Alfred Adler – Kompleks Inferioritas dan Pentingnya Masyarakat
Alfred
Adler – Kompleks Inferioritas dan Pentingnya Masyarakat
Pada tahun 1993, Jaksa Agung Amerika
Serikat mengulas tentang pentingnya mendukung dan membela hak-hak anak, ia
menyatakan bahwa “sangatlah terlambat untuk membantu para anak putus sekolah
pada saat mereka berusia 12 atau 13 tahun – mereka sudah membentuk kompleks
inferioritas” (Liu dan Cohen, 1993, hal. 42). Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, Carl Jung-lah yang mencetuskan ide mengenai kompleks, namun
kompleks inferioritas adalah sumbangan dari Alfred Adler.
Dilahirkan
di Wina pada Februari 1870, Alfred Adler merupakan anak yang lemah, dan
sesungguhnya ia sudah beberapa kali nyaris meninggal. Ia menderita rakitis,
yang membuatnya hanya mampu sebatas melihat teman-temannya bermain. Sampai ia
berusia 5 tahun, ia mengidap sejenis pneumonia dan dokter keluarga mereka sudah
merasa tidak mampu menyembuhkannya. Ia pernah tertabrak di jalanan, tidak hanya
sekali tetapi 2 kali – trauma itu begitu hebatnya hingga membuat Adler
kehilangan kesadarannya (Orgler, 1963). Percumbuannya dengan kematian dan
pengetahuannya akan kerapuhan tubuhnya itu membuat Adler merasa tidak berdaya
dan ketakutan. Ia memutuskan menjadi dokter karena ingin belajar mengalahkan
kematian.
Ia
menempuh studi kedokterannya di University of Vienna (Freud mengajar di
universitas yang sama saat Adler menjadi mahasiswa, namun saat itu secara
kebetulan kedua orang ini tidak pernah bertemu), lulus pada tahun 1895 dan
memulai prakteknya sendiri tidak lama kemudian. Ia menikah 2 tahu kemudian
dengan Raissa Epstein, dua dari 4 anaknya kemudian juga menjadi psikolog.
·
Perbedaan antara
Teori Freud dan Adler
Pada tahun 1902,
Adler merupakan salah satu orang yang diundang untuk menghadiri beberapa
seminar kecil lepas yang diadakan oleh Freud. Walaupun pandangannya berbeda
dengan psikoanalisis aliran Freud, Adler tetap menjadi anggota dari kelompok
tersebut selama beberapa tahun. Akan tetapi pada tahun 1911, perselisihan
antara Freud dan Adler memuncak dan menjadi intens; Adler mengundurkan diri
dari posisinya sebagai presiden Vienna Psychoanalitic Society (sebagaimana
kelompok ini diberi nama) dan mengakhiri semua hubungannya dengan kelompok
Freudian ini. Perdebatannya tersebut, yang didominasi oleh Freud dan anggota
lainnya, membantu Adler mempertimbangkan teori kepribadiannya sendiri. Ia lalu
memulai perkumpulannya sendiri, yang dinamakan Society for Free Psychoanalysis
(nantinya berubah menjadi Society for Individual Psychology).
Salah satu
perbedaan utama antara pandangan Adler dengan Freud adalah penekanan mengenai
asal motivasi. Bagi Freud, motivator utama adalah kesenangan (ingatlah bahwa id
dijalankan atas dasar prinsip kesenangan dan seksualitas). Bagi Adler, motivasi
manusia jauh lebih kompleks daripada itu.
·
Psikologi
Individual Adler
Adler menyebut
teorinya Psikologi Individual (Individual Psychology) karena ia sangat percaya
pada motivasi unik yang dimiliki oleh tiap individu dan pada pentingnya tempat
yang dipersepsikan masing-masing individu dalam masyarakat. Seperti Jung, Adler
dengan tegas menyatakan pentingnya aspek teleology, atau berorientasi pada
tujuan, pada manusia. Perbedaan utama lainnya yang juga berhubungan dengan
filosofinya bahwa Adler, yang lebih peduli dengan kondisi sosial disbanding
Freud, melihat pentingnya tindakan prefentif untuk mencegah terjadinya gangguan
kepribadian.
