FEMINIS (Konseling Berwawasan Gender)
FEMINIS
(Konseling
Berwawasan Gender)

Oleh:
Kelompok 10
Hasmawati 1744041040
Masita Kadir 1744041007
Andi Ahmad Farid Kafrawi As 1744042014
PSIKOLOGI
PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2018
A. Pengertian Konseling Feminis
Konseling feminis berbeda dengan teori atau pendekatan konseling
lainnya. Konseling ini didirikan atas usaha bersama oleh banyak orang sehingga
tidak ada pendiri tunggal, ada beberapa pribadi yang telah memberikan
kontribusi terhadap terapi feminis yaitu Jean Baker Miller, Carol
Giligan, Carolyn Enns, Laura S. Brown, Lillian Coma Diaz, dan Olivia Espin.
Terapi feminis merupakan sebuah model bantuan konseling untuk
individu atau komunitas yang mengalami masalah dalam kehidupan kesehariannya
yang disebabkan adanya penyimpangan gender yang mengakibatkan terjadi
kesenjangan sosial yang sangat menekan perasaan, kepribadian, harapan, dan
cita-cita individu. Pandangan terapi feminis tentang perkembangan
kepribadian manusia bahwa konseling feminis memperhatikan faktor-faktor
psikologis sekaligus pengaruh sosiologis terhadap konseli.
Konseling feminis berfokus pada isu gender dan kekuatan (power)
sebagai inti dari proses terapi. Proses sosialisasi perempuan dan laki-laki tak
pelak akan berpengaruh pada perkembangan identitas, konsep diri, tujuan dan
aspirasi, dan kesejahteraan emosionalnya. Sebagaimana ditemukan oleh Natalie
Rogers, pola sosialisasi wanita selama ini membuat wanita cenderung menyerahkan
kekuatannya dalam pergaulan, bahkan hal itu seringkali tanpa disadari. Terapi
feminis menggunakan pengetahuan/konsep sosialisasi gender dalam memberikan
konseling kepada pada para konseli.
Sosialisasi peran gender dalam terapi feminis pria didorong
untuk bersikap dan bertindak cerdas, berprestasi, asertif, dan mengejar
cita-cita. Sebaliknya, wanita diupayakan untuk memiliki kebijaksanaan yang
dikenal dengan “intuisi wanita”, namun dicegah untuk maju secara intelektual,
kompetitif, atau agresif. Meskipun para wanita saat ini sudah tidak
diperlakukan seperti beberapa dekade lalu, mereka masih tetap diharapkan untuk
mendahulukan keluarga dan menomorduakan karier dan kegiatan lainnya. Laki-laki
dituntut untuk menjadi mandiri.
Konseling feminis tidak hanya memberikan layanan pada konseli
perempuan, ia juga melayani konseli laki-laki, pasangan, keluarga dan
anak-anak.
B. Tujuan Konseling Feminis
Menurut Enns, tujuan konseling feminis berkisar pada
pemberdayaan, menghargai perbedaan, berusaha melakukan perubahan (dari pada
hanya sekedar penyesuaian), kesetaraan, menyeimbangkan independensi dan interpendensi,
perubahan sosial, dan self nurturance (penyesuaian diri). Enns juga
menambahkan bahwa tujuan kunci konseling adalah untuk membantu individu agar
dapat memandang diri sebagai agen kepentingan dirinya dan kepentingan orang
lain. Yang pasti, tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk menghilangkan
diskriminasi serta segala bentuk penindasan lainnya di masyarakat.
Pada level individual, konselor feminis bekerja untuk membantu
para wanita dan pria agar mengenali, menuntut, dan mendapatkan power personal
mereka. Pemberdayaan konseli merupakan inti dari konseling ini, yang
merupakan tujuan jangka panjang konseling. Dengan diberdayakan, konseli akan
mampu membebaskan dirinya sendiri dari ikatan-ikatan peran gender serta dapat
menantang tekanan-tekanan institusional atas dirinya.
Menurut Worell dan Ramer konseling feminis membantu konseli
untuk:
1)
Menyadari proses sosialisasi peran
gendernya sendiri.
2)
Mengidentifikasi pesan-pesan yang
telah terinternalisasi dalam dirinya untuk kemudian menggantinya dengan yang
lebih konstruktif ( membuatnya lebih dapat berkembang).
3)
Memperoleh
keterampilan-keterampilan untuk melakukan perubahan pada lingkungan.
4)
Mengembangkan sejumlah perilaku
yang dipilih secara bebas.
5)
Mengevaluasi dampak faktor-faktor
sosial terhadap kehidupannya.
6)
Mengembangkan rasa personal dan
daya sosial.
7)
Mengenali kekuatan relasi dan
hubungan
8)
Mempercayai pengalaman pribadi dan
intuisinya.
