Dua Issu Penting Dalam Filsafat Mulla Sadra: Gerakan Substansial dan Hubungannya dengan Penjelasan Tentang Waktu, Serta Prinsipalitas Eksistensi M.T. Misbah Yazdi,
Dua Issu Penting Dalam Filsafat Mulla Sadra: Gerakan
Substansial dan Hubungannya dengan Penjelasan Tentang Waktu, Serta
Prinsipalitas Eksistensi
M.T. Misbah Yazdi,
Imam Khomeini Education and Research
Institute, Iran.
Abstrak
Tulisan ini ingin menyinggung tentang dua isu penting
dalam filsafat Sadrian. Bahasan pertama ingin menjelaskan tentang sifat-sifat
gerak di dalam substansi dalam hubungannya dengan waktu. Semua wujud korporeal
mempunyai dimensi keempat yang dipersepsi oleh indra secara tidak langsung,
sebagai tambahan terhadap tiga dimensi indrawi yang nisbatnya adalah volume.
Eksistensi dimensi keempat ini dapat ditunjukkan secara rasional. Itulah
dimensi waktu. Tulisan ini akan menjelaskan hubungan antara waktu dan gerak di
dalam doktrin Wujud Mulla Sadra. Selanjutnya, dalam bahasan kedua akan
dipaparkan teori gerakan substansial dengan mengkaji prinsipalitas Wujud di
dalam kontingen dan wujud korporeal.
************
Pendahuluan
|
S
|
ebelum memasuki isu utama dalam tulisan ini,
pertama-tama kita akan membahas konsep gerak terlebih dahulu. Gerak biasanya
didefenisikan sebagai ‘pergeseran suatu objek dari satu titik ke titik yang
lain’. 1) Juga bisa
dianggap sebagai suatu gerak jika konstituen suatu objek, dan bukan objek itu
sendiri, berubah kedudukannya seperti perputaran pada suatu kincir angin. 2) Namun, di dalam istilah
filsafat, gerak mempunyai pengertian yang lebih luas: pada sebuah apel,
perubahan warna dari hijau menjadi kuning yang berubah lagi menjadi merah juga
disebut sebagai gerak yaitu ‘gerak kualitatif’ (harakah kayfiyyah), demikian juga pertumbuhan sebuah pohon dari
kecil menjadi pohon yang besar disebut gerak kuantitatif (harakah kamiyyah). Dengan dasar ini, gerak kemudian dapat
dikategorikan menjadi empat jenis: gerak spasial (harakah intiqaliyyah), perputaran (harakah wad’iyyah), gerak kuantitatif (harakah kamiyyah), dan gerak kualitatif (harakah kayfiyyah). 3)
Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa di dalam istilah filsafat, tidak semua
perubahan dapat disebut gerak.
Pergeseran atau perubahan keadaan suatu objek dapat disebut sebagai gerak jika
dua syarat gerak terpenuhi. Kedua syarat itu adalah: pertama, perubahan itu
tidak boleh ‘tiba-tiba’ (daf’i)
tetapi harus gradual (tadriji), juga
bahwa perubahan itu harus mempunyai ekstensi temporal walaupun hanya sesaat
saja. Kedua, perubahan itu harus mempunyai ekstensi yang dapat dibagi secara
tak terbatas, bukan kumpulan atom-atom yang tidak dapat dibagi (seperti dalam
pahaman atomisme). [i]) 4) Juga harus ditambahkan bahwa seperti pada setiap
garis, dan bukan bagian-bagian garis yang mempunyai ujung dan pangkal, ekstensi
setiap gerak tidak boleh mempunyai bagian-bagian aktual apapun yang menunjukkan
titik atau kumpulan titik tertentu. 5)
Jika tidak, keadaan pada point 4 di atas
tidak akan menghasilkan suatu gerak. Dengan kata lain, sebuah gerak sama dengan
sebuah garis dan bukan kumpulan bagian-bagian garis yang dibatasi oleh
titik-titik (pada garis tersebut). Sekarang, setelah memahami beberapa defenisi
di atas, marilah kita mendiskusikan topik utama dalam tulisan ini.