Perjuangan
untuk Menggapai Superioritas
Bagi
Adler (1930), inti dari kepribadian adalah pencarian dan perjuangan untuk
menggapai superioritas. Ketika seseorang tenggelam dalam rasa ketidakberdayaan
atau mengalami suatu peristiwa yang membuat dirinya tidak mampu berbuat
apa-apa, orang tersebut kemungkinan akan merasa inferior. Jika perasaan
tersebut semakin dalam, ia sangat mungkin mengembangkan kompleks inferioritas
(inferiority complex) yaitu rasa minder. Kompleks inferioritas membuat perasaan
normal akan ketidakmampuan menjadi berlebihan, membuat individu merasa tidak
mungkin meraih tujuan dan akhirnya tidak mau lagi mencoba. Sebagai contoh
tinjaulah kasus David, seorang anak yang tidak pernah memiliki prestasi yang
baik di sekolah. Ia bukanlah siswa yang buruk, namun dibandingkan penghargaan
siswa teladan dan prestasi akademik kedua saudara kandungnya yang lain,
pencapaiannya saat ini terlihat tidak berharga. Seiring dengan berjalannya
waktu, David mengembangkan kompleks inferioritas – perasaan tidak nyaman
menjadi orang yang bodoh, bahkan perasaan inferior terhadap saudara laki-laki
dan perempuannya.
Perjuangan
seseorang untuk mengatasi kompleks tersebut mungkin menyebabkan berkembangnya
kompleks superioritas (superiority complex) sebagai cara untuk mempertahankan
rasa harga diri, dan kenyataannya hal inilah yang David lakukan. Saat Anda
bertemu dengannya untuk yang pertama kali, Anda tidak akan dapat menebak bahwa ia memiliki
“inferioritas” dalam dirinya. Ia tampak memiliki opini dan pandangan yang sangat
tinggi mengenai dirinya sendiri – selalu menyombongkan diri dan cepat
berargumen bahwa solusi yang ia berikan terhadap suatu masalah adalah solusi
yang benar. Akan tetapi, jika Anda lihat lebih dalam, Anda akan melihat bahwa
arogansinya yang berlebihan itu benar-benar merupakan kompensasinya yang
berlebihan akan apa yang ia percaya sebagai kekurangan yang ia miliki; ia mengembangkan kompleks
superioritas sebagai cara untuk menetralkan inferioritas yang ia rasakan. Ia
mencoba untuk meyakinkan orang lain dan dirinya sendiri bahwa, apapun yang
terjadi, ia berharga. Sayangnya bagi David, kompleks superioritas biasanya
dilihat sebaagi sesuatu yang menjengkelkan bagi orang lain, dan oleh karena
itu, ia lebih mungkin diperlakukan dengan sikap yang berhati-hati, atau bahkan
dengan rasa jijik, ketika memamerkan sikapnya yang sombong. Penolakan ini
kemudian dapat meningkatkan perasaan tidak berharganya, dan mendorong
dilakukannya kompensasi yang lebih agresif – dan lingkaran setan sudah
tercipta. Seperti yang dikatakan oleh satiris Ambrose Bierce, seorang yang
sombong adalah “Orang yang memiliki selera yang rendah dan lebih tertarik pada
dirinya sendiri dibanding pada saya” (The Devil’s Dictionary, 1911).
Perkembangan
dan Evolusi dari Teori Adler
Teori
yang dikemukakan oleh Adler mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan
berubahnya pemikirannya mengenai motivasi manusia. Konsep pertama yang
dijabarkannya adalah inferioritas organ
(organ inferiority) – ide bahwa setiap orang terlahir dengan kekurangan
fisik tertentu. Menurut Adler, penyakit atau ketidakmampuan biasanya berkembang
dari “organ yang lemah” ini sehingga tubuh mencoba untuk megimbangi kekurangan
tersebut di area lainnya. Ia berpendapat bahwakelemahan-kelemahan tersebut (dan
mungkin yang lebih penting, reaksi individu terhadap kelemahan itu) merupakan
motivator penting bagi pilihan hidup seseorang.
