Agama dan Persepsi dalam Doktrin Mulla Sadra Tentang Sirâth: Bukti-bukti Kemurnian Sumber Filsafat Islam David C. Dakake
Agama dan Persepsi dalam
Doktrin Mulla Sadra Tentang Sirâth: Bukti-bukti Kemurnian Sumber Filsafat Islam
David C. Dakake
Temple
University, USA
Abstrak
Pendapat bahwa ‘filsafat Islam’ tidak sepenuhnya
Islami tetapi pada dasarnya hanya merupakan ‘filsafat Yunani’ yang ditulis
dalam bahasa Arab, masih tetap menjadi pandangan umum di kalangan mazhab Barat
sampai saat ini. Namun ternyata, pandangan ini lebih sering disampaikan tanpa
adanya pengujian yang cukup terhadap tradisi-tradisi filosof Muslim yang datang
belakangan, khususnya yang berhubungan dengan ‘Mazhab Isfahan.’ Padahal,
kebanyakan studi dalam pengajaran mazhab Isfahan
ini lebih banyak berfokus pada issu-issu besar seperti metafisika, ontologi,
kosmologi, dan lain-lain. Sayangnya, hanya sedikit penjelasan yang pernah
ditulis tentang berbagai praksis religius (tradisi ritual keagamaan) yang
menunjukkan dengan jelas karakter-karakter Islam dalam tradisi filsafat yang
terakhir ini. Untuk itu, kami mengupayakan tulisan ini sebagai salah satu
sumbangan dalam proses pembuktian kemurnian ajaran Islam di dalam filsafat
Muslim terakhir dengan memfokuskan pada pemahaman Mulla Sadra terhadap
doktrin-doktrin Alquran tentang Sirâth serta bagaimana seseorang dapat secara
praksis (mempersiapkan diri untuk) menuju kehidupan akhirat setelah kehidupan
dunia ini. Mulla Sadra telah memberikan kepada kita penjelasan-penjelasan
mengenai masalah ini di dalam kitab-kitabnya, al-Asfar, al-Tafsir al-Kabar
dan al-Hikmah al-‘Arsyiyyah, dimana
Sadra mengajarkan praktek-prakter spiritual bagi seseorang yang ingin berjalan
kepada Tuhan, tentunya dengan merujuk kepada nilai-nilai ajaran Alquran serta
ajaran para Imam as. Di dalam kitab-kitab tersebut, Mulla Sadra menghubungkan
jiwa manusia dengan kemampuan fitrahnya yang mampu konsisten pada sirâth dengan
kehidupan di hari kemudian melalui ketaatannya kepada segala hukum Islam dan
para Imam as. Namun, ketaatan yang esensial ini bukanlah satu-satunya syarat
yang dengannya seseorang bisa menempuh sirâth, ketaatan ini hanyalah sebuah tumpuan
saja. Untuk dapat bergerak ke tingkat yang lebih tinggi, seseorang membutuhkan
kemampuan khusus untuk melihat keluasan dan kebesaran sirâth yang hanya bisa
disaksikan melalui cahaya kebenaran sejati dan penyingkapan ruhani. Dengan cara ini, praktek-praktek agama eksoteris (the exoteric religion) dan penyaksian
melalui agama dan keyakinan dihubungkan di dalam doktrin “Sirâth” yang
membuktikan kemurnian karakter Islam di dalam perjalanan spiritual yang
diajarkan oleh filsafat Mulla Sadra.
************
Dalam berbagai studi, filsafat sering diartikan
sebagai pencarian yang bersifat mental. Anggapan ini menjadi umum sejak masa renaissance – di dalam konteks filsafat
Barat – sebagai pencarian kebijaksanaan (sophos).
Istilah ini mengalami degradasi makna yang sebenarnya dari “kebajikan” aktif
(yaitu “philo” atau “cinta” yang
bermula dari pemaknaan Phytagoras terhadap semua kearifan sejati). Dengan kata
lain, filsafat telah mengalami desakralisasi secara gradual dan kemudian
terlepas dari wilayah perbincangan kearifan yang sesungguhnya.
Trend sejarah filsafat Barat berbeda dengan sejarah
filsafat Islam. Di dalam sejarah filsafat Islam, orang cenderung melihat dari
arah yang berlawanan. Dengan kata lain, pemikiran-pemikiran filosofis awal yang
diserap oleh budaya Islam lebih cenderung “Yunani.” Tetapi tentu saja, bukan
berarti bahwa para filosof Muslim awal melupakan nilai-nilai agama (Islam),
tetapi tema-tema yang mereka bicarakan – misalnya dalam kasus al-Madinah al-Fadhilah-nya al-Farabi –
benar-benar merupakan tema-tema filsafat Yunani, khususnya dalam tema
organisasi sosial. Namun, T. Izutzu telah memberikan catatan yang berbeda
dengan kecenderungan pendapat umum, bahwa ternyata filsafat Islam tidak
mengalami keterputusan pada abad ke-12 setelah kematian Ibn Rusyd. Bagi Izutzu,
abad 12 justru menjadi permulaan
filsafat Islam yang sebenarnya, yakni sebuah filsafat yang dirujukkan kepada
Alquran atau nilai-nilai keIslaman, 1) suatu bangunan filsafat yang disebut oleh
Henry Corbin sebagai “filsafat nubuwwah”
(the prophetic philosophy) di dalam
Islam. 2) Pandangan ini
cenderung dilupakan oleh banyak tokoh, misalnya M. Fakhri di dalam A History
of Islamic Philosophy (Columbia University Press, 1983) yang jika tidak
disanggah oleh yang lainnya, seperti D. Gutas dalam karyanya Avicenna and Aristotelian Tradition
(E.J. Brill, 1988). Dalam pandangan kami, mungkin perwujudan yang terpenting
dari ‘filsafat Islam’ yang sebenarnya dapat ditemukan dalam karya-karya Sadr
al-Din al-Syirazi (m. 1640) yang lebih dikenal dengan nama Mulla Sadra.