Catatan
Singkat Sejarah Teori Gerak Substansial
Filosof-filosof awal yang mempercayai adanya wujud
gerak (berbeda dengan mazhab Eleatik [ii]) yang menolaknya),
membatasi defenisi gerak hanya dalam empat kategori aksidental yang telah kita
sebutkan sebelumnya, dan menganggap bahwa gerak pada kategori lainnya,
khususnya gerak di dalam substansi, adalah tidak mungkin.6) Argumen mereka tentang ketidakmungkinan adanya gerak
di dalam substansi adalah bahwa mereka mempercayai gerak sebagai keadaan yang
dinisbatkan kepada sebuah subjek dengan substansi yang konstan. Jika substansi
subjek tersebut mengalami fluks atau perubahan, kita tidak punya lagi subjek
yang kepadanya gerak tersebut dapat dinisbatkan. Dengan kata lain mereka
percaya bahwa, hipotesis gerak substansial adalah hipotesis tentang ‘sebuah
gerak tanpa objek yang bergerak’ atau ‘sebuah karakteristik tanpa sebuah objek
yang dikarakteristikkan.’ 7)
Pendapat ini kemudian diterima oleh filosof-filosof
Muslim baik dari mazhab peripatetik maupun mazhab iluminasi. Selama beberapa
abad, pendapat ini menjadi rujukan tanpa pernah dipermasalahkan sampai akhirnya
muncul Mulla Sadra (m. 1641) dengan doktrinnya yang original dan sangat
terkenal tentang gerak substansial (harakah
jawhariyyah). 8)
Sadra membantah argumen para pendahulunya dan memperlihatkan
kelemahan-kelemahan mereka. Di dalam studi ringkas ini, pertama-tama kita akan
menjelaskan salah satu argumen Mulla Sadra tentang gerak substansial, yakni
argumen yang juga menjelaskan tentang kebenaran waktu, dan selanjutnya kita
akan melakukan kritik terhadap pendapat yang menolak adanya gerak substansial
tersebut.
Bukti
Tentang Adanya Gerak Substansial
Sebagai tambahan terhadap tiga dimensi objek-objek indrawi
yang disebut sebagai volume, semua wujud korporeal [iii]) mempunyai dimensi keempat
yang dipersepsi oleh indra secara tidak langsung, tetapi wujud dimensi keempat
ini ditunjukkan melalui suatu argumen bahwa dimensi keempat itu adalah dimensi waktu
wujud-wujud korporeal tersebut. Sebagai contoh, sebuah tanaman tumbuh dalam
beberapa hari tertentu, mulai dari mekarnya biji dan munculnya bunga-bunga,
kemudian suatu saat nanti tanaman tersebut akan musnah dan mati dalam beberapa
hari, demikianlah seterusnya ia akan mengikuti suatu siklus dan akan hidup lagi
sampai ratusan hari. Periode ini adalah suatu ekstensi wujud tanaman yang tidak
dapat dibagi yang menjadi dimensi keempat. Artinya, waktu dalam hal ini adalah
ekstensi (atau bagian dari wujud) itu sendiri. Dengan menilai hubungan ekstensi
ini dengan objek yang lain, kita akan dapat menentukan rentang waktu yang tertentu
untuk objek tersebut, sebagaimana halnya kita dapat mengetahui tempat suatu
objek dari penilaian serta penentuan volume dan ukuran objek tersebut.
Perbedaan utama antara ekstensi waktu dan ekstensi ukuran adalah bahwa pada ekstensi
waktu, bagian-bagian waktu yang potensial akan mewujud satu demi satu secara
berurutan. Untuk perwujudan salah satu bagiannya, bagian yang lain harus
berakhir terlebih dahulu. (Kita harus memahami bahwa ekstensi-ekstensi itu
memiliki bagian-bagian potensial, sebab tidak ada ekstensi yang memiliki wujud
aktual) 9)
Oleh karena itu, waktu adalah suatu dimensi dan
karakteristik wujud korporeal. Berbeda dengan pengertian umum yang kita pahami,
waktu bukanlah entitas bebas yang mengandung objek-objek. Ketika kita
mengatakan bahwa waktu adalah salah satu dimensi wujud korporeal, maksudnya
adalah bahwa eksistensi wujud korporeal tersebut memiliki ekstensi yang bisa
dilalui dengan pembagian tanpa batas. Setiap konstituen wujud tersebut berada
di lintasan, mengalir, kemudian habis. Sistem itu adalah suatu transisi,
pemusnahan konstituen partikular, yang selanjutnya membuat konstituen baru.
Dengan kata lain, setiap wujud korporeal mempunyai durasi tertentu yang selalu
mengalami perubahan yang terus-menerus (fluks). Caranya adalah, semua
konstituen potensial wujud korporeal tersebut secara gradual mewujud dan
kemudian musnah lagi. Inilah yang di dalam istilah filsafat disebut ‘gerak
substansial.’ 10) Di
dalam banyak kasus, gerak substansial ini terjadi bersama-sama dengan proses
evolusi objek yang bergerak, seperti halnya setitik sperma yang berevolusi
menjadi seekor binatang atau seorang manusia secara utuh. 11)
Namun jelas salah jika ekstrapolasi (perhitungan) durasi
dan realisasi gradual ini juga dinisbatkan kepada wujud-wujud yang dapat
dipisahkan (separable beings) serta Wujud Mutlak Allah Yang Maha Suci.
