jiwa, kemudian indra, dan kemudian materi.” 30)
Pengetahuan manusia berusaha untuk mendaki jalan yang
dilalui oleh eksistensi ketika “diturunkan.” Jika seseorang memahami wujud
ragawi, pengetahuan memasukkan wujud tersebut ke dalam indra, kemudian ke dalam
fakultas imajinasi, dan jika dia mencapai tingkatan pengetahuan yang lebih
tinggi, maka realitas pahaman akal dasar wujud tersebut akan diterima oleh
akal. Oleh karena itu, pendakian pengetahuan merupakan refleksi kebalikan dari
penurunan (atau penciptaan) wujud, sebagaimana yang dikatakan oleh Mulla Sadra,
“Allah adalah tempat datang dan tempat kembali.” Ketika seseorang menaiki
tangga pengetahuan, kemudian memahami realitas-realitas yang lebih tinggi, maka
dia juga akan mengalami peningkatan di dalam wujud. Hal ini terjadi karena
semua eksistensi merupakan wajah Allah yang menjadi Wujud Absolut. Dengan
demikian, persepsi terhadap setiap wujud berhubungan dengan suatu derajat
penyatuan dengan Allah; karena “persepsi manusia terhadap alam dalam setiap tingkatannya
adalah penyatuannya dengan alam serta persepsinya terhadap wujud alam itu
sendiri.” 31) Seseorang
yang telah mencapai tingkatan yang tertinggi, yakni akal, maka pada hakikatnya
dia telah menyatu dengan semua wujud; yakni ketika dia telah mencapai “maqam ilahiyyah” seperti yang ditulis
oleh Mulla Sadra,
Ketika manusia telah mencapai maqam ilahiyyah ini, maka dia telah
memasuki derajat ilahiyyah dan menyerap kekuatanTuhan, dan dia kemudian
menyaksikan pena dan lembaran yang pernah diceritakan oleh Rasulullah (Saww)
ketika diperjalankan di waktu malam sampai ketika Rasulullah (Saww) mendengar
suara goresan pena – sebagaimana yang firmankan oleh Allah – “..agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 17:1) 32)
Dalam pandangan Mulla Sadra, ada dua tingkatan pena
dan dua tingkatan lembaran. Pena yang tertinggi adalah untuk menulis
realitas-realitas pengetahuan akal pada lembaran yang terjaga di dalam suatu
bentuk tulisan yang tidak bisa berubah, sementara pena yang tingkatannya lebih
rendah adalah untuk menulis hukum-hukum Allah pada lembaran yang masih mungkin
untuk berubah. Namun, lembaran yang lebih rendah ini memiliki kedudukan yang
agung, karena dari lembaran inilah lahir hukum-hukum agama dan kitab yang
diturunkan kepada para nabi. 33)
Mulla Sadra memberikan pernyataan yang cukup jelas tentang hubungan kedua
tingkatan ini ketika Mulla Sadra menulis, “hubungan antara pena tertinggi
dengan pena yang lebih rendah sama dengan hubungan antara fakultas akal dengan
sensasi indra dan imajinasi kita, dan hubungan antara lembaran yang terjaga
dengan lembaran yang lebih rendah sama dengan hubungan antara tempat
penyimpanan pahaman-pahaman akal universal dengan tempat penyimpanan
sensasi-sensasi partikular kita.” 34)
Hubungan inilah yang menjadi kunci bagi Mulla Sadra
dalam memahami hukum-hukum agama; bahwa semua yang dituliskan pada
lembaran-lembaran dan halaman-halaman yang mengandung hukum juga dituliskan
oleh Kebenaran Pertama (al-haqq al-awwal)
dengan pena tertinggi. Dengan demikian, hukum-hukum agama merupakan refleksi
dari prinsip-prinsip akal yang alam di bawahnya akan diatur sesuai dengan
prinsip-prinsip akal tersebut. Hukum-hukum agama adalah alat yang dengannya keberlanjutan
prinsip-prinsip (ilahiyyah) dijaga di alam indra. Hal itu merupakan kebutuhan
metafisik karena tak ada sesuatupun, bagaimanapun dasarnya, yang benar-benar
dihilangkan dari alam di atas alam indra
yang menentukan realitasnya. Atau, seperti yang dijelaskan oleh Mulla Sadra,
segala sesuatu mempunyai wajah, yang sifatnya partikular, yang dihadapkan
kepada Allah. 35) Dalam
pemahaman ini, Mulla Sadra mempercayai bahwa ketaatan kepada hukum-hukum agama
adalah alat yang dengannya manusia mempertahankan keberlangsungan layak dari
sifat-sifatnya dan alam itu sendiri. Dan bagi orang yang benar-benar taat, maka