Komposisi-komposisi filosofis Mulla Sadra telah menggabungkan antara teori dan
“praksis,” yakni metafisika dan nilai-nilai kebaikan yang dalam hal ini mengacu
pada ajaran Islam murni dan bukan pada filsafat Yunani, yakni suatu ajaran yang
didasarkan pada konsep tentang Sirâth
al-Mustaqim, petunjuk ke jalan yang lurus.
Mungkin, konsep yang paling prinsip di dalam filsafat
Mulla Sadra adalah doktrin tentang gerakan substansial (al-harakah al-jawhariyyah). Di dalam doktrin ini, Sadra memberikan
sebuah pengajaran yang disebutnya bukan konsep yang baru, tetapi telah
diajarkan oleh beberapa filosof sebelum Socrates. Doktrin ini menyinggung suatu
gerakan esensial semua maujud di bawah tingkatan realitas-realitas dasar (the archetypal realities) (yaitu
bentuk-bentuk Platonic [a]) atau al-a’yan al-tsabita). [b]) Dalam prinsip ini, Mulla
Sadra mengatakan bahwa semua eksistensi mengalami suatu gerakan yang konstan di
dalam sifat-sifat dasarnya tanpa perlu dorongan yang diturunkan dari
“lingkaran” surgawi. Melalui gerakan substansial inilah, semua maujud di alam
ini “menjadi”, yakni wujudnya secara terus menerus menguat atau malah melemah,
dan gerakan substansial ini adalah suatu gerakan atau aliran wujud yang
melintasi realitas surgawi (the heavenly
archetypes). Dalam pandangan Sadra, perbedaan antara manusia dan selainnya
di dalam gerakan substansial adalah dalam hal atribut-atribut atau
kualitas-kualitasnya, misalnya intelijensi atau keindahan yang merupakan
konsekuensi derajar dan kekuatan wujud yang berbeda dari keduanya. Oleh karena
itu, seseorang bukan hanya dapat mengatakan bahwa beberapa orang lebih cerdas
atau secara pisik lebih baik daripada sekelompok orang lainnya, tetapi “memang”
sekelompok orang itu lebih baik daripada yang lainnya, tergantung kepada
intensitas gerakan wujud di dalam diri mereka.
Tentu saja, tujuan dari para filosof adalah kebenaran,
setidaknya dalam pandangan filsafat tradisional. Di dalam filsafat Mulla Sadra,
“wujud”, “realitas” dan kebenaran memiliki keterikatan satu sama lain.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana seseorang dapat mencapai
kebenaran atau realitas? Bagaimana seseorang dapat memperkuat gerakan
substansial wujudnya agar gerakan tersebut merefleksikan kebenaran? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, semuanya harus dirujukkan kepada nilai
ajaran Islam, khususnya ajaran para Imam as. [c]) Mulla Sadra merujuk pada
Alquran dan hadits dalam menjelaskan “jalan” untuk menguatkan wujud seseorang;
dan dalam penjelasan ini, Mulla Sadra menggabungkan metafisika dengan praksis
Islam yang pendalamannya tidak ditemukan dalam filosof Muslim awal seperti
al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina. Tulisan ini ingin mengambarkan sisi
kemanusiaan doktrin Mulla Sadra, dan juga untuk memberikan bukti-bukti yang
jelas dari sifat-sifat dan nilai-nilai Islam murni yang menjadi rujukan
pengajaran dari tokoh besar atau sejarah filsafat “Arab” yang belakangan. Kami
berharap dapat menunjukkan bahwa jauh dari anggapan adanya penyusunan ulang
pikiran-pikiran Yunani, filsafat Islam – setidaknya dalam kasus Mulla Sadra – justru
telah mengembangkan bahasa-bahasa filosofisnya sendiri berdasarkan ajaran Islam,
sebuah sistem pemikiran yang kemudian mensucikan wacana filsafat melalui
pencapaian kebenaran pada jalan Sirâth
al-Mustaqim.
Kita harus memulai pembahasan ini dengan kajian
lanjutan tentang tema gerakan substansial. Mulla Sadra menghubungkan gerakan
substansial ini dengan “perintah penciptaan” (existentiating command) Tuhan. Bagi Mulla Sadra, gerakan
substansial adalah aliran wujud yang inheren di dalam perintah meng-ada yang
diberikan oleh Sang Pencipta dimana semua wujud melaluinya dengan berbagai
keadaan yang berbeda-beda, baik di dunia ini maupun di alam akhirat. Perintah
Tuhan ini bersifat permanen dan tidak bisa ditolak oleh makhluk. Semua “wujud”
harus mengikuti perintah ini, dan perintah itu sendiri sesuai dengan yang
difirmankan Tuhan di dalam Alquran, QS. 16:40,
“Kun fa ya kun,” (Ketika Allah
berfirman, “Jadilah!”, maka jadilah ia). Secara teknis, hukum ini disebut al-hukm al-takwini (existentiating judgment, hukum penciptaan) di dalam terminologi
filsafat Mulla Sadra. 3)
Di samping itu, selain gerakan substansial ini, masih ada gerakan lain yang
menyertainya. Sebagai lanjutan dari perintah penciptaan yang didasarkan pada
gerakan substansial, terdapat perintah kedua yang disampaikan oleh Tuhan. Hukum
ini disebut al-hukm al-tadwini (recorded jugdment, hukum tertulis), 4) yang di dalam ajaran
Islam mengacu pada Kitab Allah atau Sunnatullah, yakni hukum yang mengatur
segala sesuatu yang diperbolehkan dan yang dilarang seperti yang diterangkan
oleh wahyu. Perintah ini, berbeda dengan hukum penciptaan yang bersifat
universal terhadap semua maujud, hanya berhubungan dengan makhluk yang
mempunyai kehendak yakni manusia, 5)
dan meskipun manusia diperintahkan untuk taat, namun ketaatan itu bukanlah
sesuatu yang dipersyaratkan secara ontologis berdasarkan kebebasan yang
diberikan kepada manusia untuk bisa memilih apakah ingin taat ataupun
mengingkari hukum tersebut. Sekali lagi, Mulla Sadra menjelaskan dengan sangat
lugas bahwa “hukum tertulis” mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap
gerakan substansial manusia, dan bahwa “hukum penciptaan” tergantung kepada
agama dan kehendak untuk mengikuti ajaran agama tersebut.