Memang, beberapa filosof bahkan telah melakukan generalisasi ini dengan
mengatakan bahwa Allah Yang Maha Kuasa juga mengalami evolusi. 12) Tetapi, generalisasi ini
hanyalah hasil dari suatu reproduksi pikiran imajinatif – seperti ketika kita
berfikir secara salah bahwa semua wujud menempati suatu ruang tertentu – yakni
pikiran yang tidak dapat diterima oleh akal dan pembuktian logis. Setiap wujud
yang dapat dipisahkan tidak mempunyai dimensi temporal seperti halnya ia juga
tidak memiliki dimensi lokal. Allah adalah wujud yang meliputi seluruh ruang (omnipresent) dan karenanya Allah
memiliki pengaruh yang sama terhadap segala sesuatu di segala tempat di setiap
waktu. Mensifatkan suatu defisiensi atau berfikir tentang transformasi,
evolusi, atau degenerasi yang dinisbatkan kepada Allah, hanyalah karena
kecacatan pengetahuan dalam mengenal Esensi Allah Yang Maha Agung.
Kritik
Terhadap Mazhab Yang Menolak Adanya Gerak Substansial
Di bagian akhir tulisan ini, kita akan melihat kritik
yang dilontarkan oleh orang-orang yang menolak adanya gerak substansial.
Seperti yang telah kita sebutkan, inti dari argumen mereka adalah bahwa jika
esensi dari suatu substansi – tanpa memperdulikan aksiden dan statusnya –
memiliki gerak, maka esensi itu identik dengan gerak itu sendiri. 13) Sebuah gerak yang tidak
mempunyai subjek yang jelas dari suatu objek yang bergerak adalah hal yang
tidak mungkin (adalah hal yang tidak mungkin untuk menyebutkan adanya gerak
tanpa suatu objek yang bergerak). 14)
Untuk menjawab argumen ini, harus dikatakan bahwa aksiden dan karakteristik
yang diatributkan pada suatu objek kadang-kadang adalah ‘aksiden luar’ (outward accident) yang mempunyai
eksistensi yang berbeda dengan subjeknya; misalnya, menisbatkan ‘tertawa’dan
‘menangis’ terhadap seseorang di dalam dua kalimat: ‘orang itu bahagia’ dan
‘orang itu menangis’.
Karakteristik dan aksiden ini mestinya memiliki subjek
yang independen, yakni subjek yang mempunyai eksistensi yang berbeda denga aksiden tersebut. Akan tetapi, kadang-kadang
juga aksiden dan karakteristik yang diatributkan kepada suatu subjek bukanlah
‘aksiden luar’ tetapi ‘aksiden analitis’. Aksiden analitis ini tidak memiliki
eksistensi yang independen terhadap subjeknya, hanya pikiran analitis kita yang
membedakan antara subjek dan aksiden yang dinisbatkan padanya. Aksiden jenis
ini termasuk gerak, tidak bergerak, diam, dan konstan. 15) Sebagai contoh, ketika kita mengatakan ‘objek itu
statis’, maka eksistensi ketakbergerakannya adalah objek itu sendiri. Atau
ketika kita mengatakan bahwa wujud yang dapat dipisahkan secara mutlak adalah
stabil, itu berarti stabilitasnya tidak berbeda dengan eksistensi wujud
tersebut. Juga, ketika kita mengatakan ‘esensi suatu objek memiliki gerak’,
maka pada saat itu tidak ada artinya kita membedakan antara gerak dan esensi
tersebut. Eksistensi hakiki suatu esensi wujud korporeal sama dengan gerak dan
aliran; dan berbeda dengan wujud yang dapat dipisahkan, eksistensinya tidaklah
stabil. Lebih dari itu, ketika kita mengatakan ‘warna apel itu merah’, maka
dalam hal ini merah tidak dapat dibedakan dengan warna itu sendiri meskipun
dalam kalimat ini ‘warna’ adalah subjek dan ‘merah’ adalah atribut. Atau ketika
kita mengatakan ‘warna apel itu berubah (bergerak) dari kuning ke merah’, maka
gerak ini didefenisikan sebagai istilah perubahan dan metamorfosis di dalam
‘warna’ itu sendiri. Oleh karena itu, seseorang tidak selalu dapat menemukan
perbedaan antara setiap subjek dengan karakteristik yang diatributkan padanya.
Justru, di dalam banyak kasus, seperti ketika kita mengatakan ‘wujud korporeal
memiliki gerak’, kita hanya dapat menemukan perbedaan analitis antara subjek
dan aksidennya. 16)
Prinsipalitas
Wujud Di Dalam Filsafat Mulla Sadra
Keberhasilan suatu argumen membutuhkan pengertian yang
jelas tentang subjek kajian atau masalah yang sedang dibahas. Hal ini terkhusus
di dalam masalah-masalah filosofis yang mencakup konsep-konsep yang sulit dan
abstrak. Pertanyaan tentang perbedaan pokok antara eksistensi dan esensi
sebagai masalah dasar dan independen pertama kali diajukan oleh Mulla Sadra. 17) Meskipun pertanyaan ini
sudah mempunyai akar dan sudah pernah disinggung oleh para pendahulu Sadra,
namun masalah ini adalah salah satu masalah filosofis yang sangat penting,
yakni suatu pemahaman dan konsepsi yang memerlukan talenta khusus di dalam
metafisika.