Tidak
lama kemudian, Adler menambah konsep dorongan
agresi (aggression drive) pada teorinya. Ia percaya bahwa dorongan-dorongan
dapat menjadi efektif efektif maupun berbalik arah menjadi dorongan yang
berlawanan (mirip dengan mekanisme pertahanan diri yang diajukan Freud). Agrsi
dinilai penting bagi Adler karena ia percaya bahwa agresi merupakan reaksi
seseorang untuk merasakan ketidakberdayaan atau inferioritas – sebuah
pemberontakan melawan ketidakmampuan untuk meraih atau menguasai sesuatu.
Tahapan
selanjutnya Adler sebut sebagai protes
maskulin (masculine protest). Akan tetapi, ia tidak bermaksud bahwa anak laki-laki
saja yang mengalami fenomena ini. Pada masa lalu, ada saat dimana kata
kefeminiman dan kemaskulinan dipakai sebagai metafora untuk menggambarkan
inferioritas dan superioritas, dan hal ini diterima secara budaya dan sosial.
Adler percaya bahwa seluruh anak-anak diberikan label feminism oleh karena
ketidakberdayaan dan ketergantungan mereka dalam tatanan sosial, dan baik anak
laki-laki maupun perempuan mengalami protes maskulin ini, dalam upaya untuk
dapat hidup terlepas dari, dan pada akhirnya disamakan dengan orang dewasa dan
orang yang lebih kuat dalam dunia kecil mereka. Protes maskulin ini adalah
usaha individu untuk menjadi kompeten dan independen-berotonomi dan tidak lagi
bergantung pada orang tua. Kadang kala, pencarian dan perjuangan untuk mendapatkan
superioritas itu menyehatkan jika melibatkan asertivitas positif.
Pencarian
otonomi dan control ini nantinya dikaitkan dengan teori-teori psikologi
kepribadian lainnya. Sebagai contoh, Robert White (1959) memasukkan ide
mengenai pengaruh motivasi dan konpetensi ke dalam pemikiran psikoanalisis
aliran utama. Ia merasa bahwa hal tersebut berasal dari pengalaman dan
keinginannya sendiri untuk memiliki kompetensi dan dapat dihargai sebagai orang
yang lebih muda – motivasi yang menurut White dilupakan oleh filosofi Freud.
Konsep atau
aspek yang berhubungan, yang penting bagi Adler, disebut dengan istilah usaha menuju kesempurnaan (perfection striving). Ia percaya
bahwa orang yang tidak secara neurotic terikat pada kompleks inferioritas akan
terus berusaha mencapai tujuan fiksi (fictional goal) mereka. (kadang juga
disebut “finalisme fiksi [fictional
finalism”]). Tujuan-tujuan ini berbeda-beda anatar satu orang dengan orang
lain, yang merefleksikan apa yang orang tersebut anggap sebagai kesempurnaan
dan bertujuan untuk menghapus kekurangan mereka. Kepercayaan akan adanya tujuan
fiksi ini terkadang disebut sebagai filsafat “seolah-olah (at if)”. Masing-masing orang memiliki tujuan fiksi. Sebagai contoh,
salah satu tujuan fiksi yang dimiliki oleh Cleo adalah memiliki “karier yang
sempurna”. Ia membayangkan dirinya berhasil mendapatkan nilai bagus di sekolah,
menyelesaikan kerja magang yang bergengsi, dan dipanggil oleh perusahaan
internasional yang memiliki lingkungan kerja yang menyenangkan, mendapatkan gaji
tinggi, dan kesempatan untuk berkeliling dunia. Tentu saja, Cleo akan sangat
sukses dan efisien di pekerjaannya, menyenangkan atasan-atasannya, dan membuat
mereka tercengang dengan talentanya yang hebat. Sesungguhnya, Cleo belum
“berhasil” dalam pendidikannya; ia bekerja sangat keras untuk mendapatkan nilai
akhir yang tinggi. Kita hanya bisa melihat apakah nantinya ia akan mendapatkan
tempat magang yang bergengsi atau hanya mendapatkan pekerjaan yang biasa-biasa
saja, dan apakah ia akan berhasil menjadi pemimpin perusahaan atau hanya
menjadi pekerja biasa. Akan tetapi, tujuan fiksi tersebut membuatnya terfokus
dan termotivasi, juga membuatnya dapat membayangkan masa depan yang cemerlang.