Disinilah, di dalam perbincangan tentang “perbuatan
yang baik,” yakni tentang apa yang bisa kita sebut sebagai kebaikan atau
praktik keagamaan, kita bisa mulai mempelajari suatu metode dimana Mulla Sadra
benar-benar telah memisahkan bangunan filsafatnya dari pemikiran Yunani. Setelah
itu, kita juga akan mencoba untuk menentukan dimana elemen-elemen praksis Islam
yang kita singgung dalam pendahuluan tulisan ini, kita memasuki tujuan puncak
filsafat Mulla Sadra. Pertama-tama, kita akan menguji beberapa ide dasar
filsafat Yunani dalam beberapa persoalan-persoalan praktis yang dapat kita
perhadapkan dengan apa yang diajarkan oleh Mulla Sadra, agar kita dapat
menunjukkan sifat-sifat keIslaman yang murni di dalam filsafat Mulla Sadra
tersebut.
Bagi filosof-filosof besar Yunani (dan kita akan hanya
merujuk kepada Phytagoras, Plato dan Aristoteles), filsafat dan kebajikan
mempunyai hubungan yang sangat erat, jika tidak bisa dikatakan sama. Bagi
mereka, tidak ada filsafat tanpa adanya kebajikan, khususnya tidak ada filsafat
tanpa adanya kesederhanaan, keteraturan dan kehidupan yang selalu punya
sandaran. Kita dapat melihat secara jelas ajaran ini dalam “Ayat-ayat Emas”nya
Phytagoras, tempat dimana dia menerangkan prinsip-prinsip hidup yang harus
dijalani murid-muridnya. Prinsip-prinsip ini memerlukan, sebagai tambahan
terhadap pemujaan kepada para dewa, semua bentuk kesederhanaan dan kerendahhatian,
atau yang mungkin dapat kita sebut “keteraturan” di dalam semua aspek kehidupan
sehari-hari dan keteraturan dalam berhubungan dengan orang lain. Demikian juga
Plato, dia telah menjelaskan beberapa ajaran yang sama di dalam bukunya
“Republik” pada bab XIV, tempat dimana Plato menjelaskan keharusan untuk
mempertahankan suatu keharmonisan antara fakultas berpikir, yakni “elemen
ruhiyyah” dari sifat dasar manusia, dengan kebiasaan-kebiasaan ragawi di dalam
diri pribadi setiap orang, bahwa kebiasaan hidup manusia ditentukan dan
diseimbangkan oleh kekuatan berfikir tersebut, “…..(seperti) menata rumah
seseorang dengan penataan yang baik….menyusun ketiga komponen tadi seperti
susunan nada musik yang menghasilkan irama yang menyejukkan.” 6) Aritoteles juga
menekankan pentingnya hidup dalam “kesederhanaan” dan “kesabaran,” 7) sehingga diperlukan suatu
usaha untuk menciptakan keharmonisan seluruh aspek-aspek kemanusiaan yang
kondusif dan terbaik, yakni dengan melakukan kontemplasi rasional. Bagi semua
filosof ini, kebaikan atau kebenaran adalah bentuk keharmonisan rasional yang
bisa mencegah perbuatan yang berlebihan; dan tentu saja, tema-tema ini menunjukkan
elemen-elemen esensial kebenaran dan kebaikan di dalam filsafat Yunani demi
mencapai apa yang disebut oleh Aristoteles sebagai udaiuovia atau kebahagiaan hakiki.
Ketika kita memperbandingkan antara pemikiran Yunani
dan filsafat Mulla Sadra, kita tidak melihat pengulangan dari tema-tema
tersebut di atas. Tak bisa dipungkiri, kesederhanaan dan rasionalitas juga ada
dalam pemikiran Mulla Sadra; namun sebagai contoh, defenisi mendasar
“kesederhanaan” telah ditransformasikan oleh Mulla Sadra ke dalam konteks ajaran
Alquran yang juga mencakup ajaran para
Imam as. Demikian juga, Mulla Sadra telah menurunkan nilai “rasionalitas” yang
dianggap sebagai fakultas tertinggi yang menjadi syarat kemampuan manusia, seperti
yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa rasionalitas adalah mencapai “tempat
mulia” yang “Tuhan selalu berada di dalamnya.” 8) Mulla Sadra kemudian mengganti “rasionalitas” yang
dipuja-puja ini dengan keyakinan (iman)
dan cahaya pengetahuan sejati (ma’rifah).