Di dalam pemahaman terhadap ‘prinsipalitas wujud’, [iv]) terdapat beberapa
konsekuensi terhadap masalah-masalah filosofis yang lain. Oleh karena itu,
artikel singkat ini tidak dapat menjelaskan secara keseluruhan isu-isu yang
berhubungan prinsipalitas eksistensi tersebut.
Kami telah menyinggung sebagian masalah prinsipalitas
wujud ini di dalam buku Philosophical
Instruction yang disusun khusus bagi pelajar pemula di bidang metafisika,
juga masalah ini sudah dijelaskan di dalam buku Ta’liqah ‘ala Nihayat al-Hikmah yang ditulis oleh almarhum Allamah
Thabathaba’i (semoga Allah merahmatinya). Untuk itu, di dalam artikel ini hanya
akan dijelaskan beberapa poin penting saja, sebagai pengantar bagi pemula dalam
masalah prinsipalitas eksistensi ini.
1. Ketika para filosof mengatributkan eksistensi dan
esensi (wujud dan mahiyah) terhadap objek-objek luar,
mereka tidak bermaksud membedakan dan memisahkan sifat-sifat realisasi luar eksistensi
dan esensi tersebut. Mereka justru ingin menjelaskan bahwa analisis pikiran
kitalah yang cenderung mendikotomikan dan membedakan antara keduanya. Sebagai
contoh, ketika kita mendengar adanya wujud suatu unsur, misalnya uranium;
meskipun kita telah memaksudkan satu objek, namun kita selalu cenderung
menyatakan maksud kita itu dalam suatu pernyataan yang setidaknya terdiri dari
dua konsep, yakni pernyataan ‘ada uranium’ atau ‘uranium ada.’ Disini, konsep
‘uranium’ menunjukkan esensi khusus dan konsep ‘uranium ada’ merupakan
realisasi luarnya. Oleh karena itu, setiap realitas mempunyai dua sifat: sifat
esensial dan sifat eksistensial. Dalam contoh ini, kita cenderung melihat bahwa
kedua sifat itu berbeda, padahal dalam realisasi luarnya, kita tidak melihat
adanya dua hal yang berbeda antara ‘uranium’ dan ‘wujud’ (dari uranium itu
sendiri). 19)
2. Sejak dari zaman dahulu, kita mengetahui adanya kaum
skeptis yang menolak (keberadaan) alam semesta sebagai eksistensi luar suatu
objek serta menolak kemungkinan pemahaman terhadap alam semesta itu. Yang
paling ekstrim di antara mereka adalah Gorgias [v]) yang mengatakan: ‘tak ada sesuatupun
yang ada; kalaupun sesuatu itu ada, kitapun tak akan dapat mengenalinya.’ 20) Pendapat seperti ini,
pertama, menolak adanya eksistensi luar suatu objek, atau setidaknya meragukan
eksistensinya; dan yang kedua, menolak pengetahuan atau meragukan pengenalan
terhadap esensi dan realitasnya. Oleh karena itu, dualitas diskusi ontologis
dan epistemologis dapat menjurus kepada dualitas sifat-sifat esensial dan
eksistensial. Hal ini menunjukkan kepada kita adanya pembedaan mental antara
‘esensi’ dan ‘eksistensi’.
3. Menurut Filsafat Eksistensialisme, wujud mendahului
esensi pada manusia sementara pada makhluk yang lain terjadi sebaliknya.
Maksudnya, manusia mencapai esensi tertentu melalui kehendak dan pilihannya
sendiri. Tetapi, pendapat ini tidak mempunyai arti dalam hubungannya dengan
doktrin prinsipalitas eksistensi dalam filsafat Mulla Sadra. 21) Walaupun demikian,
setidaknya menjadi jelas bahwa konsep ‘prinsipalitas’ harus dijelaskan lebih
detail dalam diskusi ini. Oleh karena itu, terasa penting untuk menyebutkan
akar permasalahan dalam mendiskusikan topik ini, serta faktor-faktor apa saja
yang yang melatarbelakangi munculnya doktrin prinsipalitas eksistensi ini dalam
Filsafat Mulla Sadra.