Jika ia menetapkan tujuannya lebih rendah, ia mungkin tidak akan pernah meraih
satupun mimpi-mimpinya itu. Namun, dengan memiliki tujuan yang tinggi dan siap
untuk menemui kekecewaan, ia justru lebih mungkin mewujudkan mimpi-mimpinya
itu.
Adler sangat
peduli dengan persepsi individu mengenai tanggung jawab sosial dan pengertian
sosial. Dengan mengembangkan perhatian Freud akan cinta dan pekerjaan, Adler
memperkenalkan tiga persoalan sosial pokok yang ia yakini dimiliki oleh setiap
orang: (1) tugas yang berhubungan dengan kerja-memilih dan mengejar karier yang
membuat seseorang merasa berarti; (2) tugas yang berhubungan dengan
sosial-membentuk hubungan pertemanan dan jaringan sosial; (3) tugas yang
berhubungan dengan cinta-mencari pasangan hidup yang tepat. Adler juga percaya
bahwa ketiga tugas tersebut saling berkaitan; artinya, pengalaman pada satu
area berpengaruh pada dua area lainnya.
Peran
Urutan Kelahiran
Dengan berfokus
pada struktur sosial dan observasi yang tajam (baik terhadap masa kecilnya
sendiri maupun masa kecil orang lain), Adler menjadi yakin akan pentingnya urutan
kelahiran dalam menentukan karakteristik kepribadian. Anak pertama pada awalnya selalu menjadi anak terfavorit karena
mereka dalah “ anak satu-satunya”, namun kemudian mereka harus belajar untuk
menghadapi kenyataan bahwa mereka bukanlah lagi fokus utama dan bahwa orang tua
mereka harus membagi perhatiannya dengan saudaranya yang lain. Perubahan yang
tiba-tiba ini dapat mendorong munculnya sifat kemandirian dan perjuangan untuk
mendapatkan status, atau para anak pertama dapat juga mengembangkan peran
sebagai orang tua semu, yang membantu mengasuh saudara kandung, ataupun orang
lain. Anak kedua lahir dalam situasi
persaingan dan kompetisi. (Dalam film animasi Antz, semut yang bernama “Z”, disuarakan oleh Woody Allen,
mengeluhkan “Sulitnya menjadi anak tengah dari 5 juta saudara”). Adler sendiri
memiliki rasa persaingan yang kuat dengan kakak laki-lakinya, dan
ketidakmampuannya untuk berkompetisi secara fisik karena sakit yang dideritanya
menyebabkan munculnya perasaan inferioritas. Walaupun hal ini dapat menjadi
sesuatu yang berguna karena dapat mendorong para anak kedua untuk mendapatkan
pencapaian yang lebih besar, kegagalan yang berulang dapat merusak kepercayaan
diri. Anak terakhir biasanya lebih
manja dari anak lainnya. Mereka akan selamanya menjadi “bayi dalam keluarga”.
Adler percaya bahwa memiliki panutan yang berlebihan dari saudara kandung akan
menyebabkan seseorang anak merasa sangat ditekan untuk sukses di semua bidang,
dan ketidakmampuan sang anak untuk melakukannya akan mengakibatkan anak itu
menjadi malas dan cenderung memiliki sikap mengalah.