Tema filsafat Mulla Sadra yang dengan sangat jelas
mentransendenkan nilai-nilai kesederhanaan dan rasionalitas di dalam filsafat
Yunani adalah penjelasan Mulla Sadra tentang sirâth, suatu istilah di dalam Alquran yang berarti “jalan” atau
“jembatan” yang terbentang dari kedua tepi neraka yang hanya dengan melewatinya
manusia bisa masuk ke dalam surga. Seperti halnya di dalam filsafat Yunani yang
mengatakan bahwa tidak ada filsafat tanpa adanya kebaikan – sebagaimana halnya seseorang
bisa juga mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan teoritis tanpa adanya
pengetahuan praktis yang membangun kondisi-kondisi dasar sebuah teori – filsafat
Mulla Sadra juga sangat tergantung kepada pembentukan aktif perbuatan-perbuatan
baik yang justru memperkuat bangunan filsafat tersebut. Bagi Mulla Sadra,
pembentukan aktif perbuatan baik ini adalah dinul
Islam. Di dalam doktrin Mulla Sadra tentang sirâth,
alasan yang paling mendasar dalam penekanan terhadap pentingnya nilai-nilai
kebaikan adalah pemahaman Islam yang menganggap bahwa perjalanan jiwa dalam
menempuh sirâth pada kehidupan
akhirat nanti adalah untuk menyingkapkan suatu kualitas atau kebahagiaan
kehidupan tertinggi yang belum pernah dirasakan oleh manusia di dunia ini.
Tetapi sirâth
bukan hanya suatu jalan yang akan ditempuh oleh jiwa di kehidupan berikutnya. Sirâth juga adalah jalan agama yang
hakiki, seperti yang dikatakan oleh Mulla Sadra bahwa “Sirâth adalah suatu bentuk yang di dalamnya petunjuk diwujudkan selama
engkau hidup di dunia ini.” 9)
Bentuk lain petunjuk ini adalah Muslim yang sejati. Untuk memperjelas masalah
ini, kita harus memperluas pembahasan topik tentang gerak (al-harakah) seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Kami telah
menyebutkan bahwa di dalam ontologi kosmos Mulla Sadra, terdapat perintah
penciptaan dan perintah tertulis. Kami juga telah menyebutkan bahwa yang
berhubungan dengan perintah penciptaan itu adalah gerakan substansial (al-harakah al-jauhariyyah) yang
memberikan wujud kepada semua makhluk. Tetapi menurut Mulla Sadra, ada gerakan
lain yang berhubungan dengan perintah tertulis Allah walaupun gerakan ini lebih
tepat jika dikatakan tergantung kepada pilihan manusia dibanding kehendak Allah
itu sendiri. Gerakan ini disebut di dalam filsafat Mulla Sadra dengan beberapa
istilah yang berbeda-beda, misalnya al-harakah
al-iradiyyah (willful motion,
gerakan kehendak), al-harakah
al-‘aradiyyah (accidental motion,
gerakan aksidental), al-harakah
al-ikhtiyariyyah (voluntary motion,
gerakan ikhtiar), yakni gerakan yang lahir dari jiwa yang ingin kembali kepada
Tuhan dengan cara yang diridhaiNya. Dalam membicarakan gerakan ini, Mulla Sadra
di dalam al-Asfar dengan jelas
menghubungkan gerakan ini dengan syariat Islam, Mulla Sadra mengatakan:
“…..(gerakan itu) adalah
gerakan aksidental (al-‘aradiyyah)
berdasarkan suatu wujud jiwa dalam hubungannya dengan semangat agama (ba’its dini), dan gerakan ini adalah
jalan tauhid, juga jalan bagi orang-orang yang mengakui keesaan Allah (muwahhidun) dari golongan para nabi (anbiya’), kekasih-kekasih Allah (awliya’), serta orang-orang yang
mengikuti mereka (atba’). Inilah yang
telah difirmankan oleh Allah: ‘Dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus’” 10)
Disini, disamping menekankan pengaruh pengamalan
ajaran agama Islam, Sadra juga membicarakan gerakan ini sebagai gerakan
“aksidental” yang dilakukan oleh seseorang. Sadra menjelaskan masalah ini untuk
menekankan landasan ontologisnya, yakni bahwa gerakan tersebut tergantung
kepada kondisi aksidental (yaitu pilihan manusia untuk berbuat baik atau tidak,
untuk mengamalkan ajaran Islam atau tidak). Secara teknis diistilahkan bahwa,
semua aksiden bisa meng-ada dan bisa juga tidak.
Sebagai pelengkap terhadap keharusan mengikuti jalan
tauhid dan ajaran para Nabi, Mulla Sadra juga sering mengutip hadits para Imam as
untuk memperjelas pandangannya tentang doktrin Sirâth. Di dalam al-Hikmah
al-Arsyiyyah, Mulla Sadra mengutip ahadits
walawiyyah berikut:
Abu ‘Abdullah as bersabda: “Sirâth adalah jalan menuju pengetahuan
sejati terhadap Allah Yang Maha Agung. Jalan tersebut ada dua, satu berada di
dunia ini dan satunya lagi berada di alam akhirat. Adapun jalan yang ada di
dunia ini adalah para Imam yang harus ditaati; barangsiapa yang mengenalnya
dengan sebenar-benar pengenalan dan mengikuti ajarannya dengan ketaatan yang
kuat, maka dia akan dapat melalui Sirâth
yang menjadi jembatan antara kedua tepi neraka di hari akhir nanti.”