4. Kita mengetahui bahwa sejak dahulu semua ciptaan
dikategorisasikan berdasarkan perbedaannya yang mendasar dengan ciptaan
lainnya. Semua makhluk yang memiliki sifat-sifat dasar yang umum, akan
dikelompokkan ke dalam satu group meskipun makhluk-makhluk tersebut masih
mempunyai perbedaan yang dianggap tidak penting. Beberapa filosof yang sangat
teliti dalam melihat batasan-batasan ‘sifat-sifat dasar’ (dan sifat-sifat
tambahan), telah mengelompokkan perbedaan-perbedaan itu ke dalam dua bagian:
esensial dan aksidental. Mereka percaya bahwa perbedaan dalam satu hal yang
esensial disebabkan oleh banyaknya spesies dan dalam hal lain banyaknya genus.
Dengan dasar inilah kemudian Aristoteles dan para pengikutnya mengelompokkan
semua makhluk menjadi sepuluh genus tertinggi (supreme genera). [vi]) Contohnya, mereka
menganggap bahwa kuda dan sapi adalah dua spesies tetapi pepohonan dan binatang
adalah dua genus, namun mereka mengelompokkan kedua pembagian ini di bawah satu
genus tertinggi yang disebut substansi. 22)
Sebaliknya, keumuman di antara
banyaknya subjek di dalam sifat-sifat esensial
menunjukkan unitas substansi dan karakteristik suatu spesies untuk
mengenal sifat-sifat esensial yang umum terhadap subjek (yakni konstituen dari
karakteristik yang behubungan dengan spesies), yang berarti pengenalan yang
lengkap terhadap kebenaran dan esensinya. Sebagai contoh, populasi,
pertumbuhan, dan reproduksi, membentuk konstituen esensi satu ‘tanaman’. Semua
konstituen ini, ditambah insting dan gerakan yang disengaja, menjadi konstituen
esensi ‘binatang’ dan selanjutnya konstituen-konstituen ini ditambah dengan
fakultas rasional akhirnya membentuk konstituen esensi ‘manusia’. Seperti yang
dapat kita lihat, sifat-sifat esensial ini – setidaknya secara potensial –
adalah sifat yang umum terhadap satu spesies. Dengan kata lain, sifat-sifat
esensial suatu spesies adalah kumpulan sifat-sifat generik umum pada subjeknya.
Konsekuensinya, esensi setiap wujud mengandung satu atau beberapa sifat-sifat
generik. Untuk menjawab pertanyaan “dengan cara bagaimana suatu esensi general
dapat menjadi individu tertentu?”, dapat dikatakan bahwa penisbatan aksiden
individual misalnya bentuk, warna, waktu dan tempat dapat membantu
mengelompokkan satu wujud. Posisi seperti ini sangat umum di dalam dunia
filsafat. Oleh karena itu, inti dari semua diskusi filosofis adalah esensi
generik dan ‘prinsipalitas esensi’ dalam pikiran manusia. Namun, kesulitan
dasar dari teori ini adalah bahwa ‘aksiden’ pada dirinya sendiri, adalah esensi
generik yang telah dikategorisasikan ke dalam sembilan dari sepuluh kategori
Aristotelian. Dalam kasus ini, argumen pembedaan untuk setiap aksiden harus
diulang. Misalnya, bagaimana warna hitam atau putih yang merupakan esensi
aksidental generik harus dibedakan – sehingga ternisbatkannya kedua warna
tersebut terhadap esensi substansial menyebabkan pembedaannya?
Untuk menyempurnakan pemahaman
kita, seorang filosof besar Islam, Abu Nash al-Farabi (m. 339/950) telah
memecahkan masalah ini ketika beliau menyatakan bahwa pada sifat dasarnya tidak
ada esensi yang mempunyai perbedaan. Penisbatan puluhan ataupun ratusan esensi
general terhadap esensi yang lain tidak menyebabkan pembedaannya. Perbedaan
antara esensi aksidental dan esensi substansial hanyalah karena perbedaan wujudnya.