Ide mengenai
urutan kelahiran dan kepribadian ini (yang sebenarnya sebagian berasal dari
karya awal Francis Galton) telah menghasilkan penelitian-penelitian yang
jumlahnya amat banyak; di antara hasil temuan tersebut, anak pertama memang
lebih mungkin masuk ke perguruan tinggi dan mencapai kesuksesan karier sebagai
ilmuwan (Simonton, 1994), namun adik-adiknya lebih mungkin menjadi kreatif,
pemberontak, revolusioner, atau perintis. Buku yang berjudul Born to Rebel (Sulloway, 1996)
menyatakan bahwa revolusi yang terjadi pada pergerakan sosial, ilmu
pengetahuan, agama/kepercayaan, dan politik secara sangat tidak seimbang
didorong oleh anak lahir belakangan. Berdasarkan tinjauan luas terhadap 6.000
biografi orang-orang terkenal dalam sejarah Barat, Sulloway menyimpulkan bahwa
walaupun anak pertama menunjukkan pola pencapaian yang tinggi, mereka cenderung
kurang mendukung atau menyokong pandangan revolusioner dibanding anak yang
lahir belakangan.
Sulloway berfokus
pada dinamika keluarga-anak pertama cenderung mengadopsi strategi bertahan
hidup yang berbeda dengan saudara kandungnya yang lain-untuk mejelaskan
pengaruh urutan kelahiran dalam kecenderungan seorang anak untuk memiliki
perbedaan pendapat atau ketidaksetujuan dan untuk menerima ide-ide radikal.
Charles Darwin sendiri merupakan contoh klasik dari revolusioner yang bukan
lahir sebagai anak pertama: Pada tahun 1837, data yang menjadi dasar dari teori
evolusi Darwin tersedia dengan mudah bagi para ilmuwan pada masa itu, namun
diperlukan adanya jiwa pemberontak dari anak yang lahir belakangan untuk dapat
mengenali perlu dilakukannya pemikiran ulang atas doktrin tentang desain ilahi
yang telah diterima secara umum. Perhatikan bahwa semata dalam pendekatan Sulloway dan juga
Adler, bukanlah urutan kelahiran semata yang penting, namun juga motivasi yang
tercipta. Dengan demikian, Adler memberikan jalan bagi para psikolog
motivasional berikutnya.
Pembelajaran
mengenai urutan kelahiran biasanya tidak membedakan efek urutan kelahiran
biologis dari efek urutan pengasuhan. Sebagai contoh, jika anak yang lahir
pertama meninggal saat lahir, anak yang lahir kedualah yang menjadi anak paling
tua. Atau, jika anak yang lahir pertama diadopsi oleh keluarga yang sudah memiliki
anak, anak ini secara biologis memang anak pertama namun bukan diasuh sebagai
anak pertama. Juga ditemukan adanya perbedaan biologis antar kehamilan
(misalnya, rahim lebih kecil ketika kehamilan pertama, keadaan hormonalnya
berbeda, pemberian ASI-nya berbeda, dan sebagainya). Penelitian selanjutnya
seharusnya memberikan perhatian lebih untuk menguraikan apa yang terjadi jika
urutan kelahiran biologis berbeda dengan urutan pengasuhan (Beer dan Horn,
2000). Walaupun begitu, terdapat bukti bahwa anak yang lahir pertama lebih
berorientasi pada pencapaian dan lebih teliti disbanding anak yang lahir
belakangan (Paulhus, Trapnell, dan Chen, 1999).
Tipologi
Kepribadian Adler
Adler mencoba
untuk memasukkan idenya ke dalam ide Yunani kuno mengenai cairan temperamen
yang mendasari kepribadian. Berdasarkan ide kuno ini, dominasi cairan empedu
kuning mengindikasikan temperamen mudah marah (koleris); dominasi darah
menghasilkan temperamen yang gembira (sanguinis); dominasi cairan empedu hitam
menghasilkan temperamen sedih dan misterius (melankolis); dan dominasi lendir
menghasilkan temperamen lesu (plegmatis). Terhadap pola dasar ini, Adler
menambahkan idenya mengenai variasi tingkat ketertarikan sosial seseorang (di
Jerman disebut Gemeinschaftsgefuhl, atau
“perasaan komunitas”), juga pertimbangan mengenai tingkat aktivitas.