“tindakannya adalah tindakan Kebenaran, yang tidak ada satupun motif dalam
tindakannya selain apa yang diinginkan oleh Kebenaran, dan keinginannya larut
dalam keinginan Kebenaran itu sendiri.” 36)
Dengan demikian, hidup dalam ketaatan kepada hukum agama pada hakikatnya adalah
hidup yang sesuai dengan sifat-sifat dasar manusia. Itulah kehidupan yang
sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditulis oleh pena yang lebih rendah pada
lembaran yang lebih rendah, yang juga menjadi hidup yang sesuai dengan derajat
ilahiyyah yang telah dituliskan oleh pena tertinggi pada lembaran yang terjaga,
karena “pena tertinggi menulis semua bentuk sesuatu yang mengalir dari pena-pena
yang lebih rendah pada lembaran yang terjaga – baik penghapusan maupun
penjagaan.” 37)
Karenanya, hukum agama adalah karunia yang dapat mengarahkan sifat-sifat
manusia yang mematuhinya, dengan menjaga wujudnya agar tetap sejalan dengan
realitas akal yang daripadanya wujud manusia tersebut mengalir.
Karena hukum agama disesuaikan dengan sifat-sifat
dasar manusia yang terbuka baik terhadap pahaman indra maupun pahaman akal –
lahir dan batin, maka hukum agama pun mempunyai dua sifat. Adapun kedua sifat
ini merupakan karakteristik dari hukum agama itu sendiri.
Hukum agama itu sama dengan
setiap individu manusia yang mempunyai sifat lahiriah yang dikenal dan sifat
batin yang tersembunyi – yang pertama adalah pahaman indra dan yang kedua
adalah pahaman akal. Sifat batin ini merupakan ruh dan maknanya. Adapun sifat
lahiriahnya mengada melalui sifat batinnya dan sifat batinnya terbentuk dari
sifat lahiriahnya. Yang pertama dimilikinya adalah kerangka penopang (sustaining shell) dan yang terakhir
adalah intinya yang murni (pure
engendered core). 38)
Dengan demikian hukum agama itu akan kurang bermanfaat
jika seseorang tidak memahami sisi lahir dan batinnya, atau sisi penampakan dan
ruhnya. Jika seseorang mematuhi hukum agama dan memenuhi syarat-syaratnya hanya
untuk mencari sesuatu untuk dirinya sendiri, maka dalam kepatuhan ini dia tidak
berhubungan dengan sisi batin hukum tersebut. Dalam keadaan ini, tentu saja
hukum agama tidak akan membantunya dalam proses pendakian spiritual karena dia
mengggunakan hukum agama hanya untuk melayani kepentingannya sendiri. Bagi
Mulla Sadra, orang yang seperti ini terperosok ke dalam “….materi indrawi yang bekasnya akan cepat
berlalu, yang menipu orang yang kaku di dalam bentuk dan terpisah dari ruh
kepastian.” Sebaliknya, seseorang yang dekat dengan pengetahuan tentang
realitas, yang memahami sifat batin hukum agama, tetapi kemudian gagal dalam
melihat sifat-sifat lahir dari hukum agama tersebut, maka dia tidak akan
mendapatkan apa-apa. Mulla Sadra mengatakan,
Ketika dia ingin mengalami
keterpisahan bentuknya sebelum waktunya, dan (ketika dia) membicarakan hikmah
dan kesempurnaan sebelum kematangannya, maka pasti realitasnya (haqq)
tidak akan menemukan apa-apa dan pengetahuannya akan mengalami kehancuran. 39)
Nabi adalah wakil Tuhan (the vicegerent), yang
“berdiri di perbatasan antara alam akal dan alam indra.” 40) Dua sifat sebagai wakil Tuhan (vicegerence)
didasarkan pada dua sifat hati yang mempunyai dua pintu: satu terbuka pada alam
lembaran yang terjaga dan yang lain terbuka pada fakultas berpikir (cognitive)
dan fakultas batin (motive). Karena hati terbuka pada alam lembaran yang
terjaga, maka hati akan cenderung kepada akal, dan karena hati juga terbuka
pada fakultas yang lebih rendah, maka hatipun akan cenderung pada nafsu dan
godaan. Dengan demikian, manusia menjadi makhluk yang unik karena di dalamnya
tersimpan akal dan nafsu, sementara para malaikat hanya memiliki akl dan
binatang hanya memiliki nafsu. Itulah karenanya, manusialah satu-satunya yang
diberikan hukum-hukum agama yang dapat mengatur nafsu dan keinginannya nya agar
sesuai dengan akal.