Oleh karena itu, secara metaforis dapat dikatakan bahwa biji dari prinsipalitas
eksistensi tertanam sebagai subjek yang efisien dan kaya makna di dalam
filsafat. 23) Setelah
waktu tertentu, Syihabuddin Yahya Suhrawardi (m. 1191), yang dikenal sebagai Syaikh Al-Isyraq (penghulu mazhab
Iluminasi), meneliti konsep-konsep valid yang rasional tetapi tidak mempunyai
‘penampakan luar’. Akhirnya, Suhrawardi menjelaskan bahwa ‘konsep eksistensi’
adalah validitas rasional dan merupakan
suatu ‘wujud alasan’ sehingga dengan pandangan ini, Suhrawardi dianggap sebagai
pendahulu di antara filsafat Islam yang mempercayai ‘prinsipalitas esensi’. 24) Kelihatannya pendapat
ini seolah-olah agak berlebihan, karena menganggap pengikut peripatetik juga
mempercayai ‘prinsipalitas eksistensi’ tidak lepas dari kontroversi; namun
setidaknya di dalam pembicaraan setiap kelompok ini, kita dapat menemukan
argumen yang berhubungan dengan kelompok yang lain. Namun, beberapa abad
kemudian barulah muncul Mulla Sadra yang memfokuskan perhatiannya terhadap
masalah yang sangat penting tentang ‘prinsipalitas eksistensi’ yang kemudian
menyelesaikan kesulitan-kesulitan filosofis di dalamnya. Meskipun sebenarnya,
pada awalnya, Mulla Sadra juga mempercayai ‘prinsipalitas esensi’, dan seperti
yang disampaikannya kepada kita bahwa Sadra sangat membelanya. Namun, pada
akhirnya Sadra menerima konsep ‘prinsipalitas eksistensi’ yang kemudian
dibuktikan dengan seluruh kemampuannya untuk menghilangkan keraguan bagi
orang-orang yang masih mempercayai prinsipalitas esensi. 25)
Salah satu pertanyaan yang
sulit yang kemudian mendapatkan jawaban yang jelas dalam prinsipalitas
eksistensi adalah kestabilan dan ketakberubahan esensi. Dengan kata lain,
‘revolusi kaum esensialis’ adalah hal yang tidak mungkin ketika di alam
eksternal kita melihat semua makhluk mengalami gerakan evolusi yang di setiap
tahapan evolusinya terdapat esensi spesifiknya. Jika seseorang berpegang pada
prinsipalitas esensi, maka dia harus mengakui bahwa di setiap proses evolusi
dihasilkan suatu esensi spesifik yang kemudian akan berubah lagi pada proses
selanjutnya, sehingga dengan demikian suatu esensi baru dibentuk dari esensi
sebelumnya yang sama sekali berbeda. Namun, menurut prinsipalitas eksistensi,
identitas makhluk yang dapat berubah dan berevolusi itu melekat padanya ketika
makhluk tersebut dinisbati deskripsi tentang ‘unitas personalnya’. Lebih dari
itu, eksistensinya menjadi lebih kuat dan lebih sempurna, sementara batas
eksistensialnyapun akan berubah. Eksistensi dalam kenyataannya adalah cetakan
mental yang diabstraksikan dari batas-batas wujud yang terbatas. Oleh karena
itu, ketika batas-batas eksistensial suatu wujud unik berubah selama proses
evolusinya, maka pada saat itu konformitas sekian banyak esensi tidak akan
menganggu personal unitasnya. 26)
5. Untuk menjelaskan posisi esensi yang dibandingkan
dengan eksistensi di dalam filsafat Mulla Sadra, kita dapat melihat contoh
berikut ini. Jika kita memotong-motong kertas menjadi beberapa jenis bentuk
seperti segitiga, segiempat dan lain-lain, maka tidak ada sifat objektif yang
ditambahkan pada kertas tersebut, tetapi setiap potongan mempunyai batasnya
sendiri yang di dalam realitas sebenarnya adalah sifat non-eksisten. Kita
mengabstraksikan konsep tentang segitiga atau segiempat dengan menggabungkan
batas non-eksisten setiap bentuk. Ketika suatu makhluk keluar wujud mineral dan
menjadi tumbuhan, unitas personalnya tidak hilang pada saat itu. Tetapi, di
dalam statusnya yang baru, wujud tadi mengambil cetakan konseptual lain yang
disebut ‘tanaman’. Ketika wujud tadi kemudian mencapai insting dan gerakan
karena keinginan, maka ia mengambil cetakan dari konsep ketiga atau esensi lain
yang disebut ‘binatang’. Oleh karena itu, eksistensilah yang memiliki realisasi
objektif; sementara esensi adalah entitas yang merujuk pada batasan khusus
suatu wujud. Dengan kata lain, esensi adalah cetakan yang kosong, isinya adalah
eksistensi itu. 27)
6. Kesimpulan yang lain yang diambil dari prinsipalitas
eksistensi adalah bahwa jika suatu wujud mempunyai pencapaian eksistensial yang
tak terbatas (misalya eksistensi Allah Yang Maha Kuasa) hanya karena wujud
tersebut tidak memiliki batasan non-eksisten, maka tak ada satu esensipun yang
dapat dinisbatkan padanya. Akan tetapi, wujud tersebut harus dianggap sebagai
‘eksistensi mutlak.’ 28)
Pun secara alami, seseorang tidak akan dapat mengenali sifat yang paling dalam
dari wujud tersebut hanya dengan melalui fakultas mental, sebab pikiran kita
tidak dapat memahami sesuatu yang tak terbatas dan tidak mampu mendominasi
wujud yang tak terbatas (tanpa esensi). Hanya konsep-konsep abstrak saja yang
dapat dirujuki oleh siapa saja yang ingin mengetahui kebenarannya yang tak
dapat dikenali itu.