Imam Ja’far as juga diriwayatkan bahwa ketika
menjelaskan tentang firman Allah Swt ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus’ (QS
1:6), Imam Ja’far as mengatakan: “Sirâth
itu adalah amirul mukminin (‘Ali Ibn Abi Thalib as) dan pengetahuan hakiki yang
dimilikinya.”
Juga diriwayatkan dari para Imam as bahwa mereka
berkata: “Kami adalah pintu menuju Tuhan, dan kamilah jalan yang lurus.” 11)
Mulla Sadra menggunakan hadits-hadits di atas serta
hadits-hadits lainnya, baik di dalam al-Hikmah
al-Arsyiyyah maupun dalam kitab tafsirnya (tentang QS. 1:6), untuk
memperkuat pandangannya bahwa “semua jiwa pada satu sisi merupakan ‘jalan’
menuju alam akhirat, dan pada sisi yang lain jiwa itulah yang melintasi jalan
tersebut.” 12) Tetapi isu
penting yang perlu kita perhatikan dalam penjelasan ini adalah, bahwa Mulla
Sadra merasa perlu untuk membenarkan pandangannya tentang Sirâth dengan merujuk kepada ajaran para Imam as. Pada bagian yang
lain di dalam al-Hikmah al-Arsyiyyah,
dimana Mulla Sadra membicarakan perihal kemampuan manusia untuk mencapai
pengetahuan tentang jiwa yang hakiki (ma’rifat
al-nafs) – bahwa jiwa seperti yang telah kita sebutkan adalah “sesuatu”
yang berjalan pada Sirâth dan
sekaligus bisa menjadi substansi dari Sirâth
itu sendiri – Mulla Sadra bahkan mewajibkan secara kategoris untuk mengikuti ajaran para Imam as.
Pengetahuan hakiki (ma’rifah) ini hanya dapat dicapai
melalui iluminasi relung cahaya kenabian, melalui kepengikutan pada cahaya
wahyu dan kenabian, serta melalui lentera kitab dan riwayat dari Jalan Para
Imam as yang sampai kepada kita, pemimpin orang-orang yang mendapatkan petunjuk
dan kesempurnaan. 13)
Oleh karena itu, tidak bisa diragukan berdasarkan
persyaratan praktis umum bahwa Mulla Sadra menyuruh mengikuti petunjuk-petunjuk
di atas bagi siapa saja yang ingin mengikuti filsafatnya. Bagi Mulla Sadra,
syarat tersebut adalah mengikuti petunjuk syariah Islam dan bimbingan dan para
Imam as, dan bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran filsafat Yunani.
Jelas bahwa perjalanan total manusia dalam melintasi sirâth didasarkan pada gerakan ikhtiyar
yang ditentukan oleh intensitas ketaatannya pada agama Allah dan kepatuhannya
kepada para Imam as. Lebih dari itu, Mulla Sadra bahkan memberikan penjelasan
khusus mengenai masalah ini. Pada mulanya, Sadra hanya menjelaskan bahwa dengan
berpegang pada praksis dan nilai ajaran Islam, kita akan akan mampu melewati sirâth di hari akhir, sebuah tema yang
sangat penting dalam pembahasan masalah sirâth
ini. Kemudian dengan mengutip ayat Alquran, Mulla Sadra mengatakan bahwa sirath, yang benar-benar mewujud di alam
akhirat, memiliki dua aspek: “lebih tajam daripada pedang” dan “lebih kecil
daripada rambut.” Mulla Sadra mengatakan bahwa kedua aspek sirath ini berturut-turut adalah fakultas praktis (the practical faculty) dan fakultas
berpikir (the speculative faculty)
yang ada pada manusia. Kedua fakultas ini berhubungan dengan pembagian
pengetahuan ke dalam pengetahuan praktis dan pengetahuan teoritis menurut
Aristoteles, walaupun sebenarnya tidak ada perbedaan yang cukup penting dalam
hubungan ini. Di dalam kitab al-Asfar,
Mulla Sadra menjelaskan fakultas praktis dan hubungannya dengan kesempurnaan
perbuatan (manusia), suatu penjelasan yang mirip dengan penjelasan Plato. Mulla
Sadra mengatakan:
Dan untuk fakultas praktis: di
dalam pengaturan tiga kekuatan, yakni indra, nafsu amarah (irascible), dan penilaian…..fakultas praktis membawa jiwa pada
suatu perimbangan di antara keadaan-keadaan yang berlebihan…. (dan) ketiadaan
keadaan yang berlebih-lebihan yang disebut keadilan (justice) adalah awal keterhindaran (khalas) dari api neraka. 14)
Penjelasan ini menunjukkan adanya pengutipan
ajaran-ajaran filsafat Yunani tentang ajaran kesederhanaan dan keadilan
khususnya yang terdapat di dalam Republik-nya Plato. Namun tentu saja,
pengutipan ini harus dilihat dari sudut pandang:
1. Penjelasan Mulla Sadra tentang konsep kesederhanaan
dan keadilan tersebut di atas adalah penjelasan yang berhubungan dengan ajaran
Islam.
2. Tema-tema tentang kesederhanaan, kerendahhatian (temperance, hilm) keseimbangan (mizan), keadilan (‘adl) dan lain-lain, semuanya telah disebutkan dalam jumlah yang
sangat banyak di dalam Alquran, Hadits dan syari’ah. Tentu saja, bahasa yang
digunakan oleh Mulla Sadra dalam penjelasan ini sama dengan bahasa di dalam
ajaran filsafat Yunani, namun sangat jelas dipahami bahwa ajaran filsafat
Yunani bukanlah ajaran Islam.