Secara lebih khusus, Kelin,
Sturdivant, dan Enns memaparkan bahwa tujuan konseling feminis adalah body
image yakni sensualitas yang sering dicirikan untuk wanita dan laki-laki.
Karena masyarakat memang sangat mementingkan kemenarikan fisik bagi wanita.
Sehingga tujuan konseling feminis adalah untuk membantu
individu-individu agar menerima kondisi fisik dan seksualitasnya, serta tidak
menggunakan standar orang lain dalam menilai kondisi fisiknya sendiri.
Keputusan orientasi seksual juga harus diputuskan oleh individu tanpa adanya
paksaan dari orang lain.
C. Teknik- teknik Konseling
Konseling feminis telah mengembangkan beberapa teknik dan
beberapa telah dipinjam dari pendekatan tradisional dan disesuaikan dengan
model konseling feminis. Teknik-teknik terapi feminis ialah:
1.
Empowerment (Pemberdayaan)
Strategi utama dari terapi feminis adalah
memberdayakan klien. Terapis menjelaskan harapan, mengidentifikasi tujuan dan
melakukan kontrak dengan konseli yang akan memandu proses konseling. Konselor
juga menjelaskan cara kerja konseling sehingga tidak membingungkan dan
menjadikan konseli sebagai mitra yang aktif dalam proses konseling. Hal ini
membuat konseli belajar bahwa dia bertanggung jawab atas arah, waktu dan
prosedur konselingnya.
2. Gender Role Analysis
Analisis peran gender mengeksplorasi dan
menilai dampak harapan peran gender pada kesejahteraan psikologis konseli dan
menggunakan hasil analisis ini untuk membuat keputusan tentang perilaku peran
gender dimasa yang akan datang. Analisis peran gender berperan untuk mendukung
perubahan konseli.
3. Gender Role Intervention
Konselor menggunakan intervensi peran gender
untuk memberikan wawasan bagi konseli tentang bagaimana harapan sosial telah
mempengaruhi kondisi psikologisnya. Pernyataan konselor akan memberikan
pencerahan bagikonseli untuk berfikir lebih positif tentang kaum perempuan dan
bagaimana dia bisa berkontribusi untuk anak-anak perempuan muda dimasa depan.
4. Assertiveness Training
Konselor mengajarkan dan mempromosikan perilaku
yang tegas sehingga konseli menjadi sadar akan hak-hak mereka yang melampaui
harapan-harapan sosial, mengubah keyakinan negative dan melakukan perubahan
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Konselor dan konseli mempertimbangkan
perilaku tegas yang sesuai dengan budaya. Konseli membuat keputusan tentang
kapan dan bagaimana menggunakan keterampilan baru itu dan konselor akan
membantu konseli untuk mengevaluasi dan mengantisipasi konsekuensi dari sikap
tegasnya itu.
5. Reframing dan Relabeling
Reframing dilakukan dengan maksud agar konselor
tidak menyalahkan konseli tapi mempertimbangkan sumber masalah konselidari
faktor sosial masyarakat. Relabeling adalah memperbaiki lebel jelek yang
melekat pada dirinya menjadi lebel baru yang baik.
6. Social Action
Aktivitas sosial adalah kualitas yang penting
dari koseling feminis. Konselor menyarankan kepada konseli untuk
berpartisipasi dalam kegiatan atau lembaga-lembaga sosial. Hal ini membuat
konseli dapat memberdayakan dirinya sendiri.
7. Group Work
Kelompok kerja adalah suatu teknik konselor
untuk membuat kelompok ataupun menyarankan konseli untuk bergabung dalam suatu
kelompok untuk mendiskusikan masalah-masalah atau pengalaman-pengalaman yang
mereka alami dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini dapat menyediakan jejaring
sosial bagi mereka, dapat mengurangi perasaan terisolasi, menciptakan lingkungan
yang kondusif dan membantu menyadari bahwa mereka tidak sendirian.
8. Bibliotherapy
Dapat
mengunakan buku nonfiksi, buku- buku psikologi dan konseling, otobiografi,
buku- buku self- help, video- video pendidikan, film dan bahkan novel
9.
Keterbukaan
Hubungan antara konselor dengan konseli dibangun melalui
keterbukaan. Keterbukaan tidak hanya sharing informasi dan pengalaman
tetapi ada hubungan timbal balik antara konselor dengan konseli.
10. Latihan untuk asertif
Konselor
membantu konseli untuk bersikap asertif sehingga konseli mempunyai kesadaran
tentang hak-haknya. Membantu mengubah stereotype negatif peran gender, mengubah
keyakinan yang negatif dan mengimplementasikan perubahannya dalam kehidupan.