Sebaliknya, pengenalan objektif
terhadap wujud tak terbatas adalah sesuatu yang mungkin jika melalui intuisi
mistik dan pengetahuan intuitif (‘ilm
hudhuri). Hal ini tergantung pada
kapasitas eksistensial mistik dan bukan pada pemahaman terhadap objek yang akan
diketahui, yang dalam hal ini adalah wujud Allah Yang Maha Kuasa.
7. Terakhir, kita akan melihat argumen yang paling jelas
dari teori tentang ‘prinsipalitas eksistensi’ yang diajarkan oleh Mulla Sadra.
Alasannya adalah, bahwa jika kita merefleksikan atribut-atribut esensi dan
memisahkannya dengan atribut-atribut yang lain, kita seharusnya mengetahui
bahwa esensi tidak ‘wajib’ mewujud di dunia eksternal. Kita bahkan bisa
menegasikan eksistensi luarnya. 29)
Sebagai contoh, kita dapat mengatakan bahwa “tidak ada lingkaran yang ril di
dunia eksternal” – tanpa mempertimbangkan apakah proposisi ini benar atau
salah. Dengan demikian, sifat-sifat esensi itu biasa saja dan tidak penting
jika dibandingkan dengan sifat-sifat eksistensi dan non-eksistensi. Sifat-sifat
esensi seperti itu tidak bisa menjadi sifat dasar atau muasal tanda-tanda
objektif suatu ekstensi. Malah, esensi itu tak lebih dari sebuah cetakan
kosong, dan karenanya prinsipalitas dan originalitas sesuatu merujuk pada
eksistensi sesuatu itu.
Akhirnya
kita sampai pada kesimpulan bahwa setiap wujud luar adalah suatu wujud
individual yang di dalam terminologi filsafat dikatakan ‘eksistensi dililit
oleh perbedaan’, sementara esensi tidak pernah dapat dibedakan meskipun
digabungkan dengan ribuan kondisi substansial dan general. Sebenarnya, masih
ada alasan lain untuk argumen ini, namun tak akan dijelaskan panjang lebar
karena terbatasnya tempat. Namun, para pembaca dapat merujuk pada volume pertama
metafisika umum Al-Asfar yang ditulis oleh Mulla Sadra untuk mendapatkan
penjelasan yang lebih luas.
Catatan
1. Misbah Yazdi, Amuzesh-I
Falsafa, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh M. Legenhausen & A.
Sarvdalir menjadi Philosophical instructions, New York: SSIPS bekerja sama dengan Global
Publications, Binghamton
University 1999, hal.
445.
2. Di dalam tradisi filsafat sebelum Mulla Sadra, gerak
dianggap sebagai suatu entitas yang tidak ril, kondisi aliran yang stabil (hala sayyala) yang hanya dipahami oleh
pikiran sebagai sebuah proses. Lihat Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta’aliyyah fil al-asfar al-‘aqliyya al-Arba’a,
editor: R. Lutfi dkk, edisi ketiga, Beirut:
Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi 1981, Vol III hal. 59: bandingkan: Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, Albany: State University
of New York
Press 1975, hal. 95.
3. Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, hal.
467-72; bandingkan: Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol III, hal. 211 tentang Jenis-jenis Gerak Aksidental dan Esensial.
4. Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 94-5.
5. Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, hal.
451
6. Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, hal.
446, 472. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 95.
7. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol II, hal. 176, Vol. III, hal 299.
8. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol III, hal. 109-111. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 108.
9. Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 109. Bandingkan dengan catatan
Thabathaba’i pada Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol III, hal. 140.
10. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol III, hal. 61-4. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 96.
11. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol III, hal. 353-54. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 103.
12. Seperti yang dipahami oleh sebagian teolog proses –
lihat Nicholas Rescher, Process Metaphysics, Albany: State University of New York Press
1996, hal. 156.
13. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol III, hal. 85; Vol. IV, hal. 271.
14. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol III, hal. 176
15. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol III, hal. 61
16. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol III, hal. 74
17. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol I, hal. 38-60. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 31-4.
18. Misbah Yazdi, Philosophical Instructions, hal.
213-30; Misbah Yazdi, Ta’liqa ‘ala Mihayat al-Hikmah, Qum:
Dar Rah-I Haqq 1405 Q, hal. 19-39.
19. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol I, hal. 87. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra, hal. 27-31.
20. Terence Irwin, Classical Thought, Oxford: Oxford University
Press 1996, hal. 63, 97-8.
21. Lihat See Henry Corbin, "Aperรงu Philosophique," dalam edisinya tentang karya
Mulla Sadra Kitab al-Masya’ir sebagai Le Livre des Penetrations
Metaphysiques, Tehran:
Institut Franco-Iranien 1964, hal. 73, 77-9.