TABEL 1.
Perbandingan Tipologi Adler dengan Tipologi Yunani Klasik
|
CAIRAN DOMINAN
|
TIPE YUNANI
|
MINAT SOSIAL
|
AKTIVITAS
|
TIPE ADLER
|
|
Empedu Kuning
|
Koleris
|
Rendah
|
Tinggi
|
Ruling-Dominant
|
|
Lendir
|
Plegmatis
|
Rendah
|
Rendah
|
Getting-Leaning
|
|
Empedu Hitam
|
Melankolis
|
Sangat Rendah
|
Rendah
|
Avoiding
|
|
Darah
|
Sanguinis
|
Tinggi
|
Tinggi
|
Socially
Useful
|
Seperti yang
ditunjukkan oleh Tabel 1 di atas, Adler mengganti istilah keempat komponen
tersebut dengan tipologinya: (1) Ruling-Dominant
(agresif dan mendominasi), (2) Getting-Leaning
(mengambil dari orang lain, cenderung pasif), (3) Avoding (melawan atau mengatasi masalah dengan menjauh dari
masalah), (4) Socially Useful
(menghadapi masalah secara realistis; kooperatif dan penyayang). Orientasi ini
dianggap berkembang semenjak masa-masa awal kehidupan. Adler menulis bahwa
tubuh yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan akan dianggap oleh
pikiran sebagai suatu halangan. Anak-anak yang mnderita “ketidaksempurnaan
organ” tersebut ditantang untuk mencoba mengatasi keterbatasan mereka, baik
dengan cara aktif yang tidak bersifat sosial (mendominasi) atau dengan cara
aktif yang bersifat sosial (bekerja sama); dengan cara pasif yang tidak
bersifat sosial (mengambil apa yang diberikan oleh orang lain) atau dengan cara
yang pasif yang bersifat depresif (lari dari masalah). Pada banyak anak yang
tertantang seperti itu, pikiran mereka menjadi terbebani dan egois. Jalan untuk
mendapatkan kesehatan fisik dan mental berkaitan dengan mengatasi keegoisan
itu. Pada kebanyakan teori besar, telah terbukti betapa sulitnya membuat
validasi empiris dan sederhana dari tipologi ini.
Beberapa teori
Adler yang berhubungan dengan pentingnya situasi sosial dikembangkan lebih jauh
oleh Harry Stack Sullivan, dan akan dibahas di Bab 10 (pada pendekatan
interaksionisme terhadap kepribadian). Adler memberikan jalan bagi para pemikir
seperti Erick Fromm, yang mengikutsertakan konsep dorongan biologis serta
kekangan sosial dari kepribadian, namun juga mencoba menengahi kedua dorongan
tersebut dengan ide-ide yang berhubungan dengan kreativitas, cinta, dan
kebebasan. Fromm dan ide-ide tersebut akan dibicarakan lebih lanjut di Bab 9
(dalam aspek-aspek eksistensialis dan humanistis dari kepribadian). Mungkin
kontribusi terbaik Adler terhadap psikologi kepribadian adalah persistensinya
dalam melihat hal positif dan berorientasi pada tujuan dari kemanusiaan. Ia
memberi kita gambaran mengenai usaha keras seseorang untuk mengatasi
kelemahannya dan untuk berfungsi dengan produktif-dengan kata lain,
berkontribusi pada masyarakat.
Sumber:
Friedman,
H. S. & Schustack, M. W. 2006. Kepribadian:
Teori Klasik dan Riset Modern. Terjemahan oleh Fransiska Dian Ikarini, dkk.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Komentar
Posting Komentar