Berdasarkan pembagian dua sifat ini, Mulla Sadra
mengenal tiga kelompok manusia. Manusia yang paling rendah adalah mereka yang
mengikuti hawa nafsu dan akhirnya “terperangkap di dalam penjara duniawi,
terjerat dalam ikatan dan belenggu dunia….yang kepada merekalah pintu-pintu
langit akan tertutup dan pintu menuju neraka akan terbuka, demi menyelamatkan
mereka yang ingin bertobat dan memperbaiki dirinya.” 41) Demikian juga bagi mereka yang melarutkan dirinya di
dalam ma’rifat kepada Allah (‘irfan)
dan penyatuan dengan alam malakutnya, yang (hatinya) bergetar dalam rintihannya
kepada Allah….merekalah yang akan terpilih menjadi kekasih-kekasih Allah yang
kepadanya pintu-pintu langit akan dibuka.” 42)
(Inilah kelompok manusia yang kedua). Dan manusia yang memperoleh tempat yang
tertinggi adalah nabi yang “kadang-kadang bersama dengan Allah karena kecintaan
kepadaNya, dan kadang-kadang bersama manusia karena kasih sayang dan kecintaannya
kepada mereka.” 43) Bagi
nabi, pintu dimensi akal dan dimensi nafsu dari sifat-sifat kemanusiaannya
dibukakan kepadanya lebar-lebar sehingga dia dapat mempertemukan kedua dimensi
tersebut. Melalui wujudnya, nabi mengatur seluruh pahaman-pahaman indra agar
sesuai dengan pahaman-pahaman akal yang daripadanya pahaman terhadap
objek-objek indra tersebut berasal. Dengan demikian, terjalin suatu hubungan
yang sangat penting untuk merujukkan kelompok yang rendah kepada kelompok yang
tinggi, yang pada akhirnya merujuk kepada wujud dasar itu sendiri.
Nabi juga mempunyai hati yang
memiliki dua pintu, pertama adalah pintu batin yang terbuka kepada lembaran
yang terjaga yang melaluinya nabi menerima pengetahuan, sedangkan yang kedua
adalah pintu yang terbuka kepada indra yang melaluinya nabi dapat memahami
kondisi manusia untuk kemudian membimbingnya kepada kebaikan dan
menyelamatkannya dari kejahatan. 44)
Dan inilah derajat kemanusiaan yang paling tinggi,
Dia telah menyempurnakan
esensinya…melalui apa yang telah diberikan oleh Tuhan ke dalam hati dan
akalnya, dia kemudian menjadi salah seorang di antara kekasih-kekasih Allah dan
seorang ‘arif billah; dan melalui apa yang telah diberikan oleh Allah ke
dalam fakultas imajinasinya, dia kemudian menjadi pembawa pesan dan pemberi
peringatan terhadap apa yang akan terjadi, pembawa berita tentang apa yang
telah terjadi dan apa yang sedang terjadi pada saat ini. 45)
Teori kenabian Mulla Sadra sangat dipengaruhi oleh
pemahaman psikologis dan pemahaman “yang dikembalikan kepada prinsip dasar”
dari konsep kenabian yang dikembangkan di dalam karya-karya Ibn Sina. Akan
tetapi, Mulla Sadra tidak mempertahankan penjelasan Ibn Sina yang relatif
bersifat psikologis kognitif, Sadra justru memberikan penjelasan dimensi psikologis
dan intelektual kenabian sebagai bagian dari fungsi ontologis. Kemampuan nabi
untuk memahami bentuk-bentuk persepsi dari objek akal, objek imajinasi dan
realitas indrawi menunjukkan kemampuan kognitif sekaligus wujud yang sempurna,
yakni nabi dapat memahami segala sesuatu sebagaimana adanya dan nabi mampu
untuk memahami dirinya sendiri. Dalam hal ini, wujud yang dipahami dan wujud
yang memahami menjadi satu wujud tanpa adanya perbedaan lagi. Karena nabi
adalah wujud yang sempurna, maka wujudnya menjadi lokus yang menjadi sumber
rujukan dan menjadi lokus yang melaluinya wujud kembali ke asalnya. Tanpa
kenabian, maka tidak akan ada media perantara dalam keterhubungan yang terus
menerus antara alam yang lebih rendah dengan prinsip tertinggi – akar dari segala
akar. Dalam keadaan ini, maka tidak akan ada makhluk.