22. Irwin, Classical thought, hal. 20-35, 47-57;
Geoffrey Lloyd, Early Greek Science, Bristol: Bristol Classical Press 1999;
Hankinson, "Philosophy of science,"
in The Cambridge Companion to Aristotle, ed. J. Barnes, Cambridge: Cambridge University Press 1995,
hal. 110-111, 124-25.
23. Lihat bab yang menyinggung masalah ini pada Fadlou
Shehadi, Metaphysics in Islamic Philosophy, New York: Caravan Books 1982.
24. Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq [Filsafat Iluminasi],
ed./pent. H. Ziai & J. Walbridge, Salt
Lake City: Brigham Young University Press 1999, hal.
45-51.
25. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol I, hal. 49
26. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol I, hal. 54,66
27. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol II, hal. 16,36
28. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol I, hal. 96-7
29. Mulla Sadra, al-Asfar,
Vol II, hal. 10-13

[i])
Atomisme adalah
pandangan materialis yang menganggap bahwa alam semesta tersusun dari sesuatu
yang paling sederhana, yang tidak terikat, tidak dapat dibagi-bagi lagi, yang
keterkaitannya hanya bersifat mungkin dalam membentuk objek-objek. Atomisme
yang paling tua dikenal dalam Jainisme di India sekitar tahun 800 SM. Menurut
sumber lain, atomisme pertama kali ditemukan di dalam filsafat Yunani yang
diperkenalkan oleh Leucippus (sekitar tahun 440 SM) dalam sebuah tulisan Sistem
Alam Semesta (The Great World System),
yang kemudian dikembangkan oleh Demokritos (460 – 370 SM). Mereka mempercayai
bahwa realitas-realitas tertinggi adalah atom-atom dan ruang hampa (the void). Pada zaman modern, atomisme
berkembang seiring dengan perkembangan teori fisika dan kimia sekitar abad 17
dan 19. Beberapa tokoh atomisme modern yang menjelaskan pandangan-pandangan
mereka melalui tulisan-tulisan yang merupakan hasil eksperimen adalah Galielo
Galilei (1564 – 1642), Sir Isaac Newton (1642 – 1727), Lomonosov, Dalton,
Mendeleyev dan lain-lain.
[ii]) Kelompok pemikir pada zaman Yunani kuno, sekitar abad
kelima SM yang berpusat di sebuah tempat yang bernama Elea, sebuah koloni
Yunani di bagian selatan Italia yang berubah namanya menjadi Velia sejak zaman
Romawi sampai saat ini. Menurut Plato, Xenophanes dari Colophon adalah pendiri
mazhab Eleatik, namun sebagian yang lain mengangap bahwa Melissus dari Samos
serta Leucippus dari Abdera juga sebagai mazhab Eleatik. Karakteristik utama
dari mazhab ini adalah pemahaman bahwa “segala sesuatu itu adalah satu” dan
bahwa perubahan dan kejamakan pada hakikatnya tidak nyata.
[iii]) Wujud korporeal adalah wujud yang berhubungan sifat-sifat
pisik, yang mempunyai sifat-sifat materi, yang bukan wujud batin, yang bisa
dipersepsi hanya oleh indra saja.
[iv] Di dalam filsafat Mulla Sadra secara resmi disebut Al-Ashalat al-Wujud, atau kehakikian
wujud. Menurut Qumsya’i di dalam komentarnya terhadap kitab al-Asfar, konsep ini adalah “eksistensialisme”
Islam
[v]) Dia adalah seorang pemikir Yunani yang berasal dari
Leontini di Syracuse, hidup antara tahun 483 sampai 376 SM. Karyanya yang
pendek Tentang Alam (On Nature) atau
Tentang Sesuatu Yang Tidak Ada (On What
is Not) dapat ditemukan di dalam karya Sextus Empiricus (seorang filosof
skeptis Yunani sekitar abad ketiga SM) dan karya Aristoteles “Tentang Melissus,
Xenophanes dan Gorgias.” Ajaran Gorgias yang paling terkenal adalah nihilisme
yang menolak keberadaan apa saja dalam tiga doktrin utama: (1) “Tidak ada
satupun yang bisa disebut ada,” (2)
Kalaupun sesuatu itu ada, kita tidak akan mampu mengetahuinya,” dan (3)
“Kalaupun sesuatu itu bisa diketahui, kita tidak bisa menjelaskannya.”
[vi])
Disebut di dalam filsafat Islam sebagai al-ma’qulat al-‘asyr. Kesepuluh genus
tersebut adalah substansi (jauhar),
kuantitas (kamm), kualitas (kayf), relasi (‘idafah), waktu (mata),
tempat (ayna), situasi atau posisi (wad’), kepemilikan (lahu), keadaan (jiddah),
perasaan (inf’al atau yanf’il), dan perbuatan (fi’il atau yaf’al). Sepuluh kategori ini disebutkan oleh Aristoteles di dalam
“Categories” dan “Topics.”
Komentar
Posting Komentar