Hal ini akan lebih jelas ketika kita melihat kalimat
terakhir kutipan di atas dan bagaimana Mulla Sadra memandang kesederhanaan atau
“ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan” hanya sebagai salah satu bagian saja
dari perjalanan jiwa yang berhasil melalui Sirath
di hari akhirat. Seperti yang akan kita lihat nanti, sebagai pelengkap bagi
syarat-syarat kesederhaan, perjalanan menempuh Sirath ini juga masih memerlukan syarat-syarat lain yang lebih
penting artinya, yakni keyakinan (iman)
dan pengenalan hakiki (ma’rifat).
Mulla Sadra mengatakan dalam kutipan di atas bahwa
“ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan” merupakan “awal kesuksesan (melewati sirath).” Dalam penjelasan ini, Mulla
Sadra ingin mengatakan bahwa kesederhanaan dalam perbuatan hanyalah salah satu
bagian dari sirath. Tentu saja, hal
ini bukanlah suatu jaminan seperti yang
disebutkan di dalam Alquran, yang juga Mulla Sadra pasti memahaminya, bahwa
setiap orang yang berdiri di atas sirath
di hari akhir sudah pasti akan sampai ke surga. Alquran menjelaskan kepada kita
bahwa akan banyak orang yang terjatuh dari sirath
di hari akhir nanti. Dengan demikian, jelas bahwa ketika seseorang telah
mencapai sirath, hal itu bukan
berarti bahwa dia akan mampu melewatinya dengan selamat sampai ke surga. Mulla
Sadra memperjelas masalah ini dengan mengatakan bahwa ketiadaan keadaan yang
berlebih-lebihan hanyalah “awal kesuksesan (melewati sirath).” Bagi Mulla Sadra, ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan
hanya memperkenankan kita untuk “berdiri” di atas sirath, bukan suatu syarat yang dengannya kita dapat melewati sirath tersebut. Untuk memberikan
penjelasan yang lebih luas, ide tentang kesederhanaan yang hanya sebagai
permulaan juga dijelaskan oleh Mulla Sadra dalam penjelasannya yang lain
tentang “Jalan Dunia Ini.”
“Jalan dunia ini” adalah wujud
dari pencapaian keharmonisan pisik dan kesederhanaan hidup di antara keadaan
yang berlebihan dan keadaan yang berkekurangan, dan pada penggunaan kekuatan
indra, nafsu dan penilaian di dalam fakultas praktis. Dengan pencapaian ini, seseorang tidak hanya
terhindar dari kemalasan dan kelalaian, tetapi membawanya ke dalam ke-tawadhu’-an dan kerendahhatian; tidak
hanya menghindarkannya dari sikap gegabah, kejenuhan dan ketakutan, tetapi
membawanya pada semangat; dan tidak hanya menghindarkannya dari kelicikan dan
kegilaan, tetapi menjadikannya hati-hati dan bijaksana….Sekarang, kesederhanaan
di antara pengaruh buruk dari kekuatan-kekuatan tersebut merupakan ketiadaannya
di dalam jiwa. Dengan jalan ini, jiwa akan menjadi seolah-olah tidak ada lagi
keterkaitan dengan sifat-sifat pisik dari keterhubungannya dengan raga, dan jiwa
seolah-olah sudah tidak berada lagi di dunia ini……Dan kemudian jiwa akan
menjadi seperti cermin yang dipersiapkan (tasta’iddu)
untuk menerima manifestasi diri dari bentuk Wujud Sejati. 15)
Sekali lagi, disini kita melihat bahwa kesederhanaan
di dalam sikap dan perbuatan hanyalah sebagai permulaan, suatu persiapan untuk
menuju perjalanan spiritual yang sebenarnya. Dan juga sekali lagi dikatakan,
bahwa kesederhanaan dalam sikap hanya dapat dicapai dengan mengikuti syari’ah dan ketaatan kepada para Imam
as. Mulla Sadra melanjutkan,
Dan bahwa (kesiapan yang
diperoleh dari kesederhanaan) hanya dapat dicapai melalui kepatuhan kepada
hukum-hukum agama (syari’ah) dan
ketaatan kepada para Imam as yang harus diikuti – bahwa yang dimaksud dengan
“Jalan di Dunia ini” adalah para Imam as. 16)
Namun, harus dicatat bahwa meskipun Sadra menekankan
perlunya persiapan jiwa dengan nilai-nilai kesederhanaan, tetapi Mulla Sadra
tidak memberikan penjelasan secara rinci tahapan-tahapan perjalanan jiwa ketika
meninggalkan alam dunia menuju sirath
di hari akhir. Mulla Sadra hanya mengatakan kepada kita (1) bahwa jiwa tersebut
dipersiapkan untuk menerima wujud sejati yang sebelumnya belum dimilikinya, dan
(2) bahwa jiwa partikular tersebut mungkin tidak akan mengalami rasa sakit karena
perpisahan dengan kehidupan dunia ketika dia harus melanjutkan perjalanannya
dari alam dunia ini menuju alam akhirat.