Tugas nabi sebagai pembawa pesan, pemberi peringatan
dan petunjuk, merupakan perantara Tuhan dalam mengatur mahkluk ciptaannya.
Posisi nabi sebagai wakil Tuhan bukanlah hanya sebagai fungsi representatif,
tetapi posisi itu merupakan keharusan realitas ontologis. Fungsi nabi merupakan
totalitas dimana umat manusia menjadi salah satu bagiannya dan fungsi tersebut
menjadi sumber yang kepadanya semua maqamat dan manazil
kemanusiaan mengalir. Karena itu, semua manusia mengambil bagian di dalam
fungsi tersebut dalam derajat yang berbeda-beda, jika tidak, mereka tidak akan
mencapai kemanusiaannya. Jika seseorang telah melalui semua maqamat dan manazil, dia akan menjadi diri hakiki dan menjadi bagian dari realitas
manusia dalam derajat yang lebih tinggi. Dalam hal ini, dia tidak hanya
memahami lebih banyak, tetapi dia memang menjadi lebih baik. Inilah jalan
filsafat. Seseorang yang telah mencapai maqamat
yang lebih tinggi adalah filosof-wali. Seperti nabi, dia akan melihat segala
sesuatu “sebagaimana adanya,” tetapi berbeda dengan nabi, dia tidak akan dapat
melihat realitas akal di dalam kesadarannya sebagaimana yang dapat
disaksikannya ketika dia sedang tidur, dan bahwa fakultas imajinasinya tidak
dapat menghadirkan pahaman akal di dalam bentuk yang dapat dipahami oleh orang
kebanyakan. Setiap tahapan yang dilaluinya akan membuatnya lebih sempurna,
karena dia memahami realitas akal yang lebih tinggi dan menjadi sadar terhadap
realitas tersebut. Dalam hal ini, kesempurnaannya juga dapat tercapai karena
wujud yang dipahami dan wujud yang memahami (dalam hal ini adalah wujudnya
sendiri, ed.) menjadi satu dalam wujud yang sama.
Beberapa
Rujukan
1.
Nasr,
S. H. The Transcendent Theosophy of Sadr ad-Din Shirazi. Tehran, 1978.
2.
“Sadr
ad-Din Shirazi” in A History of Muslim Philosophy. Ed. M .M. Sharif.
Wiesbaden: Otto Harowitz, 1966.
3.
Rahman,
Fazlur. The Philosophy of Mulla Sadra. Albany, NY: SUNY Press, 1975.
4.
Rahman,
Fazlur. Prophecy in Islam. London: George Allen & Unwin Ltd., 1958.
5.
Shirazi,
Sadr ad-Din. al-Hikmat al-muta`alliyya fi l-asfar al-arba`a al-`aqliyya.
4 Volume. Tehran, 1387/1958.
6.
Shirazi,
Sadr ad-Din. Ash-Syawahid ar-Rububiyyah fi manahij as-suluk. Editor
Jalal ad-Din Asytiyani. Tehran, 1981.
7.
Shirazi,
Sadr ad-Din. Mafatih al-ghayb. Ed. Muhammad Khajavi. Tehran, 1984.
8.
Shirazi,
Sadr ad-Din. Kitab al-Masya`ir. Ed. Henri Corbin. Tehran, 1982.