D. Kelompok- kelompok gerakan feminis
Ada tiga kelompok gerakan
feminis berpengaruh pada kemunculan teori feminis yaitu:
1.
feminis
liberal
Feminisme liberal merupakan
kelompokpaling moderat diantara kelompok feminis, karena feminisme liberal
membenarkanperempuan bekerja sama dengan laki-laki dan dapat diintegrasikan di
dalam semua peran.Dengan kata lain tidak ada kelompok jenis kelamin yang lebih
dominan. Kesetaraanperempuan tidak harus dilakukan dengan perubahan secara
struktural tetapi cukup denganmelibatkan perempuan dalam berbagai peran.Feminis liberal melihat perempuan pantas
mendapatkan kesetaraan karena mereka memiliki kemampuan yang sama dengan
laki-laki
2.
feminis
sosialis
Barbara Brown (2006: 16);
Corey (2005: 344) menyebut kelompok feminis sosialis sebagai cultural
feminist karena gerakannya berusaha untuk mendekonstruksi kualitas hubungan
antara laki-laki dengan perempuan. Aliran ini menolak anggapan tradisional dan
para teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki karena
faktor biologis dan latar belakang sejarah.Feminis sosialis menganggap bahwa solusi bagi
masalah-masalah masyarakat harus mempertimbangkan golongan, ras, dan ekonomi.
3.
feminis
radikal
Gerakan feminisme radikal
berupaya merasionalkan bahwa laki-laki adalah masalahbagi kaum perempuan.
Barbara Brown (2006: 16); Corey (2005: 344) menjelaskan bahwasistem patriarkhi
merupakan penyebab terjadinya penindasan terhadap kaum perempuanoleh laki-laki.
Keyakinan ini sangat kental dan menguat di kalangan feminis radikal,
namungerakan feminisme radikal mendapat tantangan dari kalangan kaum feminis
liberal karenadianggap terlalu mendeskreditkan kaum laki-laki.
4. Feminis kultural
Feminis kultural
meyakini feminisasi budaya untuk membuatnya lebih nurturing,intuitif,kooperatif
dan rasional.
5. Feminis pasmodern
Feminis
pasmodern menangani isu tentang realitas dan mengusulkan banyak kebenaran
sebagai lawan kebenaran tunggal. Mereka mendekonstruksikan polaritas-polaritas
seperti maskulin-feminim dan menganalisis bagaimana konstrak-konstrak tersebut
diciptakan.
- Feminisme global-internasional
Feminisme global-internasional
mengambil perspektif dunia dan mengasumsikan bahwa perempuan di berbagai
belahan dunia yang mengalami berbagai sistem penindasan yang unik.
Barbara Brown (2006: 1-2)
menjelaskan bahwa dalam konseling feminis ada dua halpokok yaitu pertama, memperkaya
kajian secara rasional pada bidang yang berkaitandengan jenis kelamin (sex),
gender, feminisme, psikologi perempuan, keragaman budaya,empowerment. Kedua,
mengeksplorasi keunggulan secara psikologis terhadap hubunganyang egaliter
antara konselor dengan konseli. Pendekatan feminis berusaha
mengeliminasiketidakadilan dalam prosedur penilaian secara psikologis agar
menjadikan pihak perempuanmenjadi lebih baik.
Marecek dan Hare-Mustin
mendeskripsikan tiga prinsip konseling gender (orientationfeminist to
therapy) yaitu sebagai berikut.
1.
Pendekatan
untuk memunculkan kesadaran gender, konseli belajar membedakan antara problem
perilaku dalam dirinya dengan konstruksi sosial yang terbangun dalam
masyarakat. Pendekatan ini sama dengan pendapat Gilbert, the personal is
political.
2.
Women-validating
process, konseli belajar menilai
pengalaman-pengalamannya dan mengenali kekuatan-kekuatan pada dirinya.
3.
Hubungan
secara egaliter antara konseli dengan konselor ditujukan untuk mendorong
kepercayaan dirinya, dan berperan aktif dalam proses konseling.
2.
Terdapat 4
(empat) isu yang melandasi konseling feminis, yaitu:
1.
Setiap
orang memiliki kapasitas yang sama dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya.
2.
Konselor
sebagai salah satu orang yang berperan dalam membantu membuat pilihan hidupnya
harus mampu menjadi teladan bagi konseli.
3.
Ada
keyakinan nilai yang didasarkan pada standar-standar etis pada saat proses
konseling maupun alternatif pilihan yang dibuat.
4.
Memerlukan
keterlibatan pihak eksternal (masyarakat) untuk membangun konstruksi gender.
DAFTAR PUSTAKA
Jones, R. N. 2006. Teori Dan
Praktik Konseling Dan Terapi. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Sanyata, S. 2010. Aplikasi Terapi FeminisPada Konseling Untuk
Perempuan Korban KDRT. Jurnal Bimbingan
dan Konseling,13 (1): hal 1- 12
Septiani, E. A. 2015. Konseling Feminis Untuk Meningkatkan Peran
Ayah Waria Di Bojonegoro. Skripsi UIN
Sunan Ampel Surabaya: hal 24- 52
Komentar
Posting Komentar