Alasan mengapa Mulla Sadra tidak menjelaskan
tahapan-tahapan perjalanan yang akan dilalui oleh jiwa yang sederhana dan taat
kepada syari’at Islam pada kehidupan akhirat nanti adalah karena tahapan
tersebut tergantung kepada syarat-syarat lain yang lebih dari sekedar
“kesederhanaan” saja. Dalam hal ini, jiwa memerlukan suatu petunjuk khusus yang
bukan hanya dengan melakukan perbuatan baik dan ketaatan pada perintah. Jiwa
membutuhkan petunjuk yang datang dari dalam, dari iman dan pengenalan hakiki (ma’rifat), yang disebut oleh Mulla Sadra
berfungsi sebagai cahaya-cahaya sepanjang tingkatan-tingkatan eskatologis jiwa
yang berbeda-beda setelah mencapai sirath
di hari akhir. Dari sini menjadi jelas bahwa defenisi Mulla Sadra tentang makna
kesederhanaan tidak sesederhana dengan defenisi masalah ini di dalam filsafat
Yunani, Sadra mendefenisikannya dalam konteks ajaran Islam, syari’at dan pandangan
para Imam as. Apa yang akan kita tunjukkan sebenarnya adalah, bahwa posisi
ajaran kesederhanaan di dalam filsafat Mulla Sadra juga ditentukan oleh ajaran
Islam, khususnya nilai-nilai Alquran yang menempatkan iman di atas
perbuatan-perbuatan baik. Disini kita melihat Mulla Sadra membedakan secara
klasik antara siapa yang disebut “muslim” dan siapa yang disebut “mukmin.”
Ketaatan kepada hukum dan aturan hanya akan membawa seseorang kepada pintu
kebenaran, hanya “mempersiapkan” seseorang untuk memasuki kebenaran itu. Untuk
dapat memasuki kebenaran, memasuki surga dan menyaksikan keberadaan Allah,
seseorang membutuhkan iman dan pengetahuan batin. Kedua hal ini merupakan
faktor esensial dari fakultas manusia yang kedua menurut Mulla Sadra, yakni
fakultas berfikir yang akan menjadi perhatian kita.
Fakultas berfikir di dalam filsafat Mulla Sadra adalah
fakultas yang berhubungan dengan kualitas kedua dari dua kualitas sirath seperti yang disebutkan di dalam
Alquran, yakni “yang lebih tipis daripada rambut.” 17) Fakultas ini juga menjadi sumber dari apa yang
diistilahkan oleh Mulla Sadra “pemahaman-pemahaman yang teliti” (precise insights, al-anzar al-daqiqah) yang “di dalam ketelitian dan kehalusannya
lebih tipis daripada rambut,” 18)
itulah karenanya fakultas ini dapat membantu seseorang yang memilikinya untuk
dapat melintasi sirath yang sangat
tipis itu. Namun, pemahaman ini jangan dirancukan dengan aktivitas rasional
murni pikiran untuk memahami bentuk-bentuk universal dari bentuk-bentuk
partikular yang menjadi instrumen untuk mengetahui sesuatu di dalam sains
Aristotelian. Dalam pandangan Mulla Sadra, pemahaman ini menggabungkan
elemen-elemen ketelitian rasional di dalam intuisi spiritual dan iman. Mulla
Sadra mengatakan,
Sirath itu mempunyai dua
aspek: salah satunya adalah lebih tipis daripada rambut dan yang lainnya adalah
lebih tajam daripada pedang. Penyimpangan dari aspek pertama akan menyebabkan
keterlepasan dari fitrah, (seperti yang difirmankan oleh Allah), “Dan
sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat benar-benar
menyimpang dari jalan (yang lurus).” (QS. 23:74) 19)
Di dalam kutipan ini, Mulla Sadra menunjukkan hubungan
antara keyakinan atau iman dan kualitas sirath yang “lebih tipis daripada rambut.” Imanlah
yang bisa membantu seseorang untuk tetap bisa berdiri di atas sirath dan untuk melanjutkan
perjalanannya (menuju surga). Dengan demikian, kesederhanaan dalam perbuatan
dan ketaatan (kepada para Imam as) hanyalah kemampuan jiwa untuk dapat menyeberangi
neraka. Namun dalam pandangan Mulla Sadra, ada sesuatu yang sangat bernilai
bagi jiwa dalam kondisi ini namun tidak bisa dicapainya, yakni bahwa jiwa tidak
dapat memperoleh kesempurnaan sejati jika hanya berdasarkan pada kesederhanaan
perbuatan dan sikap saja. Mulla Sadra menyinggung masalah ini ketika
membicarakan istilah ‘adalah, yang di
dalam istilah teknis Mulla Sadra merujuk pada kesederhanaan dalam seluruh aspek
kearifan praktis (practical wisdom).
Sadra mengatakan, “’Adalah merupakan
kesempurnaan sejati, sebab kesempurnaan sejati ini berada di dalam cahaya
pengetahuan serta kekuatan iman dan ma’rifat.” 20) Dalam hal
ini, nasib terburuk bagi orang yang telah melakukan perbuatan baik tanpa adanya
iman adalah terjatuh dari sirath dan
masuk ke dalam neraka, seperti yang difirmankan oleh Allah di dalam Alquran QS.
23:74.
Dan bagi mereka yang memiliki iman, hal itu berarti bahwa
fakultas berfikirnya digunakan dengan baik (dalam semua tingkatan). Mereka
melintasi perjalanan dari para Nabi, shadiqun
(orang-orang yang benar), ‘abidun (golongan
hamba yang taat), orang-orang yang beriman serta golongan-golongan di antara
mereka. 21) Mulla Sadra
mengatakan bahwa setiap kelompok ini mempunyai “cahaya” mereka sendiri yang
dengannya mereka bisa melewati sirath
untuk bertemu dengan Allah, “orang-orang beriman tidak akan bisa bertemu dengan
Allah kecuali dengan kekuatan cahaya dan pemahaman mereka.” 22) Mulla Sadra juga
mengatakan bahwa cahaya-cahaya ini mempunyai kualitas yang sesuai dengan
intensitas iman dan kedalaman ma’rifat
mereka. Mulla Sadra mengatakan, “derajat orang-orang beriman akan berbeda
karena perbedaan cahaya-cahaya pengetahuan (ma’rifat)
serta kekuatan keyakinan dan iman mereka.” 23)
Bagi Mulla Sadra, cahaya-cahaya inilah yang menerangi persepsi orang-orang
beriman. Sadra menjelaskan bahwa sekelompok orang yang beriman mungkin saja
mempunyai cahaya yang redup, sementara kelompok yang lain memiliki cahaya yang
terang benderang.