Catatan
1.
Sadr
ad-Din Shirazi. al-Hikma al-muta`alliyya fi l-asfar al-arba`a al-`aqliyya,
vol. 1, bagian 1, Tehran 1387/1958, hal.20.
2.
Ibid.
hal.21.
3.
Hajj
Mulla Hadi Sabzawari. Ta`liqat bar ash-Shawahid ar-rububiyya. Editor.
Jalal ad-Din Ashtiyani. Tehran, 1981, hal.384.
4.
Ibid.
hal.384
5.
Sadr
ad-Din Shirazi. ash-Shawahid ar-rububiya fi l-manahij as-sulukiyya Ed.
Jalal ad-Din Ashtiyani. Tehran, 1981, hal.339.
6.
Ibid.
hal.339.
7.
Ibid.
hal.339-40.
8.
Ibid.
hal.340.
9.
Ibid.
hal.340.
10. Ibid. hal.340.
11. Ibid. hal.341.
12. Ibid. hal.344.
13. ”Allah adalah cahaya langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu ada di dalam kaca (dan) kaca itu
seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan
minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS. 24:35)
14. ash-Shawahid ar-rububiyya,. hal.341.
15. Ibid. hal.342.
16. Ibid. hal.343.
17. Ibid. hal.344.
18. Sadr ad-Din Shirazi, Kitab al-masha`ir,
Editor. Henri Corbin, Tehran, 1982, hal.51.
19. Ibid. p.50.
20. ash-Shawahid ar-rububiyya,. hal.346.
21. Ibid. hal.347.
22. Ibid. hal.347-8.
23. al-Asfar, v.3, hal.362.
24. ash-Shawahid ar-rububiyya,. hal.347.
25. Sadr ad-Din Shirazi. Mafatih al-Ghayb.
Ed. Muhammad Khajavi. Tehran, 1984. hal. 483-4.
26. Shawahid. hal.348.
27. Ibid. hal.349.
28. Ibid. hal.349.
29. Ibid. hal.349.
30. Ibid. hal.351.
31. Ibid. hal.351.
32. Ibid. hal.351.
33. Ibid. hal.351.
34. Ibid. hal.353.
35. Ibid. hal.352.
36. Ibid. hal.352.
37. Ibid. hal.353.
38. Ibid. hal.370.
39. Ibid. hal.372.
40. Ibid. hal.355.
41. Ibid. hal.355.
42. Ibid. hal.355.
43. Ibid. hal.355
44. Ibid. hal.356.
45. Ibid. hal.356.

[i])
Maqam (jamak, maqamat)
secara literal artinya “tempat berdiri,” atau “station” dalam bahasa Inggris. Secara istilah, maqam dapat diartikan sebagai kesadaran permanen jiwa manusia dalam
mencapai pengetahuan tentang Allah. Menurut Abul Hasan ‘Ali al-Hujwiri, seorang
sufi Persia yang meninggal 469/1077, maqam
adalah keteguhan seseorang untuk menempuh jalan spiritual.
[ii]) Manzil (jamak, manazil) adalah suatu istilah yang
menunjukkan tahapan-tahapan perjalanan spiritual manusia. Pada beberapa
literature, kata maqam dan manzil diartikan sama, namun dalam beberapa literatur yang lain juga
masih dibedakan. Pada bagian ini kami menterjemahkan maqam
sebagai capaian (dari kata station)
dan manzil adalah tahapan perjalanan
(dari kata way-station).
[iii]) Yakni kemampuan pikiran untuk membuat kesimpulan dari
gambaran objek-objek, atau kemampuan untuk melihat hubungan antara
premis-premis dan kesimpulan melalui iluminasi mental.
[v]) Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui premis-premis logis.
Dalam pengertian ini, al-’ilm
al-ta’limiyyah sama dengan al-‘ilm
al-hushuli. Lihat bagian 8 dalam buku ini.
[vi]) Ilmu yang diperoleh melalui kehadiran Allah Swt, yakni
pengetahuan tentang sesuatu secara spiritual melalui kehadiran Allah Swt. Secara
istilah, al-‘ilm al-laduniyyah sama
dengan al-‘ilm al-hudhuri. Lihat
bagian 8 dalam buku ini.
Komentar
Posting Komentar