….di antara mereka ada yang
diberikan cahaya sebesar gunung….(sementara yang lain) diberikan cahaya seperti
pohon palm di tangan kanannya….sampai yang terakhir dari mereka adalah
seseorang yang diberikan cahaya yang memancar dari ibu jari kakinya yang besar.
Cahaya itu memancar sesaat kemudian padam, dan ketika cahaya itu memancar di
depan kakinya, dia kemudian berjalan, dan ketika cahaya itu padam, maka dia
hanya akan berdiri di kegelapan. 24)
Oleh karena itu, tanpa cahaya iman dan keyakinan,
perjalanan melintasi Sirath menjadi
hal yang tidak mungkin. Perjalanan yang berhasil tidak dapat dicapai hanya
dengan perbuatan baik saja, karena ketika seseorang sampai pada sirath di hari akhir nanti, tanpa adanya
cahaya iman dan keyakinan, dia tidak akan punya penerang yang membantunya
melihat jalan yang harus dilaluinya.
**********
Sebagai simpulan, keseluruhan diskusi Mulla Sadra
tentang keberhasilan dan kegagalan perjalanan jiwa di dunia dan di akhirat
tergantung pada eskatologi Islam dan nilai-nilai kebaikan yang berhubungan
dengan ajaran Islam dan kepengikutan kepada para Imam as. Oleh karena itu, sangat
sulit dikatakan bahwa filsafat Mulla Sadra bukanlah filsafat Islam. Meskipun
Mulla Sadra kelihatan banyak mengadopsi beberapa elemen formal dari filsafat
Yunani, misalnya penekanan terhadap kesederhanaan perbuatan, perbedaan antara
gerakan aksidental dan gerakan substansial, dan adanya fakultas berfikir dan
fakultas praktis, namun Mulla Sadra mendefenisikan ulang elemen-elemen ini
dalam konteks ajaran Islam tentang nilai kemanusiaan, fungsi iman dan persepsi,
serta balasan yang akan diterima oleh jiwa di hari akhir nanti.
Catatan
1.
The Concept and Reality of Existence, Toshihiko Izutsu, Tokyo: Keio Institute of
Cultural and Linguistic Studies, 1971, hal .58-59.
2.
Lihat
berbagai referensi masalah ini di dalam Histoire
de la Philosophie Islamique, Henri Corbin, Paris: Gallimard, 1964.
3.
Sadr
al-Dîn al-Shîrâzî, Tafsîr al-Qur’ân
al-Karîm (7 volume., editor. Muhammad Khwâjavî), Qum: Intasyârât Bîdâr,
tt., Vol. 1, hal. 112.
4.
Ibid., hal. 112.
5.
Ibid., hal. 111.
6.
The Republic of Plato (penerjemah ke Bahasa Inggris. F.M. Cornford),
London: Oxford University Press, 1980, hal. 142.
7.
Introduction to Aristotle (editor Richard McKeon), New York: McGraw Hill,
Inc., 1947, hal. 536.
8.
Ibid., hal. 286.
9.
Sadr
al-Dîn al-Shîrâzî, al-Hikmah
al-Muta`âliyyah fî’l-Asfâr al-`Aqliyya al-Arba`a (9 volume.,
editor Muhammad Khwâjavî), Beirut: Dar Ihyâ’ al-Turâth al-`Arabî, 1990, Vol. 9,
hal. 290.
10. Ibid., hal. 274.
11. Semua kutipan diambil dari The Wisdom of the Throne, James Winston Morris, Princeton:
Princeton University Press, 1981, hal.
191-192.
12. Ibid., hal. 193.
13. Ibid., hal. 131.
14. al-Hikmah
al-Muta`âliyyah, Vol. 9, hal. 285.
15. The
Wisdom of the Throne,
hal. 194.
16. Ibid., hal. 194-195.
17. al-Hikmah
al-Muta`âliyyah, Vol. 9, hal. 285.
18. Ibid, hal. 285.
19. Ibid., hal.285.
20. Ibid., hal. 285.
21. Ibid., hal. 287.
22. Ibid., hal. 286.
23. Ibid., hal. 286.
24. Ibid., hal. 286.

[a])
Sama dengan Ide-ide
Platonis. Lihat catatan kaki mengenai Ide-ide Platonis pada bagian keempat di
hal. 86.
[b]) Al-a’yan al-tsabitah adalah esensi abadi yang
berada di alam spiritual yang menjadi perantara Allah Swt dengan alam materi
yang indrawi. Mulla Sadra mengatakan di dalam al-Asfar 1:49 baris 4, “di dalam kesepakatan ahl al-kasyf wa al-yaqin, mahiyyah
disebut al-a’yan al-tsabitah.”
(Dictionary of Islamic Philosophical Terms, Agustus 2002).
[c] Di dalam bagian ini, penulis hanya menyebutkan ketaatan
kepada para Imam. Tentu saja, Imam dalam pengertiannya yang luas adalah para
manusia suci yang telah dipilih oleh Allah Swt, termasuk Rasulullah Saww yang
menjadi sumber nubuwwah ajaran para Imam as yang sering disebut-sebut dalam
tulisan ini.
Komentar
Posting Komentar